AFIKSASI BAHASA SABU
Oleh: Gud Reacht Hayat Padje
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Masyarakat Indonesia
dalam pergaulannya sehari-hari pada umumnya menggunakan bahasa daerah dan
bahasa Indonesia. Bahasa-bahasa daerah yang ada di wilayah Indonesia merupakan
lahan subur bagi penelitian kebahasaan. Jumlah bahasa daerah di Indonesia belum
dapat disepakati oleh para ahli dengan angka tertentu, karena masih banyak
bahasa daerah yang belum terjamah oleh peneliti terutama bahasa minor misalnya,
di pedalaman Papua. Sementara menurut Purwo (2009), secara kuantitatif
menyebutkan bahasa daerah di Indonesia berjumlah 706 bahasa. Dari 706 bahasa
daerah itu, satu diantaranya adalah bahasa Sabu (yang selanjutnya disingkat BS) digunakan oleh masyarakat
yang ada di Kepulauan Sabu, Kabupaten Kupang, Provinsi Nusa Tenggara Timur
(NTT) sebagai alat komunikasi intraetnis dalam kehidupan sehari-hari. BS juga
dipakai oleh masyarakat Sabu yang berada di daerah lain, misalnya di Sumba,
Kupang, Flores, dan Rote. Selain
sebagai alat komunikasi sehari-hari, BS juga digunakan dalam upacara-upacara adat, misalnya: upacara kelahiran, perkawinan, kematian, dan keagamaan (Ratukoreh, 2006). BS
juga digunakan dalam pewarisan
karya sastra lisan, seperti (1) Li Pedjo
(tuturan yang dilagukan untuk
mengiringi tarian masal pedho’a), (2) Li kewedhe (pantun), (3) Li
jawi (cerita rakyat), (4)
Li mengao (doa
permohonan), (5) Li lodo
(nyanyian rakyat), (6) Tangi pali (ratapan), dan (7) Li pana
(mantra).
Masyarakat Sabu, baik yang termasuk etnis Sabu
maupun etnis non-Sabu mengenal istilah sabu dalam kehidupan mereka. Akan tetapi, di kalangan orang Sabu, penyebutan istilah sabu kurang populer
karena orang Sabu lebih senang menyebutnya dengan Hawu. Lebih lanjut, Kaho (2007) mengungkapkan
bahwa orang Sabu menamakan dirinya dengan sebutan Do Hawu dan menamakan Pulau Sabu dengan sebutan Rai Hawu. Do adalah singkatan dari kata dou
yang berarti orang atau manusia, sedangkan rai
berarti tanah atau negeri. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa Do Hawu mengacu pada orang atau
manusia Sabu, sedangkan Rai Hawu mengacu
pada tanah atau negeri Sabu.
Data statistik tahun 2012 menunjukkan bahwa penduduk Pulau Sabu berjumlah 91.870 jiwa dengan rincian 45.832 jiwa laki-laki dan 46.038 jiwa perempuan. Mata pencaharian utama penduduk Sabu adalah
pertanian, kerajinan (khususnya tenun dan gula nira), dan pengolahan hasil laut
(khususnya rumput laut). Aktivitas ekonomi masyarakat Sabu masih konvensional yang
terikat dengan norma budaya. Selain
itu, masyarakat Sabu masih tetap konsisten
menjalankan budaya lokal walaupun
kemajuan informasi dan teknologi telah mulai
berkembang. Wilayah Kabupaten Sabu Raijua yang luasnya 460,84 km²,
terdiri atas 6 kecamatan yang terdiri dari, Kecamatan sabu timur, Sabu Tengah,
Sabu Barat, Sabu Liae, Hawu Mehara dan Sabu Raijua, dapat ditempuh dalam hitungan menit atau jam. Bila
menggunakan jalur udara, jarak tempuh dari ibu kota propinsi
ke Pulau Sabu sekitar 45 menit dan bila menggunakan jalur laut jarak tempuhnya
adalah sekitar 12 jam.
Berdasarkan Undang –
Undang Nomor 52 Tahun 2008, daerah ini resmi menjadi sebuah daerah otonom baru
dengan nama Kabupaten Sabu Raijua yang terdiri dari empat pulau. Dari empat pulau ini, hanya dua pulau yang
berpenghuni. Walaupun penduduknya mendiami pulau yang berbeda namun bahasa yang
digunakan dalam berinteraksi sehari-hari sama, yaitu bahasa Sabu. Menurut
Kridalaksana (2008), bahasa Sabu termasuk dalam rumpun bahasa Bima-Sumba yang meliputi
bahasa Bima, bahasa Manggarai, bahasa Ngada, bahasa Lio, bahasa Sumba Barat, bahasa Sumba Timur, dan bahasa Sabu.
BS memiliki lima variasi dialek, yakni dialek Seba, dialek Mesara, dialek Raijua, dialek Timu,
dan dialek Liae (Walker, 1982:3). Kelima variasi dialek
tersebut tidak memiliki perbedaan
yang
signifikan atau mencolok. Perbedaannya
hanya terletak pada variasi
fonologis pada sebagian kecil leksikon (Ratukoreh, 2006). Dalam penelitian
ini yang menjadi subjek penelitian adalah BS dialek Seba karena dialek Seba
bisa berterima pada semua dialek BS. Untuk lebih jelas, variasi fonologis
sebagai penanda dialek tersebut terlihat di bawah ini.
Seba
|
Mesara
|
Timu
|
Liae
|
Raijua
|
Arti
|
yaa
|
dja
|
dja
|
yaa
|
Jo
|
Saya
|
dji
|
dji
|
dji
|
dji
|
ji
|
Kami
|
Ri
|
ri
|
ro
|
ri
|
li
|
Oleh
|
do
|
do
|
do
|
do
|
ro
|
Yang
|
hiammu
|
hiemmu
|
ihiemmu
|
hiammu
|
ihiammu
|
Istri/Suami
|
terae
|
terae
|
terae
|
terae
|
kerae
|
Jagung
|
BS dipergunakan dalam
komunikasi sehari-hari
dan di tempat upacara yang dilakukan oleh setiap kelompok sepanjang takwin
adat. Kegiatan upacara dibagi dalam
kurun musim kemarau dan kurun musim hujan. Upacara itu berfungsi untuk menyingkirkan
segala bentuk kekuatan gaib yang merusak dan mengancam kehidupan manusia.
Upacara adat musim hujan dipimpin Deo Rai ‘dewa tanah’, sedangkan
upacara musim kemarau dipimpin oleh Pulodo Wadu ‘leluhur Matahari’
(Juli, 2003). Masyarakat Sabu tergolong masyarakat dwibahasawan, yakni
menguasai dan menggunakan dua bahasa (BS sebagai bahasa ibu dan bahasa
Indonesia). Bahasa Indonesia dikuasai dan digunakan oleh anggota masyarakat
yang berpendidikan dan tinggal di ibu kota kabupaten dan kecamatan.
Kegiatan berbahasa Indonesia dilakukan ketika berkomunikasi dengan mitra tutur
yang bukan penutur BS. Hal itu sangat berbeda dengan masyarakat yang tinggal di
daerah pedalaman yang menggunakan BS sebagai alat komunikasi utama.
Bahasa sebagai alat komunikasi memiliki struktur. Struktur suatu bahasa
mencakup bidang-bidang tata bunyi, tata bentuk, tata kalimat, dan tata makna (Keraf
1991:17). Bahasa Sabu sebagai salah satu bahasa memiliki struktur bahasa, hal
ini dapat dibuktikan dengan hasil penelitian Wakidi dkk, yang membahas tentang
Fonologi, Morfologi, dan Sintaksis bahasa Sabu. Khusus dalam bidang morfologi, membahas tentang morfem, proses morfologis,
dan kelas kata. Dalam kajian morfem
terikat hanya disebutkan dua morfem saja yaitu prefiks pe- dan ke-. Padahal
dalam bahasa Sabu masih ada morfem terikat yang lain. Begitu juga dalam kajian
proses morfologis afiksasi tidak dibahas secara tuntas tentang kaidah
pembentukan kata, fungsi dan makna afiks.
