HUBUNGAN
KEKERABATAN
BAHASA SABU
DENGAN BAHASA TETUN
Oleh: Gud
Reacht Hayat Padje
I.
Pendahuluan
Penelitian
mengenai hubungan kekerabatan antara bahasa
Sabu dengan bahasa Tetun ini membahas sejarah
bahasa-bahasa sekerabat di Timor NTT dan kepulauan di sekitarnya. Penulisan ini
termasuk kajian linguistik historis komparatif yang disebut juga linguistik
diakronis.
Linguistik
historis komparatif
sebagai cabang linguistik
mempunyai tugas utama antara lain menetapkan fakta dan tingkat kekerabatan
antarbahasa yang berkaitan erat dengan pengelompokan bahasa-bahasa sekerabat.
Bahasa-bahasa sekerabat yang termasuk dalam anggota satu kelompok bahasa pada
dasarnya memiliki sejarah perkembangan yang sama. Sesuai dengan tugas utama
itu, maka linguistik historis komparatif memiliki kewenangan dalam mengkaji
hubungan genetic di antara sekelompok bahasa tertentu. Pembukitan hubungan
kekerabatan dan keasalan itu, pada
umumnya bertolak dari pengelompokan bahasa-bahasa dan rekonstruksi
protobahasanya. Pengelompokan adalah penentuan kedudukan bahasa-bahasa dalam
suatu susunan atau pohon kerabat (family
tree). Selanjutnya, rekonstruksi (protobahasa) adalah penetapan satuan-satuan
kebahasaan sebagai bentuk
proto. Dengan demikian, melalui pengelompokan dan rekonstruksi dapat diperoleh
kejelasan hubungan kekerabatan dan keasalan, sesuai dengan jenjang struktur dan
silsilah kekerabatan bahasa-bahasa (Antila, Hock, 1988:577; Bynon, 1979:266).
Para ahli di
bidang kajian ini pada prinsipnya menganut pendapat yang sama bahwa dalam
rangka kerja penelitian serupa itu, pengambilan simpulan yang bersifat historis
dapat dibenarkan (Lehmann, 19743:6; Bynin, 1979:271-272). Demikian pula, berkaitan
dengan penelitian hubungan genetic dan keasalan bahasa-bahasa, maka hal yang
paling mendasar untuk dilakukan adalah menjejaki inovasi protobahasa, yaitu
adanya warisan bersama. Warisan mersama itu dihipotesisikan berasal dari
protobahasa yang sama pula (Lyons, 1982:184; Jeffers dan Lehiste, 1972:43; Lehmann,
1972:20).
Dilihat dari sejarah penyebaran manusia yang mendiami
wilayah Belu dan Sabu, ada kemungkinan berasal dari wilayah yang sama
sebagaimana yang dikemukakan oleh Riwu Kaho (2000:54-62) bahwa dalam sejarah
dunia, tercatat ada tiga gelombang migrasi penduduk secara besar-besaran; yang pertama
terjadi pada sekitar tahun 2000 SM yaitu orang-orang Austronesia bermigrasi
dari timur ke arah barat wilayah nusantara; gelombang kedua terjadi sekitar
tahun 500 SM yaitu orang-orang berasal dari Hindia Muka/Asia Selatan, bergerak
melalui Muangthai ke Malaysia Barat (Malaka) lalu menyebar ke kepulauan
nusantara. Berkaitan dengan migrasi penduduk pada gelombang kedua ini, ada
banyak ungkapan dan cerita rakyat baik yang berupa mithe maupun legenda yang
mengungkapkan bahwa nenek moyang orang Sabu dan orang Belu berasal dari rumpun
yang sama. Gelombang migrasi penduduk yang ketiga terjadi pada abad IV dan V M.
Pada saat itu terjadi peperangan yang berkepanjangan di India Selatan akibat
invasi yang dilakukan India Utara pada masa pemerintahan Raja Chandragupta
(375-413 M).
Berdasarkan uraian-uraian di atas, penulis berpendapat
bahwa “bila orang Sabu dengan orang Belu berasal dari daerah yang sama maka
bahasa Sabu dan bahasa Tetun dicurigai memiliki tingkat kekerabatan bahasa yang
tinggi.
