LINGUISTIK
KEBUDAYAAN: PERSPEKTIF TEORETIS DAN ORIENTASI METODOLOGIS DALAM ANALISIS FUNGSI
Oleh:
Gud
Reacht Hayat Padje
1.
Pengantar
Terminologi linguistik
budaya pertama kali diperkenalkan di Indonesia oleh Suharno (1981/1982) dengan sebutan
“Linguistik Kultural” dalam tulisannya yang berjudul “Linguistik Kultural:
Peranan Manusia dalam Telaah Bahasa”. Kemudian, istilah keilmuan yang sama juga
dikemukakan oleh Palmer (1996) dengan sebutan “Cultural Linguistics” dalam
sebuah tulisannya yang berjudul “Toward a Theory of Cultural Linguistics”,
yang diterbitkan di USA oleh University of Texas Press. Cikal bakal keilmuan linguistik
budaya sudah dikembangkan jauh sebelumnya di Amerika Serikat dan Eropah. Franz Boas
(1858—1942) seorang ahli Antropologi dan ahli bahasa-bahasa Indian Amerika menyebutnya
sebagai “Linguistik Antropologi”, sedangkan di Eropah disebut “Etnolinguistik”,
seperti yang dapat dilihat dalam beberapa tulisan, antara lain: Hymes (1980), Seong
(1997), dan Duranti (2001). Adapun cakupan studi linguistik budaya, antara lain
menelaah: (1) hubungan intrinsik antara bahasa dan budaya, dan bahasa dipandang
sebagai fenomena budaya; (2) memberikan perhatian pada fungsi yang diperankan bahasa
dan bahasa sebagai institusi budaya; (3) kajiannya berkaitan dengan istilah “language
in culture” atau “language and culture”, ada makna (budaya) di balik
bahasa; (4) studinya menjangkau semua aspek (tujuh aspek) universal dari kebudayaan;
(5) sifat penelitiannya yang cenderung kualitatif yang bermuara pada penyesuaian
proses dan hasilnya (band. Riana, 2003: 8-9).
Realitas bahasa, baik
sebagai teks maupun konteks merupakan salah satu sistem dalam kebudayaan. Bahasa
dan kebudayaan berinteraksi timbal balik. Studi bidang ilmu interdisipliner bahasa
dan budaya ditengarai sebagai “Linguistik Budaya”. Palmer (1996: 96—113) menyebutkan
bahwa perhatian utama linguistik budaya adalah bukan bagaimana orang mengatakan
suatu realitas yang objektif, melainkan bagaimana orang mengatakan sesuatu yang
dipikirkan? Pikiran berpengaruh dan menentukan bahasa yang diformulasikan dalam
sebuah pertanyaan menarik, yakni bagaimana orang membingkai berbagai pengalaman
dengan maknanya yang abstrak? Artinya, ada makna (budaya) di balik penggunaan bahasa
(band. Foley, 1997: 1; Duranti, 1997: 1-2; Pastika, 2004: 35—37).
Studi bahasa dalam perspektif
linguistik budaya mempertimbangkan pandangan atau pikiran konseptual yang relevan
dari para tokoh yang sering disitir oleh I Gusti Ngurah Bagus dan para pengikutnya
dalam kuliah-kuliahnya di Program Pascasarjana, Fakultas Sastra, Universitas Udayana
Denpasar (1996—2005), antara lain: Humboldt (1830), Saussure (1857—1913), Boas (1888—1897),
Malinowsky (1923), Halliday (1925—1989), Firth (1952—1959), Sapir – Whorf (1956),
Jacobson (1960), Hymes (1967), Ricoeur (1976), Alisjahbana (1977), Suharno (1981/1982),
Thomson (1984), Masinambow (1985), dan Kridalaksana (1991).
Kecuali Saussure, semua
tokoh pemikir bahasa di atas terkesan mengedepankan makna daripada bentuk. Saussure
(1977:1—101) dalam konsep linguistik struktural terpengaruh oleh ajaran sosiologi
“Durkheim” yang menganut aliran filsafat positivisme. Namun, ajaran-ajaran linguistiknya
masih menempatkan studi makna menjadi bagian yang tidak terpisahkan dengan bentuk,
seperti tampak pada konsep dasarnya, antara lain: significant(yang menandai,
segi bentuk) dan signifie (yang ditandai, segi isi, atau makna). Sehubungan
dengan hal tersebut, Kridalaksana (1991: 14—16) menyebutkan bahwa sistem bahasa
(tekstual dan kontekstual) mencakup hubungan struktural dan fungsional; penjabarannya
terdiri atas: bentuk, fungsi, dan makna (band. Alisjahbana, 1977: 290-291; Hoed,
1994: 1—26).
Selama ini, linguistik
telah bergerak dari orientasi modern menuju purna modern (postmodernism).
