DISIPLIN
KELIMA
Oleh: Gud Reacht Hayat
Padje, S.Pd
Peter Senge melalui karya terkenalnya, "The
Fifth
Discipline" (1997) melontarkan gagasannya
bahwa sebuah organisasi hanya akan mampu beradaptasi dengan perubahan apabila
ia mampu menjadikan dirinya tampil sebagai sebuah organisasi pembelajaran, learning organization, yakni sebuah
organisasi yang dibangun oleh orang-orang yang secara terus-menerus mau
memperluas kapasitas dirinya dalam rangka mencapai tujuan bersama yang telah
ditetapkan.
Senge menekankan bahwa yang
harus dikembangkan dalam gaya
pembelajaran ini bukanlah semata pengembangan kemampuan-kemampuan baru,
melainkan juga kemampuan untuk menggeser pemikiran-pemikiran yang mendasar.
Dalam organisasi pembelajaran berlaku kaidah bahwa belajar adalah bagian dari
pekerjaan itu sendiri. Learning is part
of work, a part of everybody's job description, tegas Michael Marquardt
dalam "Building Learning
Organization" (1996).
Intinya, sebuah organisasi pembelajaran dikatakan
berhasil ketika semua orang dalam organisasi mampu melihat dan mengalami dunia
dengan cara berbeda ketika asumsi dan keyakinan baru muncul, dan ketika setiap
orang mampu melakukan hal-hal yang sebelumnya tidak bisa dilakukan. Lahirnya
banyak gagasan baru adalah indikator penting dari keberhasilan membangun
organisasi pembelajaran.
Dalam konteks ini, Peter Senge menawarkan lima disiplin yang harus
dijalankan oleh para pelaku birokrasi, utamanya oleh para pemimpinnya sebagai
syarat sebuah organisasi mampu melakukan perubahan.
Disiplin pertama, mengembangkan personal mastery atau penguasaan
pribadi seluruh aparat birokrasi. Kaidahnya, pembelajaran secara terus-menerus
akan terjadi apabila dipicu oleh semangat keingintahuan setiap aparat itu
sendiri. Pembelajaran sejati akan terjadi apabila dimotivasi oleh semangat
untuk meningkatkan kapasitas atau keahliannya.
Untuk itu, setidaknya ada dua langkah penting yang harus
dilakukan. Pertama, setiap aparat
didorong untuk memiliki visi. Kedua,
mereka disadarkan tentang realitas kekinian yang dimilikinya (current reality).
Tugas para pemimpin birokrasi adalah bagaimana
menciptakan situasi yang kondusif yang mampu menciptakan "greget" (creative tension) pada setiap aparat untuk mewujudkan visinya.
Indikator keberhasilannya, visi diterima setiap aparat bukan karena rumusannya
yang menarik, bukan karena merupakan ide yang bagus, melainkan lebih karena
sebuah panggilan.
Disiplin kedua adalah membangun model mental, yakni membangun citra,
asumsi atau keyakinan yang telah tertanam kuat dalam pikiran setiap orang,
dilatarbelakangi oleh pengalaman, yang dipengaruhi oleh cara pandang setiap
orang terhadap semua aspek kehidupan dunia yang dilihatnya selama ini, termasuk
cara melihat dirinya. Jika disiplin pertama lebih banyak diarahkan untuk
membangun semangat berpikir aparat, disiplin kedua ini ditujukan untuk
membangun semangat mencari kebenarannya (inquiry).
Inti dari disiplin ini adalah upaya untuk mempertemukan
ragam sudut pandang, keyakinan, atau asumsi menjadi sebuah model mental bersama
(shared mental model) yang pada
gilirannya diharapkan bisa melahirkan apa yang disebut dengan kecerdasan
kolektif (collective intelligence).
Melalui kecerdasan kolektif itulah, gambaran dunia baru bisa ditemukan karena
setiap orang dituntut untuk melihat kekurangan yang dimilikinya dan dalam waktu
yang sama bersedia menerima kelebihan yang dimiliki orang lain, bawahan
sekalipun.
Secara jujur harus diakui, banyak dari hambatan
penyelenggaraan birokrasi selama ini, berkait dengan persoalan mental model
ini. Munculnya kekeliruan dalam menjabarkan sebuah kebijakan yang dibuat
pemimpin, misalnya, berkait dengan adanya ragam model mental yang dimiliki
aparat. Sang pemimpin yang tidak mau mendengar alternatif gagasan bawahan yang
dipimpinnya - mental block - adalah contoh
lain dari kegagalan membangun model mental ini.
Disiplin ketiga adalah membangun visi bersama, shared vision, yakni harapan bersama
tentang masa depan yang ingin dicapai organisasi. Sebuah visi benar-benar
merupakan visi bersama apabila setiap orang memiliki gambaran yang sama dan
setiap orang merasa memiliki komitmen untuk mencapainya. Itu sebabnya, visi
yang baik selain mengikat seluruh anggotanya, juga mampu menjadi sumber
inspirasi dalam menjalankan tugas mereka. Oleh karena itu, visi bersama juga
berfungsi membangkitkan dan mengarahkan.
Dalam membangun organisasi pembelajran, visi bersama
menjadi sangat penting artinya setidaknya karena dua hal: memberi fokus dan
energi pembelajaran. Di sini kemampuan seorang pemimpin untuk membangun
nilai-nilai, norma-norma yang mampu memelihara dan memperkuat komitmen semua
anggota organisasi dalam pencapaian visi menjadi kunci.
Disiplin keempat adalah membangun pembelajaran tim, team learning. Inti dari
penegakan disiplin ini adalah mengumpulkan berbagai pendapat individu dalam sebuah
organisasi sehingga menghasilkan apa yang disebut dengan collective intelligence, yakni sebuah sinergi pemikiran di antara
anggota organisasi. Kaidah dari penegakan disiplin ini adalah bahwa kecerdasan
tim selalu lebih baik dari kecerdasan perorangan.
Itu sebabnya, disiplin ini sangat meniscayakan arti
pentingnya membangun kemitraan atau kesetaraan (alignment) untuk mencapai hasil yang diinginkan. Membangun
komunikasi yang didasarkan kepada prinsip saling memahami, saling mendengar dan
saling melengkapi adalah kunci yang akan menentukan keberhasilan membangun
disiplin ini.
Disiplin kelima adalah membangun cara berpikir secara sistem atau berpikir
sistemik, system thinking. Peter Senge menempatkan disiplin ini
sekaligus sebagai "disiplin yang kelima" yang kemudian menjadi judul
dari karya terkenal yang ditulisnya, "The
Fith Discipline". Alasannya, disiplin ini selain berfungsi sebagai
fondasi sekaligus juga berfungsi mengintegrasikan penegakan empat disiplin yang
lainnya.
Inti dari penegakan
disiplin ini adalah kemampuan untuk melihat dan memahami setiap kejadian
sebagai sebuah sistem, yakni entitas keseluruhan yang dibangun oleh
bagian-bagian yang saling berhubungan, saling berkaitan, dan karenanya saling
menentukan. Syarat awal untuk memulai berpikir sistemik adalah membangun
kesadaran bahwa kejadian apa pun, fisik maupun nonfisik, dipahami sebagai
sebuah hasil dari keseluruhan interaksi antarunsur dalam batas-batas sebuah
sistem.
Berpikir sistemik juga sering disebut dengan cara
berpikir generatif karena mampu melihat setiap kejadian tidak dari fenomena
yang muncul kepermukaan, tetapi dari dinamika strukturnya yang paling dalam. Di
sini, berpikir sistemik merupakan sebuah disiplin untuk memahami kerumitan dan
perubahan.
Karena kemampuannya dalam memahami dinamika sistem,
orang-orang dengan kemampuan berpikir ini juga biasanya begitu cerdas membuat
sebuah pengungkit (leaverage)
sederhana, namun dengan efek ungkit yang demikian berarti. Indikatornya, ketika
dihadapkan kepada sebuah masalah, orang-orang dengan kemampuan berpikir ini
cenderung akan bertindak membuat solusi berdasarkan kepada akar penyebabnya,
bukan kepada gejala yang tampak ke permukaan. Selalu mengutamakan solusi yang
bersifat fundamental, bukan symptomatik. Selalu berpikir jauh ke depan, bukan
jangka sesaat.
Yang menarik, orang-orang dengan kemampuan cara berpikir
ini cenderung tak pernah menyalahkan orang lain, karena ia selalu melihat
dirinya sebagai bagian dari setiap kejadian yang muncul. The enemy is not there, itulah yang menjadi landasan pemikirannya.
Itulah lima
disiplin yang mesti dibangun dalam menjalankan roda organisasi pembelajaran.
Peter Senge melihat kelima disiplin tersebut sebagai serangkaian prinsip dan
praktik yang mesti dikuasai dan mengintegrasikannya dalam kehidupan sebuah
organisasi. Dua disiplin pertama, personal
mastery dan mental model,
dibangun dalam rangka mengubah cara berpikir orang-orang dalam organisasi.
Sementara itu, tiga disiplin berikutnya, yakni visi bersama, pembelajaran
tim, dan berpikir sistemik, dibangun
untuk mengubah hubungan interaksi orang-orangnya. Untuk bisa melakukan itu
semua, Peter Senge mengingatkan bahwa tidak semua pemimpin akan mampu
melakukannya. Oleh karena itu, perlu ada perubahan gaya kepemimpinan dalam semua level
kepemimpinan birokrasi.
Dalam organisasi pembelajaran, pemimpin adalah
perancang, pengasuh, dan guru. Sebagai perancang, tugas utama pemimpin adalah
menciptakan dan mengintegrasikan seluruh komponen organisasi yang dipimpinnya
menuju sebuah visi yang telah disepakatinya. Sebagai pengasuh, apa saja yang
dilakukan sang pemimpin selalu ditujukan dalam rangka mengasuh dan menjaga
semua anggota yang ada dalam organisasi yang dipimpinnya, bahkan demi
kepemimpinannya, ia akan rela mengorbankan visi pribadinya semata demi kepentingan
visi bersama organisasinya.
Sebagai guru, pemimpin bukan berarti harus mengajarkan
kepada orang bagaimana mencapai visinya, melainkan lebih kepada upaya untuk
memberi dukungan pada setiap orang untuk belajar. Pemimpin yang memberdayakan,
singkatnya, itulah sosok pemimpin yang diharapkan mampu membangun organisasi
pembelajaran, pemimpin yang diharapkan mampu membawa birokrasi cerdas dan cakap
mengelola perubahan. Tidak mudah memang, tapi itulah tindakan yang mestinya
mulai dilakukan. Mengabaikannya akan berarti membiarkan eksistensi birokrasi
sebagai pelayan publik di negeri ini kian terpinggirkan karena ditelan
perubahan.***
DAFTAR PUSTAKA
Marquardt, J. Michael. 1996. Building The Learning Organization. New York: McGraww Hill,.
Senge, Peter M. 2002. Buku Pegangan Disiplin Kelima (The Fifth Discipline Field book). Alih
Bahasa Hari Suminto. Batam: Interaksara,