SARANA BERPIKIR ILMIAH:
LOGIKA, BAHASA, MATEMATIKA, DAN STATISTIKA
Oleh:
Gud Reacht Hayat Padje
Ricardus Pande
Ade Setiawan Simon
1. Pendahuluan
Perbedaan
utama antara manusia dan binatang terletak pada kemampuan manusia untuk
mengambil jalan melingkar dalam mencapai tujuannya. Seluruh pikiran binatang
dipenuhi oleh kebutuhan yang menyebabkan mereka secara langsung mencari objek
yang diinginkannya atau membuang benda yang menghalanginya. Dengan demikian
sering kita melihat seekor monyet yang menjangkau secara sia-sia benda yang dia
inginkan, sedangkan manusia yang paling primitif pun telah tahu mempergunakan
bandringan, laso, atau melempar dengan batu (Philip E. B. Jourdain dalam Jujun
S. Suriasumantri, 1990:165). Manusia sering disebut sebagai homo faber[1]:
makhluk yang membuat alat; dan kemampuan membuat alat itu dimungkinkan oleh
pengetahuan. Berkembangnya pengetahuan tersebut memerlukan alat-alat.
Untuk
melakukan kegiatan ilmiah secara baik diperlukan sarana berpikir. Tersedianya
sarana tersebut memungkinkan dilakukannya penelaahan ilmiah secara teratur dan
cermat. Penggunaan sarana berpikir ilmiah ini merupakan suatu hal yang bersifat
imperatif bagi seorang ilmuwan. Tanpa menguasai hal ini maka kegiatan ilmiah
yang baik tidak dapat dilakukan.
Berpikir merupakan
kegiatan [akal] untuk memperoleh pengetahuan yang benar.[2] Berpikir ilmiah adalah
kegiatan [akal] yang menggabungkan induksi dan deduksi.[3] Induksi adalah cara
berpikir yang di dalamnya kesimpulan yang bersifat umum ditarik dari
pernyataan-pernyataan atau kasus-kasus yang bersifat khusus; sedangkan, deduksi
ialah cara berpikir yang di dalamnya kesimpulan yang bersifat khusus ditarik
dari pernyataan-pernyataan yang bersifat umum.[4]
Penarikan kesimpulan
secara deduktif biasanya menggunakan pola yang disebut silogismus[5] atau silogisme.[6] Silogisme tersusun dari
dua pernyataan (premis mayor dan premis minor) dan sebuah kesimpulan. Suatu
kesimpulan atau pengetahuan akan benar apabila (1) premis mayornya benar, (2)
premis minornya benar, dan (3) cara penarikan kesimpulannya pun benar.
Induksi berkaitan dengan
empirisme, yakni paham yang memandang rasio sebagai sumber kebenaran. Sementara
itu, deduksi bersahabat dengan rasionalisme, yaitu paham yang memandang fakta
yang ditangkap oleh pengalaman manusia sebagai sumber kebenaran.[7] Dengan demikian, berpikir
ilmiah atau metode keilmuan merupakan kombinasi antara empirisme dan
rasionalisme.[8]
Tujuan
mempelajari sarana ilmiah adalah untuk memungkinkan kita melakukan penelaahan
ilmiah secara baik, sedangkan tujuan mempelajari ilmu dimaksudkan untuk
mendapatkan pengetahuan yang memungkinkan kita untuk bisa memecahkan masalah
kita sehari-hari. Dalam hal ini maka sarana berpikir ilmiah merupakan alat bagi
cabang-cabang pengetahuan untuk mengembangkan materi pengetahuannya berdasarkan
metode ilmiah, atau secara lebih sederhana, sarana berpikir ilmiah merupakan
alat bagi metode ilmiah dalam melakukan fungsinya secara baik.
Sarana
ilmiah pada dasarnya merupakan alat yang membantu kegiatan ilmiah dalam
berbagai langkah yang harus ditempuh. Untuk dapat melakukan kegiatan berpikir
ilmiah dengan baik maka diperlukan sarana yang berupa logika, bahasa,
matematika dan statistika, agar dalam kegiatan ilmiah tersebut dapat berjalan
dengan baik, teratur dan cermat.
2. Permasalahan
Adapun
permasalahan yang penulis angkat dalam makalah ini adalah “bagaimanakah fungsi
dan peranan sarana berpikir ilmiah: logika, bahasa, matematika, dan statistika?”.
3. Pembahasan
Untuk
dapat melakukan kegiatan berpikir ilmiah dengan baik maka diperlukan sarana
yang berupa logika, bahasa, matematika, dan statistika. Bahasa merupakan alat
komunikasi verbal yang dipakai dalam seluruh proses berpikir ilmiah di mana
bahasa merupakan alat berpikir dan alat komunikasi untuk menyampaikan jalan
pikiran tersebut kepada orang lain. Ditinjau dari pola berpikirnya maka ilmu
merupakan gabungan antara berpikir deduktif dan berpikir induktif. Untuk itu
maka penalaran ilmiah menyadarkan diri kepada proses logika deduktif dan logika
induktif. Matematika mempunyai peranan yang sangat penting dalam berpikir
deduktif ini sedangkan statistika mempunyai peranan penting dalam berpikir
induktif (Jujun S. Suriasumantri, 1995:167).
3.1 Logika
3.1.1 Pengertian Logika
Secara
etimologi, logika berasal dari bahasa Yunani yaitu kata sifat logike yang berkaitan dengan kata logos
yang berarti ucapan, kata, pikiran, akal budi, dan ilmu (Bakry, 1981:18)[9]. Kata atau pikiran yang
dimaksud di sini adalah yang benar atau yang sehat. Pikiran yang benar atau
sehat itu dimanifestasikan dalam bahasa. Jadi, dapat disimpulkan bahwa logika
adalah suatu disiplin ilmu yang mempelajari pikiran sehingga orang yang mempelajarinya
itu dapat berpikir dan berbahasa secara benar. Dalam arti luas logika adalah
sebuah metode dan prinsip-prinsip yang dapat memisahkan secara tegas antara
penalaran yang benar dengan penalaran yang salah. Secara leksikal menurut Kamus
Oxford logika adalah (a) science of reasoning; (b) particular system or method of reasoning.
Dalam kamus Oxford juga
disebutkan bahwa aslinya istilah lengkap untuk logika adalah logike tekhne, yang
artinya seni atau keterampilan berpikir. Apa yang dapat disimpulkan dari
pengertian tersebut (pengertian etimologis dan
leksikal) mengenai logika sebagaimana dikemukakan di atas menegaskan dua hal sekaligus sebagai inti
pengertian logika. Pertama, logika
sebagai ilmu; logika adalah elemen dasar setiap ilmu pengetahuan. Kedua, logika sebagai seni atau
keterampilan, yakni seni atau asas-asas pemikiran yang tepat lurus dan semestinya (Bagus, 1996: 519)[10].
Berdasarkan uraian di atas
dapat digarisbawahi bahwa logika menempatkan penalaran sebagai pokok
pembicaraan yang mana kami mencoba meneropong logika sebagai satu bagian dari sistem sarana berpikir ilmiah yang dapat menghantar
orang untuk bernalar secara benar. Dengan kata lain, logika tidak
mempersalahkan siapa atau dalam keadaan apa pembuat penalaran itu
berada. Apakah pembuat penalaran itu waras atau tidak, bukan menjadi perhatian
logika. Logika juga tidak bermaksud mempelajari system interaksi sosial di mana
si pembuat penalaran itu berada. Bidang perhatian dan tugas logika adalah
menyelidiki penalaran yang tepat, lurus dan semsetinya sehingga dapat dibedakan
dari penalaran yang tidak tepat. Denga demikian maka logika itu sendiri dapat
dibagi menjadi tiga bagian yakni:
Logika alamiah
Adalah kinerja akal budi
manusia yang berpikir secara tepat dan lurus sebelum dipengaruhi keinginan-keinginan
dan kecendrungan-kecendrungan subyektif. Kemampuan logika alamiah ada sejak
lahir. Logika alamiah memperhalus, mempertajam pikiran
serta akal budi.