Orientasi tersebut ditandai dengan telah kaburnya garis-garis pemisah antara linguistik
dan ilmu-ilmu sosial. Tampak pula tumpang tindih linguistik dengan psikologi, sosiologi,
antropologi, etnologi, dan sebagainya (Verhaar, 1994: 14—21). Konsekuensinya, linguistik
budaya yang juga disebut linguistik antropologi, antropolinguistik, atau etnolinguistik
sebagai salah satu bidang ilmu interdisipliner yang mempelajari hubungan bahasa
dan budaya juga memasuki paradigma purna modern. Eratnya hubungan bahasa dan kebudayaan
dapat dilihat pada penggunaan bahasa yang di dalamnya termasuk satuan lingual yang
fungsional (fonologi dan tata bahasa) sebagai realitas pengalaman, pengetahuan,
dan pandangan pemakainya (Kuper dan Kuper, 1996: 547-548; Palmer, 1996: 13—23; band.
Duranti, 1997: 11).
Hubungan bahasa dan kebudayaan
dalam kaitannya dengan studi komunikasi lintas budaya, Wierzbicka (1991: 2—4) pada
intinya mengemukakan bahwa perbedaan budaya berimplikasi pada perbedaan cara berinteraksi.
Perbedaan yang terdapat pada setiap bahasa alamiah dapat dieksplikasi dengan cara
yang sama melalui makna asali. Adapun makna asali terdiri atas seperangkat makna
yang diwariskan manusia sejak lahir tidak berubah walaupun ada perubahan dalam kebudayaannya.
Selanjutnya, Goddard (1994: 2) menegaskan bahwa makna asali merupakan refleksi dari
pembentukan pikiran (band. Whorf, 1979: 207—219; Wierzbicka, 1996: 31; Beratha,
1998: 287—290).
Kuper dan Kuper (1996:
547-548) menyebutkan keterkaitan bahasa dan budaya dalam tiga hal, yaitu: bahasa
sebagai bagian budaya, bahasa sebagai indeks budaya, dan bahasa sebagai simbol budaya.
Dimensi hubungan bahasa dan budaya tersebut dapat dijabarkan bersinergi dengan beberapa
konsep terkait lainnya berikut ini.
a. Bahasa sebagai Bagian Budaya: Sebagian
besar perilaku manusia dilingkupi oleh bahasa, sehingga bahasa menjadi bagian yang
tidak terpisahkan dari budaya. Realitas upacara, nyanyian, ceritera, mantera, kutukan,
doa, dan hukum adalah tindakan, kejadian, atau peristiwa bahasa. Siapapun yang akan
memasuki dan memahami sebuah budaya harus menguasai bahasanya karena hanya melalui
bahasa, seseorang bisa berpartisipasi dan mengalami sendiri sebuah budaya (Kuper
dan Kuper, 1996: 547-548).
Bahasa dan kebudayaan dapat dipandang sebagai
sistem yang terpisah, atau sistem hubungan timbal balik yang koordinatif dan subordinatif.
Apabila pengutamaan dilakukan pada bahasa, maka bahasalah yang menjadi penentu corak
kebudayaan. Penonjolan sistem bahasa yang demikian sudah menjadi pendirian teoretis
Sapir – Whorf. Carrol (1956) memperkenalkan pendirian teoretis dimaksud sebagai
“Hipotesis Sapir–Whorf” yang antara lain menyebutkan bahwa pikiran berada di bawah
kekuasaan bahasa. Ilmu yang dikuasai manusia adalah sesuai dengan bahasanya karena
sistem bahasa yang membentuk idea atau pemrogram kegiatan mental. Artinya, kita
menangkap dan menganalisis dunia luar (pengalaman) sesuai dengan sistem bahasa yang
ada dalam pikiran. Hipotesis itu pada dasarnya mengandung prinsip “bahasa mempengaruhi
pikiran”. Prinsip itulah yang disebut dengan relativitas kebahasaan (linguistic
relativity) (Whorf, 1979: 207—219; Wardhaugh, 1986: 212—213).
Analisis bahasa dan kebudayaan yang berkembang
hingga dewasa ini pada umumnya memperhatikan hipotesis Sapir – Whorf. Hipotesis
tersebut ditengarai memiliki kelebihan dan kekurangan. Dalam banyak hal, realitas
bahasa mencerminkan pikiran. Artinya, bahasa yang dipakai dalam interaksi sosial
merupakan pengejawantahan pikiran penuturnya. Pikiran berpengaruh dan tercermin
pada bahasa yang dipakai oleh penuturnya. Humboldt (1830—1835) menyebutkan bahwa
hakikat bahasa dan pikiran berhubungan sangat erat dan tidak terpisahkan. Ia menegaskan
bahwa bahasa sebagai kemampuan kreatif (energia), bukan sekadar produk (ergon).
Bahasa tidak seharusnya diidentifikasikan sebagai produk mati hasil analisis tata
bahasawan. Kemampuan berbahasa adalah suatu bagian penting dari pikiran manusia.
Humboldt mengikuti jalan pikiran Herder mengenai jati diri masyarakat-masyarakat
bahasa yang berbeda sebagai ciri khas dari bangsa atau kelompok pemakai bahasa (Miller,
1968: 32—34; Robin, 1990: 242—249).