Selain berperan dalam
aspek kehidupan manusia sebagai alat komunikasi yang memiliki sistem dan
kaidah-kaidah, bahasa juga memiliki properti struktural atau aspek gramatikal,
yang dikaji dalam tipologi bahasa. Berkaitan dengan tipologi menurut Comrie (1989:42-43) dalam morfologi tradisional dikenal tiga tipe bahasa,
yaitu isolasi, aglutinasi, dan fusi
yang kemudian ditambahkan lagi dengan tipe keempat, yaitu tipe polisintesis
atau
inkorporasi.
Tipe bahasa isolasi memiliki ciri-ciri antara lain: (1)
tidak memiliki bentuk morfologi; (2) memiliki hubungan satu-satu; (3) setiap
kata mungkin terdiri atas lebih dari satu suku kata, tetapi batasan dari
masing-masing morfem selalu jelas; (4) tidak memiliki variasi morfologis untuk
menyatakan kata atau kasus-kasus lainnya. Tipe bahasa aglutinasi memiliki
ciri-ciri antara lain: (1) sebuah kata terdiri atas lebih dari sebuah morfem;
(2) batasan kata atau morfem selalu jelas; (3) tiap-tiap morfem selalu memiliki
varian-varian ( variasi bentuk ); (4) identifikasi bunyi mudah dipahami. Tipe bahasa
fusi memiliki ciri-ciri antara lain: (1) tidak ada batasan yang tegas antara
morfem-morfem; (2) ekspresi dari kategori yang berbeda dalam kata yang sama
lebur dan menjadi sebuah bentuk tunggal; (3) morfem tidak dapat
disegmentasikan; (4) seperti bahasa aglutinasi, bahasa fusi memiliki bentuk
infleksi. Tipe bahasa polisintesis memiliki ciri-ciri antara lain: (1) tidak
mungkin berkombinasi dengan morfem dalam jumlah yang besar, baik morfem
leksikal maupun morfem gramatikal. Umumnya, kombinasi antara satu morfem
leksikal dengan satu morfem gramatikal; (2) setiap kalimat terdiri atas satu
kata, dan setiap kata terdiri atas beberapa morfem untuk mengungkapkan makna
yang diinginkan.
Berdasarkan tipologi morfologi yang telah dipaparkan di atas maka
bahasa Sabu dapat digolongkan
dalam tipologi morfologi aglutinasi.
Hal ini, dapat dibuktikan dengan ditemukan afiks berupa prefiks dalam pembentukan
kata yang terdapat dalam bahasa Sabu.
Secara genealogis bahasa Sabu termasuk rumpun bahasa Austronesia Barat
yaitu kelompok Hespronesia (Indonesia Barat). Ciri-ciri bahasa Austronesia
Barat yaitu: (1) memiliki morfem-morfem derivasi, hampir tak
ada morfem infleksi, (2) menempatkan kata benda yang berfungsi sebagai posesif
di belakang kata benda yang dimiliki, (3) menempatkan penanda jumlah bilangan
di depan satuan bilangannya, dan (4) hanya mengenal kata depan atau preposisi (Keraf,
1991:14-15).
Berdasarkan uraian di atas, ada beberapa alasan yang mendorong peneliti
untuk melakukan penelitian khusus tentang afiks bahasa Sabu. Pertama, bahasa Sabu
memiliki afiks yang pernah diteliti oleh peneliti terdahulu tetapi belum
tuntas. Kedua, dalam penggunaan sehari-hari sebagian besar warga masyarakat
Sabu, terutama generasi muda merasa enggan menggunakan bahasa Sabu sebagai
media komunikasi. Ketiga, bahasa Sabu merupakan salah satu bahasa daerah yang
dipandanng masih memerlukan penelitian lebih lanjut, karena informasi
kebahasaan yang ada mengenai bahasa Sabu masih relatif terbatas. Keempat, teori
morfologi generatif belum pernah diterapkan dalam penelitian bahasa Sabu
khususnya afiksasi.
1.2 Masalah
Berdasarkan latar
belakang di atas, maka yang menjadi masalah dalam penelitian ini dapat
dirumuskan sebagai berikut.
1.
Afiks
apa sajakah yang terdapat dalam bahasa Sabu ?
2.
Bagaimanakah
kaidah pembentukan kata dengan menggabungkan afiks bahasa Sabu?
3.
Bagaimana
fungsi afiks bahasa Sabu?
4.
Bagaimana
makna afiks bahasa Sabu?
II KERANGKA TEORI DAN KONSEP
2.1 Kerangka Teori
Untuk menganalisis Afiksasi BS
menggunakan teori Morfologi Generatif yang dikemukakan oleh Halle (1973), Aronoff (1976) dan Dardjowidjojo
(1988).
Halle, (1973:3) menyatakan, bahwa penutur asli suatu bahasa tertentu
memiliki kemampuan intuisi untuk mengenal kata-kata dalam bahasanya sendiri
serta bagaimana kata-kata itu dibentuk. Halle (1973) memberikan contoh, penutur
asli bahasa Inggris akan mengetahui, bahwa kata-kata a dog think write love, antidisertablish
mentananisme adalah bahasanya dan kata-kata svan pansare katau mile Donawdampfs chiffahrtsgesell chaff (1973) bukan bahasanya.
Berdasarkan teori Morfologi Generatif model Halle, tataran morfologi
memiliki tiga komponen yang tidak bisa dihilangkan salah satunya. Ketiga komponen tersebut
adalah (1) List of Morphemes “Daftar
Morfem” disingkat menjadi DM, (2) Word Formation Rules “Aturan Pembentukan
Kata” yang kemudian disingkat menjadi APK, dan (3) Filter “Saringan” ( Halle, 1973: 8, Darjowidjojo 1988: 34 ).
Pada komponen DM, terdapat dua anggota, yaitu akar kata dan bermacam-macam
afiks, baik yang infleksional maupun yang derivasional. Sebagai contoh kata write dalam bahasa Inggris mesti
diinformasikan, bahwa (a) kata ini adalah akar kata verbal, (b) kata ini tidak
berasal dari bahasa Latin, dan konjungsinya tidak umum. Pengertian morfem
menurut Halle berbeda dengan pengertian morfem yang umum diketahui, misalnya
kata transformational terdiri atas
lima morfem yaitu: trans-form-at-ion-al.
Demikian juga kata vacant, total, dan
believe terdiri atas dua morfem
yakni: va-cant, tot-al, dan be-lieve.
Komponen kedua dari morfologi adalah APK, dalam komponen ini memuat semua
aturan pembentukan kata dari morfem-morfem yang termuat dalam DM. Dalam hal
ini, APK dan DM bersama-sama membentuk kata, kata-kata yang dibentuk itu berupa
kata-kata yang benar ada maupun kata-kata yang potensial. Maksudnya, kata-kata
yang memiliki persyaratan kaidah, pembentukan kata, tetapi dalam kenyataan
tidak digunakan oleh pemakai bahasa. Lebih lanjut Dardjowidjojo (1988:35),
memberikan contoh kata derivation dan *derivan untuk bahasa Inggris serta
pemberian, berlayar, dan * berbus untuk bahasa Indonesia yang
dihasilkan dalam APK. Kata-kata yang memakai tanda bintang sebenarnya sudah
memenuhi aturan kaidah pembentukan kata, namun kenyataannya kata-kata itu tidak
pernah muncul dalam pemakaian bahasa. Akan tetapi, kata-kata tersebut pada
suatu saat akan muncul dan digunkan oleh masyarakat bahasa tersebut.