II. Acuan Teori
Penelitian ini
dilandasi oleh teori linguistik historis komparatif. Teori ini dikembangkan
antara lain oleh Jacob Grimm (1787-1863), Lehman (1972), Hock (1988), Bynon
(1979). Teori ini disebut juga teori diakronik, yaitu menyangkut analisis
bentuk dan keteraturan perubahan bahasa-bahasa umum misalnya yang dilengkapi dengan
perubahan bunyi, untuk merekonstruksi bahasa masa lalu, yaitu bahasa purba
(proto) yang hidup pada ribuan tahun sebelum itu. Bahasa purba (proto) ini
berubah dan pecah menjadi beberapa bahasa turunan karena faktor tempat dan
waktu (Bynon, 1979:54). Bahasa-bahasa turunan ini mewarisi kaidah-kaidah bahasa
asalnya dan akan berbeda karena perkembangan (inovasi) yang terjadi belakangan
setelah bahasa itu berbeda (Bynon, 1979:61).
Hubungan
kekerabatan antara bahasa serumpun dalam kajian historis komparatif pada
dasarnya dapat dibuktikan berdasarkan unsur-unsur warisan darai bahasa asal
atau protobahasa (Fernandez, 1996:21). Konsep bahasa asal atau protobahasa
sesungguhnya bukanlah merupaka wujud nyata bahasa, melainkan suatu bentuk yang
dirancang bangun atau dirakit kembali sebagai gambaran tentang masa lalu suatu
bahasa. Dengan kata lain, konsep ini adalah merupakan gagasan teoritis yang
dirancang dengan cara yang amat sederhana guna menghubungkan sistem-sistem bahasa
kerabat dengan menggunakan sejumlah kaidah (Bynon, 1979:71). Fakta-fakta
kebahasaan dalam wujud keteraturan kesepadanan yang ditemukan pada
bahasa-bahasa kerabat menunjukkan bukti adanya keaslian bersama yang terwaris
dari moyang yang sama (Bynon, 1979:47). Dengan adanya ciri-ciri warisan yang
sama, keeratan hubungan keseasalan antara bahasa-bahasa kerabat dapat ditemukan
dan sistem protobahasanya dapat dijejaki.
Hubungan
kekerabatan antarbahasa serumpun dalam kajian komparatif pada dasarnya dapat
dibuktikan berdasarkan unsur-unsur warisan dari bahasa asalnya atau proto
bahasa (Hock, 1988). Konsep bahasa asal atau proto bahasa sesungguhnya bukanlah
merupakan wujud nyata bahasa, melainkan suatu bentuk yang dirancang bangun atau
dirakit kembali sebagai gambaran tentang masa lalu suatu bahasa. Dengan kata
lain, konsep ini merupakan gagasan teoretis yang dirancang dengan cara yang
amat sederhana guna menghubungkan sistem-sistem bahasa sekerabat dengan
menggunakan sejumlah kaidah (Jeffers dan Lehiste, 1970; Bynon, 1979:71). Fakta-fakta
kebahasaan dalam wujud keteraturan, kesepadanan yang ditemukan pada
bahasa-bahasa kerabat menunjukkan bukti adanya keaslian bersama yang terwaris
dari moyang yang sama (Bynon, 1979:47). Dengan adanya ciri-ciri warisan yang
sama, keeratan hubungan keseasalan antara bahasa-bahasa kerabat dapat ditemukan
dan sistem protobahasanya dapat dijejaki.
Pengelompokan
berarti penentuan silsilah kelompok bahasa demi kejelasan struktur genetisnya.
Dengan pengelompokan, setiap bahasa yang diperbandingkan dapat diketahui
kedudukan dan hubungan keseasalannya dengan bahasa-bahasa kerabat lainnya. Di
lain pihak, rekonstruksi protobahasa memperjelas hubungan kekerabatan dan
ikatan keseasalan bahasa-bahasa itu sesuai jenjang kekerabatan yang dapat disilsilahkan.
Hal itu mengandung makna, protobahasa sebagai suatu sistem yang diabstrasikan
dari wujud bahasa-bahasa kerabat merupakan pantulan kesejarahan bahwa
bahasa-bahasa itu pernah mengalami perkembangan yang sama sebagai bahasa
tunggal (Antilla, 1972:213).
Rekonstruksi protobahasa berpijak pada dua hipotesis,
yakni hipotesis keterhubungan dan hipotesis keteraturan (Jeffers dan Lehiste,
1979:17; Hock, 1988:567). Ciri umum yang dimiliki hipotesis keterhubungan ini
adalah kemiripan dan kesamaan wujud kebahasaan. Salah satu ciri yang paling
diandalkan adalah kemiripan bentuk dan makna kata-kata. Kata-kata yang memiliki
kemiripan atau kesamaan bentuk dan makna yang biasa disebut kosa kata seasal (cognate set) bukan sebagai pinjaman,
kebetulan, atau kecenderungan semesta, tetapi dihipotesiskan sebagai warisan
dari asal-usul yang sama. Hipotesis keteraturan berwujud perubahan bunyi yang
bersistem dan teratur pada bahasa-bahasa turunan. Sebuah segmen bunyi dari
protobahasa yang terwaris melalui kosakata seasal berubah secara teratur pada
suatu bahasa turunan.
Penelusuran
terhadap unsur warisan bahasa berkerabat meliputi tataran leksikal, fonologi,
morfologi, dan sintaksis. Dalam studi komparatif, tataran leksikal dan fonologi
lebih umum dipakai sebagai dasar penentuan kekerabatan dan pengelompokan suatu
bahasa serumpun dengan alasan sebagai berikut. Pertama, melalui pengelompokan
leksikal, kita bisa memperoleh informasi tentang budaya, sejarah, kehidupan
sosial, dan fakta-fakta geografis suatu masyarakat bahasa. Kedua, pengelompokan
yang paling berhasil pada studi komparatif adalah pengelompokan pada tataran
fonologis karena berbagai faktor: (a) segmen atau unsur fonologis merupakan
unsur terkecil dalam suatu bahasa, dengan demikian lebih mudah dipahami; (b)
lebih mudah ditemukan fakta yang relevan dibandingkan tataran lainnya. Karena
sebuah tuturan kecil dengan cepat dan banyak dapat ditemukan fakta yang
diperlukan; (c) masalah bunyi telah banyak dikaji dalam studi linguistik
sehingga telah menjadi kajian yang sangat mapan. (d) perubahan bunyi itu
beraturan dan dapat memberi indikasi hubungan di antaranya (Hock, 1988:573).
Tataran leksikal
merupakan salah satu aspek penting dalam studi komparatif. Hal tersebut tampak
terutama pada pengamatan tingkat awal dalam upaya pengelompokan antarbahasa
sekerabat. Dengan menggunakan bukti-bukti kuantitatif yang lebih berorientasi
pada pengamatan sekilas pada sejumlah kosakata dasar dapat ditentukan kelompok
bahasa-bahasa sekerabat berdasarkan prosentasenya, sedangkan tataran fonologis
dapat dipakai pada tingkat lanjutan untuk menentukan pengelompokan protobahasa.
Berdasarkan perubahan bunyi secara teratur yang terjadi pada masing-masing
bahasa kerabat dapat disusun kaidah-kaidah korespondensi fonem (Dyen, 1978 dan
Bynon, 1979:25).
Pada dasarnya
inti dari upaya penelusuran terhadap hubungan kekerabatan suatu bahasa, baik
untuk tujuan pengelompokan bahasa (subgrouping)
maupun penelitian asal bahasa, adalah penemuan terhadap bukti-bukti yang
meyakinkan, yang terdapat dalam setiap bahasa yang diperbandingkan. Bukti-bukti
tersebut dapat bersifat kuantitaif dan kualitatif. Bukti kuantitatif adalah
dalam bentuk sejumlah kosakata kerabat (cognate
set) yang berkaitan dengan retensi bersama (shared retention). Bukti kualitatif berupa inovasi bersama (shared inovation) serta korespondensi
fonologis (Crowley, 1983; Jeffers dan Lehiste, 1979:1-16).
Penjejakan
bukti-bukti kuantitatif atau retensi bersama didasarkan atas asumsi bahwa
kosakata tersebut bersifat semesta dan konstan sepanjang masa. Dikatakan
bersifat semesta karena kosakata yang dibandingkan merupakan kosakata inti yang
sangat intim dengan kehidupan manusia dan ada dalam setiap bahasa. Kosakata
inti termasuk kosakata yang usianya setua manusia dan sukar berubah
dibandingkan dengan kosakata lainnya. Perubahan kosakata itu hanya sekitar 20%
dalam setiap 1000 tahun atau mampu bertahan sebesar 80% (Crowley, 1983), 81%
(Hockett, 1963, dan Swadesh, 1972). Itulah sebabnya kosakata itu dikatakan
bersifat konstan sepanjang masa. Bukti-bukti kuantitatif tersebut dipakai
sebagai dasar pengelompokan pada tahap awal pada suatu bahasa untuk tujuan
pemerolehan persentase kosakata kerabat yang dihitung dengan menggunakan
leksikostatistik, dan menghitung masa pisah setiap bahasa dengan menggunakan glotokronologis
(Dyen, 1978; Swadesh, 1972).
Penjejakan
terhadap bukti-bukti kualitatif merupakan upaya penemuan fakta-fakta tentang
perubahan-perubahan yang ekslusif, yang hanya terdapat dalam dua bahasa atau
lebih. Perubahan bersama yang ekslusif (exclivelu
shared linguistic innovation) itu merupakan retensi dari protobahasa
asalnya dan tidak ditemukan pada bahasa atau subkelompok bahasa lainnya.
Perubahan yang dimaksud hanya terjadi satu kali dalam perjalanan sejarah bahasa
itu. Perubahan-perubahan itu tampak dalam bentuk perubahan bunyi yang teratur
dan perubahan bunyi yang sporadis; dapat berupa perubahan leksikon, serta dapat
pula berupa perubahan makna (Jeffers dan Lehiste 1979).
Beberapa pola
perubahan bunyi dapat terjadi, seperti peleburan (merger), pelengkahan (split),
penunggalan (monophonemization)
penggugusan (diphonemization) dan
peluluhan bunyi (phonemic losss)
(Penz. 1969:11-13; Hock 1988:107-117).
Leksikostatistik adalah salah satu teknik pengelompokan bahasa-bahasa
atau dialek yang mengutamakan perhitungan kata-kata secara statistik untuk
mengetahui jumlah kesamaan kata-kata kerabat yang diperbandingkan (Grimes, 1987
dalam Mead 1999). Leksikostatistik berisikan daftar kosakata dasar setiap
bahasa yang akan diperbandingkan. Morris Swadesh mengusulkan 200 kosakata dasar
yang universal, yang meliputi kata-kata ganti, kata bilangan, kata-kata anggota
badan (sifat dan aktivitasnya), alam dan sekitarnya dan alat-alat budaya
sehari-hari.
Untuk menentukan
jumlah kata-kata kerabat pada bahasa-bahasa yag dibandingkan, maka digunakan
teknik-teknik sebagai berikut:
- Pasangan
yang identik
- Pasangan
yang memiliki korespondensi fonemis
- Pasangan
yang mirip secara fonetis
- Pasangan
satu fonem berbeda (Keraf,
1984)
Setelah semua
teknik perbandingan di atas digunakan, maka diadakan perhitungan untuk
mengetahui jumlah prosentase kesamaan kata-kata kerabat. Hasil prosentase
kesamaan akan menunjukkan pola-pola hubungan antara bahasa-bahasa dan
selanjutnya dapat ditentukan status dan garis keturunan bahasa-bahasa yang
dibandingkan.
Menurut Simons
(1997) dalam Mead (1999), studi
leksikostatistik sinkronis juga dapat menetukan batas-batas bahasa dan dialek
dengan presentase pengelompokan yang diusulkan Grimes (1987), sebagai berikut:
Under 15% =
belong to different phylum
Over 15% = belong to the same phylum
Over 25% = belong to the same superstock
Over 45% = belong to the same stock
Over 65% = belong to the same family
Over 75% = belong to the same sub family
Over 80% = belong to the same language
Over 90% = belong to the same dialect
Selain
pendekatan leksikostatistik sinkronis, studi ini juga akan menggunakan
pendekatan Diakronis. Tujuan penggunaan pendekatan ini untuk melacak dan
memberi gambaran tentang usia pisah dan proses perkembangan bahasa selanjutnya
dari bahasa protonya.
III. Data dan Pembahasan
3.1 Pasangan Identik
NO
|
GLOSS
|
SABU
|
TETUN
|
1.
|
Ibu
|
Ina
|
Ina
|
3.2
Pasangan yang memiliki korespondensi Fonemis
Korespondensi bunyi atau
kesepadanan bunyi adalah kesejajaran bunyi pada posisi yang sama yang terdapat
pada bahasa-bahasa turunan berdasarkan kognat dasar yang dikumpulkan dalam
penelitian. Kesejajaran ini terlihat pada kesamaan atau kemiripan bentuk dan
arti (Hock, 1988:557-558).
NO
|
GLOSS
|
SABU
|
TETUN
|
1.
|
Abu
|
awu
|
ahukdesan
|
2.
|
Air
|
ei
|
we
|
3.
|
Alir
|
mili
|
suli
|
4.
|
Anak
|
ana
|
oa n
|
5.
|
Api
|
ai
|
ahi
|
6.
|
Batu
|
wadu
|
fatu
|
7.
|
Belah (me)
|
bekka
|
fera
|
8.
|
Berenang
|
nangi
|
nani
|
9.
|
Berjalan
|
kako
|
lao
|
10.
|
Bilamana
|
perri
|
wehira
|
11.
|
Cacing
|
kelate
|
latik
|
12.
|
Debu
|
awu
|
raiahun
|
13.
|
Dengan
|
nga
|
no
|
14.
|
Dengar
|
rengi
|
rona
|
15.
|
Di dalam
|
padara
|
ihalaran
|
16.
|
Dua
|
due
|
rua
|
17.
|
Empat
|
eppa
|
hat
|
18.
|
Engkau
|
eu
|
o
|
19.
|
Gigit
|
hibb’e
|
hanisi
|
20.
|
Hapus
|
rohe
|
kose
|
21.
|
Hati
|
ade
|
aten
|
22.
|
Hidup
|
muri
|
moris
|
23.
|
Hitam
|
meddi
|
metan
|
24.
|
Ikat
|
ekki
|
kesi
|
25.
|
Ini
|
nadde
|
ne’e
|
26.
|
Itu
|
nanidd’e
|
nia
|
27.
|
Berjalan
|
kako
|
lao
|
28.
|
Jauh
|
djuo
|
dok
|
29.
|
Kaki
|
kae
|
ain
|
30.
|
Kamu
|
eu
|
emi
|
31.
|
Kanan
|
kedanga
|
wana
|
32.
|
Kecil
|
naiki
|
ki’ik
|
33.
|
Kiri
|
keriu
|
karuk
|
34.
|
Lain
|
wala
|
feluk
|
35.
|
Laut
|
ei dahi
|
tasi
|
36.
|
Leher
|
lakoko
|
kakorok
|
37.
|
Lelaki
|
mone
|
mane
|
38.
|
Lihat
|
heleo
|
hare
|
39.
|
Lima
|
lemmi
|
lima
|
40.
|
Makan
|
nga ‘a
|
ha
|
41.
|
Mata
|
namada
|
matan
|
42.
|
Matahari
|
madalodo
|
loromatan
|
43.
|
Minum
|
nginu
|
hemu
|
44.
|
Nama
|
ngara
|
naran
|
45.
|
Panas
|
pana
|
manas
|
46.
|
Pendek
|
babba
|
badak
|
47.
|
Potong
|
atte
|
ta
|
48.
|
Putih
|
pudi
|
mutin
|
49.
|
Siang
|
ani lodho
|
loron
|
50.
|
Tajam
|
na’a
|
ro’at
|
51.
|
Takut
|
meda’u
|
hatauk
|
52.
|
Tali
|
dari
|
tali
|
53.
|
Tanah
|
worai
|
rai
|
54.
|
Tebal
|
me’a
|
ma’ar
|
55.
|
Telinga
|
wodilu
|
tilun
|
56.
|
Telur
|
de’lu
|
manutolun
|
57.
|
Tetek
|
huhu
|
hasusu
|
58.
|
Tipis
|
meni
|
mi’is
|
60.
|
Usus
|
tene’i
|
ten
|
3.3Kemiripan secara Fonetis
NO
|
GLOSS
|
SABU
|
TETUN
|
|
Gali
|
Ke’i
|
Ke’e
|
|
Garuk
|
Karu
|
Ko’i
|
3.4 Satu Fonem berbeda
NO
|
GLOSS
|
SABU
|
TETUN
|
|
Ayah
|
Ama
|
Aman
|
|
Bakar
|
Tunu
|
Sunu
|
|
Benih
|
Wini
|
Fini
|
|
Darah
|
Ra
|
Ran
|
|
Pada
|
Pa
|
Ba
|
|
Kutu
|
Udu
|
Utu
|
|
Mati
|
Made
|
Mate
|
|
Merah
|
Mea
|
Mean
|
|
Tiga
|
Te’lu
|
Tolu
|
|
Tulang
|
Rui
|
Ruin
|
3.5 Persentase kekerabatan :


=
36,5% dibulatkan menjad 37%
Dengan
persentase kekerabatan 37% ini, maka tingkatan bahasa Sabu dengan Tetun
berdasarkan klasifikasi bahasa menurut Swadesh berada pada tingkatan keluarga (family), sedangkan menurut klasifikasi
Grimes berada pada tingkatan stock.
3.Perhitungan
Tahun Pisah :
Perhitungan
Tahun Pisah :





Angka 2290 adalah angka relatif atau tidak pasti. Oleh
karena itu perlu dihitung pula jangka waktu kesalahan dengan standar 7% dari
kebenaran dengan rumus.





Waktu
pisah II (t1) antara bahasa Sabu dan Tetun adalah


T1= 999
Jangka
kesalahan didapat dengan rumus
=
t-t1
=
2290-999
=
1291
Jangka
kesalahan adalah 35 tahun.
Hitung
ke belakang sejak tahun 2012.
a. 2290 ±1291 ( di antara 2290 – 1291 atau dan 999 +1291
b. 999 - 2290
c. 1013 - 3303
Tidak ada komentar:
Posting Komentar