Pengaruh pikiran terhadap bahasa sebagai
perilaku-perilaku manusia, Chauchard (1983: 13—40) menyebutkan bahwa bahasa adalah
penemuan manusia yang paling menakjubkan. Manusia sungguh-sungguh “sapien”
(berpikir, berbudi, dan bijaksana). Hanya karena ia “loquens” (berbahasa,
bertutur) dapat belajar bercakap-cakap. Hal seperti tu hanya bisa dilakukan atau
dicapai oleh manusia karena perkembangan otaknya. Kemudian, kemajuan pikiran manusia
dapat menghasilkan bahasa yang membuatnya mampu untuk mengembangkan penalaran-penalaran
baru. Sejalan dengan itu, Santoso (1982: 225—229) menyebutkan bahwa sesuatu yang
pokok adalah pemikiran konseptual dinyatakan dalam bahasa. Fungsi bahasa yang paling
dasar adalah menjelmakan pemikiran konseptual ke dalam dunia kehidupan. Pikiran
dan bahasa berpengaruh timbal balik. Implikasinya dalam penilaian, yaitu jelas atau
kaburnya pikiran seseorang tercermin pada bahasanya. Apabila bahasanya sudah terang,
barulah pemikiran dapat diteliti mengenai benar dan salahnya melalui pemakaian bahasanya
secara konseptual (Suriasumantri, 1982: 1—40; Nababan, 1992: 140—161; Sihombing,
1994: 3—9).
Sejalan dengan konsep hubungan sistem bahasa
dan kebudayaan di depan, Masinambow (1985: 180—189) menyebutnya sebagai sistem sosial
budaya, yang terdiri atas: sistem ideologi, sistem sosial, teknosistem, dan sistem
kebahasaan (verbal dan non verbal). Konsep sistem sosial budaya tersebut pada dasarnya
menekankan bahwa sistem kebahasaan terwujud ke dalam tingkah laku kebahasaan dan
bahasa-bahasa. Ia memberikan model pemahaman lebih lanjut mengenai proses perubahan
bahasa yang sifatnya saling tergantung dengan aspek-aspek kebudayaan lainnya dalam
jaringan sistem, yaitu sistem budaya, sistem bahasa, sistem sosial, dan kebudayaan
material.
b. Bahasa sebagai Indeks Budaya: Realitas
bahasa merupakan produk dan proses dari perannya sebagai bagian kebudayaan. Bahasa
menyingkap cara berpikir dan cara mengorganisasikan pengalaman dalam sebuah budaya.
Tentu saja bahasa menyediakan istilah-istilah leksikal dari beragam benda budaya,
nilai, dan perilaku yang diakui dalam budaya tersebut. Bahasa juga menyediakan tipologi
asli, yang acuan-acuannya dikelompokkan, seperti: warna, gejala penyakit, hubungan
kekerabatan, ritual, makanan, tanaman, bagian-bagian tubuh, spesies binatang, dan
sebagainya. Semua itu merupakan tipologi bahasa. Ikatan-ikatan budaya serta kualitas-kualitas
sistematis yang mendapat pengakuan budaya diungkapkan oleh bahasa berdasarkan ikatan
budaya terkait (Kuper dan Kuper, 1996: 548).
c. Bahasa sebagai Simbol Budaya: Bahasa
merupakan sistem simbol yang paling lengkap bagi manusia, sehingga tidak mengherankan
bahasa menjadi simbol sebuah etnokultur. Hal itu bukan hanya kasus suatu bagian
mewakili keseluruhan, tetapi juga berlaku sebaliknya, bagian tersebut menjadi suatu
rangkaian simbol seutuhnya. Hal tersebut dalam beberapa kasus menjadi penyebab bagi
dirinya sendiri. Pergerakan dan kompleksitas penggunaan bahasa sebagai simbol dapat
menggerakkan rakyat dalam membela dan mengangkat budaya yang terkait dengan mereka
(Kuper dan Kuper, 1996: 548).
Linguistik Boasian menaruh perhatian pada
etnosemantik, yakni aspek psikologis penutur asli yang terdapat pada wacana yang
aktual. Palmer (1996: 35—37) melakukan studi wacana dengan sebuah sintesis linguistik
kognitif yang ditengarai sebagai linguistik budaya, yang meliputi: linguistik
Boasian (lingusitik dan etnologi), etnosemantik, dan etnografi berbahasa (band.
Hymes, 1964: 15—22).
Hubungan bahasa dalam suatu jaringan sistem
kebudayaan; bahasa terletak di antara sistem sosial dan sistem budaya. Hubungan
tersebut menyiratkan bahasa berfungsi sebagai sarana pergaulan sosial dan mengungkapkan
atau melambangkan sistem budaya. Adapun sistem budaya tercermin pada ketiga aspek
kebudayaan dalam jaringan sistem itu. Sistem bahasa mencerminkan sistem sosial dan
kebudayaan fisik (material). Sistem sosial tercermin pada kebudayaan fisik (Masinambow,
1985: 180—189; band. Alisjahbana, 1985: 141—153; Suharno, 1985: 66—75; Koentjaraningrat,
1992: 1—8).