Bentuk-bentuk yang potensial tersebut akan tertahan dalam komponen Filter (saringan ).
Komponen Saringan, adalah komponen Morfologi Generatif yang memiliki tugas
menyaring kata bentukan yang diproses dalam komponen APK. Di samping itu,
komponen saringan memiliki tugas menempelkan idiosinkresi yang terdapat dalam
kata yang telah diproses dalam komponen APK baik itu idiosinkresi fonologis,
idiosinkresi, semantik, maupun idiosinkresi leksikal.
Halle (1973) menambahkan sebuah komponen lagi, yaitu komponen dictionary atau kamus. Komponen kamus mempunyai
tugas menampung kata-kata hasil dari komponen APK yang sudah lolos dari komponen
saringan dan kata-kata yang tidak lolos akan tertahan dalam komponen saringan
menjadi bentuk potensial. Kata-kata yang sudah lolos dari komponen saringan
menjadi anggota kamus. Kata-kata yang sudah lolos itu dapat dibentuk lagi dalam
komponen APK dengan proses afiksasi, sehingga diperoleh lagi kata-kata bentukan
baru dan kalau tidak tertahan dalam
komponen Saringan, maka akan menjadi anggota Kamus. Kata-kata bentukan
yang termuat dalam kamus inilah yang nantinya menjadi bahan pembentukan
sintaksis sedangkan pada struktur permukaan tam.pil mengikuti kaidah fonologis,
tentunya yang sudah mengalami proses dalam komponen APK. Dengan demikian,
komponen APK memiliki saluran dari fonologi dan komponen Kamus.
Alur pembentukan kata sesuai dengan teori Morfologi Generatif model Halle,
dapat digambarkan dalam diagram berikut ini.
Aronoff (1976) juga membicarakan Morfologi Generatif. Pendapatnya tertuang
dalam tulisannya yang berjudul ”Word
Formation in Generatif Grammar” pendapat Aronoff memiliki perbedaan dengan
pendapat Halle terutama dalam Kaidah Pembentukan Kata. Menurut Halle morfem
sebagai bentuk minimal sebagai penurunan dari pembentukan kata sehingga dikenal
dengan istilah morpheme based approach. sementara
itu, Aronoff menganggap bahwa kata adalah bentuk minimal yang dipakai sebagai
landasan pembentukan kata. Kata yang dimaksud harus diartikan leksem, sehingga
teori Aronoff dikenal dengan lexem based
approach karena leksem merupakan
bentuk dasar dalam penurunan kata.
Teori Morfologi Generatif model Aronoff menyatakan kata sebagai unit
minimal penurunan kata. Kata yang dimaksud harus memenuhi persyaratan seperti
berikut: (1) dasar pembentukan kata adalah kata, (2) kata yang dimaksud adalah
kata yang benar-benar ada dan bukan hanya merupakan bentuk potensial saja, (3)
aturan pembentukan kata (WFR’s) hanya berlaku pada kata tunggal, dan bukan kata
kompleks atau lebih kecil dari kata (bentuk terikat), (4) baik masukan maupun
keluaran dari (WFR’s) harus termasuk dalam kategori
sintaksis yang utama (Aronoff, 1976: 40).
Dardjowidjojo mengusulkan empat komponen yang integral dalam teori
Morfologi Generatif. Keempat komponen tersebut adalah Daftar
Morfem (DM), Aturan Pembentukan Kata (APK), Saringan, dan Kamus.
Diagram Model Pembentukan Kata menurut
Dardjowidjojo

Dalam komponen DM, Dardjowidjojo memisahkan bentuk
bebas dan bentuk terikat, tujuannya adalah untuk menampung bentuk terikat
seperti morfem prakategorial. Penerapan model ini merupakan bentuk bebas yang
ada dalam komponen DM seperti baju, makan
dan minum dapat melalui jalur (a) tanpa mengalami hambatan pada komponen
saringan. Untuk jalur (b) bentuk bebas setelah mengalami proses afiksasi
andaikata tidak mengalami idiosinkresi maka dapat langsung masuk ke dalam
komponen Kamus dan kalau dikenai idiosinkresi, bentuk itu akan melalui
jalur (c). Untuk bentuk potensial yang tidak ada dalam pemakaian sehari-hari,
maka akan melalui jalur (d) dan (g), kemudian disimpan dalam komponen Kamus
dengan memberikan tanda (*). Untuk bentuk-bentuk yang mustahil seperti *berjalani,* melukisan, melalui jalur (d) dan (h) tidak bisa masuk dalam
komponen kamus, kemudian tertahan pada komponen Saringan. Jalur (f) pecah
menjadi jalur (j) untuk bentuk yang tidak mendapatkan idiosinkresi dan jalur
(k) untuk bentuk yang mengalami idiosinkresi.
2.2 Konsep Afiksasi
Afiksasi merupakan
suatu proses pembentukan kata-kata dengan cara melekatkan afiks, baik prefiks,
infiks, sufiks, maupun konfiks. Berbicara tentang afiksasi berarti membicarakan
bagaimana proses pembentukan kata-kata dalam suatu bahasa dengan cara
menambahkan unsur afiks (morfem terikat) pada bentuk dasar bebas (morfem
bebas).
1.
Bentuk Dasar
Bentuk dasar dalam
kajian sistem afiksasi BS ini diartikan sebagai bentuk yang terkecil dalam
proses afiksasi. Bentuk dasar dibedakan menjadi dua bagian yaitu bentuk dasar
bebas dan bentuk dasar terikat. Ciri-ciri bentuk dasar adalah sebagai berikut:
(1) satuan bentuk lingual yang terkecil dalam sebuah kosa kata, (2) satuan yang
berperan sebagai masukan dalam proses morfologis, (3) merupakan bahan baku
dalam bahan morfologis, dan (4) sebagai unsur yang diketahui adanya dari bentuk
yang setelah dianalisis dari bentuk kompleks merupakan bentuk dasar yang lepas
dari proses morfologis (Harimurti Kridalaksana, 1989:20-30).
2.
Kaidah Penyesuaian
Cara kerja komponen
Aturan Pembentukan Kata (APK) dalam teori Morfologi Generatif pada proses
afiksasi terjadi penggabungan sebuah morfem dengan morfem yang lain. Seperti
sebuah bentuk dasar dibubuhi dengan sebuah morfem pembentukan kata, yang dalam
hal ini morfem terikat berupa afiks. Afiks yang dibahas dalam kajian ini berupa
prefiks, mengingat sufiks konfiks dan infiks tidak ditemukan dalam BS. Kaidah
penyesuaian merupakan terjemahan dari bahasa Inggris Adjusment Rules (Aronoff 1976:105) atau Readjusment Rules (Scalice, 1984:54). Adapun tujuannya adalah untuk
memperlihatkan bagaimana penyesuaian itu berinteraksi dengan Aturan Pembentukan
Kata (APK). Selanjutnya, Aronoff membedakan jenis Kaidah Penyesuaian menjadi
dua yaitu Kaidah Pemenggalan dan Kaidah Alomorfi. Kaidah Pemenggalan dalam operasionalnya tidak berlaku
secara luas, sifatnya sangat khusus. Tugas Kaidah Pemenggalan adalah mengatur
pelesapan dalam sebuah morfem yang berwujud dalam proses afiksasi. Kaidah
Alomorfi adalah kaidah yang mengatur perubahan fonologis, yang diterKPKan pada
morfem tertentu dalam lingkungan morfem tertentu (Aronoff, 1976:116). Kaidah
Alomorfi terjadi sebagai akibat penggabungan sebuah morfem dengan morfem yang
lain dalam proses afiksasi.
III PEMBAHASAN
3.1 Afiks
Afiks dalam teori
Morfologi Generatif merupakan unsur ketiga dari komponen Dasar Morfem, setelah
bentuk dasar bebas dan kata dasar terikat. Afiks adalah bentuk terikat yang
digolongkan sebagai morfem terikat, berfungsi sebagai pembentuk kata turunan
(Kridalaksana, 1989:28; Mathews, 1974:41). Afiks yang terdapat dalam bahasa
Sabu berupa prefiks saja. Prefiks adalah afiks yang dilekatkan di awal bentuk
dasar. Prefiks tersebut adalah pe-, he-, ke- dan ta-.
3.2 Kaidah
Pembentukan Kata
Kaidah Pembentukan Kata
adalah komponen kedua dalam Morfologi Generatif. KPK merupakan tempat memproses
bentuk turunan. Muatan yang ada dalam komponen Daftar Morfem berupa bentuk
dasar bebas, bentuk dasar terikat, dan afiks ditarik ke dalam komponen APK,
kemudian diproses sehingga melahirkan kata turunan atau kata kompleks.
Kedudukan bentuk dasar bebas dan terikat dalam bahasa Sabu adalah sama yaitu
mempunyai potensi sebagai bentuk asal, kemudian dikodekan dengan huruf A.
Rumus
yang dikemukakan dalam komponen APK adalah:
[A] [[A]
+ Af ]
Artinya bentuk dasar
[A] diproses berdasarkan afiksasi sehingga menjadi bentuk kompleks, (bandingkan
dengan Anom, 1995:114). Gabungan bentuk asal dengan afiks dalam bahasa Sabu
dapat dicontohkan sebagai berikut:
bentuk asal afiksasi bentuk kompleks
[ra’i] ‘kotor’ [[ra’i] + pe-]’mengotori
[tabbhu] ‘tikam’ [[tabbhu]+pe-] ‘saling tikam’
Untuk lebih jelas rumus
ini dapat dideskripsikan dengan substitusi afiks yang berupa prefiks (pref),
infiks (inf), sufiks (suf), dan konfiks (konf), menjadi seperti di bawah ini:
a)
[A] [[A] + Pref]
b)
[A] [[A] + Inf ]
c)
[A] [[A] + Suf]
d)
[A] [[A] + Konf]
Dalam kajian ini afiks yang akan dibahas adalah prefiks karena infiks, sufiks,
dan konfiks tidak ada dalam bahasa Sabu. Untuk lebih jelas tentang kaidah
Pembentukan Kata bahasa Sabu akan diuraikan sebagai berikut.
a. Pembentukan Kata dengan prefiks.
Prefiks dalam proses afiksasi merupakan morfem terikat
yang dilekatkan di depan bentuk asal atau A. Proses pembentukan katanya
ditentukan oleh lingkungan segmen pertama dari bentuk A dan pada golongan kata
mana yang bisa dilekatinya. Prefiks memiliki kesanggupan untuk dilekatkan
dengan satuan-satuan bebas (morfem bebas), tetapi tidak semua morfem bebas
dapat dilekatkan dengan prefiks. Dalam proses afiksasi bahasa Sabu prefiks
tidak memiliki alomorf. Di bawah ini akan dibahas masing-masing prefiks bahasa
Sabu.
1. Prefiks
{pe-}
[A] [A] + pe-]
ra’i
‘kotor’ pera’i ‘mengotori’
dhida
‘tinggi’ pedhida ‘meninggikan’
nga’a
‘makan’ penga’a ‘memberi makan’
puru
‘turun’ pepuru ‘menurunkan’
kako
‘jalan’ pekako ‘ menjalankan’
hudhi
‘kejar’ pehudhi ‘ saling kejar’
tabbu
‘tusuk’ petabbu ‘saling
tikam’
rubhi
‘desak’ perubhi ‘saling desak’
dhaba
‘pukul’ pedhaba ‘saling
pukul’
hengaddhu’cium’ pehengaddhu’saling cium’
nginu
‘minum’ penginu ‘memberi
minum’
hudi
‘sedikit’ pehudi ‘membuat jadi sedikit’
made
‘mati’ pemade’membuat jadi mati’
huba
‘ampun’ pehuba’mengampuni
Berdasarkan contoh di atas dapat disimpulkan bahwa
prefiks pe- dapat bergabungkan dengan adjektiva dan verba.
2. Prefiks
{he-}
[A] [[A]+he-]
lai’lembar’ helai’selembar’
piri’piring’ hepiri’sepiring’
ammu’rumah’ heammu’serumah’
bhakka’belah’ hebakka’sebelah’
madha’malam’ hemadha’semalam’
muhi’hisap’ hemuhi’mengisap’
atta ‘potong’
heatta ‘sepotong’
Prefiks he- berdasarkan contoh di atas
dapat dilekatkan pada
kata benda dan kata kerja.
3. Prefiks {ke-}
[[A] [[A]+ke-]
ahhi’satu’ keahhi’pertama’
dhue’dua’ kedhue’kedua’
tallu’tiga’ ketallu’ketiga’
appa’empat’ keappa’keempat’
Prefiks
ke- berdasarkan contoh kata di atas dapat bergabung dengan kata bilangan (numeralia).
4. Prefiks {ta-}
[A] [[A] + ta-]
hakko’coba’ tahakko ’mau coba’
nga’a ’makan’ tanga’a ‘mau makan’
walli ‘beli’ tawalli ‘mau beli’
pue’petik’ tapue’ mau petik’
nginu
‘minum’ tanginu ‘mau minum’
aggo ‘ambil’ taaggo ‘mau ambil’
happe ‘tarik’ tahappe ‘mau tarik’
Prefiks
ta- berdasarkan contoh kata di atas dapat digabungkan dengan kata kerja.
b. Saringan
Dalam teori Morfologi
Generatif komponen yang ketiga sesudah Kaidah Pembentukan Kata adalah komponen
saringan. Saringan atau penapis memiliki fungsi menyaring bentuk turunan yang
diproses dalam komponen Kaidah Pembentukan Kata. Kata-kata yang berterima akan
diteruskan ke komponen kamus, sedangkan bentuk turunan yang tidak berterima
atau tidak lazim akan tersimpan dalam komponen Saringan.
Kata dalam bahasa Sabu
yang memenuhi kaidah pembentukan kata melalui proses afiksasi tetapi tidak
muncul dalam pemakaian sehari-hari dapat dilihat dalam contoh berikut. Kata ki’i ‘kambing’, adju ’kayu’, wela ’parang’
mendapat prefiks {he-} akan mejadi *heki’i
‘satu kambing’ *headju ‘satu
kayu’, *hewela ‘satu parang’.
Bentuk *heajhu, *hewela, *heki’i adalah
bentuk turunan yang terdapat dalam bahasa Sabu yang akan terbendung dalam
komponen saringan atau penapis. Bentuk–bentuk yang terbendung itu diberikan
tanda * agar dapat dibedakan dengan kata–kata yang lolos ke komponen kamus.
Kata yang bertanda * tidak pernah muncul penggunaannya dalam kehidupan
sehari-hari.
c. Kamus
Dalam diagramnya Halle
mencantumkan kamus tetapi ia tidak menganggap kamus merupakan bagian integral
dari morfologi generatif. Kamus memiliki peranan dalam pembentukan kata karena
APK dapat memanfaatkan leksikon yang tersimpan dalam kamus. Menurut
Dardjowidjoyo (1983:57) komponen kamus sangat penting dalam sistem pembentukan
kata. Komponen kamus menampung bentuk dasar bebas dan kata turunan yang sudah
lolos dari komponen saringan. Dalam penelitian ini penulis akan mengikuti saran
dari Dardjowidjoyo yang mengatakan bahwa kamus merupakan bagian integral dalam
morfologi generatif (Dardjowidjoyo, 1988:57).