Logika kodratiah
Ada pada setiap manusia karena
kodratnya sebagai makhluk rasional. Sejauh manusia itu memiliki ratio maka dia dapat berpikir atau
dengan akal budi manusia dapat bekerja menurut hukum-hukum logika entah secara spontan ataupun disengaja
Logika ilmiah
Adalah ilmu praktis normative yang mempelajari hukum-hukum,
prinsip-prinsip dan bentuk-bentuk pikiran manusia yang jika dipatuhi akan
membimbing kita mencapai simpulan-simpulan yang lurus/sah. Logika ilmiah
membentangkan metode yang menjamin kita bernalar secara tepat.
3.1.2 Aturan Cara Berpikir Yang Benar
Kondisi adalah
hal-hal yang harus ada supaya sesuatu dapat terwujud, dapat terlaksana. Untuk
berpikir baik, benar, logis dialektis, juga dibutuhkan kondisi-kondisi tertentu[11]:
a.
Mencintai
kebenaran
Sikap ini sangat fundamental untuk berpikir yang baik,
sebab sikap ini senantiasa menggerakkan si pemikir untuk mencari,mengusut,
meningkatkan mutu berpikir dan penalarannya. Menggerakkan si pemikir untuk
senantiasa mewaspadai ruh–ruh yang akan menyelewengkannya dari yang benar. Misalnya
menyederhanakan kenyataan, menyempitkan cakrawala/perspektif, berpikir
terkotak-kotak, memutlakkan titik berdiri atau suatu profil dan sebagainya.
b.
Ketahuilah dengan
sadar apa yang sedang anda kerjakan
Kegiatan yang sedang dikerjakan adalah kegiatan
berpikir. Seluruh aktivitas intelek kita adalah suatu usaha terus menerus
mengerjakan kebenaran yang diselingi dengan diperolehnya pengetahuan tentang
kebenaran tetapi bersifat parsial.
c.
Ketahuilah dengan
sadar apa yang sedang anda katakan
Pikiran diungkapkan ke dalam kata-kata.kecermatan
pikiran terungkap ke dalam kecermatan kata-kata,karenanya kecermatan ungkapan
pikiran ke dalam kata merupakan sesuatu yang tidak boleh ditawar lagi.
d.
Buatlah distingsi
(pembeda) dan pembagian(klasifikasi) yang semestinya Jika ada dua hal yang
tidak memiliki bentuk yang sama , hal itu jelas berbeda .tetapi banyak kejadian
di mana dua hal atau lebih mempunyai bentuk sama,namun tidak identik. Di sinilah
perlunya membuat distingsi, suatu perbedaan.
e.
Cintailah definisi
yang tepat
Penggunaan bahasa sebagai ungkapan sesuatu kemungkinan
tidak ditangkap sebagaimana yang di ungkapkan atau yang dimaksud. Karenanya
jangan segan membuat definisi. Definisi harus diburu hingga tertangkap. Definisi
adalah pembatasan yakni membuat jelas batas-batas sesuatu.
f.
Ketahuilah dengan
sadar mengapa anda menyimpulkan begini atau begitu Ketahuilah mengapa anda
berkata begini atau begitu. Anda harus bisa dan biasa melihat asumsi–asumsi. implikasi-implikasi,
dan konsekuensi-konsekuensi dari suatu penuturan pernyataan atau kesimpulan
yang dibuat.
g.
Hindarilah
kesalahan kesalahan dengan segala usaha dan tenaga,serta sangguplah mengenali
jenis, macam dan nama kesalahan, demikian juga mengenali sebab-sebab kesalahan
pemikiran (penalaran).
3.1.3 Fungsi dan Peran Logika.
Fungsi
logika adalah : [1] membedakan ilmu yang satu dari yang lain apabila objeknya
sama, dan [2] menjadi dasar ilmu pada umumnya dan falsafah pada khususnya.[12] Sedangkan peranan logika
adalah sebagai berikut:
a. Logika menyatakan, menjelaskan, dan mempergunakan
prinsip-prinsip abstrak yang dapat dipergunakan dalam semua lapangan ilmu
pengetahuan.
b. Pelajaran logika menambah daya pikir abstrak dan
ddengan demikian melatih dan mengembangkan daya pemikiran dan menimbulkan
disiplin intelektual.
c.
Logika mencegah kita tersesat oleh segala sesuatu yang
kita peroleh berdasarkan otoriti.
3.2 Bahasa
Bahasa
memegang peranan penting dan suatu hal yang lazim dalam hidup dan kehidupan
manusia. Kelaziman tersebut membuat manusia jarang memperhatikan bahasa dan
menganggapnya sebagai suatu hal yang biasa, seperti bernafas dan berjalan.
Menurut Ernest Cassirer, sebagaimana yang dikutip oleh Jujun, bahwa keunikan
manusia bukanlah terletak pada kemampuan berpikir melainkan terletak pada
kemampuan berbahasa (Jujun S. Suriasumantri, 1995:171).
Berpikir
sebagai proses berkerjanya akal dalam menelaah sesuatu merupakan ciri hakiki
manusia. Dan hasil kerjanya dinyatakan dalam bentuk bahasa. Bahasa memegang
peranan penting dan suatu hal yang lazim dalam kehidupan manusia. Bahasa adalah
suatu simbol-simbol bunyi yang arbitrer yang dipergunakan oleh suatu kelompok
sosial sebagai alat berkomunikasi (Bloch dan trager dalam Bakhtiar 2004:176). Hal
senada disampaikan oleh Joseph Broam bahwa bahasa adalah sistem yang
berstruktur dari simbol-simbol bunyi arbitrer yang dipergunakan oleh para
anggota suatu kelompok sosial sebagai alat bergaul satu sama lain. Sedangkan
menurut (John W. Santrock; 2008:68) bahasa adalah bentuk komunikasi, entah itu
lisan, tertulis atau tanda, yang didasarkan pada sistem simbol. Bahasa juga
merupakan pernyataan pikiran atau perasaan sebagai alat komunikasi manusia.
Maka bahasa adalah suatu alat komunikasi yang berupa simbol-simbol yang
digunakan oleh manusia untuk berpikir atau melakukan penalaran induktif dan
deduktif dalam kegiatan ilmiah.
Sementara itu Jujun Suparjan
Suriasumantri menyebut bahasa sebagai serangkaian bunyi dan lambang yang
membentuk makna.[13]
Lebih lengkapnya, bahasa adalah “a systematic means of communicating ideas
of feeling by the use of conventionalized signs, sounds, gestures, or marks
having understood meanings”.[14] Dalam KBBI,
diterakan bahwa bahasa ialah “sistem lambang bunyi yang arbitrer yang
dipergunakan oleh para anggota suatu masyarakat untuk bekerja sama,
berinteraksi, dan mengidentifikasikan diri”.[15] Definisi-definisi bahasa
tersebut menekankan bunyi, lambang, sistematika, komunikasi, dan alat.
Alhasil, bahasa memiliki
tujuh ciri sebagai berikut:[16]
1. Sistematis,
yang berarti bahasa mempunyai pola atau aturan.
2. Arbitrer
(manasuka). Artinya, kata sebagai simbol berhubungan secara tidak logis dengan
apa yang disimbolkannya.
3. Ucapan/vokal.
Bahasa berupa bunyi.
4. Bahasa
itu simbol. Kata sebagai simbol mengacu pada objeknya.
5. Bahasa,
selain mengacu pada suatu objek, juga mengacu pada dirinya sendiri. Artinya,
bahasa dapat dipakai untuk menganalisis bahasa itu sendiri.
6. Manusiawi,
yakni bahasa hanya dimiliki oleh manusia.
7. Bahasa
itu komunikatif. Fungsi terpenting dari bahasa adalah menjadi alat komunikasi
dan interaksi.
Bahasa
sebagai alat komunikasi verbal yang digunakan dalam proses berpikir ilmiah maka
bahasa harus bisa mengkomunikasikan atau menyampaikan jalan pikiran kepada
orang lain. Baik pemikiran yang berlandasan induktif maupun deduktif. Dengan
kata lain kegiatan berpikir ilmiah sangat erat kaitannya dengan bahasa.
Para
ahli filsafat bahasa dan psikolinguistik melihat fungsi bahasa sebagai sarana
untuk menyampaikan pikiran, perasaan, dan emosi. Sedangkan aliran
sisiolinguistik berpendapat bahwa fungsi bahasa adalah sarana untuk perubahan
masyarakat. Walaupun terdapat perbedaan tetapi pendapat ini saling melengkapi
satu sama lainnya. Secara umum dapat dinyatakan bahwa fungsi bahasa adalah:
1. Koordinator
kegiatan-kegiatan dalam masyarakat
2. Penetapan
pemikiran dan pengungkapan
3. Penyampaian
pikiran dan perasaan
4. Penyenangan
jiwa
5. Pengurangan keguncangan
jiwa (Fathi Ali Yunus dalam Bakhtiar, 2010:180).
Sementara Kneller[17] mengemukakan 3 fungsi
bahasa yaitu:
1. Simbolik
2. Emotif
3. Afektif (George
F. Kneller dalam Jujun S. Suriasumantri, 1995:175).
Fungsi
simbolik dari bahasa menonjol dalam komunikasi ilmiah sedangkan fungsi emotif
menonjol dalam komunikasi estetik. Komunikasi dengan mempergunakan bahasa akan
mengandung unsur simbolik dan emotif. Artinya, kalau kita berbicara maka pada
hakikatnya informasi yang kita sampaikan mengandung unsur-unsur emotif,
demikian juga kalau kita menyampaikan perasaan maka ekspresi itu mengandung
unsur-unsur informatif. Kadang-kadang dapat dipisahkan dengan jelas seperti “musik
dapat dianggap sebagai bentuk bahasa, di mana emosi terbebas dari informasi,
sedangkan buku telepon memberikan kita informasi sama sekali tanpa emosi“.
Dalam komunikasi ilmiah proses komunikasi itu harus terbebas dari unsur emotif,
agar pesan itu reproduktif, artinya identik dengan pesan yang dikirimkan (Jujun
S. Suriasumantri, 1990:175).
Menurut
Halliday sebagaimana yang dikutip oleh Thaimah bahwa fungsi bahasa adalah
sebagai berikut:
1. Fungsi Instrumental: penggunaan bahasa untuk
mencapai suatu hal yang bersifat materi seperti makan, minum, dan sebagainya
2. Fungsi Regulatoris: penggunaan bahasa untuk
memerintah dan perbaikan tingkah laku
3. Fungsi Interaksional: penggunaan bahasa untuk
saling mencurahkan perasaan pemikiran antara seseorang dan orang lain
4. Fungsi Personal: seseorang menggunakan bahasa
untuk mencurahkan perasaan dan pikiran
5. Fungsi Heuristik: penggunaan bahasa untuk
mengungkap tabir fenomena dan keinginan untuk mempelajarinya
6. Fungsi Imajinatif: penggunaan bahasa untuk
mengungkapkan imajinasi seseorang dan gambaran-gambaran tentang discovery
seseorang dan tidak sesuai dengan realita (dunia nyata)
7. Fungsi Representasional: penggunaan bahasa
untuk menggambarkan pemikiran dan wawasan serta menyampaikannya pada orang
(Rushdi Ahmad Thaimah dalam Bakhtiar, 2010:181).
Untuk
menelaah bahasa ilmiah perlu dijelaskan tentang penggolongan bahasa. Ada dua
pengolongan bahasa yang umumnya dibedakan yaitu:
1. Bahasa alamiah yaitu bahasa sehari-hari yang digunakan
untuk menyatakan sesuatu, yang tumbuh atas pengaruh alam sekelilingnya.
Bahasa alamiah dibedakan
menjadi dua bagian yaitu;
a. Bahasa Isyarat, bahasa ini
dapat berlaku umum dan dapat berlaku khusus.
b. Bahasa Biasa, bahasa yang
digunakan dalam pergaulan sehari-hari
2. Kedua bahasa buatan adalah bahasa yang disusun
sedemikian rupa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan akal pikiran untuk maksud
tertentu. Bahasa buatan dibedakan menjadi 2 bagian yaitu;
a.
Bahasa istilah,
bahasa ini rumusannya diambil dari bahasa biasa yang diberi arti tertentu,
misal demokrasi (demos dan kratien)
b.
Bahasa artifisial,
murni bahasa buatan, atau sering juga disebut dengan bahasa simbolik, bahasa
berupa simbol-simbol sebagaimana yang digunakan dalam logika dan matematika.
Dalam bahasa ini tidak ada bentuk kiasan yang mengaburkan. Misalnya (a =b) ^ (b
=d) (a=c). Bahasa artifisial mempunyai dua
macam ciri-ciri yaitu pertama tidak berfungsi sendiri, kosong dari arti, oleh
karena itu dapat dimasuki arti apapun juga. Kedua arti yang dimaksudkan dalam
bahasa artifisial ditentukan oleh penghubung. (tim dosen Filsafat Ilmu UGM:
1996:100)
Perbedaan
bahasa alamiah dan bahasa buatan adalah sebagai berikut: Bahasa alamiah, antara
kata dan makna merupakan satu kesatuan utuh, atas dasar kebiasaan sehari-hari,
karena bahasanya secara spontan, bersifat kebiasaan, intuitif (bisikan hati)
dan pernyataan langsung. Sedangkan bahasa buatan, antara istilah dan konsep
merupakan satu kesatuan bersifat relatif, atas dasar pemikiran akal karena
bahasanya berdasarkan pemikiran, sekehendak hati, diskursif (logika, luas arti)
dan pernyataan tidak langsung.
Dari
uraian di atas tentang bahasa, bahasa buatan inilah yang dimaksudkan bahasa
ilmiah, dengan demikian bahasa ilmiah dapat dirumuskan; bahasa buatan yang
diciptakan para ahli dalam bidangnya dengan menggunakan istilah-istilah atau
lambang-lambang untuk mewakili pengertian-pengertian tertentu. Dan bahasa
ilmiah inilah pada dasarnya merupakan kalimat-kalimat deklaratif atau suatu
pernyataan yang dapat dinilai benar atau salah, baik menggunakan bahasa biasa
sebagai bahasa pengantar untuk mengkomunikasikan karya ilmiah.
3.2.1
Struktur Bahasa dan Kosakata
Saking pentingnya
struktur atau tata bahasa bagi kegiatan ilmiah, Suriasumantri mengajukan
pertanyaan retoris: bagaimana mungkin seseorang bisa melakukan penalaran yang
cermat tanpa menguasai struktur bahasa yang tepat?[18] Penguasaan tata bahasa
secara pasif dan aktif memungkinkannya menyusun pernyataan-pernyataan atau
premis-premis dengan baik dan juga menarik kesimpulan dengan betul.
Tata bahasa ialah
kumpulan kaidah tentang struktur gramatikal bahasa.[19] Lebih lanjut, Charlton
Laird memerikan tata bahasa sebagai alat dalam mempergunakan aspek logis dan
kreatif dari pikiran untuk mengungkapkan makna dan emosi dengan memakai
aturan-aturan tertentu.[20]
Selain struktur atau tata
bahasa, yang penting pula dikuasai oleh ilmuwan adalah kosakata dan maknanya.
Sebab, yang disampaikan oleh pembicara atau penulis kepada lawan bicaranya atau
pembacanya sejatinya ialah makna (informasi, pengetahuan). Dan, makna ini
diwadahi di dalam kosakata, yang dalam khazanah ilmiah dinamakan dengan istilah
atau terminologi.
Tata bahasa, kosakata dan
makna inilah yang kerap menimbulkan persoalan dalam kegiatan ilmiah lantaran
kelemahan inheren bahasa. Maka, sekali lagi, andaikata para ilmuwan tidak cukup
menguasai tata bahasa, kosakata dan makna, persoalan-persoalan dalam kegiatan
ilmiah bakal kian ruwet.
3.2.2
Ciri-ciri Bahasa Ilmiah
Dalam komunikasi ilmiah,
tentu yang dipakai adalah bahasa ilmiah, lisan maupun tulisan. Bahasa ilmiah
berbeda dengan bahasa sastra, bahasa agama, bahasa percakapan sehari-hari, dan
ragam bahasa lainnya. Bahasa sastra sarat dengan keindahan atau estetika.[21] Sementara itu, bahasa
agama, dari perspektif theo-oriented, merupakan bahasa kitab suci yang
preskriptif dan deskriptif, sedangkan dari perspektif anthropo-oriented,
bisa mengarah pada narasi filsafat atau ilmiah.[22]
Bahasa ilmiah memiliki
ciri-ciri tersendiri, yaitu informatif, reproduktif atau intersubjektif,
dan antiseptik. Informatif berarti bahwa
bahasa ilmiah mengungkapan informasi atau pengetahuan. Informasi atau pengetahuan
ini dinyatakan secara eksplisit dan jelas untuk menghindari kesalahpahaman.
Maksud ciri reproduktif adalah bahwa pembicara atau penulis menyampaikan
informasi yang sama dengan informasi yang diterima oleh pendengar atau
pembacanya. Menurut Kemeny, antiseptik berarti bahwa bahasa ilmiah itu objektif
dan tidak memuat unsur emotif, kendatipun pada kenyataannya unsur emotif ini
sulit dilepaskan dari unsur informatif.[23]
Slamet Iman Santoso
mengimbuhkan bahwa bahasa ilmiah itu bersifat deskriptif (descriptive
language). Artinya, bahasa ilmiah menjelaskan fakta dan pemikiran; dan
pernyataan-pernyataan dalam bahasa ilmiah bisa diuji benar-salahnya.[24] Beerling, Kwee, Mooij, Van Peursen menambahkan ciri intersubjektif,
yaitu ungkapan-ungkapan yang dipakai mengandung makna-makna yang sama bagi para
pemakainya.[25]
3.2.3
Kelemahan Bahasa
Sampai di sini, kiranya
sudah dimaklumi bahwa bahasa sangat vital bagi manusia dalam aktivitas ilmiah
(maupun aktivitas non-ilmiah). Pun, bahasa memperjelas cara berpikir manusia, maka
orang yang terbiasa menulis dengan bahasa yang baik akan mempunyai cara
berpikir yang lebih sistematis.[26] Lebih jauh, sesungguhnya
bahasa menstrukturkan pengalaman manusia dan, begitu pula sebaliknya,
pengalaman manusia ini membentuk bahasa.[27]
Namun, bahasa pun tak
luput dari sejumlah kelemahan inheren yang menghambat komunikasi ilmiah.[28] Pertama, bahasa
mempunyai multifungsi (ekspresif, konatif, representasional, informatif,
deskriptif, simbolik, emotif, afektif) yang dalam praktiknya sukar untuk
dipisah-pisahkan. Akibatnya, ilmuwan sukar untuk membuang faktor emotif dan
afektifnya ketika mengomunikasikan pengetahuan informatifnya. Syahdan,
pengetahuan yang diutarakannya tak sepenuhnya kalis dari emosi dan afeksi dan,
karenanya, tak seutuhnya objektif; konotasinya bersifat emosional.
Kedua,
kata-kata mengandung makna atau arti yang tidak seluruhnya jelas dan eksak.
Misalnya, kata “cinta” dipakai dalam lingkup yang luas dalam hubungan antara
ibu-anak, ayah-anak, suami-istri, kakek-nenek, sepasang kekasih, sesama
manusia, masyarakat-negara. Banyaknya makna yang termuat dalam kata “cinta”
menyulitkan kita untuk membuat bahasa yang tepat dan menyeluruh. Sebaliknya,
beberapa kata yang merujuk pada sebuah makna—bahasa bersifat majemuk atau
plural—kerap kali memantik apa yang diistilahkan sebagai kekacauan semantik,
yakni dua orang yang berkomunikasi menggunakan sebuah kata dengan makna-makna
yang berlainan, atau mereka menggunakan dua kata yang berbeda untuk sebuah
makna yang sama.
Ketiga, bahasa acap kali
bersifat sirkular (berputar-putar). Jujun mencontohkan kata “pengelolaan” yang
didefinisikan sebagai “kegiatan yang dilakukan dalam sebuah organisasi”,
sedangkan kata “organisasi” didefinisikan sebagai “suatu bentuk kerja sama yang
merupakan wadah dari kegiatan pengelolaan”.
Kelemahan-kelemahan
bahasa tersebut sebenarnya telah menjadi kajian keilmuan tersendiri dalam,
misalnya, filsafat analitik,[29] linguistik,
psikolinguistik, sosiolinguistik.
Oleh karena itu, jelaslah
bagi kita bahwa bahasa menjadikan manusia sebagai makhluk yang lebih maju
ketimbang makhluk-makhluk lainnya. Jelaslah pula bahwa, di satu sisi, bahasa
sebagai sarana berpikir ilmiah mempunyai fungsi-fungsi yang sangat bermanfaat
bagi aktivitas-aktivitas ilmiah. Di sisi lain, bahasa tidak alpa dari
kelemahan-kelemahannya yang merintangi pencapaian tujuan dari
aktivitas-aktivitas ilmiah. Kelemahan-kelemahan bahasa ini barangkali akan
ditutupi oleh kelebihan-kelebihan dari dua sarana berpikir ilmiah lainnya,
yaitu matematika dan statistika.
3.3 Matematika
3.3.1 Pengertian Matematika
Matematika dibandingkan dengan disiplin-disiplin ilmu
yang lain mempunyai karakteristik tersendiri. Banyak para ahli menyebutkan
bahwa matematika itu berhubungan dengan ide-ide atau konsep-konsep yang abstrak
yang penalarannya bersifat deduktif, namun orang-orang sering menyebut
matematika itu ilmu hitung.
Matematika berasal dari bahasa latin manthanein atau mathema yang berarti ‘belajar atau hal yang dipelajari’, sedang
dalam bahasa Belanda disebut wiskunde
atau ilmu pasti, yang kesemuanya berkaitan dengan penalaran. Matematika
memiliki bahasa dan aturan yang terdefinisi dengan baik, penalaran yang jelas
dan sistematis, dan struktur atau keterkaitan antar konsep yang kuat. Unsur
utama pekerjaan matematika adalah penalaran deduktif yang bekerja atas dasar
asumsi (kebenaran konsistensi).
Dari segi pengetahuan, arti matematika sangat luas dan
dapat dikelompokkan dalam subsistem sesuai dengan semesta pembicaraannya. Dalam
setiap subsistem itu ada objek pembicaraan, ada metode pembahasan dan selalu
dipenuhi konsistensi pembahasan. Menurut Karso (1994:16)[30]
matematika adalah ilmu deduktif tentang struktur yang terorganisir, sebab
berkembang dari unsur yang tidak didefinisikan ke unsur yang didefinisikan ke
aksioma dan ke teori.
Anton Moeliono dalam Amin Suyitno (1997:1) berpendapat
bahwa matematika sebagai ilmu tentang bilangan-bilangan, hubungan antara
bilangan, dan prosedur operasional yang digunakan dalam menyelesaikan masalah
mengenai bilangan. Sedangkan menurut Mohammad Soleh (1998: 12) pada dasarnya
objek pembicaraan matematika adalah objek abstrak, metodologinya adalah
deduktif, yaitu berawal dari pengertian dan pernyataan lalu diturunkan dari
pengertian dan pernyataan pangkal sebelumnya yang telah dijelaskan atau
dibuktikan kebenarannya.
Berdasarkan penjelasan di atas ditarik suatu
kesimpulan bahwa matematika sebagai ilmu deduktif berkaitan struktur yang
terorganisir, berkembang dari unsur yang tidak didefinisikan ke unsur yang
didefinisikan ke aksioma dan ke teori, di mana objek pembicaraannya abstrak,
serta selalu dipenuhi keajegan (konsistensi) pada pembahasannya. Dalam
pembelajaranya, matematika biasanya terdiri bilangan-bilangan, hubungan antara
bilangan, dan prosedur operasional yang digunakan dalam menyelesaikan masalah
mengenai bilangan.
3.3.1 Matematika sebagai bahasa
Matematika
adalah bahasa yang melambangkan serangkaian makna dari pernyataan yang ingin
kita sampaikan. Lambang-lambang matematika bersifat “artifisial” yang baru
mempunyai arti setelah sebuah makna diberikan kepadanya. Tanpa itu maka
matematika hanya merupakan kumpulan rumus-rumus yang mati.
Bahasa
verbal mempunyai beberapa kekurangan yang sangat mengganggu. Untuk mengatasi
kekurangan kita berpaling kepada matematika. Matematika adalah bahasa yang
berusaha menghilangkan sifat kabur, majemuk dan emosional dari bahasa verbal.
Umpamanya kita sedang mempelajari kecepatan jalan kaki seorang anak maka objek
“kecepatan jalan kaki seorang anak” dilambangkan x, dalam hal ini maka x hanya
mempunyai arti yang jelas yakni “kecepatan jalan kaki seorang anak”. Demikian
juga bila kita hubungkan “kecepatan jalan kaki seorang anak” dengan obyek lain
misalnya “jarak yang ditempuh seorang anak” yang kita lambangkan dengan y, maka
kita lambangkan hubungan tersebut dengan z = y / x di mana z melambangkan
“waktu berjalan kaki seorang anak”. Pernyataan z = y / x tidak mempunyai
konotasi emosional dan hanya mengemukakan informasi mengenai hubungan antara x,
y, dan z. Oleh karena itu, pernyataan matematika mempunyai sifat yang jelas, spesifik,
dan informatif dengan tidak menimbulkan konotasi yang bersifat emosional (Jujun
S. Suriasumantri, 1990, 191).
Matematika
merupakan salah satu puncak kegemilangan intelektual. Di samping pengetahuan
mengenai matematika itu sendiri, matematika juga memberikan bahasa, proses dan
teori yang memberikan ilmu suatu bentuk kekuasaan. Fungsi matematika menjadi
sangat penting dalam perkembangan macam-macam ilmu pengetahuan. Penghitungan
matematis misalnya menjadi dasar desain ilmu teknik, metode matematis yang
dapat memberikan inspirasi kepada pemikiran di bidang sosial dan ekonomi bahkan
pemikiran matematis dapat memberikan warna kepada arsitektur dan seni lukis.
Matematika
dalam perkembangannya memberikan masukan-masukan pada bidang-bidang keilmuan
yang lainnya. Kontribusi matematika dalam perkembangan ilmu alam, lebih
ditandai dengan penggunaan lambang-lambang bilangan untuk menghitung dan
mengukur, objek ilmu alam misal gejala-gejala alam yang dapat diamati dan
dilakukan penelaahan secara berulang-ulang. Berbeda dengan ilmu sosial yang
memiliki objek penelaahan yang kompleks dan sulit melakukan pengamatan. Di samping
objeknya yang tak terulang maka kontribusi matematika tidak mengutamakan pada
lambang-lambang bilangan.
3.3.2 Sifat
Kuantitatif Matematika
Matematika
mempunyai kelebihan lain dibandingkan dengan bahasa verbal. Matematika
mengembangkan bahasa-bahasa numerik yang memungkinkan kita untuk melakukan
pengukuran secara kuantitatif. Dengan bahasa verbal bila kita membandingkan dua
objek yang berlainan umpamanya gajah dan semut, maka kita hanya bisa mengatakan
gajah lebih besar dibandingkan dengan semut maka kita mengalami kesukaran dalam
mengemukakan hubungan itu. Kemudian jika sekiranya kita ingin mengetahui secara
eksak berapa besar gajah bila dibandingkan dengan semut maka dengan bahasa
verbal kita tidak dapat mengatakan apa-apa.
Untuk
mengatasi masalah ini matematika mengembangkan konsep pengukuran. Lewat
pengukuran, maka kita dapat mengetahui dengan tepat berapa besar gajah dan
sebaliknya dengan semut. Dengan mengetahui hal ini maka pernyataan ilmiah yang
berupa pernyataan kualitatif seperti gajah lebih besar dari semut dapat diganti
dengan pernyataan matematika yang lebih eksak umpamanya
V
= P
x L x T
V
= volume
P
= panjang
gajah.
L = Lebar
gajah.
T = Tinggi
gajah
Jika Panjang gajah
= 3 m
Lebar gajah = 1 m
Tinggi gajah = 2 m
Berapa besar
gajah?
Jawabnya 3 x 1 x 2
= 6 m
3.3.3 Matematika:
Sarana berpikir deduktif
Nama
ilmu deduktif diperoleh karena penyelesaian masalah-masalah yang dihadapi tidak
didasari atas pengalaman seperti halnya yang terdapat di dalam ilmu-ilmu empirik,
melainkan didasarkan atas deduksi (penjabaran).
Umpamanya
dia mempunyai fakta bahwa x – 3 = 7 dan bermaksud untuk mencari nilai x
tersebut. Dia melihat bahwa jika angka 3 ditambahkan kepada kedua ruas
persamaan tersebut maka dia akan memperoleh bahwa x = 10. Pertanyaannya adalah
bolehkah dia melakukan langkah ini? untuk menjawab hal tersebut maka
pertama-tama dia harus mengetahui bahwa sebuah persamaan tidak berubah jika
kepada kedua ruas persamaan tersebut ditambahkan nilai yang sama. Hal ini
berarti bahwa dengan menambahkan angka 3 kepada kedua belah persamaan tersebut,
dia takkan mengubah harga persamaan tadi. Berdasarkan hal ini maka dia
berkesimpulan bahwa langkah yang dilakukannya ternyata dapat
dipertanggungjawabkan. Cara berpikir yang dilakukan di sini adalah deduksi.
Seperti pada contoh di atas, dalam semua pemikiran deduktif, maka kesimpulan
yang ditarik merupakan konsekuensi logis dari fakta-fakta yang sebelumnya telah
diketahui. Di sini, seperti juga pada fakta-fakta yang mendasarinya, maka kesimpulan
yang ditarik tak usah diragukan lagi.
Secara
deduktif, matematika menemukan pengetahuan yang baru berdasarkan premis-premis
tertentu, walaupun pengetahuan yang ditemukan ini sebenarnya bukanlah
konsekuensi dari pernyataan-pernyataan ilmiah yang kita telah temukan
sebelumnya. Meskipun “tak pernah ada kejutan dalam logika” (Ludwig
Wittgenstein), namun pengetahuan yang didapatkan secara deduktif sangat berguna
dan memberikan kejutan yang sangat menyenangkan. Dari beberapa premis yang kita
telah ketahui, kebenarannya dapat diketemukan pengetahuan-pengetahuan lainnya
yang memperkaya perbendaharaan ilmiah kita.
.3.4 Peranan Matematika Sebagai Sarana Berpikir Ilmiah
Matematika
merupakan alat yang dapat memperjelas dan menyederhanakan suatu keadaan atau situasi
melalui abstraksi, idealisasi, atau generalisasi untuk suatu studi ataupun
pemecahan masalah. Pentingnya matematika tidak lepas dari perannya dalam segala
jenis dimensi kehidupan. Misalnya banyak persoalan kehidupan yang memerlukan
kemampuan menghitung dan mengukur. Menghitung mengarah pada aritmetika (studi
tentang bilangan) dan mengukur mengarah pada geometri (studi tentang bangun,
ukuran dan posisi benda). Aritmetika dan geometri merupakan fondasi atau dasar
dari matematika.
Untuk
mengembangkan kemampuan berkomunikasi, orang dapat menyampaikan informasi
dengan bahasa matematika, misalnya menyajikan persoalan atau masalah ke dalam
model matematika yang dapat berupa diagram, persamaan matematika, grafik,
ataupun tabel. Mengomunikasikan gagasan dengan bahasa matematika justru lebih
praktis, sistematis, dan efisien. Begitu pentingnya matematika sehingga bahasa
matematika merupakan bagian dari bahasa yang digunakan dalam masyarakat. Hal
tersebut menunjukkan pentingnya peran dan fungsi matematika, terutama sebagai
sarana untuk memecahkan masalah baik pada matematika maupun dalam bidang
lainnya. Peranan matematika tersebut, terutama sebagai sarana berpikir ilmiah
oleh Erman Suherman disebutkan dapat diperolehnya kemampuan-kemampuan sebagai
berikut:[31]
a.
Menggunakan
algoritma: yang termasuk ke dalam kemampuan ini antara lain adalah melakukan
operasi hitung, operasi himpunan, dan operasi lainya. Juga menghitung ukuran
tendensi sentral dari data yang banyak dengan cara manual.
b.
Melakukan
manipulasi secara matematika: yang termasuk ke dalam kemampuan ini antara lain
adalah menggunakan sifat-sifat atau rumus-rumus atau prinsip-prinsip atau
teorema-teorema ke dalam pernyataan matematika .
c.
Mengorganisasikan
data: kemampuan ini antara lain meliputi: mengorganisasikan data atau
informasi, misalnya membedakan atau menyebutkan apa yang diketahui dari suatu
soal atau masalah dari apa yang ditanyakan.
d.
Memanfaatkan
simbol, tabel, grafik, dan membuatnya; kemampuan ini antara lain meliputi:
menggunakan simbol, tabel, grafik untuk menunjukkan suatu perubahan atau
kecenderungan dan membuatnya.
e.
Mengenal dan
menemukan pola: kemampuan ini antara lain meliputi: mengenal pola susunan
bilangan dan pola bangun geometri.
f.
Menarik
kesimpulan; kemampuan ini antara lain meliputi: kemampuan menarik kesimpulan
dari suatu hasil hitungan atau pembuktian suatu rumus.
g.
Membuat kalimat
atau model matematika; kemampuan ini antara lain meliputi: kemampuan secara
sederhana dari fenomena dalam kehidupan sehari-hari ke dalam model matematika
atau sebaliknya dengan model ini diharapkan akan mempermudah penyelesaiannya.
h.
Membuat
interpretasi bangun geometri ; kemampuan ini antara lain meliputi: kemampuan
menyatakan bagian-bagian dari bangun geometri dasar maupun ruang dan memahami
posisi dari bagian-bagian itu.
i.
Memahami
pengukuran dan satuannya; kemampuan ini antara lain meliputi ; kemampuan
memilih satuan ukuran yang tepat, melakukan estimasi, mengubah satuan ukuran ke
satuan lainnya.
j.
Menggunakan alat
hitung dan alat bantu lainnya dalam matematika, seperti tabel matematika,
kalkulator, dan komputer.
Sementara
itu dalam tujuan umum pendidikan matematika (Depdiknas, 2002:3) menyebutkan
berbagai peranan matematika sebagai sarana berpikir ilmiah ditekankan pada
kemampuan untuk memiliki:
a.
Kemampuan yang
berkaitan dengan matematika yang dapat digunakan dalam memecahkan masalah
matematika, pelajaran lain, ataupun masalah yang berkaitan dengan kehidupan
nyata.
b.
Kemampuan
menggunakan matematika sebagai alat komunikasi
c.
Kemampuan
menggunakan matematika sebagai cara bernalar yang dapat dialih gunakan pada
setiap keadaan, seperti berpikir kritis, berpikir logis, berpikir sistematis,
bersifat objektif, bersifat jujur, bersifat disiplin dalam memandang dan
menyelesaikan suatu masalah.
3.3.5 Perkembangan
Matematika
Griffits
dan Howson (1974)sebagaimana dikutip oleh Jujun S. Suriasumantri, membagi
sejarah perkembangan matematika menjadi empat tahap. Tahap yang pertama dimulai dengan matematika yang
berkembang pada peradaban Mesir Kuno dan daerah sekitarnya seperti Babylonia
dan Mesopotamia. Waktu itu matematika telah dipergunakan dalam perdagangan,
pertanian, bangunan dan usaha mengontrol alam seperti banjir. Tahap yang kedua, matematika mendapatkan momentum
baru dalam peradaban Yunani yang sangat memperhatikan aspek estetik dari
matematika. Dapat dikatakan bahwa peradaban Yunani inilah yang meletakkan dasar
matematika sebagai cara berpikir rasional dengan menetapkan berbagai langkah
dan definisi tertentu. Kaum cendekiawan Yunani, terutama mereka
yang kaya, mempunyai budak belian yang mengerjakan pekerjaan kasar termasuk
hal-hal yang praktis seperti melakukan pengukuran. Dengan demikian maka kaum
cendekiawan ini dapat memusatkan perhatiannya kepada aspek estetik dari
matematika yang merupakan simbol status dari golongan atas waktu itu.
Perkembangan selanjutnya matematika berkembang di timur sekitar tahun 1000 M.
Di mana bangsa Arab, India, dan Cina mengembangkan ilmu hitung dan aljabar.
Tahap ketiga gagasan-gagasan orang Yunani dan penemuan ilmu hitung dan
Al-Jabar itu dikaji kembali dalam zaman Renaissance yang meletakkan dasar bagi
kemajuan matematika modern selanjutnya. Dan tahap keempat matematika
berkembang dengan pesat di ujung abad 17 dan masa revolusi industri di abad ke
-18.
3.3.4 Aliran-aliran
dalam Matematika
Filsafat Logistik, yang
menyatakan bahwa eksistensi Matematika merupakan cara berpikir logis yang salah
atau benarnya dapat ditentukan tanpa mempelajari dunia empiris.
Filsafat Intusionis, yaitu
kebenarannya diambil secara intuisi (perasaan secara tiba-tiba)
Filsafat formalis, berdasarkan lambang-lambang.
3.4 Statistika
Secara
etimologi, kata statistik berasal dari kata status
(bahasa Latin) yang mempunyai persamaan arti dengan state (bahasa Inggris) yang dalam bahasa Indonesia diterjemahkan
dengan negara. Pada mulanya kata statistik diartikan sebagai “kumpulan bahan
keterangan (data), baik yang berwujud angka (data kuantitatif) maupun yang
tidak berwujud angka (data kualitatif), yang mempunyai arti penting dan
kegunaan bagi suatu negara”. Namun pada perkembangan selanjutnya, arti kata
statistik hanya dibatasi dengan kumpulan bahan keterangan yang berwujud angka
(data kuantitatif saja) (Anas Sudiono dalam Bakhtiar, 2010:198).
Sedangkan
menurut (Sudjana 1996:3) Statistika adalah pengetahuan yang berhubungan dengan
cara-cara pengumpulan data, pengelolaan atau penganalisisannya dan penarikan simpulan
berdasarkan kumpulan data dan penganalisisan yang dilakukan.
Jadi statistika
merupakan sekumpulan metode dalam memperoleh pengetahuan untuk mengelola dan
menganalisis data dalam mengambil suatu simpulan kegiatan ilmiah. Untuk dapat
mengambil suatu keputusan dalam kegiatan ilmiah diperlukan data-data, metode
penelitian serta penganalisisan harus akurat.
Pemerintah
telah lama mengumpulkan dan menafsirkan data yang berhubungan dengan
kepentingan bernegara, umpamanya data mengenai penduduk, pajak, kekayaan, dan
perdagangan luar negeri.
3.4.1 Statistik
dan Cara berpikir Induktif
Penalaran
induktif dimulai dengan mengemukakan pernyataan-pernyataan yang mempunyai ruang
lingkup yang khas dan terbatas untuk menyusun argumentasi yang diakhiri
pernyataan yang bersifat umum, umpamanya kita mempunyai fakta bahwa kerbau
mempunyai mata, lembu mempunyai mata, harimau mempunyai mata, dan gajah
mempunyai mata. Dari pernyataan tersebut dapat ditarik bahwa semua binatang
mempunyai mata. Statistik mempunyai peranan yang penting dalam berpikir
induktif.
Penarikan
simpulan induktif pada hakikatnya berbeda dengan simpulan secara deduktif.
Dalam penalaran deduktif maka simpulan yang ditarik adalah benar sekiranya
premis-premis yang digunakannya adalah benar dan prosedur penarikan simpulannya
adalah sah. Sedangkan dalam penalaran induktif meskipun premis-premisnya adalah
benar dan prosedur penarikan simpulannya adalah sah maka simpulan itu belum
tentu benar. Yang dapat kita katakan bahwa simpulan itu mempunyai peluang untuk
benar. Statistik merupakan pengetahuan yang memungkinkan kita untuk menghitung
tingkat peluang ini dengan eksak.
3.4.2 Karakteristik
Berpikir Induktif
Kegiatan ilmiah memerlukan penelitian untuk
menguji hipotesis yang diajukan. Penelitian pada dasarnya merupakan pengamatan
dalam alam empiris apakah hipotesis tersebut memang didukung oleh fakta-fakta.
Jika umpamanya kita mempunyai hipotesis bahwa orang muda suka musik pop namun
tidak musik keroncong maka kita harus
melakukan pengujian untuk memperlihatkan bahwa hipotesis tersebut benar, dengan
jalan mengumpulkan fakta mengenai kesukaan musik orang-orang muda. Tentu saja kita tidak bias mengadakan wawancara dengan
seluruh orang muda dan untuk itu statistika terapan memberikan jalan bagaimana
memilih sebagian dari orang muda tersebut sebagai contoh yang representif dan
obyektif dari keseluruhan populasi orang muda tersebut. Demikian juga
statistika memberikan jalan bagaimana kita menarik kesimpulan yang bersifat
umum dari contoh tersebut dengan tingkat peluang dan kekeliruannya. Jelaslah
kiranya bahwa tanpa menguasai statistika adalah tak mungkin untuk dapat menarik
simpulan induktif dengan sah.
3.4.3 Peranan Statistika dalam tahap-tahap metode
keilmuan
Dalam
metode keilmuan statistika mempunyai peranan dalam kegiatan keilmuan:
1. Alat untuk menghitung besarnya anggota sampel yang
akan diambil dari populasi.
2. Alat untuk menguji validitas dan reliabilitas
instrumen. Maksudnya sebelum digunakan instrumen sebaiknya diuji validitas dan
reliabilitas terlebih dahulu.
3. Teknik untuk menyajikan data-data, sehingga data lebih
komunikatif.
4. Alat untuk analisis data seperti menguji hipotesis
penelitian yang diajukan. Dalam hal ini statistik digunakan adalah korelasi,
t-tes regresi, dan lain-lain.
Hubungan Antara Sarana Ilmiah Logika, Bahasa,
Matematika dan Statistika
Sebagaimana
yang kita bahas sebelumnya, agar dapat melakukan kegiatan berpikir ilmiah
dengan baik, diperlukan sarana bahasa, matematika dan statistika. Bahasa
merupakan alat komunikasi verbal yang dipakai dalam kegiatan berpikir ilmiah,
di mana bahasa menjadi alat komunikasi untuk menyampaikan jalan pikiran
tersebut kepada orang lain. Dan ditinjau dari pola berpikirnya, maka ilmu
merupakan gabungan antara berpikir deduktif dan berpikir induktif. Matematika
mempunyai peranan yang penting dalam berpikir deduktif, sedangkan statistika
mempunyai peranan penting dalam berpikir induktif.
Penalaran
induktif dimulai dengan mengemukakan pernyataan-pernyataan yang mempunyai ruang
lingkup yang khas dan terbatas untuk menyusun argumentasi yang diakhiri
pernyataan yang bersifat umum, umpamanya kita mempunyai fakta bahwa kerbau
mempunyai mata, lembu mempunyai mata, harimau mempunyai mata, dan gajah
mempunyai mata. Dari pernyataan tersebut dapat ditarik bahwa semua binatang
mempunyai mata. Statistik mempunyai peranan yang penting dalam berpikir induktif.
Sebaliknya
deduktif, cara berpikir di mana dari pernyataan yang bersifat umum ditarik
simpulan yang bersifat khusus, menggunakan pola berpikir yang dinamakan silogismus. Contohnya semua makhluk
mempunyai mata (premis mayor), si Bolan adalah seorang makhluk (premis minor),
jadi si Bolan mempunyai mata (simpulan). Matematika adalah pengetahuan yang
disusun secara deduktif. Matematika juga merupakan bahasa yang melambangkan
serangkaian makna dari pernyataan yang ingin disampaikan.
D. Simpulan
Untuk
melakukan kegiatan ilmiah secara baik diperlukan sarana berpikir. Tersedianya
sarana tersebut memungkinkan dilakukannya penelaahan ilmiah secara teratur dan
cermat. Penggunaan sarana berpikir ilmiah ini merupakan suatu hal yang bersifat
imperatif bagi seorang ilmuwan. Tanpa menguasai hal ini maka kegiatan ilmiah
yang baik tidak dapat dilakukan.
Sarana
ilmiah pada dasarnya merupakan alat yang membantu kegiatan ilmiah dalam
berbagai langkah yang harus ditempuh. Untuk dapat melakukan kegiatan berpikir
ilmiah dengan baik maka diperlukan sarana yang berupa logika, bahasa,
matematika, dan statistika, agar dalam kegiatan ilmiah tersebut dapat berjalan
dengan baik, teratur dan cermat.
Berdasarkan
hal-hal yang telah dibahas di atas, maka kami menyimpulkan bahwa:
1. Logika
Fungsi logika adalah: [1]
membedakan ilmu yang satu dari yang lain apabila objeknya sama, dan [2] menjadi
dasar ilmu pada umumnya dan falsafah pada khususnya.[32] Sedangkan peranan logika
adalah sebagai berikut:
a. Logika menyatakan, menjelaskan, dan mempergunakan
prinsip-prinsip abstrak yang dapat dipergunakan dalam semua lapangan ilmu
pengetahuan.
b. Pelajaran logika menambah daya pikir abstrak dan
ddengan demikian melatih dan mengembangkan daya pemikiran dan menimbulkan
disiplin intelektual.
c.
Logika mencegah kita tersesat oleh segala sesuatu yang
kita peroleh berdasarkan otoriti.
2. Bahasa
Menurut Kneller[33] bahwa bahasa memiliki
tiga fungsi yaitu:
a.
Simbolik
b.
Emotif
c.
Afektif (George F.
Kneller dalam Jujun S. Suriasumantri, 1995:175).
3. Matematika
a. Menggunakan
algoritma: yang termasuk ke dalam kemampuan ini antara lain adalah melakukan
operasi hitung, operasi himpunan, dan operasi lainya. Juga menghitung ukuran
tendensi sentral dari data yang banyak dengan cara manual.
b.
Melakukan
manipulasi secara matematika: yang termasuk ke dalam kemampuan ini antara lain
adalah menggunakan sifat-sifat atau rumus-rumus atau prinsip-prinsip atau
teorema-teorema ke dalam pernyataan matematika .
c. Mengorganisasikan
data: kemampuan ini antara lain meliputi: mengorganisasikan data atau
informasi, misalnya membedakan atau menyebutkan apa yang diketahui dari suatu
soal atau masalah dari apa yang ditanyakan.
d. Memanfaatkan
simbol, tabel, grafik, dan membuatnya; kemampuan ini antara lain meliputi:
menggunakan simbol, tabel, grafik untuk menunjukkan suatu perubahan atau
kecenderungan dan membuatnya.
e.
Mengenal dan
menemukan pola: kemampuan ini antara lain meliputi: mengenal pola susunan
bilangan dan pola bangun geometri.
f. Menarik
kesimpulan; kemampuan ini antara lain meliputi: kemampuan menarik kesimpulan
dari suatu hasil hitungan atau pembuktian suatu rumus.
g. Membuat kalimat
atau model matematika; kemampuan ini antara lain meliputi: kemampuan secara
sederhana dari fenomena dalam kehidupan sehari-hari ke dalam model matematika
atau sebaliknya dengan model ini diharapkan akan mempermudah penyelesaiannya.
h. Membuat
interpretasi bangun geometri; kemampuan ini antara lain meliputi: kemampuan
menyatakan bagian-bagian dari bangun geometri dasar maupun ruang dan memahami
posisi dari bagian-bagian itu.
i. Memahami
pengukuran dan satuannya; kemampuan ini antara lain meliputi ; kemampuan
memilih satuan ukuran yang tepat, melakukan estimasi, mengubah satuan ukuran ke
satuan lainnya.
j. Menggunakan alat
hitung dan alat bantu lainnya dalam matematika, seperti tabel matematika,
kalkulator, dan komputer.
4. Statistika
a. Alat untuk
menghitung besarnya anggota sampel yang akan diambil dari populasi.
b. Alat untuk menguji
validitas dan reliabilitas instrumen. Maksudnya sebelum digunakan instrumen
sebaiknya diuji validitas dan reliabilitas terlebih dahulu.
c. Teknik untuk
menyajikan data-data, sehingga data lebih komunikatif.
d. Alat untuk
analisis data seperti menguji hipotesis penelitian yang diajukan. Dalam hal ini
statistik digunakan adalah korelasi, t-tes regresi, dan lain-lain.
DAFTAR
PUSTAKA
Adnyana,
I Wayan. 2010. Pemikiran Induktif dan
Deduktif dalam Ilmu Matematika. Dalam http://way4n.wordpress.com/2010/05/25/pemikiran-deduktif-dalam-matematika/ diakses 10
Oktober 2012.
Al-Rasyid,
Hamzah Harun. 2012. “Sarana Ilmiah. Logika” dalam http://hamzah-harun.blogspot.com/2012/02/sarana-ilmiah_9724.html diakses 10
Oktober 2012
Alwasilah,
A. Chaedar. 1993. Linguistik: Suatu Pengantar. Bandung: Angkasa
Bagus,
Lorens. 1996. Kamus Filsafat. Jakarta: Gramedia.
Bakhtiar,
Amsal. 2007. Filsafat Ilmu. Jakarta: Rajawali Press
Bakhtiar, Amsal. 2010. Filsafat ilmu. Jakarta:
Raja Grafindo Persada.
Bakry,
Hasbullah. 1981. Sistematika Filsafat.
Jakarta: Wijaya.
Beerling, Kwee dan Mooij Van Peursen. 1990. Pengantar Filsafat
Ilmu. Yogyakarta: Tiara Wacana
Depdikbud.
1991. Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Kedua. Jakarta: Balai Pustaka.
Hartono
Kasmadi, dkk. 1990. Filsafat Ilmu. Semarang:
IKIP Semarang Press,
Hidayat,
Komaruddin. 1996. Memahami Bahasa Agama: Sebuah Kajian Hermeneutik.
Jakarta: Paramadina
Latif, Yudi dan Ibrahim, Idi Subandy (eds). 1996. Bahasa dan
Kekuasaan: Politik Wacana di Panggung Orde Baru. Bandung: Mizan.
Munsyi,
Alif Danya. 2005. Bahasa Menunjukkan Bangsa. Jakarta: Kepustakaan
Populer Gramedia.
Mustansyir,
Rizal. 2001. Filsafat Analitik: Sejarah, Perkembangan, dan Peranan Para
Tokohnya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Santrock, Jhon W. 2008. Psikologi Pendidikan.
Jakarta: Kencana.
Sudjana, 1996. Metode Statistika, Bandung:
Tarsito.
Sugoyono, 2007. Statistika Untuk Penelitian.
Bandung: Alfabeta.
Surajiyo,.
2009. Filsafat Ilmu dan Perkembangannya
di Indonesia. Jakarta: PT Bumi Aksara.
Suriasumantri,
Jujun S. (ed). 1999. Ilmu Dalam Perspektif. Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia.
Suriasumantri, Jujun S.
1995. Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan.
Suriasumantri, S. Jujun. 1990. Filsafat Ilmu Suatu
Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
The New Oxfort Dictionary of English. 2003. UK : Oxford University Press.
Tim Dosen Filsafat Ilmu UGM, 1996. Filsafat Ilmu.
Yogyakarta: Liberty.
Viliandari,
Arsyilia. 2010. Peran Matematika.
Dalam http://arsyilia09.wordpress.com/2010/04/08/peran-matematika/ diakses 10
Oktober 2012
[1] Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu:
Sebuah Pengantar Populer (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1995), h. 165
[2]
Jujun S. Suriasumantri, Filsafat
Ilmu: Sebuah Pengantar Populer (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1993), h.
42.
[5]
Ibid, h. 49. Syllogism (Inggris);
sullogismos (Yunani) dari kata sullogizesthai = sun-
‘with’ + logizesthai ‘to reason, reasoning’ [menalar] (kamus digital Concise
Oxford Dictionary).
[6]
Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia [KBBI] Edisi Kedua
(Jakarta: Balai Pustaka, 1991), h. 940.
[8]
Jujun S. Suriasumantri (ed.), Ilmu
Dalam Perspektif (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1999), h. 105.
[12] [Hartono Kasmadi, dkk.,Filsafat Ilmu, IKIP
Semarang Press, 1990, hlm. 45].
[13]
Ibid, h. 175.
[14]
Webster’s New Collegiate
Dictionary (U.S.A,
1981), h. 641, dikutip oleh A. Chaedar Alwasilah, Linguistik: Suatu
Pengantar (Bandung: Angkasa, 1993).
[15]
Tim Redaksi, KBBI Edisi Kedua (Jakarta: Balai Pustaka, 1991), h. 77.
[17] Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu:
Sebuah Pengantar Populer (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1995), h. 175
[18]
Jujun S. Suriasumantri, Filsafat
Ilmu: Sebuah Pengantar Populer (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1993), h.
169.
[19]
Tim Redaksi, KBBI (Jakarta: Balai Pustaka, 1991), h. 1014.
[20]
Charlton Laird, The Miracle of Language (New York: Fawcett, 1953),
dikutip oleh Jujun S. Suriasumantri,
Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan,
1993), h. 182.
[21]
Alif Danya Munsyi, Bahasa
Menunjukkan Bangsa (Jakarta: Kepustakaan Gramedia Populer, 2005), h. 196.
[22] Komaruddin Hidayat, Memahami
Bahasa Agama: Sebuah Kajian Hermeneutik (Jakarta: Paramadina, 1996), h. 75.
[23]
Jujun S. Suriasumantri, Filsafat
Ilmu: Sebuah Pengantar Populer (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1993), h.
173-184.
[24]
Slamet Iman Santoso, “Fungsi Bahasa, Matematika dan Logika untuk Ketahanan
Indonesia dalam Abad 20 di Jalan Raya Bangsa-bangsa” dalam Jujun S. Suriasumantri (ed.), Ilmu Dalam
Perspektif (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1999), h. 227.
[25]
Beerling, Kwee, Mooij, Van
Peursen, Pengantar Filsafat Ilmu (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1990), h.
123.
[26]
Komaruddin Hidayat, Memahami
Bahasa Agama: Sebuah Kajian Hermeneutik (Jakarta: Paramadina, 1996), h. 44.
[27]
Yudi Latif dan Idi Subandy
Ibrahim (eds.), Bahasa dan Kekuasaan: Politik Wacana di Panggung Orde Baru
(Bandung: Mizan, 1996), h. 17.
[28]
Jujun S. Suriasumantri, Filsafat
Ilmu: Sebuah Pengantar Populer (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1993), h.
182-187.
[29]
Rizal Mustansyir, Filsafat
Analitik: Sejarah, Perkembangan, dan Peranan Para Tokohnya (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2001)
[30] Surajiyo,.
2009. Filsafat Ilmu dan
Perkembangannya di Indonesia. Jakarta: PT Bumi Aksara.
[31] Erman Suherman (1995:56) Dalam
http://arsyilia09.wordpress.com/2010/04/08/peran-matematika/
diakses 10 Oktober 2012
[32] [Hartono Kasmadi, dkk.,Filsafat Ilmu, IKIP
Semarang Press, 1990, hlm. 45].
[33] Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu:
Sebuah Pengantar Populer (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1995), h. 175