Seperti yang telah dikemukakan
di depan bahwa objek materi kajian bahasa dalam perspektif linguistik budaya meliputi:
bentuk, fungsi, dan makna; maka dalam lanjutan tulisan ini kami akan menguraikan
tentang perspektif analisis fungsi.
2. Konsep Dasar Teori
Fungsi
Dalam ilm-ilmu sosial, konsep
dasar fungsi dapat ditelusuri lewat dua jalur utama (Paloma, 1987:23-26) yaitu:
a.
Jalur Comte-an tentang struktur
dan fungsi-fungsi sosial yang kemudian dikembangkan oleh Spencer. Masalah pokok
teorinya adalah persamaan antara masyarakat dengan organisme, keduanya sama-sama
mengalami pertumbuhan. Jalur inilah yang kemudian melahirkan teori-teori positivisme.
b.
Jalur Durkheim-ian. Masyarakat sebagai
totalitas organis, di dalamnya setiap totalitas memiliki fungsi tertentu. Selanjutnya
teori ini diembangkan oleh Malinowski dan Radcliffe-Brown, sehingga keduanya kemudian
disebut sebagai tokoh-tokoh Fungsionalisme. Di Amerika, fungsionalisme ini dikembangkan
oleh Parsons dan Merton.
3. Teori Fungsionalisme
Bahasa
Linguistik
fungsional hampir seluruhnya masuk ke dalam kawasan purna modern. Isu postmodern
yang merambah dunia kelinguistikan memusatkan perhatian pada semestaan bahasa, tipologi
bahasa, analisis wacana, tata bahasa “lahiriah” dari kebutuhan penyampaian informasi
dan deiksis. Persoalan yang digarap adalah sifat-sifat tipologi bahasa atas dasar
data yang diambil sebanyak-banyaknya (Verhaar, 1995:19).
Bahasa
mempunyai dua fungsi secara garis besarnya, yaitu fungsi intern bahasa (intralingual)
dan fungsi ekstern bahasa (ekstralingual). Konsep fungsi intern bahasa meliputi
aspek bentuk formal bahasa, seperti: bunyi, kata, frase, klausa, kalimat, paragraf,
dan wacana. Kategori bahasa pada tataran wacana terdapat sarana, piranti, atau upaya
kohesi dan koherensi yang harus ditentukan statusnya atas dasar nilai fungsionalnya.
Konsep fungsi ekstern bahasa berkaitan dengan konteks situasi dan sosiokultural.
Hymes (1962) mengemukan tujuh fungsi bahasa yang tipikal sehubungan dengan konteks
etnografi komunikasi seiring dengan akronim “SPEAKING”[1]. Adapun
model fungsi bahasa yang dikembangkan oleh Hymes diadopsi dari konsepnya Jacobson
(1960) yang telah melakukan penyempurnaan terhadap teori fungsi dari Buhler (1934).
Tiga model fungsi bahasa yang penting dan pantas dikemukakan di sini, yang kehadirannya
merupakan reaksi dari ketidakpuasan terhadap model fungsi bahasa sebelumnya, yaitu:
model tradisional, model etnografi komunikasi, dan model metafungsi (Lyon, 1970:
143; Halliday, 1970: 101; Robinson, 1972: 154—172; Halliday dan Hasan, 1989: 5—14).
Jacobson
(1960) merevisi dan memodifikasi model tiga fungsi bahasa (kognitif, evaluatif,
dan afektif) menjadi enam fungsi yang bertumpu pada aspek-aspek pembicaraan, yaitu:
(1) fungsi emotif, ekspresif, afektif terhadap aspek pembicara (addresser);
(2) fungsi konatif terhadap pendengar (addressee); (3) fungsi referensial,
kognitif, denotatif terhadap aspek konteks (contecxt); (4) fungsi puitik
terhadap aspek pesan (message); (5) fungsi fatik terhadap aspek kontak (contact);
(6) fungsi metalinguistik terhadap aspek kode (code) (Tarigan, 1987: 11—14;
Suparno, 2002: 7—9; Ricoeur, 2003: 63).
Tujuh
fungsi bahasa dari Hymes (1962), yaitu fungsi ekspresif (emotif), direktif (konatif,
persuasif), puitis, kontak (fisik, psikologi), metalinguistik, referensial, dan
kontekstual (situasi). Keserasian penggunaan bahasa tergantung pada berbagai kombinasi
dari unsur-unsur peristiwa bahasa, yang terdiri atas: pengirim pesan (sender),
penerima pesan (receiver), bentuk pesan (message form); saluran (channel),
yang disampaikan secara lisan atau tertulis; sandi (code), yang meliputi:
dialek, bahasa, atau jargon; judul, topik (topic), dan latar atau situasi
(setting or situation) (Stub, 1983: 46-47; Tarigan, 1987: 11—14; Kridalaksana,
1991: 8-9; Ibrahim, 1993: 215—224).