Isi kamus yang
berhubungan dengan sistem afiksasi bahasa Sabu dapat dikelompokkan menjadi kata
dasar bebas dan kata turunan yang berasal dari kaidah pembentukan kata melalui
afiksasi. Agar mendapat gambaran yang lebih jelas dapat dilihat dalam contoh
berikut.
1.
Kata
Dasar Bebas
be’i
‘tidur’ nyakka ‘tolak’
nginu’minum’ tuku’lempar’
bhara’barang’ maddha’malam’
arru’periuk’ tou’tahun’
idhu’pikul’ pudi’putih’
parru’pegang’ puru’turun’
lila’terbang’ ehhi’satu’
tao’buat’ dallu’telur’
tabe’tambah’ hudi’sedikit’
dhue’dua’ atta’potong’
tallu’tiga’ parru’pegang’
appa’empat’ bhakka’belah’
ammu’rumah’ hudi’sedikit’
made’mati’ hedui’susah’
2.
Kata
Turunan
pemade ’membuat jadi mati’
penga’a ‘ memberi makan’
penginu ’memberi minum’
pehedui
‘membuat
jadi susah’
pekako ‘menjalankan’
peapa ‘membuat jadi rusak’
pelammi ‘membuat jadi lima’
petuku ‘saling lempar’
peti’o
‘meniup’
hekama
‘sekamar’
hemuhi ‘menghisap’
heatta ‘ sepotong’
heammu ‘serumah’
hedou ‘seorang’
tabhale ‘mau pulang’
tabe’i ‘mau tidur’
tanga’a ‘mau makan’
tahakko ’mencoba’
kedhue ‘kedua’
keappa ‘keempat’
keanna ‘keenam’
Kata dasar atau kata turunan bahasa Sabu yang
terdaftar dalam kamus akan digunakan dalam pembentukan kalimat.

3.3 Fungsi
Afiks Bahasa Sabu
Afiks mempunyai fungsi
mengubah bentuk dasar dan bentuk terikat menjadi bentuk turunan atau yang biasa
disebut bentuk kompleks. Proses afiksasi yang terjadi pada kaidah pembentukan
kata tidak selamanya berasal dari daftar morfem, bisa juga berasal dari komponen
kamus untuk membentuk bentuk turunan. Oleh sebab itu, secara leksikal–gramatik
bentuk A itu, bisa berupa bentuk dasar bebas, bentuk dasar terikat, bentuk
turunan, bentuk reduplikasi, dan
bentuk kompositum, bandingkan (Reteg, 2002:89).
Verhaar (2008:107)
menyatakan fungsi utama yang dimiliki oleh proses afiksasi ada dua, yaitu
infleksi, afiksasi yang membentuk alternan-alternan dari bentuk yang tetap
merupakan kata, atau unsur leksikal, yang sama dan derivasi, afiksasi yang
menurunkan kata unsure leksikal yang lain dari kata atau unsure leksikal
tertentu. Lebih lanjut Aronoff (1976:2)
menyatakan, bahwa secara tradisional gejala morfologi dapat dibedakan menjadi
dua jenis, yaitu gejala derivasional dan gejala infleksional. Gejala
derivasional berkaitan dengan kategori leksikal. Artinya proses derivasional
merupakan suatu proses pembentukan bentuk turunan lewat proses afiksasi dapat
mengubah kategori kata asal sebagai dasar pembentukan kata. Gejala infleksional
berkaitan dengan kategori gramatikal. Artinya, dalam proses infleksional tidak
terjadi perubahan kategori kata turunan dari kata asal. Untuk memperoleh
gambaran yang lebih jelas akan diuraikan fungsi afiks bahasa Sabu sebagai
berikut.
a. Fungsi prefiks {pe-}
1.
Jika prefiks {pe-} dilekatkan dengan A
adjektif, maka bentuk A tersebut akan menjadi verba.
Contoh:
[pe- + [ra’i]adj ]V
ra’i’kotor’ pera’i ‘mengotori’
[pe- + [pudi]Adj]V
pudi’putih’ pepudi’memutihkan’
[pe-
+ [made]Adj]V
made’mati’ pemade’mematikan’
[pe- +[padha]Adj]V
paddha’sakit’ pepadha’menyakiti’
1) a) Ki’i made pa padha.
Kambing N matiAdj diPrep padangN.
‘Kambing
mati di padang’.
b) ’Ki’i no pemade ri Ande.
Kambing(N)
dia(N) dimatikan
dar Ande(N).
‘Kambingnya dibunuh oleh Ande’.
2)
a) Bajhu ari ra’i .
BajuN
adikN kotorAdj.
‘Baju adik kotor’
b) Evi do perai kama jhi.
EviN
yang mengotoriV
kamar N kamiN.
‘Evi yang mengotori kamar kami’.
Kata ‘pemade’ dan ‘pera’i’ pada contoh kalimat di atas adalah bentuk turunan dari kata
dasar ‘made’ dan ‘ra’i’ yang dilekatkan prefiks {pe-}.
Prefiks {pe-} memiliki fungsi derivasional mentransformasikan adjektiva menjadi
verba.
Proses pembentukan kata turunan ini
adalah [pe- + (Adj] V
2.
Jika prefiks {pe-} dilekatkan dengan A
verba, maka bentuk A tersebut tetap menjadi verba.
Contoh: [pe- + [nga’a]V]V
nginu’minum’ penginu’meminumkan’
[pe-
+ [hengadhu]V]V
hengadhu’cium’ pehengadhu’berciuman’
[pe-
+ [rubhi]V]V
rubhi’desak’ perubhi’berdesakan’
1)
a) Ama nginu kowi.
AyahN minumV
kopiN
‘Ayah minum kopi’
b) Ama penginu dou lowe.
AyahN
memberi minumV orang N
banyakNum.
‘Ayah
memberi minum orang banyak’
2) a) Yuli hengaddhu ina nga ama no.
YuliN cium V ibu N dan
ayah N diaN
‘ Yuli cium ayah dan ibunya’
b) Ro pehengadhu pa ammu ya.
MerekaN berciuman V diPrep rumahN sayaN.
‘Mereka berciuman di rumahku’.
Kata ‘penginu’ dan ‘pehengadhu’ pada contoh kalimat di atas
merupakan kata turunan dari kata dasar ‘nginu’ dan ‘hengadhu’ yang dilekatkan afiks {pe-}. Afiks {pe-}
memiliki fungsi infleksional.
Proses pembentukan kata turunan ini
adalah [pe- + V] V
b. Fungsi
prefiks {he-}
1. Jika prefiks {he-} dilekatkan dengan A nomina
maka bentuk A itu akan menjadi numeralia.
Contoh:
[he- + [piri]N]Num
piri’piring’ hepiri’sepiring’
[he- + [ammu]N]Num
ammu’rumah’
heammu’serumah’
[he- + [dou]N]Num
dou’orang’ hedou’seorang’
1) a. Chaty
lojho piri.
ChatyN
cuciV piringN.
‘Chaty cuci piring’
b.
Chaty nga’a ai kawo hepiri.
ChatyN
makanV bubur N
satu piringNum.
‘Chaty makan bubur satu piring’
2) a.
Randy manga pa
ammu.
RandyN mainV di
rumah.
‘Randy main di rumah’.
b.
No nga
yaa be’i heammu.
DiaN
dan sayaN tidurV serumahNum
‘Dia dan saya tidur serumah’
3) a. Dou nanni ari ri ina ya.
OrangN ituAtr adikN dari
ibuN saya.
‘Orang itu adik dari ibu saya’
b.
Ana no hedou we.
AnakN
dia N seorangNum saja .
‘Anaknya
seorang saja’
Bentuk kata ‘hepiri’, ‘heammu‘, ’hedou’, pada kalimat di atas merupakan bentuk turunan
dari kata dasar ‘ammu ‘, ’piri’, ‘dou ‘, yang dilekatkan prefiks {he-}. Prefiks he- memiliki fungsi
derivasional.
Proses pembentukan kata turunan ini adalah
[he + N] NUM
2. Jika
prefiks {he-} dilekatkan dengan A verba maka bentuk A tetap verba.
Contoh : [he +[ muhi]V ]V
muhi’
hisap’
hemuhi’menghisap’
4) a. Ama
muhi roko pa kama.
AyahN hisapV rokokN di Prep kamarN.
‘Ayah hisap rokok di kamar’
b.
Ana
ngaka naido hemuhi huhu
pa kejhunga ammu.
AnakN anjingN sedang
menghisapV susuN diPrep belakangN rumahN.
‘Anak anjing sedang menghisap susu di
belakang rumah.
Bentuk kata ‘hemuhi’
pada kalimat di atas adalah bentuk turunan dari kata dasar ‘muhi’ yang
dilekatkan prefiks {he-}. Prefiks he memiliki fungsi infleksional.
3. Jika prefiks {he-} dilekatkan dengan
A verba maka bentuk A menjadi Num.
Contoh : [he + [bhakka]V]Num
bhakka ’belah’ hebhakka’sebelah’
[he + [atta]V ] Num
atta ‘potong’
heatta’sepotong’
9) a.
Ama neido bhakka ajhu.
AyahN sedang belahV kayuN.
‘Ayah sedang belah kayu’.
b. Nga’e hebhakka we ri ya
wopau nadhe.
MakanV
sebelahNum saja olehPrep
sayaN manggaN iniArt.
‘Saya makan sebelah saja mangga ini’.
10) a. Luji heido atta ajhu.
LujiN sedang potong V kayuN.
‘Luji sedang potong kayu’.
b.
Ani
aggo heatta we ajhu nadhe.
Ani bawa sepotong saja kayu ini.
‘Ani bawa kayu ini sepotong
saja’.
Bentuk turunan
‘hebakka’ sebelah dan ‘heatta’ sepotong adalah bentuk turunan dari’ bakka’ dan
’atta’ yang dilekatkan prefiks {he}. Prefiks {he} memiliki fungsi derivasional.
Proses bentuk turunan ini adalah [he+ [V]]Num
c. Fungsi Prefiks {ke-}
Prefiks {ke} jika dilekatkan dengan A
Numeralia maka A tetap Numeralia.
Contoh:
[ke+[dhue]Num]Num
dhue’dua’ kedhue ‘kedua’
[ke+[tallu]Num]Num
tallu’tiga’ ketallu’ketiga’
11) a. Ana
ro dhue dou.
AnakN mereka N duaNum orangN.
‘Anak mereka dua orang’.
b. No ana kedhue ri ina nga
ama ya.
DiaN anakN keduaNum dari Prep ibuN
dan ayahN sayaN.
‘Dia anak kedua dari orang tuaku’.
12) a. Ari
nga’a
wopau tallu bhue.
AdikN makanV manggaN
tigaNum buah.N
‘Adik makan mangga tiga buah’.
b.
Alla tamade ama ro, pa lodho ketallu
metana
Sesudah meninggalV ayahN merekaN, pada hariN ketigaNum melahir
anake
Yuli.
anaklahN
YuliN.
‘Sesudah ayah mereka meninggal, pada
hari ketiga Yuli melahirkan’.
Bentuk turunan ‘kedhue’kedua dan ‘ketallu’ ketiga
adalah bentuk turunan dari bentuk dasar ‘dhue’ dan ‘tallu’ yang dilekatkan
prefiks
{ke-}.
Prefiks {ke-} memiliki fungsi infleksional.
Proses turunan ini adalah [he+[Num]Num]
d. Fungsi Prefiks {ta-}
Prefiks {ta-} jika dilekatkan dengan
A Verba maka A tetap Verba.
Contoh
: [ta+[walli]V]V
walli’beli’ tawalli’mau beli’
13)
a.
No walli kenana pa
paha.
DiaN beliV sirihN diPrep
pasarN.
‘Dia beli sirih di pasar’
b. No tawalli kenana pa paha.
DiaN membeliV
sirihN diPrep pasarN.
‘Dia membeli sirih di pasar.
14)
a.
Yuli
hakko ai
kua hedhai wawi.
YuliN cobaV
air supN dagingN babiN.
‘ Yuli coba sup daging babi’.
b. Yuli tahakko ai kua hedhai wawi.
Yuli mencoba air sup daging babi.
‘Yulu mencoba sup daging babi’.
Bentuk turunan ‘tawalli’ membeli dan ‘tahakko’mencoba adalah bentuk turunan
dari bentuk dasar’walli’ dan ’hakko’ yang dilekatkan prefiks {ta-}.Prefiks
{ta-} memiliki fungsi infleksional.
3.4 Makna
Afiks Bahasa Sabu
Masing–masing kata
dalam 4 jenis kelompok kata dasar yaitu nomina, verba, adjektiva, dan numeralia maupun berbagai
bentuk hasil pembentukan kata jadian, jelas ditandai oleh bentuk dan isi kata
itu sendiri. Secara ideal, dapat
dikatakan bahwa setiap kata pasti memiliki 5 buah unsur yang dinamakan kadar.
Besar atau kecilnya kadar dari masing-masing unsur dalam sebuah kata itulah
yang akan menentukan makna sebuah kata. Kelima unsur itu adalah 1) Kadar bunyi.
Setiap kata pasti dibentuk oleh bunyi. 2) Kadar arti dan pengertian. Setiap
bunyi yang dihsilkan oleh alat ucap manusia mempunyai arti apabila bunyi itu
berfungsi sebagai tanda untuk “sesuatu dan dimiliki oleh sekelompok orang yang
konvensi. 3) Kadar tugas.
Bunyi yang diucapkan mempunyai tugas untuk menimbulkan kontak dengan orang lain
karena menangkap acuan yang sama dalam angan dan kata itu bertugas menghadirkan
kata lain yang berhubungan dekat dengan acuan tadi. 4) Kadar rasa adalah unsur
bunyi, arti, dan tugas dalam sebuah kata mempunyai hubungan erat dengan
perasaan dengan setiap yang memilikinya. 5) Kadar asosiasi mempunyai fungsi dan
pengaruh sangat penting terhadap pertumbuhan dan perkembangan intelegensi
manusia.kecepatan bernalar, kelogisan berpikir, dan ketejaman analisis ternyata sangat
ditentukan oleh kemampuan menggunakan kekuatan unsur asosiasi (Sanga, 2008:23-26).
Ogden and Richards
(dalam Reteg, 2002:107) mengemukakan, bahwa
konsep makna dapat digambarkan dalam bagan berupa segitiga, seperti tergambar
di bawah ini.
Reference
Symbol
------------------------------ Referent
Ketiga unsur terdapat
dalam diagram segi tiga yaitu symbol,
reference, dan referent
merupakan tiga komponen makna. Unsur yang pertama adalah symbol atau lambang merupakan bunyi ujaran yang berupa kata yang
menempati titik kiri bagian bawah. Unsur kedua, adalah reference atau referensi merupakan bayangan atau citra, terletak pada pikiran penutur bahasa,
yang berada pada titik atas. Referensi ini mengacu kepada unsur atau peristiwa
yang dibicarakan.Unsur ketiga, adalah referent
merupakan benda atau hal yang diacu. Referent berada pada titik kanan
bawah.Dalam konsep makna ini symbol
atau kata tidak memiliki hubungan langsung dengan referent yang diacu, sebagaimana terlihat adanya garis putus-putus
yang menghubungkan symbol dengan referent.
Setiap kata dalam
bahasa Sabu memiliki makna, baik
itu kata dasar maupun kata yang telah mengalami proses morfologis. Kata-kata
yang telah mengalami proses morfologis pasti mengalami perubahan makna.
Perubahan makna itu bisa secara gramatis dan non-gramatis. Secara gramatis
proses morfologis kata dalam bahasa Sabu ada 3 yaitu 1) afiksasi, 2) reduplikasi, 3) kompositum atau pemajemukan. Dalam
penelitian ini peneliti hanya akan menjelaskan makna kata yang mengalami
perubahan makna akibat proses afiksasi.
1.
Makna gramatikal prefiks {pe-}.
Contoh
:
15)
Ama
penga’e ari.
Ayah
menyuap adik.
‘Ayah meyuap adik’
16) Ama penga’a dou do
djagga ammu.
Ayah memberi makan
orang yang kerja
rumah.
‘Ayah memberi makan orang yang kerja rumah’
Bentuk turunan kata ‘penga’e’ dan ‘penga’a ‘ berasal dari kata ‘nga
‘a ‘yang dilekatkan prefiks { pe-}.Prefiks {pe-} pada kata ‘penga’e’ bermakna memberi makan untuk
seorang saja sedangkan’penga’a‘ bermakna memberi makan untuk orang banyak.
17)
Ani
pengino ari.
Ani meminumkan adik.
‘Ani meminumkan adik’
18)
Welem penginu dou lowe.
Welem
meminumkan orang banyak
‘Welem meminumkan orang banyak’.
Bentuk turunan kata’ penginu’dan ‘pengino’berasal dari kata ‘nginu’
yang dilekatkan prefiks {pe-}. Kata’ nginu’adalah
pekerjaan yang dilakukan untuk diri sendiri sedangkan kata ‘pengino’ pekerjaan yang dilakukan untuk
seorang saja dan kata ’ penginu’ pekerjaan yang dilakukan untuk orang banyak.
19) Ro
hei do petuku pa ammu.
Mereka
sedang saling lempar di
rumah.
‘Mereka sedang saling lempar di rumah’.
20) Yuli
nga Ana hei do pedhaba pa
dahi.
Yuli dan
Ana sedang saling pukul di
laut.
‘Yuli dan Ana sedang saling pukul di
laut’.
Bentuk turunan’ petuku ‘ dan ‘pedhaba ‘ berasal dari kata ‘tuku’ dan kata ‘dhaba’ yang dilekatkan prefiks {pe-}.Prefiks {pe-} pada kata ‘petuku
‘memiliki makna saling lempar dan kata ‘pedhaba’
memiliki makna saling pukul.
21) Andi peha’e paji pa hekola.
Andi menaikkan bendera di
sekolah.
‘Andi menaikkan bendera di sekolah’.
22)
A’a pepure ari
ti kelaga.
Kakak menurunkan adik
dari balai-balai.
‘Kakak menurunkan adik dari
balai-balai’.
23) Toni pepuru bhara ti
oto.
Toni menurunkan barang dari
oto.
‘Toni menurunkan barang dari oto’
Bentuk turunan ‘peha’e ‘, ‘pepure’, dan ‘pepuru’
berasal dari kata dasar’ ha’e’ dan ‘puru’ yang dilekatkan prefiks {pe-}.
Prefiks {pe-} pada kata ’peha’e’ memiliki makna menaikkan sedangkan kata
’pepure’ memiliki makna menurunkan kalau itu
manusia dan kata ‘pepuru’ memiliki makna menurunkan kalau itu
barang.
24) Uce
pera’i tebo hekola.
Uce
mengotori tembok sekolah.
‘Uce mengotori tembok sekolah’.
25)
Ina heido pemaddi luawangngu.
Ibu sedang menghitamkan benang.
‘Ibu sedang menghitamkan benang’.
26) Ama heido pemola bhehi.
Ayah sedang meluruskan besi.
‘Ayah sedang meluruskan besi’.
Bentuk turunan ‘pemaddi’ dan ‘pemola’ berasal dari kata dasar ‘maddi’ dan ‘mola’ yang
dilekatakan prefiks {pe-}. Prefiks {pe-} pada kata ‘pemaddi’ memiliki makna menghitamkan (membuat jadi hitam) dan ‘pemola’ memiliki makna meluruskan
(membuat jadi lurus).
1.
Makna Gramatikal Prefiks {he-}.
Contoh
:
27)
Banni
nga Yanti be’i heammu.
Banni dan Yanti
tidur serumah.
‘Banni dan Yanti tidur serumah (satu
rumah)’.
28)
Ama nga
ina nga,a hepiri.
Ama dan
ina makan sepiring.
‘Ayah
dan ibu makan sepiring (satu
piring)’.
29)
No nginu
kowi hegela.
Dia minum
kopi segelas (satu
gelas).
‘Dia minum kopi segelas (satu gelas)’.
Bentuk kata turunan ‘heammu’ dan ‘hegela’ berasal dari kata dasar’ ammu ‘ dan ‘gela’ yang
dilekatkan prefiks {he-}. Prefiks {he-} pada kata’ heammu’ memiliki makna satu rumah dan kata’ hegela’ memiliki makna satu gelas.
30)
Wempi ag’go heatta we
ne dari.
Wempi ambil sepotong
saja itu tali.
‘Wempi mengambil sepotong saja tali itu’.
31) Toni be’i herammi we
pa ammu yaa.
Toni tidur semalam saja di
rumah saya.
‘Toni
tidur semalam di rumahku’.
Bentuk kata turunan
‘heatta’ dan’ herammi ‘berasal dari kata dasar ‘atta’ dan ‘rammi’ yang
dilekatkan prefiks {he-}. Kata ‘heatta’ memiliki makna satu potong dan
‘semalam’ memiliki makna satu malam.
32)
Ana ngaka heido hemuhi huhu
pa keraha ammu.
Anak anjing sedang
menghisap susu di
samping rumah.
‘Anak anjing sedang menghisap susu di
belakang rumah’.
Bentuk kata turunan
‘hemuhi’ berasal dari kata dasar ‘ muhi’ yang dilekatkan prefiks {he-} .Prefiks
{he-} pada kata’ hemuhi’ memiliki makna sedang melakukan pekerjaan.
2.
Makna Gramatikal Prefiks {ke-}
Contoh
:
33)
Yanti ana kedhue ri
ina nga ama
yaa.
Yanti anak
kedua dari ibu
dan ayah saya.
‘Yanti anak kedua dari ibu dan ayahku.
34)
Alle
tamade ama ro,
pa lodho
ketallu
Sesudah meninggal ayah
mereka, pada hari
ketiga
metana anake Yuli.
melahir anaklah Yuli.
‘Sesudah ayah
mereka meninggal, pada hari ketiga Yuli melahirkan’
Bentuk kata turunan
‘kedhue’ dan ‘ketallu’ berasal dari kata dasar ‘dhue’ dan ‘tallu’ dilekatkan
prefiks {ke-}. Prefiks {ke-} pada kata
‘kedhue’ dan ‘ketallu’ memiliki makna yang menyatakan numeralia tingkatan.
3. Makna
Gramatikal Prefiks {ta-}
Contoh
:
35) Yanto tanga’a koki pa
ammu Uli.
Yanto
mau makan kue
di rumah
Uli.
‘Yanto
mau makan kue di rumah Uli’.
36) Evi tawalli kenana wie
ina.
Evi mau beli sirih untuk ibu.
‘Evi mau beli sirih untuk ibu’.
Bentuk kata turunan
‘tanga’a’ dan ‘tawalli’ berasal dari kata dasar ’nga’a dan ‘walli’ dilekatkan
prefiks {ta-}. Prefiks {ta-} pada kata ‘tanga’a’ dan ‘tawalli’ memiliki makna
tindakan yang belum dilakukan.
IV PENUTUP
4.1 SIMPULAN
Berdasarkan hasil
analisis data dapat disimpulkan bahwa bahasa Sabu memiliki:
1.
Afiks yaitu berupa prefiks {pe-, he-,
ke-, dan ta-}.
2.
Kaidah pembentukan kata dengan afiks
dalam bahasa Sabu adalah dengan menggunakan teori Morfologi Generatif model
Halle (1993) yang sudah dimodifikasikan oleh Dardjowidjoyo (1980). Unsur–unsur
pembentuk kata itu adalah sebagai berikut.
Daftar Morfem yang memuat unsur pembentuk kata
berupa bentuk dasar bebas dan afiks.
1.
Bentuk dasar bebas terdiri atas :
a.
Kata dasar nomina yaitu nomina insan, nomina binatang, nomina tumbuhan, dan nomina alat.
b.
Kata dasar verba yaitu verba keadaan,
verba proses, verba tindakan, dan verba pengalaman.
c.
Kata dasar adjektiva terdiri atas :
1.
Adjektiva kualitatif yaitu adjektiva
ukuran, adjektiva warna, adjektiva sikap batin, dan adjektiva cerapan.
2.
Adjektiva klasifikatoris.
d.
Kata dasar numeralia
2.
Bentuk dasar terikat berupa afiks yaitu
prefiks {pe-, he-, ke-, ta-}
A.
Kaidah Pembentukan Kata adalah komponen
proses pembentukan kata turunan. Proses Pembentukan Kata dengan afiks dalam
bahasa Sabu hanya berupa prefiks yaitu :
1.
Prefiks {pe-}
Contoh
: {pe-} + ra’i ‘kotor’ pera’i ‘mengotori’
{pe-}+ tuku ‘lempar’ petuku ‘saling lempar’
{pe-} + puru’turun’ pepuru’menurunkan’
{pe-} + maddi’hitam’ pemaddi’membuat
jadi hitam’
2.
Prefiks {he-}
Contoh: {he-}+ atta’potong’ heatta’satu potong’
{he-}+
ammu’rumah’ heammu’satu rumah’
{he-}+ arru ‘periuk’
hearru’satu periuk’
{he-}+ muhi’hisap’
hemuhi’menghisap’
3.
Prefiks {ke-}
Contoh: {ke-}
+ dhue ‘dua’ kedhue’kedua’
{ke-}+ tallu’tiga’
ketallu’ketiga’
{ke-} + appa’empat’
keappa’keempat’
4.
Prefiks {ta-}
Contoh: {ta-}+
walli’beli’ tawalli’mau beli’
{ta-}+ kako’jalan’
takako’mau jalan’
{ta-}+ nga’a’makan’
tanga’a’mau makan’
{ta-}+nginu’minum’
tanginu’mau minum’
3.
Komponen ketiga, yaitu komponen saringan
atau penapis berfungsi menyaring bentuk
– bentuk kata turunan yang dihasilkan
oleh APK. Kata turunan bahasa Sabu yang berterima langsung menuju ke komponen
kamus, sedangkan kata turunan yang tidak berterima tertahan dalam komponen
saringan. Bentuk kata turunan bahasa Sabu yang tertahan dalam saringan seperti
*heki’i,* hewela, *heajhu,dan *hetudhi.
4.
Komponen keempat, yaitu kamus yang
menampung kata, baik kata asal maupun kata turunan yang diproses dari APK,
seperti ra’i ’kotor’ ,nginu ’minum’, tuku’lempar’, ammu ’rumah’,
dhue’dua’, walli’beli’, pera’i ‘mengotori’, penginu’memberi minum’, petuku’saling
lempar’, heammu ’satu rumah’,kedhue ’kedua’,dan tawalli’mau
beli’.
5.
Afiks bahasa Sabu memiliki fungsi
derivasional dan infleksional.
a. Afiks yang memiliki fungsi derivasional yaitu
prefiks {pe-} yang mentransformasikan adjektiva menjadi verba proses.
b. Afiks yang memiliki fungsi derivasional yaitu
prefiks {he-} yang mentransformasikan nomina menjadi numeralia.
c. Afiks yang memiliki fungsi derivasional yaitu
prefiks {he-} yang mentransformasikan verba tindakan menjadi numeralia.
d. Afiks yang memiliki fungsi infleksional yaitu
prefiks {pe-} yang mentransformasikan verba tindakan menjadi menjadi verba
tindakan yang menyatakan saling.
e. Afiks yang memiliki fungsi infleksional yaitu
prefiks {ke-} yang mentransformasikan
numeralia menjadi numeralia tingkat.
f. Afiks yang memiliki fungsi infleksional yaitu
prefiks {ta-} yang mentransformasikan verba tindakan menjadi verba tindakan
yang berlangsung.
6. Makna
afiks bahasa Sabu.
a.
Prefiks {pe-} memiliki makna tindakan yang menyatakan proses dan menyatakan
saling.
b.
Prefiks {ke-} memiliki makna yang menyatakan urutan atau tingkatan seperti apa
yang tersebut pada bentuk dasarnya.
c.
Prefiks {he-} memiliki makna menyatakan jumlah dan tindakan yang sedang
berlangsung.
d.
Prefiks {ta-} memiliki makna tindakan yang belum dilakukan.
4.2
SARAN
Penelitian mengenai morfologi bahasa Sabu sudah dilakukan oleh peneliti
lain, khususnya penelitian mengenai afiksasi bahasa Sabu dengan menggunakan
teori morfologi generatif adalah penelitian yang pertama. Karena itu penelitian
ini bisa dipakai untuk melengkapi penelitian-penelitian terdahulunya.
Penelitian ini juga dapat dipakai sebagai pelajaran muatan lokal di Sekolah
Dasar di kabupaten Sabu Raijua untuk pengenalan materi afiksasi.
DAFTAR
PUSTAKA
Anom,
I Gusti Ketut. 1995. “Sistem Morfologi Verba dengan Afiks {N-. {-an/-in} dalam
Bahasa Bali”. Tesis Program S2 Linguistik, Universitas Udayana, Denpasar.
Aronoff,
Mark. 1976. Word Formation on Gererative
Grammer. Cambridge: The MIT Press.
Chomsky,
M. 1965. Aspect of the Theory of Syntax.
Cambridge, Massachuseets: The MIT Press.
Dardjowidjojo,
Soendjono. 1983. Beberapa Aspek
Linguistik Indonesia. Jakarta: Djambatan.
Dardjowidjojo,
Soendjono. 1988. “Morfologi Generatif: Teori dan Permasalahan”, PELBA I” 31-60.
Jakarta: Lembaga Bahasa Unika Atma Jaya.
Halle,
Moris. 1973. “Prolegomena to a Theory of World Formation”. Cambridge: The MIT
Press.
Kridalaksana,
Harimurti. 1989. Pembentukan Kata dalam
Bahasa Indonesia. Jakarta: PT. Gramedia.
Kridalaksana,
Harimurti. 2008. Kamus
Linguistik. (Edisi Ketiga). Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Matthews,
H. P. 1974. Morphology: An Introduction
to the Theory of Word Structure. London University Press.
Ratukoreh, Adriana.2006. Laporan Hasil
Penelitian Bahasa Sabu. Kupang : Unit
Pelaksana Teknis Dinas Bahasa Pendidikan Dan Kebudayaan Propinsi Nusa Tenggara
Timur
Reteg,
I Nyoman. 2002. “Afiksasi Bahasa Dawan” Tesis Program Pascasarjana Universitas
Udayana.
Scalice,
Sergio. 1984. Generative Morphology.
Dordrixht: Faris Publication.
Verhaar,
J. W. M. 2008. Asas-asas Linguistik Umum.
Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.
Wakidi,
dkk. 1991. Fonologi, Formologi, Sintaksis, Bahasa Sabu Jakarta: Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan.
Walker,
T. Alan.
1982. ”A Grammar Of Sabu,” dalam Nusa Universitas
Atma Jaya, Volume 13 Jakarta : Universitas Atma Jaya.