Bahasa,
yakni realitas wacana sebagai teks linguistik sistemik fungsional mencakup: (1)
bahasa sebagai realitas fisik, yakni medan wacana; (2) bahasa sebagai realitas sosial,
yakni pelibat wacana; (3) bahasa sebagai realitas semiotik di dalam teks, yakni
sarana wacana. Sehubungan dengan hal tersebut, mikrofungsi yang meliputi fungsi
ideasional, fungsi interpersonal, dan fungsi tekstual merupakan metafungsi yang
dianggap sebagai mekanisme yang mengubah makna menjadi sistem gramatikal; struktur
gramatikal dan tindak ujar (Halliday dan Hasan, 1989: 15—28). Sebelumnya, Pike (1967)
menggunakan istilah etik dan emik terhadap hubungan metafungsi yang
bersifat umum dan khusus. Penentuan kebermaknaan terhadap realitas bahasa tersebut
selalu terkait dengan ketiga metafungsi itu. Jadi, linguistik sistemik fungsional
memberikan tekanan pada makna berdasarkan fungsi bahasa dalam masyarakat. Makna
dapat dilihat dari segi relasi dan akibatnya dalam sistem. Demikianlah fungsionalisme,
yang memberikan tekanan pada relasi dan fungsi (band. Bell, 1974; Hoed, 1994: 10;
Ibrahim, 1995: 132—137).
4. Teori Fungsionalisme Budaya
Teori fungsionalisme
dalam ilmu Antropologi mulai dikembangkan oleh seorang pakar yang sangat penting
dalam sejarah teori antropologi, yaitu Bronislaw Malinowski (1884-1942). Ia kemudian
mengembangkan suatu kerangka teori baru untuk menganlisis fungsi kebudayaan manusia,
yang disebutnya dengan teri fungsionalisme kebudayaan, atau a funcitional theory of culture. Ia kemudian
mengambil keputusan untuk menetap di Amerika Serikat, ketika ia menjadi guru besar
Antropologi di University Yale tahun 1942. Sayang tahun itu ia juga meninggal dunia.
Buku mengenai fungsional yang baru yang telah ditulisnya, diredaksi oleh muridnya
H. Crains dan menerbitkannya dua tahun selepas itu (Malinowski 1944).
Bagi Malinowski
(Ihroni 2006), mengajukan sebuah orientasi teori yang dinamakan fungsionalisme,
yang beranggapan atau berasumsi, “…bahwa semua unsur kebudayaan bermanfaat bagi
masyarakat di mana unsur itu berada. Dengan kata lain, pandangan fungsionalisme
terhadap kebudayaan mempertahankan bahwa setiap pola kelakuan yang sudah menjadi
kebisaaan, setiap kepercayaan dan sikap yang merupakan bagian dari kebudayaan dalam
suatu masyarakat, memenuhi beberapa fungsi mendasar dalam kebudayaan yang bersangkutan.“
Pandangan Malinowski
(Ihroni, 2006), fungsi dari satu unsur budaya adalah kemampuannya untuk memenuhi
beberapa kebutuhan dasar atau beberapa kebutuhan yang timbul dari kebutuhan dasar
yaitu kebutuhan sekunder dari para warga suatu masyarakat. Kebutuhan pokok adalah
seperti makanan, reproduksi (melahirkan keturunan), merasa enak badan (bodily comfort),
keamanan, kesantaian, gerak dan pertumbuhan. Beberapa aspek dari kebudayaan memenuhi
kebutuhan-kebutuhan dasar itu. Dalam pemenuhan kebutuhan dasar itu, muncul kebutuhan
jenis kedua (derived needs), kebutuhan sekunder yang harus juga dipenuhi oleh kebudayaan.
Pemikiran Malinowski
mengenai syarat-syarat metode geografi berintegrasi secara fungsional yang dikembangkannya
dalam kuliah-kuliahnya tentang metode-metode penelitian lapangan dalam masa penulisannya
ketiga buku etnografi mengenai kebudayaa Trobriand selanjutnya, menyebabkan bahwa
konsepnya mengenai fungsi sosial dari adat, tingkah laku manusia, dan pranata-pranata
sosial menjadi mantab juga. Dalam hal itu ia membedakan antara fungsi sosial dalam
tiga tingkat abstraksi (Koentjaraningrat, 1987:167), yaitu:
1. Fungsi sosial dari suatu adat, pranata sosial
atau unsur kebudayaan pada tingkat abstraksi pertama mengenai pengaruh atau efeknya,
terhadap adat, tingkah laku manusiadan pranata sosial yang lain dalam masyarakat;
2. Fungsi sosial dari suatu adat, pranata sosial
atau unsur kebudayaan pada tingkat abstraksi kedua mengenai pengaruh atau efeknya,
terhadap kebutuhan suatu adat atau pranata lain untuk mencapai maksudnya, seperti
yang dikonsepsikan oleh warga, masyarakat yang bersangkutan;
3. Fungsi sosial dari suatu adat, pranata sosial
atau unsur kebudayaan pada tingkat abstraksi ketiga mengenai pengaruh atau efeknya,
terhadap kebutuhan mutlak untuk berlangsungnya secara integrasi dari suatu sistem
sosial yang tertentu.
Contohnya:
unsur kebudayaan yang memenuhi kebutuhan akan makanan menimbulkan kebutuhuan sekunder
yaitu kebutuhan untuk kerja sama dalam pengumpulan makanan atau untuk produksi;
untuk ini masyarakat mengadakan bentuk-bentuk organisasi dan pengawasan sosial yang
manjamin kelangsungan kewajiban kerja sama tersebut di atas. Jadi menurut pandangan
Malinowski tentang kebudayaan, semua unsur kebudayaan akhirnya dapat dipandang sebagai
hal yang memenuhi kebutuhan dasar para warga masyarakat.
5. Teori Fungsionalisme Folklor
a. Fungsionalisme
Murni
Teori fungsi dalam folklore dikenal meluas
setelah di Amerika Boas dan Benedict menerapkan etnografi budaya, yang mengungkapkan
bahwa foklor mampu mencerminkan norma budaya. Hal ini semakin tampak lagi setelah
Bascom mengungkap fungsi folklore dengan memperluas pandangan Malinowsky.
Teori ini sangat berkembang luas di
kalangan peneliti folklore, sehingga sering dianggap sebagai pragmatik
folklore. Menurut Bascom, folklore mempunyai empat fungsi (Dundes,
1965:279-298) yakni sebagai: 1) cermin atau proyeksi angan-angan pemiliknya; 2)
alat pengesahan pranata dan lembaga kebudayan; 3) alat pendidikan; dan 4) alat
penekan atau pemaksa berlakunya tata nilai masyarakat (means of sosial
pressure) dan pengendali perilaku masyarakat (exercisian sosial control).
Fungsi-fungsi semacam ini, dapat dilacak berdasarkan data di lapangan.
Fungsi folklore menurut Dundes bukan
hanya empat saja, diantaranya sebagai : 1) alat pendidikan; 2) peningkat
perasaan solidaritas kelompok; 3) pengunggul dan pencela orang lain; 4) pelipur
lara; 5) kritik masyarakat, dll.
b. Fungsionalisme
Struktural
Teori fungsionalisme structural
meyakini bahwa kebudayaan memiliki fungsi bagi pemenuhan keutuhan dan
sistematik struktur sosial. Struktur sosial dapat dipahami sebagai pengaturan
kontinuitas orang-orang dalam kaitan yang ditentukan oleh institusi, yakni
norma dan pola perilaku yang dimapankan secara sosial. Di lain pihak, Evan
Pritchard (Endraswara, 2009:130) berpendapat bahwa struktur sosial adalah
konfigurasi kelompok yang mantap.
Masyarakat pemilik folklore adalah
sebuah institusi yang satu sama lain saling terkait. Mereka saling mengisi demi
keutuhan folklore itu sendiri. Maka tidak salah kalau Leach (1949:542)
menatakan bahwa struktur sosial merupakan bentuk eksis pada tataran
objektivitas yang kira-kira sama dengan nyatanya anatomi manusia. Anatomi
manusia menyatakan hubungan ketergantungan di dalam kerjanya, begitu pula
folklore. Setiap folklore memiliki jaringan yang saling berhubungan. Jaringan
itu membentuk struktur yang unik.
Dari pendapat di atas dapat
diketengahkan bahwa pengkajian folklore dari aspek structural fungsional akan
menghubungkan masing-masing unsur struktur sosial. Setiap unsur memiliki
tujuan, peranan, keyakinan, ambisi, dan lain-lain demi kelangsungan sebuah
struktur. Pada situasi demikian peneliti akan meninjau lebih jauh seberapa
fungsi masing-masing unsur ke dalam struktur yang lebih besar. Masing-masing
pihak apakah memperoleh keuntungan dan atau kerugian dalam interaksi. Setiap
unsur struktur ada kalanya memiliki pola hidup tersendiri, yang harus diterima
atau ditolak oleh unsur lain, dan seterusnya.
6. Penutup
Berdasarkan
uraian pada bagian sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa analisis fungsi ditinjau
dari perspektif linguistic budaya, memiliki keragaman pendekatan yang pada akhirnya
dapat membingungkan peneliti dalam melihat objek yang akan diteliti. Hal ini bisa
saja dikatakan sebagai kekayaan dari teori fungsi yang mampu beradaptasi dengan
berbagai macam ilmu, tetapi juga bisa dikatakan sebagai kebingungan. Oleh
karena itu, sebagai sebuah teori yang matang, sebaiknya linguistik kebudayaan
dapat memilahkan kebingungan ini menjadi suatu patokan yang jelas, sehingga
teori fungsi yang dipakai tidak menimbulkan perdebatan.
DAFTAR
PUSTAKA
Alisjahbana, Sutan Takdir. 1977. Dari
Perjuangan dan Pertumbuhan Bahasa Indonesia dan Malaysia sebagai Bahasa Modenr.
Jakarta: Dian Rakyat.
Alisjahbana, Sutan Takdir. 1983.
“Bahasa Indonesia sebagai Bahasa Manusia dan Kebudayaan Modern” dalam Amran
Halim dan Yayah B. Lumintaintang (Eds.). Kongres Bahasa Indonesia III.
Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
Alisjahbana, Sutan Takdir. 1985.
“Pembahasan Persepsi tentang Kebudayaan Nasional” dalam Bambang Kaswanti Purwo
(Penyunting). PELLBA 5: Bahasa – Budaya. Jakarta: Lembaga Bahasa
Unika Atma Jaya.
Bauman, Richard & Joel Sherzer.
1974 Explorations in The Ethnography of Speaking. Cambridge
University Press.
Bertens, KL.1987. “Masalah Bahasa
Religius” dalam Panorama Filsafat Modern. Jakarta: PT Gramedia.
Chauchard, Paul. 1983. “Le Langage La
Pensee” terjemahan oleh A. Widyamartaya. Bahasa dan Pikiran.
Yogyakarta: Yayasan Kanisius.
Duranti, Alessandro. 1977. Linguistic
Anthropology. Cambridge University Press.
Duranti, Alessandro. 2001. Linguistic
Anthropology, A Reader. Blackwell Publishers.
Fishman, Joshua A.. 2000. “Language and
Culture” in The Sosial Sciences Encyclopedia. Terjemahan oleh
Haris Munandar, dkk. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Todorov, Tzvetan. 1983. Symbolism
and Interpretation. Translated by Catherine Porter. London: Routledge
& Kegan Paul.
Foley, William A. 1997. Anthropological
Linguistic An Introduction. USA: Blackwell Publishers Inc.
Geertz, Clifford. 1992. Kebudayaan
& Agama. Yogyakarta: Kanisius.
Geertz, Clifford. 1992. Tafsir
Kebudayaan. Yogyakarta: Kanisius.
Gunarwan, Asim. 1994. “Pragmatik
wacana”, dalam PELLBA 7. Jakarta: Lembaga Bahasa Unika Atma Jaya.
Halliday, M.A.K. and Ruqaiya Hasan.
1976. Cohesion in English. London: Longman Group Limited.
Halliday, M.A.K. 1987. Language
as Sosial Semiotic: The Sosial Interpretation of Language and Meaning.
London: Edward Arnold.
Halliday, M.A.K. and Ruqauya Hasan.
1989. Language, Context, and Text: Aspect of Language in a Sosial – Semiotic Perspective.
Victoria: Deakin University Press.
Hasan, M. Zaini. 1990. “Karakteristik
Penelitian Kualitatif” dalam Aminuddin (Ed.).Pengembangan Penelitian
Kualitatif dalam Bidang Bahasa dan Sastra. Tayasan Asih Asah Asuh.
Herusatoto, Budiono. 2001. Simbolisme
dalam Budaya Jawa. Yogyakarta: PT. Hanindita Graha Widia.
Hoed, Benny Hoedoro.1994. Linguistik,
Semiotik dan Kebudayaan Kita. Pidato Pengukuhan yang Diucapkan pada Upacara
Penerimaan Jabatan Guru Besar Tetap. Depok: Fakultas Sastra Universitas
Indonesia.
Hoed, Benny Hoedoro. 1994. “Wacana,
Teks, dan Kalimat” dalam Liberty P. Sihombing, dkk., Bahasawan Cendikia.
PT. Intermasa.
Hymes, Dell. 1964. Language in
Culture and Society, A Reading in Linguistic and Anthropology. New
York, Evanston, and London: Harper & Row, Publisher.
Hymes, Dell. 1985. Foundation in
Sociolinguistics an Ethnographic Approach. Philadelphia: University of
Pennsylvania Press.
Ibrahim, Abd. Syukur. 1994. Panduan
Penelitian Etnografi Komunikasi. Surabaya – Indonesia: Usaha Nasional.
Ibrahim, Abd. Syukur. 1995. Sosiolinguistik:
Sajian, Tujuan, Pendekatan, dan Problem. Surabaya – Indonesia: Usaha
Nasional.
Kaelan, MS. 2004. Filsafat
Analitis Menurut Ludwig Wittgenstein,
Pemikiran tentang Dasar-dasar Verifikasi ilmiah Logika Bahasa, Tata Permainan
Bahasa, Teologi Gramatika, Paradigma Pragmatik. Yogyakarta: Paradigma.
Koentjaraningrat. 1985. “Persepsi
tentang Kebudayaan Nasional” dalam Alfian (Ed.).Persepsi Masyarakat
tentang Kebudayaan. Jakarta: PT. Gramedia.
Koentjaraningrat. 1992. Kebudayaan
Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Kridalaksana, Harimurti. 1980. Fungsi
dan Sikap Bahasa. Ende – Flores: Nusa Indah.
Kridalaksana, Harmurti. 1991. Fungsi
dan Fungsionalisme dalam Linguistik. Pidato Pengukuhan yang Diucapkan
pada Upacara Penerimaan Jabatan Guru Besar Tetap.
Kridalaksana, Harimurti. 1982. Kamus
Linguistik. Jakarta: PT Gramedia.
Lander, Herbert. 1966. Language
and Culture. New York: Oxford University Press.
Leech, Geoffrey. 1989. Principle
of Pragmatics. London and New York: Longman.
Lemke, J. 1995. “Making Meaning: the
Principles of Sosial Semiotic” in Teresa Ashforth.Language and Power.
School of Humaniteis Academic Services Unit.
Liliweri, Alo. 2003. Makna Budaya
dalam Komunikasi Antarbudaya. Yogyakarta: LkiS
Lubis, Hamid Hasan. 1993. Analisis
Wacana Pragmatik. Bandung:
Angkasa.
Lyon, John. 1995. Introduction to
Theoritical Linguistics. Terjemahan oleh I. Soetikno. Jakarta: PT
Gramaedia Pustaka Utama.
Masinambow, F.KL.M. 1985. “Perspektif
Kebahasaan terhadap Kebudayaan” dalam Alfian (Ed.), Persepsi Masyarakat
tentang Kebudayaan. Jakarta: PT Gramedia.
Mbete, dkk, Aron Meko (Ed.). 1988. Proses
& Protes Budaya: Persembahan untuk Ngurah Bagus. Denpasar: PT.
Offset BP.
Miller, Robert L. 1968. The
Linguistic Relativeity Principle and Humboldtian Ethnolinguistics. The
Haque – Paris: Mouton.
Milles, Mathew B. and A Michael
Huberman. 1992. Qualitative Data Analysis. Terjemahan oleh Tjetjep
Rahendi Rohidi. Sage Publisher Publications, Inc.
Ogden, C.KL. and I.A. Richards. 1923. The
Meaning of Meaning. London: Kagen Paul.
Permata, Ahmad Norma. 2003.
“Hermeneutik Fenomenologi Paul Ricouer”, dalam Jurnal Ilmu-ilmu Budaya
Pustaka, No. 5 Tahun XIV. Denpasar: Yayasan Guna Widya.
Peter, Pericles Trifonas. 2003. Barthes
and The Empire of Signs. Terjemahan oleh Swastika, (Ed.). Yogyakarta:
Penerbit Jendela.
Poespoprojo. 1987. Interpretasi.
Bandung: CV. Remadja Karya.
Riana, I Ketut. 2003. “Linguistik
Budaya: Kedudukan dan Ranah Pengkajiannya”. Pidato Pengukuhan Jabatan Guru
Besar Tetap dalam Bidang Ilmu Linguistik Budaya Fakultas Sastra Universitas
Udayana. Denpasar: Universitas Udayana.
Ricoeur, Paul 1976. Interpretation
Theory: Discourse and The Surplus of Meaning. The Texas Christian
University Press.
Robin, RH. 1995. A Short History
of Linguistics. Terjemahan oleh Asril Marjahan. London: Longman Group
UK Limited.
Searle, John R. 1981. Expression
and Meaning: Studies in The Theory of Speech Acts. Cambridge University
Press.
Sherzer, Joel. 1997. “The ethnography
of Speaking: a Critical Aprisal” in Muriel saville – troike, (Eds.), Linguistics
and Anthrophology. Washington, D.C.: Georgetown University Press.
Sibarani, Robert. 1992. Hakikat
Bahasa. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.
Sobur, Alex. 2001. Analisis Teks
Media. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Soeparno. 2002. Dasar-dasar
Linguistik Umum. Yogya: PT. Tiara Wacana
Spradley, James P. 1997. “The
Ethnographic Interview” terjemahan oleh Misbah Zulfa Elisabeth. Metode
Etnografi. Yogya: PT. Tiara Wacana
.
Sudaryanto. 1990. Aneka Konsep
Kedataan Lingual dalam Linguistik. Yogyakarta: Duta Wacana University Press.
Sudaryanto. 1993. Metode dan
Aneka Teknik Analisis Bahasa: Pengantar Penelitian Wahana Kebudayaan secara
Linguistik. Duta Wacana
University Press.
Sudjiman, Panuti dan Aart van Zoest.
1992. Serba-serbi Semiotika. Jakarta: Yayasan Sumber Agung.
Suharno, Jaya. 1996. “Linguistik
Kultural: Peranan Manusia dalam Telaah Bahasa” dalam Soenjono Dardjowidjojo
(Ed.), Perkembangan Linguistik di Indonesia. Jakarta: Arcan.
Thomson, John B. 1984. Studies in
The Theory of The Idiology. Terjemahan oleh Haqqul Yaqin (2003).
University of California Press.
Todorov, Tzvetan. 1983. Symbolism
and Interpretation. Translated by Catherine Porter. London, Melbourne,
and Henley: Routledge & Kegan Paul.
Verhaar, S.J. John. 1994. “Purnamodern”
dalam Liberty P. Sihombing, dkk. (Ed.),Bahasawan Cendekiawan. PT. Intermasa.
[1] Konteks
situasi ini sesungguhnya sudah diperkenalkan oleh Hymes sejak tahun 1962 dengan
sebutan etnografi berbahasa, yang terdiri atas beberapa komponen, seperti:
latar dan suasana (Setting and scene), para partisipan (Participants),
tujuan (End), urut-urutan tindakan (Act sequences), pokok
pembicaraan (Key), perangkat tutur (Instrumentalities), norma-norma
pembicaraan (Norms), dan jenis tutur (Genres) (band. Gumperz dan
Hymes, 1972: 58—762; Sherzer dan Bauman, 1974: 417—451).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar