Translate

Minggu, 29 November 2015

PELATIHAN DAN PENGEMBANGAN PEGAWAI SEBAGAI ALAT PENUNJANG KESUKSESAN PELAYANAN BIROKRASI

PELATIHAN DAN PENGEMBANGAN PEGAWAI
SEBAGAI ALAT PENUNJANG KESUKSESAN PELAYANAN BIROKRASI
https://drive.google.com/file/d/1A89xVayKtfeaBG5WvQc0BhHbYkM8zgaE/view?ths=true
OLEH
GUD REACHT HAYAT PADJE

I.      Pendahuluan
            Pelatihan dan pengembangan merupakan usaha untuk mengurangi atau menghilangkan terjadinya kesenjangan antara kemampuan pegawai dengan yang dikehendaki oleh organisasi/instansi. Usaha tersebut dilakukan melalui peningkatan kemampuan kerja yang dimiliki pegawai dengan cara menambah pengetahuan, keterampilan dan mengubah sikap, sehingga dapat menjadi kekayaan organisasi yang paling berharga, karena dengan segala potensi yang dimilikinya, pegawai dapat terus dilatih dan dikembangkan, sehingga dapat lebih berdaya guna, prestasinya menjadi semakin optimal untuk mencapai tujuan organisasi.
            Adanya kesenjangan antara kemampuan pegawai dengan yang dikehendaki organisasi, menyebabkan perlunya organisasi menjembatani kesenjangan tersebut, salah satu caranya adalah dengan pelatihan dan pengembangan. Dengan demikian diharapkan seluruh potensi yang dimiliki pegawai, yaitu pengetahuan, keterampilan dan sikap dapat ditingkatkan, yang pada akhirnya dapat mengurangi kesenjangan.
            Di lingkungan PNS, pendidikan dan pelatihan adalah suatu proses penyelenggaraan belajar-mengajar dalam rangka meningkatkan kemampuan PNS dalam melaksanakan jabatannya. Tujuannya adalah:

  1. Meningkatkan kesetiaan dan ketaatan PNS kepada Pancasila, UUD 1945, Negara, dan Pemerintah RI;
  2. Menanamkan kesamaan pola piker yang dinamis dan bernalar agar memiliki wawasan yang komprehensif untuk melaknakan tugas umum pemerintahan dan pembangunan;
  3. Memantapkan semangat pengabdian yang berorientasi pada pelayanan, pengayoman, dan pengembangan partisipasi masyarakat;
  4. Meningkatkan pengetahuan, keahlian atau keterampilan, serta pembentukan sedini mungkin kepribadian PNS “(PP No. 14 Tahun 1994 pasal 2)”

            Berdasarkan pasal 2 PP No. 14 Tahun 1994 di atas, maka sesungguhnya kemampuan PNS tidak perlu diragukan lagi karena setiap pegawai pernah mendapat pendidikan dan pelatihan, minimal pendidikan dan pelatihan prajabatan. Namun yang menjadi kendala, seringkali kali masyarakat atau pengguna jasa pemerintah dikecewakan dengan pelayanan yang tidak berkualitas, berlarut-larut, dan memerlukan biaya yang tinggi.
            Hal-hal inilah yang menjadi suatu pertanyaan besar bagi penulis, yang membuat hati tergerak untuk melihat lebih dalam mengenai “pelatihan dan pengembangan pegawai sebagai alat penunjang kesuksesan pelayanan birokrasi”.

II.    Ruang Lingkup Kegiatan Poendidikan dan Pelatihan PNS
Menurut Peraturan Pemerintah No. 14 tahun 1994 jenis pendidikan dan pelatihan antara lain terdiri dari:
a.    Pendidikan dan Pelatihan Prajabatan.
Pendidikan dan pelatihan pra jabatan adalah pendidikan dan pelatihan yang disyaratkan dalam pengangkatan PNS. Pendidikan dan pelatihan prajabatan yang dimaksud untuk melakukan pembentukan sikap mental, kemantapan fisik dan disiplin serta untuk memenuhi kebutuhan, kemampuan dan keahlian atau keterampilan bagi calon PNS yang diperlukan untuk menduduki suatu jabatan pegawai negeri.
b.    Pendidikan dan pelatihan dalam jabatan
Pendidikan dan pelatihan dalam jabatan adalah pendidikan dan pelatihan bagi PNS, yang terdiri atas:
1)    Pendidikan dan pelatihan struktural.
Dalam pasal 7 PP No. l4 tahun 1994 ditentukan bahwa pendidikan dan pelatihan struktural adalah pendidikan dan pelatihan yang dipersyaratkan bagi PNS yang akan diangkat dalam jabatan struktural. Pendidikan dan peIatihan struktural terdiri dari:
a)    Pendidikan dan pelatihan staff dan Pimpinan Administrasi tingkat pertama yang seIanjutnya disebut Diklat SPAMA yaitu Pendidikan pelatihan yang dipersyaratkan bagi PNS yang terpilih dan memiliki kemampuan untuk diangkat dalam jabatan struktural eselon III.

b)    Pendidikan dan pelatihan Staff dan Pimpinan Administrasi tingkat Menengah yang selanjutnya disebut Dikiat SPAMEN yaitu pendidikan dan pelatihan yang dipersyaratkan bagi PNS yang terpilih dan memiliki kemampuan untukdiangkat dalamjabatan struktural eselon H.
c)    Pendidikan dan pelatihan Staff dan Pimpinan Administrasi tingkat tinggi yang selanjutnya disebut Diklat SPATI yaitu pendidikan dan pelatihan yang dipersyaratkan bagi PNS yang telah menduduki jabtan struktural eselon II dan terpilih serta memiliki kemampuan untuk diangkat dalam jabatan struktural eselon I.
2)    Pendidikan dan pelatihan fungsional.
Menurut pasal 8 PP no.14 tahun 1994 yang dimaksud dengan pendidikan dan pelatihan fungsional adaah pendidikan dan pelatihan yang dipersyaratkan bagi PNS yang akan dan telah menduduki jabatan fungsional. Pendidikan dan pelatihan fungsional dapat dilakukan secara berjenjang sesuai dengan tingkat jabatan fungsional.
3)    Pendidikan dan pelatihan teknis.
Pendidikan dan pelatihan teknis adalah pendidikan dan pelatihan yang diselenggarakan untuk membeni keterampilan dan penguasaan pengetahuan d bidang teknis tertentu kepada PNS, sehingga mampu melakukan tugas dan tanggung jawabnya yang diberikan sebaik- baiknya. Pendidikan dan pelatihan teknis ini dapat dilakukan secara berjenjang sesuai dengan tingkat dan jenis pekerjaan PNS yang bersangkutan.

III.   Kesalahan Pendidikan dan Pelatihan dalam Birokrasi
Dapat disimpulkan kesalahan dalam pelatihan dan pengembangan pegawai yang dapat merusak dan mematikan pelatihan adalah terletak pada kesesuaian kepribadian atau pertentangan kepribadian antara pihak pimpinan dan pegawai bawahan. (Thomas, 1995:39)
a.    Peran yang kurang jelas.
Kurangnya pemahaman dapat menimbulkan pertanyaan siapa yang sesungguhnya bertanggung jawab dalam pelatihan. Atasan mungkin saja tidak memiliki pengertian mendalam tentang apa yang harus dilakukannya dalam pelatihan, kapan dan bagaimana melakukanya. Selain itu terdapat pula ketidaksiapan dalam penyuluhan, pengarahan yang dibutuhkan, apakah bawahan siap dan bersedia menerima bantuan.
b.    Gaya manajemen yang kurang sesuai.
Gaya manajemen merupakan pola perilaku konsisten yang digunakan oleh pimpinan saat bekerjasama melalui orang lain. Besarnya pengawasan atau kebebasan yang diberikan oleh atasan kepada pegawai seringkali tergantung pada anggapan pimpinan terhadap pegawai; apakah mereka pemalas, tidak dapat diandalkan, bertanggung jawab atau sebaliknya apakah mereka kreatif, memiliki motivasi dan mampu berinisiatif. Di lain pihak, sikap yang ditunjukkan oleh pegawai sangat tergantung pada harapan dan keinginan mereka apakah mereka menginginkan pemimpin dengan jiwa pimpinan yang kuat, apakah mereka akan menunjukkan kemandirian, ketergantungan, inisiatif dan kreatifvitas.
c.    Kesulitan dalam kontak pribadi secara langsung.
Pelatihan melibatkan pengarahan dengan kontak pribadi Iangsung. Ini sering menimbulkan kesulitan bagi pimpinan atau atasan yang tidak terbiasa melakukan hubungan tatap muka satu lawan satu dengan bawahan untuk jangka waktu tertentu. Timbulnya rasa takut ini dapat membongkar kekurangan atasan sebagai pelatih, baik yang berkaitan dengan pengetahuan teknis maupun keahlian khusus. Barangkali juga karena yang bersangkutan merasa cemas akan kehilangan persepsi kekuasaannya di mata pegawai, suatu kelebihan yang membuat dirinya memperoleh kerelaan dan kepercayaan dan pegawai atau bahkan pimpinan khawatir akan kehilangan rasa hormat dan loyalitas mereka (seperti kasus di Indonesia)

IV.  Pendekatan Diklat dan Perspektif Pimpinan dan Pegawai Tingkat Bawah
Banyak kasus dan permasalahan yang ditimbulkan dan masalah hubungan antara pegawai baik pimpinan dengan pegawai bawahan maupun pimpinan dengan pimpinan yang dapat mengganggu proses pelatihan dan pengembangan pegawai. Untuk itu kita dapat meninjau sebelumnya bagaimana pelatihan itu sendiri dengan dilihat dari perspektif pimpinan dan perspektif pegawai bawahan, (Thomas, 1995:48).
a.    Pelatihan dan Pendekatan Pimpinan
Manajemen dapat didefinisikan sebagai proses bekerja dengan dan melalui perorangan, kelompok, serta sumber lain untuk mencapai sasaran organisasi (Hersey dan Blanchard dalam Thomas,1995:48). Keberhasilan departemen manapun dalam suatu organisasi bergantung pada pengembangan dan kinerja dari para pegawainya, dan bukan semata-mata pada pribadi pimpinan. Bila setiap anggota staf diberi kekuasaan untuk mengambil lebih banyak tanggung jawab, peran manajer akan lebih banyak memberikan tuntutan. Pimpinan harus mengubah manajemen dengan pengawasan menjadi manajemen dengan tanggung jawab baik dari dirinya sendiri maupun pihak lain, dan selanjutnya menerapkan manajemen dengan cara menjadikan dirinya fasilitator di lingkungan kerja yang bersuasana belajar. Pimpinan yang berniat mencapai tujuan seperti ini akan melihat proses pelatihan sebagal sarana vital untuk menghadapi tantangan dan pilihan yang akan dihadapi dalam suasana baru, dan memastikan bahwa pegawai telah siap dan bersedia memikul tanggung jawab serta otoritas menyangkut tugas barunya apabila yang bersangkutan diminta melakukannya.
Sangat penting bagi pimpinan untuk mendapatkan komitmen pegawai yaitu dengan cara memberikan kesempatan kepadanya untuk meningkatkan tanggung jawab dan keterlibatannya dalam sejumlah keputusan kunci yang dapat mempengaruhi pribadi dan pekerjaannya. Di samping itu perlu adanya peluang berkreasi dan bekerja sama khususnya bagi pihak bawahan. Upaya membangkitkan gairah kreatif merupakan hal yang sangat penting bagi pimpinan. Pelatihan erat kaitannya dengan bagaimana suatu pekerjaan harus dilakukan dan dengan apa harus dikerjakan. Artinya suatu kegiatan yang menuntut kesabaran dan kesediaan pihak pimpinan. Perubahan-perubahan terukur menyangkut pembelajaran dan penerapan keterampilan baru membutuhkan waktu untuk memulai dan mengembangkannya. Pegawai di sini perlu memiliki keluwesan dan kemampuan penyesuaian yang tinggi untuk menghadapi pribadi yang berbeda satu sama lain, serta prioritas yang mereka hadapi. Keterampilan dalam memimpin dan menjadi fasilitator sangat diperlukan. Bagi pimpinan, pelatihan dapat disebut berhasil bila dilihat adanya kemajuan dalam tampilan dan kinerja pegawai, bila pegawai mempunyai kemampuan menyelesaikan tugas dengan lebih baik serta mampu mengambil tanggung jawab dan otoritas yang diberikan kepadanya.
b.    Pelatihan dan Pendekatan Pegawai
Pelatihan bagi pegawai merupakan suatu cara yang bermanfaat dan merupakan sarana belajar yang sesuai dengan upaya memikirkan tanggung jawab dan otoritas tugas baru. Selain memberikan peluang untuk mempertanyakan dan menguji dugaan, pelatihan sekaligus membantu meningkatkan apresiasi mengenai masalah dan tekanan yang peenah dialami oleh atasan. Pelatihan juga merupakan seperangkat keterampilan yang jelas dan terpisah, jauh berbeda dengan manajemen biasa lainnya yang seharusnya dikuasai oleh para manajer.
Bagi pegawai, pelatihan dianggap berhasil bila perkembangan yang terjadi dapat dirasakan secara pribadi dan profesional lewat dorongan, dukungan dan bimbingan atasan. Untuk itu perlu dilihat bagaimana kesesuaian antara pimpinan sebagai pelatih (trainer) di satu sisi dengan pegawai sebagai yang dilatih (trainee)? Pelatihan disebut berhasil jika menghasilkan prestasi, kelangsungan hubungan kerja, serta kemajuan hubungan kerja positif antara pimpinan dan pegawai yang diharapkan dapat saling menyesuaikan dirinya dengan berbagai hal untuk mencapai hubungan kerja yang yang dilandasi sikap saling mempercayai.

V.    Pengamatan Kepribadian Pimpinan dan Pegawai dalam Proses Pelatihan dan Pengembangan
Setiap harinya saat berhadapan dengan pegawai maka seorang manajer atau pimpinan menghadapi potensi sukses atau konflik, begitu pula ia mengoptimalkan efisiensi dan produktivitas departemennya. Begitu juga sebagai seorang individu yang mempunyai kecenderungan dan kebiasaan untuk berperilaku dengan cara tertentu. Carl Jung, tahun 1923 dalam salah satu teorinya memberikan penjelasan tentang kepribadian manusia. Jung melihatnya sebagal suatu pola, dan ia menyebutnya sebagai tipe psikologis, pola manusia yang Iebih senang melihat dan membuat penilaian. Dalam teorinya Jung mengatakan bahwa semua aktivitas mental yang disadari dapat diklasifikasikan dalam empat proses mental, dua proses persepsi (akal sehat dan intuisi) dan dua proses penilaian ‘pikiran dan perasaan’ (Thomas, 1995:52)
Pola yang dibawa sangat sederhana dengan dibagi menjadi empat pola yaitu:
a.    Tipe dominan pemimpin.
Sifat dominan pemimpin ditimbulkan oleh kebutuhan yang paling dalam untuk memimpin, mengendalikan, mengambil tanggung jawab, terhadap orang dan situasi di sekitar. Tipe ini berorientasi pada masalah dan menyukai tantangan. Mereka senang berbicara secara terbuka, suka mengawasi, atau mengendalikan, berkemauan keras, mandiri, tidak tenang, memusatkan perhatian pada sasaran, cenderung menentang orang sekitar dan praktek-praktek konvensional serta tidak menyukai rutinitas.
b.    Tipe interaksi sosialisasi.
Tipe ini sering berbicara, popular, pandai meyakinkan orang lain, impulsive, bersemangat, energik, dan secara mencolok membutuhkan pengakuan sosial serta senang diperlakukan dengan kehangatan. Ia selalu mencoba mempengaruhi orang lain dengan sikap optimis, ramah, sambil memusatkan perhatian pada hasil positif, baik dalam lingkungan sosialnya maupun tempat kerjanya, lebih dari yang lain, kekaguman dan penerimaan orang sehingga sangat berarti baginya. Karena penghargaan dan persetujuan dapat membuatnya termotivasi, dan tipe ini sering menjadi pusat perhatian dan berada di pusat kegiatan.
c.    Tipe hubungan mantap.
Individu dan tipe ml biasanya tenang, serba terukur, mudah bergaul, muda diduga, sederhana. Mereka lebih menyukai gerak langkah yang mudah da perlahan. Mereka menyukai kemantapan dan memiliki kecenderungan pada tindakan-tindakan keberlanjutan. Mereka memusatkan perhatian pada sikap yang membangun kepercayaan, dan mengincar hubungan pribadi jangka panjang. Sasaran mereka adalah mempertahankan lingkungan yang stabil, aman, dan seimbang.
d.    Tipe pemikir hati-hati.
Tipe ini memiliki sejumlah kelebihan, diantaranya akurat, dapat diandalkan. mandiri, penuh perhatian, dan panjang akal. Tipe ini menyukai privasi, agak tertutup baik dalam pikiran dan perasaannya. Ia perenung, tertutup, penuh pertimbangan, serta dalam berbagai situasi selalu siap dengan pertanyaan mengapa dan bagaimana kepada dirinya sendiri. Ia penemu, senang melihat sesuatu dengan cara baru, dan sering memiliki pandangan yang unik, tidak senang mengambil resiko, suka menyendiri, tertutup dan tidak berperasaan. Pada umumnya mereka tidak takut mengungkapkan emosi yang tidak terkendali dan tindakan irasional, ciri yang sangat mengganggu keinginan untuk mencapai sasaran.
Dengan melihat keempat perilaku walaupun terdapat tipe perilaku yang lain yang merupakan campuran dari 4 tipe perilaku yang telah diuraikan di atas, maka seorang atasan, pimpinan atau manajer dapat mengambil gaya pelatihan masing-masing yang disesuaikan dengan tipe perilaku masing-masing. Untuk itu Thomas (1995) mencoba untuk membuat pelatihan yang cocok untuk masing-masing perilaku:
a.    Pelatihan yang melibatkan tipe dominan pemimpin.
1)    Tunjukkan bagaimana mereka dapat memenangkan pertandingan, berikan kesempatan dan peluang baru.
2)    Ubah dan variasikan rutinitas, carilah kesempatan yang menjanjikan variasi.
3)    Tunjukkan alasan dan jalan pikiran yang logis, kembangkan keterampilan mendengarkan, misalnya dengan menguraikan dengan jelas semua kesepakatan.
4)    Berikan data, fakta, dan uraian yang tepat.
5)    Sepakati saran dan batasnya. Kemukakan penghargaan atas prestasi dan komitmennya pada akhir diskusi bila perlu berikan dokumen tertulis, biarkan a melakukan tugasnya sendiri meski tetap dalam pengawasan.
6)    Berikan kesempatan untuk menggali inisiatit dalam batas-batas yang ditentukan.
b.    Pelatihan yang melibatkan tipe interaksi sosiahsasi.
1)   Berikan dukungan penuh semangat terhadap kebutuhan mereka pada penghargaan dan penampilan, bila memungkinkan, tunjukkan kepercayaan terhadap gagasan dan perasaan mereka.
2)   Hindarkan rincian yang rumit, berikan fokus yang jelas dan utuh.
3)   Berikan alasan dan logika, bantu mereka mengembangkan keterampilan mendengar dengan cara menguraikan secara jelas semua bentuk kesepakatan.
4)   Membantu mereka mengembangkan rencana menyangkut hasil-hasil yang telah dicapai dengan basis konsisten.
5)   Membuat variasi tugas-tugas rutin, hindarkan penugasan jangka panjang dan berulang-ulang.
6)   Memberi satu pujian yang tulus, tunjukkan perhatian pada pencapaian dan kemajuan yang mereka lakukan.
7)   Atasan tidak melakukan tindakan agresif, sehingga dapat menghindari semua bentuk argumentasi pribadi karena mereka membenci konflik.
8)   Manajer atau pimpinan dapat memberi rangsangan agar mereka dapat bekerja cepat.
c.    Pelatihan yang melibatkan tipe hubungan mantap.
1)   Jelaskan bahwa gagasan anda tidak mencadangkan banyak resiko.
2)   Memberi suatu peringatan yang memadai terhadap kemungkinan terjadinya perubahan, penugasan yang kurang terencana, ataupun tehnik yang belum teruji.
3)   Yakinkan dengan alasan dan pertimbangan logis. Berikan data dan bukti yang diperlukan.
4)   Seorang pelatih dapat menunjukkan minatnya kepada pegawai atau peserta latihan.
5)   Pelatih memberikan garis besar dan instruksi yang jelas.
6)   Memberikan kesempatan kepada pegawai untuk memberikan pelayanan dan bantuan kepada orang lain.
7)   Menciptakan lingkungan kerja yang santal dan bersahabat.
d.    Pelatihan yang melibatkan tipe pemikir hati-hati.
1)   Lakukan pendekatan secara tidak langsung, berhati-hati, dan tanpa kesan mengancam.
2)   Menunjukkan alasan atas keputusan yang akan diambil dan memberikan penjelasan yang masuk akal.
3)   Memberikan kesempatan berpikir, bertanya, dan menyelidiki kemajuan dan kinerja pihak ketiga sebelum memintanya untuk membuat keputusan
4)   Memberikan pujian atas kesungguhan dan kejujuran bila dipandang perlu.
5)   Pelatih meminta penjelasan dan bantuan untuk menghindari konflik atau sikap membela diri.
6)   Memberikan waktu kepadanya untuk merenung, mempertimbangkan, dan mencari jawaban terbaik dalam batas-batas yang sesuai.
Pengertian yang lebih baik tentang perbedaan alami diantara tipe-tipe di atas akan sangat membantu pelatih (trainer) dalam hal ini pimpinan atau tenaga ahIi dalam mendapatkan wawasan tentang perilaku pegawai atau karyawan di tempat kerja. Penyesuaian yang dilakukan oleh pihak pelatih merupakan kunci keberhasilan. Karena sikap ini menuntut kesediaan dan kemampuan atasan untuk melibatkan diri dengan sejumlah perilaku yang tidak selalu sama denga gaya yang dimiliki, sehingga akan dapat menghadapi situasi dan hubunga kerja secara efektif.
Untuk situasi birokrasi di Indonesia pengaruh budaya yang begitu melekat dan jaman dulu sampai sekarang, membuat lembaga birokrasi sulit untuk berubah. Di sini pelatihan serta karakter kepribadian baik pimpinan dan pegawai tingkat bawah yang telah dibahas di atas untuk birokrasi Indonesia sebenarnya sudah diterapkan. Melalui analisis kepribadian yang dalam serta pemahaman yang baik terhadap perilaku pegawai maka tipe pelatihan yang telah dikemukakan di atas akan dapat berhasil. Gambaran bagaimana tipe pelatihan melalui pengamatan kepribadian ini dapat dilihat dari uraian di bawah ini:
a.    Pelatihan yang melibatkan tipe dominan pemimpin dapat dilihat dari penerapan:
1)    Program pendidikan dan pelatihan manajemen pemerintahan, yaitu pendidikan dan pelatihan bidang kepala wilayah atau daerah, pendidikan dan pelatihan bidang staf umum wilayah atau daerah, pendidikan dan pelatihan bidang kader. Dilanjutkan kebijakan penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan manajemen pemerintahan yang telah dilaksanakan selama ini antara lain mencakup Sekolah Tinggi Pemerintahan Dalam Negeri, Institusi Ilmu Pemerintahan, serta kursus terhadap legislatif.
2)    Pendidikan dan pelatihan penjenjangan karir,meliputi:
(a) Sekolah Pimpmnan Administrasi Tingkat dasar (SEPADA)
(b) Sekolah Pimpinan Tingkat Lanjutan (SEPALA)
(c) Sekolah pimpinan Tingkat Madya (SEPADYA)
(d) Sekolah staf.
(e) Pimpinan Administrasi tingkat Atas (SESPA)
Inti dari pelatihan ini melibatkan pegawai yang mempunyai jiwa kepemimpinan yang baik. Melalui pengamatan kepribadian terhadap perilaku pegawai maka organisasi atau lembaga birokrasi dapat menerapkan pelatihan yang sesuai dengan kepribadian pegawai.
b.    Pelatihan yang melibatkan tipe interaksi sosialisasi.
Pelatihan ini dapat diberikan kepada pegawai yang mempunyai interaksi sosial yang tinggi, melalui kepribadiannya yang senang berbicara, pandal meyakinkan orang lain maka pelatihan yang balk dilakukan adalah melalul:
1)    Program seminar.
Pelatihan melalui pertemuan ilmiah untuk membahas hash suatu penelitian atau makalah ilmiah guna memperoleh tanggapan dan masukan dan para peserta seminar demi penyempurnaan hash tulisan dimaksud. Melalui seminar yang diikuti maka pegawai aparatur akan memperoleh wawasan dan pengetahuan, perkembangan ilmu pengetahuan serta teknologi yang nantinya memungkinkan bagi para pegawai untuk menentukan bagaimana dan langkah apa yang perlu ditempuh untuk pengembangan din dan karir dalam rangka melaksanakan tugas.
2)    Program lokakarya atau simposium.
Merupakan pertemuan ilmiah praktis untuk melakukan proses diskusi dalam rangka membahas masalah yang berkaitan dengan tugas-tugas, kondisi kerja, teknik metode kerja baru. Dengan mengikuti lokakarya, para aparatur pemermntah akan memperoleh wawasan dan pengetahuan baru tentang perkembangan teknik metode kerja yang nantinya berguna untuk pengembangan diri dan karir dalam rangka melaksanakan tugas sehari-hari.
3)    Pelatihan yang melibatkan tipe hubungan mantap.
Individu pegawai yang mempunyai kepribadian tenang, serba terukur, sederhana dan mudah bergaul serta mempunyai kepercayaan yang penuh dan mantap dalam pendirian maka pelatihan yang diterapkan dapat melalul:
(a)  Program studi banding.
Pegawai dalam hal ini diberikan suatu perbandingan tentang lingkungan yang berbeda dengan tempat kerjanya sehingga dia dapat memperoleh wawasan dan pengetahuan praktis guna membantu menyelesaikan masalah. Proses studi banding ml dapat terprogram oleh lembaga tertentu melalui mengajar ketertinggalan tertentu. Ingmn mengetahui sesuatu hal kesuksesan di tempat lain dan ingin mencontohkannya. Program ini dilakukan dengan mengirim pegawai untuk melakukan studi banding sebagai pelatihan di tempat kunjungan dengan tujuan tertentu, maka pegawai akan memperoleh suatu pendidikan berupa wawasan dan pengetahuan tentang program-program baru yang nantinya bermanfaat bagi pengembangan diri dan pengembangan organisasi.
(b)  Cara lain pelatihan ini dapat melalui program magang.
Metode ini praktis bagi para pegawai birokrasi untuk memperoleh pengetahuan keterampilan khusus bidang tertentu dan pengalaman langsung di bawah suatu bimbingan program yang bersifat terjadwal. Bimbingan program dimaksud adalah bidang tertentu dengan menggunakan jadwal dan didampingi oleh instruktur atau pelatih secara khusus dengan tujuan memantapkan kemampuan pegawai sesua bidang kerjanya.
4)    Pelatihan yang melibatkan tipe pemikir hati-hati.
Pelatihan ini dikhususkan pada pegawai yang sudah memiliki keahilan dan keterampilan khusus, serta pegawai yang khusus bertugas sebaga; pengambil keputusan dan perencana dalam organisasi atau birokrasi. Dalam hal ini kepribadian tipe pemikir hati-hati biasanya terdapat pada seorang pemimpin yang memimpin suatu organisasi atau lembaga birokrasi. Pelatihan yang diterapkan berkaitan dengan tipe perilaku dominan pemimpin yaitu diklat pimpinan yang disebut dengan program diklat struktural atau penjenjangan. Tujuan diselenggarakannya diklat perjenjangan atau struktural adalah untuk meningkatkan kemampuan struktural yang berupa kepemimpinan para pejabat struktural. Diklat ini didesain dengan menggunakan pola tersusun secara terpadu dan seimbang antara kemampuan kognisi, afeksi, etika pemerintah dan keterampilan memimpin.
Pemahaman terhadap perilaku pegawai yang dilatih merupakan suatu pelatihan yang baik di samping sistem pelatihan yang telah dijelaskan di atas, seperti pelatihan yang bersifat magang, pelatihan untuk eksekutif serta pelatihan lainnya.
Sistem perekrutan pegawai dan perbaikan sistem pendidikan di lingkungan kerja juga harus dimantapkan terlebih dahulu, sehingga proses pelatihan dan pengembangan pegawai dapat saling mendukung satu sama lain. Pemberian tugas secara bervariasi tidak sekedar bersifat rutinitas, mengemukakan pendapat secara terbuka antara pimpinan dan pegawai, pemakaian sarana teknologi beserta sosialisasinya, penyesuaian kepribadian dan komunikasi yang baik antara pimpinan dan pegawai dapat membuat sistem pelatihan yang berhasil. Pelatihan yang berhasml tentunya membawa manfaat kepada pimpinan, pegawai dan organisasi. Keberhasilan pelatihan ini juga diterapkan karena adanya hubungan satu lawan satu dan dialog interaktif yang menuntut keterampilan komunikasi tingkat tinggi. Disiplin tinggi dalam proses pelatihan berfokus pada kesempatan dan masalah aktual. Sehingga dapat dikatakan pelatihan dapat ditingkatkan dan diubah dalam prestasi seseorang ataupun tata laksana kantor. Unsur ini juga berisi penjelasan dan tujuan, sehingga membuka kemungkinan untuk mengarahkan pada saran dan tujuan demi peningkatan produktivitas dan efisiensi kerja. Pelatihan dan pengembangan yang dilaksanakan dalam birokrasi publik hendaknya merupakan suatu proses yang terorganisasi dan memegang teguh disiplin, hasil yang dapat dijangkau dan diukur, pendalaman masalah, penemuan dan pembelajaran secara kontinu. Jadi tidak lagi pelatihan dan pengembangan pegawai itu sebagai suatu program yang harus dan wajib dilaksanakan oleh suatu organisasi.
Selama berlangsungnya proses pelatihan maka di samping menghadapi tantangan yang baru, pegawai tingkat bawah mengambil tanggung jawab pembelajaran dan sasaran ditentukan dalam situasi baru. Sehingga pelatihan dan pengembangan pegawai mempunyai kecenderungan tertentu dalam proses perubahan:
a.    Situasi kerja yang semula pegawai yang mempunyai sifat ketergantungan dapat menjadi lebih mandiri atau otonom. Ini akan menumbuhkan keberanian pada seseorang yang pada saat-saat tertentu memaksa seseorang mengambil keputusan dan mencari penyelesaian masalah, walaupun atasan tidak menyetujui keputusan yang dia ambil. Sikap atasan yang bijaksana adalah dengan memberi dukungan terhadap gagasan bawahan, sekaHpun dianggap kurang lazim sekaligus mengarahkannya.
b.    Dengan pelatihan dan pengembangan pegawai, seorang pegawai dapat mengalami perubahan, yaitu dan ketidaktahuannya menjadi seseorang yang berwawasan. Di sini pegawai atau peserta yang dilatih dipompa keberaniannya untuk mempertimbangkan alasan, menarik simpulan umum, membuat generalisasi dan mengambil dugaan sementara sampai menarik garis merah dengan apa yang terjadi di masa lampau. Dari usaha ini pegawai dapat menganalisis serta menjabarkan dengan akurat setiap masalah yang timbul dalam tugas baru mereka.
c.    Dengan pelatihan dan pengembangan pegawai maka pegawai dilatih untuk lebih mementingkan diri orang lain daripada mementingkan diri sendiri. Artinya Pegawai yang dapat menyelesaikan pekerjaannya dengan sangat memuaskan perlu mendapat pujian, namun hendaknya pujian itu untuk mempengaruhi orang lain seperti rencananya dan gagasannya dapat membantu pihak lain, melalui keterlibatan dan konsultasi dengan pihak lain. Proses ini akan terhambat apabila seseorang menjadi sombong dan menganggap ini hanya usaha perorangan dan keberhasilannya semata, sementara sumbangan kepada kelompok secara keseluruhan atau keberhasilan organisasi diabaikan.
d.    Pelatihan dan pengembangan pegawai melatih seorang atasan ataupun bawahan serta seluruh pegawai untuk mempertimbangkan kebutuhan akan kepastian dan batas-batas toleransi pada ketidakpastian. Maksudnya seseorang pimpinan perlu mempertimbangkan perubahan tindakan, dan memberikan dukungan kepada pegawai dalam hal mengambil resiko dan mencoba gagasan, sekalipun belum meyakini hasilnya.
e.    Dengan pelatihan dan pengembangan pegawai maka pegawai dapat meninggalkan tugas yang serba rutinitas menjadi suatu situasi yang Iebih kompleks. Di sinilah diperlukan sikap atasan atau manajer atau pimpinan untuk memberikan kesempatan kepada pegawainya untuk menangani masalah yang menuntut keterampilan dan pengalaman baru, serta meningkatkan pengetahuan yang semula bersifat relatif dangkal menjadi kemampuan yang relatif Iebih mendalam. Secara tidak sadar akan menimbukan ketegangan diantara dua belah pihak yaltu di satu pihak terjadi kekhawatiran karena yang bersangkutan harus menghaclapi situasi baru, di lain pihak karena timbulnya rasa takut untuk menghadapi situasi baru. Dalam situasi seperti ini diperlukan perlakuan bijak dan seorang manajer atau pimpinan dalam memberi dorongan aktif dan keterbukaan dalam meraih sukses jangka panjang.
f.     Dengan pelatihan dan pengembangan pegawai maka melatih pegawai serta pimpinan untuk berubah dalam sikap yang bercitra negatif ke citra positif. Pimpinan dapat mendukung perubahan ini dengan memberikan pujian atas kekuatan dan kemampuan yang ditunjukkan dan menawarkan tanggapan yang tidak evaluatif, namun berdasar fakta yang berkaitan dengan peningkatan atau kemajuan kerja.

VI.  Nilai-nilai Good Governance dalam Pengembangan Pegawai
Pada level yang lebih praksis pengembangan sumber daya manusia di Indonesia lebih merujuk pada persoalan organisasi, dengan rencana kerja dan manajemen kerja kurang dapat dipahami secara baik oleh pemerintah sebagai perancang sistem dan stake holders lainnya sebagai pelaku atau user. Resiko yang dihadapi adalah proses yang berbeda menghasilkan ouput yang sangat berbeda. Sebagal contoh jika mau jujur; pelatihan-pelatihan dan penjenjangan karir di pemerintahan melalui SPAMA, SPAMEN dan sebagainya, ternyata hanya dimaknai oleh peserta pendidikan sebagai salah satu tahap untuk kenaikan pangkat atau pergaulan birokrasi. Hal ini di luar tujuan dan pendidikan itu sendiri. Pertanyaannya kemudian, bagaimana birokrat Indonesia akan bisa maju dan melayani masyarakat secara optimal jika pemahaman tentang pengembangan diri hanya sebatas kesadaran individual untuk kenaikan pangkat semata? Dan kenaikan pangkat tersebut berarti inheren pula dengan kenaikan gaji. Seharusnya kesadaran pegawai dalam menempuh jenjang kependidikan didasarkan pada kesadaran kelembagaan secara kolektif dalam rangka meningkatkan kualitas diri untuk pelayanan masyarakat.
Bertolak dari nilai kesadaran tersebut perlu dipikirkan untuk merancang sebuah disain pengembangan sumber daya manusia yang adaptif dengan kondisi di Indonesia diperlukan sebuah konsep yang jelas tidak hanya mendeskripsikan kebutuhan jangka pendek tetapi Iebih bagus jika disain yang dirancang memuat sistem keberlanjutan pasca pengembangan karir dilakukan. Sebagai ilustrasi terdapat model ideal yang dipandang bisa menjadi pedoman untuk memetakan sistem pengembangan karir dalam suatu organisasi. Model ini merujuk pada sinergi yang seimbang antara aspek pengembangan karir, perencanaan karir dan manajemen karir. Perencanaan karier dan manajemen karier dalam organisasi publik hendaknya akomodatif terhadap nilai-nilai good governance yang dewasa ini tengah dikembangkan dalam sistem pemerintahan di Indonesia. Selama ini perencanaan karir dan manajemen karir menjadi milik sepihak birokrasi publik, tanpa merespon keinginan dan inisiatif para pegawai. Keterlibatan para pegawai dalam merancang karir sangat diperlukan, ada peluang seseorang menentukan jalur karirnya, hal ini sebagai manivestasi atas perlindungan hak-hak individul pegawai dalam merencanakan arah pengembangan diri. Apa yang tampak pada gambar di bawah ini merupakan konsep hubungan antara perencanaan dan manajemen karir.
 






 









Sumber: T.G. Gutteridge, Organizational Career Development System dalam H. John Bernardin & Joyce E. A. Russel

Skema di atas memperlihatkan bahwa untuk memunculkan sebuah sinergi pengembangan sumber daya manusia diperlukan sebuah proses lanjutan yang terinspirasi dan diadaptasi dari aspek penencanaan karir dan manajemen karir. Sebuah konsep ideal juga harus ditunjang dengan adanya perangkat keras yang baik. Dalam hal ini kualitas sumber daya manusia yang “mumpuni” sehingga terjamin keberlanjutan sebuah sistem PSDM yang baik di semua lini. Keterpeduan antara perencanaan karir dengan manajemen karir organisasi hanya akan terwujud, jika di dalam PSDM mengembangkan nilai-nilai partisipasi, transparansi, dan keadilan.
Partisipasi, Transparansi dan Keadilan merupakan bagian indikator good governance yang inheren untuk diakomodasi ke dalam Pengembangan Pegawai. Pengembangan pegawai perlu difasilitasi dengan sebuah perencanaan karir dan manajemen karir yang jelas.Dalam rangka perencanaan karir hendaknya peran individu (pegawai) perlu diutamakan untuk melakukan perencanaan karirnya sendiri. Dengan demikian manajemen karir hendaknya dapat memberikan ruang partisipasi para pegawai untuk menyumbangkan pemikiran. Di samping itu manajemen karir bersifat tansparan dan adil. Diharapkan manajemen karir dikelola secara transparan, artinya ada keterbukaan informasi terhadap para pegawai. Kebijakan-kebijakan yang menyangkut manajemen karir seperti kebijakan rekruitmen, seleksi, alokasi, penilaian kinerja maupun pengembangan dan pelatihan disampaikan secara terbuka kepada pegawai. Jika informasi tersebut disampaikan secara terbuka maka pada gilirannya pegawai dapat merespon dengan lebih baik, untuk kepentingan pengembangan diri mereka. Sedangkan keadilan yang dimaksudkan, adalah bahwa dalam manajemen karir hendaknya memberikan peluang yang adil kepada pegawai untuk mengembangkan diri. Perlu adanya integrasi antara karir yang direncanakan oleh individu dengan perencanaan karir oleh organisasi. Untuk mengintegrasikan antara rencana karir individu dengan organisasi diperlukan ilustrasi jalur karir organisasional, sehingga dapat memberikan gambaran yang jelas tentang alternatif karir yang dapat mereka tempuh. Pegawai sebaiknya melakukan analisis terhadap kekuatan dan kelemahan diri masing-masing supaya diperoleh pertimbangan yang akurat untuk menentukan jalun karir yang sesuai.
Proses integrasi antara rencana karir individu dengan manajemen karir organisasional terwujud, melalui kesediaan individu untuk berpartisipasi dalam melakukan identifikasi terhadap permasalahan karir yang dihadapi, kemampuan atau kompetensi yang dimiliki, di samping memikirkan kebutuhan tenaga kerja organisasi di masa yang akan datang. Ini merupakan strategi pribadi (Koontz, 1986:492-500) dalam rangka memanfaatkan peluang karir secara tepat. Adapun proses pengembangan karir pribadi terdiri atas; penyiapan profil pribadi, pengembangan sasaran profesional, analisis tantangan, kesempatan dan lingkungan, analisis kekuatan dan kelemahan pribadi, mengembangkan alternatif karir strategis, menguji konsistensi alternatif dan menyusun pilihan strategis, mengembangkan tujuan karir jangka pendek dan rencana selanjutannya, peleksanaan rencana karir dan melakukan pemantauan. Inisiatif dan partisipasi tersebut diharapkan akan terjadi keterpaduan antara kebutuhan karir individu dan organisasi. Sebaliknya organisasi hendaknya selalu responsif terhadap rencana karir pegawai, dan bersedia secara dialogis membuka ruang bersama untuk saling memberikan informasi dan berdiskusi untuk pengembangan karir tersebut.

VII. Simpulan
Pelatihan dan pengembangan pegawai sangat tepat dflaksanakan jika sesuai kebutuhan suatu organisasi. Kebutuhan pelatihan dapat berupa kekurangan dalam bidang pengetahuan, sikap, perilaku, kecakapan, dan keterampilan pada peserta yang hendak dipenuhi melalui kegiatan pelatihan. Dengan demikian kebutuhan pelatihan bukanlah kebutuhan di bidang pelatihan itu sendiri, tetapi juga kebutuhan untuk mendapatkan atau diberi pelatihan. Untuk itulah pelatihan atau pengembangan pegawai itu dilakukan karena diharapkan untuk dapat mengurangi, mampu meniadakan kesenjangan antara kinerja faktual dan kinerja potensial dapat membuat perubahan-perubahan pada pengetahuan, sikap, kecakapan dan keterampilan peserta.
Agar kebutuhan itu nyata artinya pelatihan itu merupakan kebutuhan yang sungguh-sungguh dan program mi dapat memenuhi kebutuhan pelatihan dan pengembangan itu sendiri maka perlu diadakan analisis kebutuhan program pelatihan dan pengembangan pegawai itu sendiri. Tujuannya agar dapat ditemukan siapa yang membutuhkan pelatihan, pelatihan dan pengembangan di bidang apa, dan mengapa mereka membutuhkan pelatihan itu sendiri.
Sangat perlu melakukan studi banding tentang pelatihan dan pengembangan pegawai yang dilakukan di negara-negara lain, untuk mendapatkan masukan bagi perbaikan system pelatihan dan pengembangan di Iingkungan birokrasi Indonesia. Di samping itu pelatihan dan pengembangan yang dilakukan hendaknya sesuai dengan visi dan misi organisasi. Namun ironisnya kenyataan yang ada bahwa promosi dan penempatan pegawai atau jabatan struktural yang menjadi sumber motivasi bagi para pejabat birokrasi, tidak didasarkan pada prestasi kerja dan kemampuan memberi Iayanan kepada masyarakat tetapi Iebih sering didasarkan atas senioritas, loyalitas pada atasan dan kepercayaan atasan pada bawahan.
Dalam melakukan pelatihan dan pengembangan pegawai baiknyaterlebih dahulu perlu diadakan bagaimana pengamatan kepribadian antara pimpinan dan bawahan balk itu antara pejabat atas dengan pegawai bawahan. Langkah tersebut akan mengantar pada tercapainya suatu kesesuaian kepribadian yang dapat membantu kelancaran komunikasi keduanya sehingga pelatih dapat menyesuaikan din dengan mereka yang dilatih. Jika kondisi tersebut dapat tercipta maka kunci keberhasilan dan diadakannya pelatihan dan pengembangar pegawai sudah terpegang.
Secara fungsional birokrasi berfungsi sebagal Iingkungan pembelajaran antara atasan dan bawahan juga antara pegawai secara keseluruhan termasuk pejabat birokrasi dengan pegawai biasa yang nota bene sebagai pelayar masyarakat. Hendaknya para pimpinan dan pegawai dengan sepenuh hati bertanggung jawab dalam membenikan pelayanan kepada masyarakat dar menyelesaikan tugas-tugas yang diberikan oleh si pemberi mandat yaitu masyarakat.
Dengan pelatihan dan pengembangan pegawai maka pejabat atau pimpinan birokrasi maupun pegawai dapat melatih diri mereka secara aktif dan merespon setiap tugas yang diberikan, bertanggung jawab, menciptakan agenda pembelajaran pribadi. Diharapkan pada setiap sesi latihan dapat dibangun suasana pelatihan dan wawasan, pengalaman dan pembelajaran masa lalu, di samping juga memberikan keterampilan dan pemahaman yang memungkinkan bawahan untuk tumbuh dan mengembangkan kecakapan khusus, serta merentangkan keterampilan. Dengan melalui sejumlah metode pembelajaran praktis dan aktif, akan dapat semakin memperkaya pengetahuan, kemampuan teknis dan perilaku di samping pengalaman kerja yang Iangsung diperoleh seseorang, dari kegiatan-kegiatan sehari-hari serta masalah-masalah pekerjaan yang dijumpai dalam pelaksanaan tugas.

VIII.    Rekomendasi
Setelah melihat secara konseptual tentang pelatihan dan pengembangan serta permasalahan yang ditimbulkan terutama dalam kasus birokrasi di Indonesia yang begitu kompleks, maka diperlukan perbaikan sistem, khususnya dalam manajemen SDM seperti sistem rekrutmen, sistem pendidikan dan budaya organisasi yang selayaknya dapat diubah tahap demi tahap. Sesuatu yang Iebih utama adalah menciptakan seseorang yang bekerja di Iingkungan birokrasi sebagai lembaga rakyat yang senantiasa bersikap konsisten terhadap tanggung jawabnya. Pegawai dan Iingkungan kerja hendaknya diformat sesuai dengan visi dan misi serta tujuan organisasi. SDM yang berkualitas menjadi bagian penting dalam rangka menciptakan komitmen terhadap orientasi organlsasi. Melalui pelatihan dan pengembangan yang didasarkan pada kebutuhan kompetensi menjadi suatu tuntutan yang semakin mendesak.
Pelatihan dan pengembangan pegawai diperlukan dan hendaknya benar-benar menjadi suatu proses berlangsungnya pembelajaran semua pihak yang bertujuan untuk mencapai tujuan organisasi.
Untuk itu alternatif di dalam pelatihan dan pengembangan yang telah disesuaikan dengan sistem pelatihan sebagaimana telah diterangkan di atas, seperti program pelatihan dan pendidikan manajemen pemerintahan, pendidikan dan pelatihan penjenjangan karir pada tipe perilaku dominan pemimpin dan pelatihan lain yang telah dijabarkan, disesuaikan dengan kepribadian pegawai melalui pengamatan organisasi atau lembaga birokrasi dapat diterapkan di lingkungan birokrasi. Ditambah dengan pemahaman yang baik terhadap pegawai dan tidak terbentur dengan aturan dan prosedur bagaimana pegawai negeri seharusnya bekerja di lingkungan birokrasi berdasarkan minat, kemampuan serta potensi yang ada dalam dirinya. Untuk itu juga pelatihan yang perlu dilakukan dalam lingkungan birokrasi mengingat masalah loyalitas dan tidak ada komunikasi antar pegawai baik pimpinan dan bawahan maka perlu dilakukan coaching, yang merupakan salah satu metode dalam on the job training. Coaching berarti komunikasi yang terencana. Kesalahan pada coaching yaitu mengancam seseorang dengan semacam hukuman atas kesalahan yang terus menerus, kritik yang terus menerus yang menyebabkan pegawai tingkat bawah tidak diberi kesempatan dalam mengungkapkan pendapat dan tidak dapat bekerjasama. Adapun coaching yang berhasil yang dapat disarankan untuk dikembangkan hendaknya mengembangkan nilai-nilai sebagai berikut:
1.    Pengawas tidak menebak adanya masalah, karena bukti masalah didapat dan contoh-contoh kerja, data dan dikumpulkan pada waktu observasi.
2.    Session coaching formal yaitu pertemuan antara pengawas dan bawahan di dalam suatu sesi formal untuk mengetahui posisi bawahan dan menentukan bagaimana seharusnya. Dengan menanyakan kepada bawahan pendapatnya terhadap situasi yang dihadapkan sekarang.
3.    Follow up yaitu bila seorang atasan dan bawahan tidak ada kata sepakat tentang apa yang dilakukan dalam tugas selanjutnya maka ben waktu secukupnya sebelum melakukan tindak lanjut melihat bagaimana bawahan melakukannya.
Pelatihan dan pengembangan pegawai pemerintah hendaknya tidak sekedar merupakan pemenuhan tuntutan formalitas seperti diklat struktural, fungsional dan teknis, melainkan diperlukan diklat yang benar-benar berorientasi pada tuntutan profesionalisme dan kompetensi pegawai yang selaras dengan detail tugas pokok dan fungsinya. Di samping itu pengembangan pegawai hendaknya merupakan suatu proses dan aktivitas yang melekat pada birokrasi, sehingga menjadi sebuah proses pembelajaran terus menerus. Hal ini dapat didukung dengan metode coaching. Pengembangan pegawai perlu diarahkan pada kemampuan di bidang perencanaan, selama ini kemampuan perencanaan terkesan sangat Iemah.
Pelatihan yang perlu dilaksanakan juga adalah Pelatihan dalam melakukan perencanaan pembangunan di suatu wilayah. Alasan dilakukan pelatihan ini adalah mengingat bahwa pemerintah belum mempunyai kualisifikasi sebaga perencana profesional. Bagaimana bentuknya? Jawabnya pemerintah daerah bisa melakukan kerjasama dengan perguruan tinggi yang ada. Pelatihan dilakukan dengan kerjasama seperti ini karena melalui pelatihan ini akan terjadi interaksi yang positif antara peguruan tinggi yang rnemproduksi dan menyebarkailmu pengetahuan, untuk kalangan birokrasi sendiri baik daerah maupun pusat, dapat memakai pengetahuan tesebut untuk memecahkan rnasalah public. Konkritnya pelatihan ini ditujukan pada perencana daerah Kabuten/Kota, yang disebut pelatihan perencanaan pembangunan, perencanaan daerah dan perencanaan keuangan serta perencanaan Iain yang dianggap perlu.
Cara-cara di atas dapat dipraktikkan di Iingkungan birokrasi mengingat masalah tidak efektifnya fungsi pengawasan, dominasi pemimpin, berkembangnya kolusi, melembaganya korupsi, koneksi dan relasi yang telah menghiasi praktek birokrasi. Melalui pelatihan dan pengembangan pegawai. maka dapat melatih pejabat sebagai pelatih yang baik dan bawahan sebaga peserta latihan yang dapat melakukan tugas pemerintahan dengan kerjasama dan komunikasi yang terencana secara dua arah antara pejabat birokrasi dan pegawai, sehingga pada saat kembali ke tempat kerja dapat melakukan perbaikan-perbaikan yang bersifat strategis.


DAFTAR PUSTAKA


Bernardin, Jhon.H, dan Joyce E.A. Russel, 1993, Human Resource Management, an Experiental Approach, McGraw-Hill Book Co, Inc., Singapore.

Dessler, Gary, 1997, Manajemen Sumberdaya manusia, (Human Resources Management) AIih bahasa Benyamin Molan, PT. Prenhallindo, Jakarta.

Dwiyanto, Agus,2002, Reformasi Birokrasi Publik di Indonesia, Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta

Effendi, Tadjuddin Noer, 1993, Sumberdaya Manusia Peluang Kerja Dan Kemiskinan, Tiara Wacana, Yogyakarta.

Eugene McKenna dan Nic Beech,2000, The Essence of Manajemen Sumberdaya manusia, Andi,Yogyakarta.

Flippo, Edward,B., 1984, Principles Of Personal Management, Mc Grow Hill, New York Inc.

Gibson, Ivancevich, Donnely, 1995. Organisasi Perilaku, Struktur dan Proses, Edisi Kelima, AIih Bahasa oleh Djarkasih, Editor Agus Dharma, Cetakan Kedua yang Diperbaiki 1989, dicetak dan diterjemahkan Abdul Rasyid, Penerbit Pustaka Bunaman Presindo, Jakarta,

Gomes, Faustino Cardoso, 2001, Manajemen Sumberdaya manusia, Andi Offset, Yogyakarta.

Hardjana, Agus.M, 2001, Training SDM yang Efektif, Kanisius, Yogyakarta.

Hasibuan, Sayuti, 1992, Sumberdaya manusia dan Model Pemecahan Masalah, Dalam Pedoman Pelatihan perencanaan Pengembangan Sumberdaya manusia Tin gkat Propinsi, Bappenas, Jakarta.

Irianto, Jusuf. 2001. Prinsip-prinsip Dasar Manajemn Pelatihan. Surabaya: Insan Cendekia

Kiggundu, Mosses.N, 1989, Managing Organizations in Developing Countries, An Operational and Strategic Approach, Kumarian Press Inc, USA.

Koontz, Harold, et.al., 1986, Intisasri Manajemen, Bina Aksara, Jakarta.

Moekijat, 1985, Latihan dan Pen gembangan Pegawai, Alumni , Bandung.

Mukaram Marwansah, Mukaran, 2000, Manajemen Sumberdaya manusia, Pusat Penerbit Administrasi Niaga, Politeknik Negri Bandung , Indonesia.

Musanef, 1986, Mantjemen Kepegawaian di Indonesia, Gunung Agung, Jakarta.

Notoatmodjo, SoekiQo, 1992, Pengembangan Sumberdaya manusia, Rineka Cipta, Jakarta.
Nugroho. D, Riant, 2001, Reinventing Indonesia, Menata Ulang Manajemeri Pemerintahan untuk Membangun Indonesia Baru dengan Keunggulan Global, PT. Elex Komputindo, Jakarta.

Peraturan Pemerintah No. 101 Tahun 2000 Tentang Pendidikan dan Pelatihan Jabatan Pegawai Negri SipiL

Peraturan Pemerintah No.14 tahun 1994 Tentang Pendidikan dan Pelatihan Jabatan Pegawai Negeri Sipil.

Pertamina,1992, Kursus Prinsip-Prinsip Pengawasan Lanjutan (KPPL), Pusat Pendidikan dan Latihan (PUSDIKLAT), Jakarta.

Sikula, Andrew F, 1981, Personal Admisnitration And Humas Resources Management, Santa Barbara, John Wiley & Sons.

Sofo, Fransesco. 2003. Pengembangan Sumberdaya Manusia. Alih Bahasa Jusuf Irianto. Airlangga University Press: Surabaya

Sondang, P. Siagian, 2000, Manajemen Sumberdaya manusia, Bumi Aksara, Jakarta.

T.G. Gutteridge, Organizational Career Development System dalam Bemardin, John H.dan Joyce E.A.Russel, 1993, Human Resource Management, MCGraw-Hill, Inc., Singapore.

KLITIK DAN AFIKS

KLITIK DAN AFIKS
Oleh: Gud Reacht Hayat Padje

1. Klitik
1.1 Konsep Klitik
Klitik berasal dari bahasa Yunani yaitu dari kata kerja, klinein yang berarti ‘bersandar’ (Verhaar, 1982;62). Ia mengatakan bahwa klitik selalu dipakai untuk menyebutkan kata-kata singkat yang tidak beraksen dan selalu bersandar pada suatu kata sebagai konstituennya. Kridalaksana (1993:113) mengatakan klitik ialah bentuk terikat, secara fonologis tidak mempunyai tekanan sendiri atau yang tidak dianggap morfem terikat, tetapi mempunyai ciri-ciri kata karena dapat berlaku sebagai bentuk bebas.
Elson dan Piccket dalam Damanik (1999), membatasi klitik sebagai suatu bentuk yang keberadaannya selalu bersandar pada bentuk lain sebagai bentuk yang lebih tinggi serta secara leksikal memiliki arti. Hasil analisisnya membuktikan bahwa suatu klitika hampir sama atau mendekati ciri afiks. Hanya perbedaannya klitika masih memiliki arti leksikal sedangkan afiks tidak. Ciri lain yang ditemukan adalah bahwa klitik mendekati ciri sebuah kata kendatipun bentuknya tidak mencirikan sebuah kata (selalu melekat pada bentuk lain sebagai bentuk yang lebih tinggi). Dengan demikian, dikatakannya bahwa klitika adalah bukan afiks dan juga bukan kata.
Katamba (2001), memberikan pendapat yang sama bahwa klitik memiliki arti tanpa ada tekanan dari bagian kata yang lebih tinggi sesuai dengan kaidah fonologis yang memisahkan antara kelompok afiks dan klitik.
Ramlan (1987:31) mengatakan, satuan-satuan ku, mu, dan nya dalam tuturan biasa tidak dapat berdiri sendiri, dan secara gramatikal juga tidak memiliki kebebasan. Jelaslah bahwa satuan-satuan itu adalah satuan-satuan terikat. Namun, ada perbedaan antara satuan-satuan itu dengan ber-, ter-, men-, dan sebagainya. Perbedaannya adalah satuan-satuan ku, mu, dan nya memiliki arti leksikal, sedangkan satuan-satuan ber-, ter-, men-, dan sebagainya tidak memiliki arti leksikal karena itu, satuan-satuan ku, mu, dan nya tidak digolongkan kedalam afiks melainkan golongan yang biasa disebut klitika. Klitika dapat dibedakan menjadi dua golongan, yaitu proklitik dan enklitik. Proklitik terletak dimuka, misalnya ku- pada kuambil, kau pada kauambil, sedangkan enklitik terletak dibelakang, misalnya -ku pada rumahku, -mu pada rumahmu, dan –nya pada rumahnya.
Sanda dalam Damanik (1999) merumuskan ciri-ciri klitika sebagai berikut;
a) Klitika tidak dapat berdiri sendiri.
b) Klitika selalu muncul bersama-sama bentuk lain yang dianggap lebih tinggi kategorinya dan berposisi sebagai proklitik dan enklitik.
c) Klitika dapat dilekatkan dengan lebih dari satu kategori kata.
d) Klitika sama dengan afiks (bentuknya) dan sama dengan kata (makna/artinya).

1.2 Bentuk Klitika
Bentuk klitika tidak terlepas dari posisi klitik yang melekat pada bentuk lain. Penampakan atau rupa satuan bahasa disebut bentuk (Kridalaksana, 1993:28). Klitik yang secara fonologis terikat dengan kata yang mengikutinya disebut proklitik (Kridaklasana, 1993:179), seperti ku menggantikan ‘aku’ pada contoh (3) berikut.. Klitik yang terikat dengan unsur yang mendahuluinya disebut enklitik (Kridalaksana, 1993:51), seperti -nya pada contoh (5) dibawah ini.
(3)     Kubebaskan yang mencuri
‘        Saya membebaskan pencuri’.
(4)     Kupergi lihat yang mati
‘        Aku pergi melihat orang meninggal’.
(5)     Besar sekali kepalanya
          ‘Kepalanya besar sekali’.
Dalam Tata Bahasa Baku Indonesia terdapat bentuk ku, mu, nya, lah, tah, kah, dan pun sebagai enklitik (Moeliono, 1992:247). Bentuk kah, lah, pun, dan tah tidak dapat berdiri sendiri, tetapi selalu melekat pada bentuk lain.

1.3 Fungsi Klitik
Peran unsur dalam suatu ujaran dan hubungannya secara struktural dengan unsur lain disebut fungsi (Kridalaksna, 1993:60). Fungsi klitik dalam sebuah kalimat dapat saja mengubah kalimat menjadi kategori lain atau kelas kata lain. Dalam bahasa Indonesia terdapat bentuk ku ‘aku’ yang berkategori nomina. Apabila melekat pada kata ambil yang berjenis verba menjadi verba ‘kuambil’.

1.4 Makna Klitik
Makna adalah hubungan dalam arti kesepadanan atau ketidaksepadanan antara bahasa dan alam di luar bahasa atau ujaran dan juga hal yang ditunjukkannya (Kridalaksana, 1993:133). Menurut Djajasudarma (1993:5), makna adalah pertautan yang ada di antara unsur bahasa itu sendiri (terutama kata-kata). Jadi makna klitik adalah kesepadanan atau pertautan yang terkandung dalam unsur-unsur klitik.
Misalnya dalam bahasa Indonesia klitik ‘ku’, ‘mu’ dan ‘nya’ mengandung makna posesif ‘kepunyaan’.
Contoh:      (10)   Tidak ada rumahku
                            ‘Rumahku tidak ada’.
                   (11)   Kenapa kamu dipukul pamanmu
                            ‘Kenapa pamanmu memukulmu’.
                   (12)   ‘Sepatunya baru’

2. Afiks
2.1 Konsep Afiks
Afiks adalah morfem yang harus dilekatkan pada morfem yang lain untuk membentuk kata yang berfungsi dalam ujaran (Pateda, 1998:77). Sedangkan Cahyono (1995:110) menyatakan bahwa afiks adalah bentuk terikat yang bila ditambahkan pada bentuk lain akan merubah makna gramatikal.
Ramlan (1990:37) menyatakan bahwa afiks adalah satuan gramatik yang dalam suatu kata merupakan suatu unsur yang bukan kata dan bukan pokok kata yang mempunyai kesanggupan melekat pada satuan-satuan lain untuk membentuk kata atau pokok kata baru. Hal ini sejalan dengan pendapat Muchlis (1990:37) menyatakan bahwa afiks adalah bentuk kebahaan terikat yang hanya mempunyai arti yang gramatikal, yang merupakan unsur langsung suatu kata, tetapi bukan suatu bentuk dasar yang mempunyai kesanggupan untuk membentuk kata baru.
Berdasarkan beberapa pendapat di atas, penulis menyimpulkan bahwa afiks adalah morfem terikat yang mempunyai makna gramatikal dan mempunyai kesanggupan melekat pada satuan-satuan lain sehingga terbentuk kata atau kata kompleks.  
2.2 Pembagian Afiks
Pateda (1998:70) menyatakan bahwa afiks itu banyak jenisnya, meskipun afiks dapat dibagi berdasarkan (a) posisisnya, (b) kemampuan melekatnya, dan (c) asalnya.
2.2.1 Afiks Dilihat dari Segi Posisinya
Dilihat dari segi posisinya, afiks dapat dibedakan atas:
1.    Prefiks yaitu afiks yang melekat di depan sebuah morfem dasar untuk membentuk kata yang berfungsi dalam ujaran. Misalnya me-, ber-, per-, dan sebagainya.
2.    Infiks yaitu afiks yang melekat di tengah sebuah morfem dasar untuk membentuk kata yang berfungsi dalam ujaran. Misalnya-el-, -em-, dan -er-.
3.    Sufiks yaitu afiks yang melekat di akhir sebuah morfem dasar untuk membentuk kata yang berfungsi dalam ujaran. Misalnya –kan, -i, dan –an.
4.    Konfiks adalah afiks yang harus dilekatkan serempak pada sebuah morfem dasar untuk membentuk kata yang berfungsi dalam ujaran. Misalnya ke-…-an dalam kehujanan.
5.    Gabungan afiks adalah afiks yang terdiri dari dua atau lebih afiks yang tidak perlu melekat secara serempak untuk membentuk kata yang berfungsi dalam ujaran. Misalnya mem-per pada kata indah menjadi memperindah.
Selain jenis-jenis afiks ini, Kridalaksana (1984:30) menyatakan masih ada afiks lain bila ditinjau dari segi posisinya yaitu sebagai berikut.
1.    Simulfiks adalah kombinasi afiks yang memanifestasikan dengan ciri-ciri segmental yang dileburkan pada bentuk dasar. Dalam bahasa Indonesia simulfiks dimanifestasikan dengan nasalisasi dari fonem pertama suatu bentuk dasar dan fungsinya ialah menverbalkan nomina, adjektiva atau kelas kata lain, penggunaan bentuk-bentuk tersebut hanya kita dapatkan dalam bahasa tidak baku.
Contoh:
Dari kata dasar kopi menjadi ngopi.
Dari kata kebut menjadi ngebut.
2.    Superfiks atau suprafiks adalah afiks yang memanifestasikan dengan ciri-ciri suprasegmental atau afiks yang berhubungan dengan morfem suprasegmental. Afiks ini tidak terdapat dalam bahasa Indonesia.
2.2.2 Afiks Dilihat dari Segi Asalnya
Ditinjau dari segi asalnya, afiks dapat dibedakan menjadi afiks asli dan afiks asing atau afik bahasa asing (Pateda, 1988:71).
1.    Afiks asli yaitu afiks yang berasal dari bahasa penutur. Misalnya dalam bahasa Indonesia me-, ter-, -kan.
2.    Afiks asing atau afiks yang belum mampu keluar dari bahasa aslinya yaitu bahasa Arab (Pateda, 1988:71).
Di samping itu beliau juga menyinggung afiks serapan yaitu afiks yang berasal dari bahasa lain (yang bukan bahasa penutur) tetapi afiks tersebut mampu keluar dari lingkungan di mana afiks itu berasal.
Pernyataan di atas sejalan dengan pendapat Ramlan (1987:66) mengemukakan sebagai berikut:
Selain –in seperti muslimin dan –at seperti muslimat yang merupakan afiks bahasa aslinya adalah bahasa Arab, tidak atau belum dapat digolongkan sebagai afik dalam bahasa Indonesia, meskipun di samping muslimin dan muslimat terdapat kata muslim oleh karena afiks-afiks tersebut belum dianggap melekat pada satuan lain yang tidak berasal dari bahasa Aslinya yaitu bahasa Arab.
Selanjutnya ditegaskan pula bahwa afiks itu berasal dari bahasa asing atau berasal dari bahasa sendiri itu tidak penting. Yang terpenting adalah soal produktivitas afiks-afiks tersebut (Ramlan, 1987:61).
2.2.3 Afiks Dilihat dari Segi Produktivitasnya 
Ditinjau dari segi melekatnya, afiks dibagi menjadi:
1.    Afiks produktif yaitu afiks yang mempunyai kemampuan besar untuk dilekatkan pada macam-macam morfem lain untuk membentuk kata yang berfungsi dalam ujaran. Misalnya me-, di-,-an.
2.    Afiks improduktif yaitu afiks yang mempunyai kemampuan atau kesanggupan untuk dilekatkan pada morfem lain. Misalnya –el-,-em- (Pateda, 1988:70).
Ramlan (1987:61) membagi afiks berdasarkan produktifitasnya dan membedakannya dua golongan yaitu afiks yang produktifitas yaitu afiks yang mempunyai kesanggupan yang besar untuk melekat pada kata-kata atau morfem-morfem seperti ternyata dari distribusinya terbatas pada beberapa kata yang tidak lagi membentuk kata-kata baru.
2.3 Fungsi Afiks
Sebuah afiks dikatakan berfungsi gramatikal kalau bentuk dasarnya berbeda dengan jenis bentukan yang baru. Misalnya kata makan berbeda dengan jenisnya makanan tergolong jenis kata benda. Perubahan jenis kata kerja menjadi kata benda merupakan salah satu fungsi gramatikal afiks –an atau dengan kata lain, salah satu fungsi afiks –an adalah bentuk kata benda.
Fungsi semantik adalah fungsi yang berhubungan dengan makna kata. Makna kata sepeda berbeda dengan makna kata bersepeda. Kata bersepeda bermakna atau mempunyai sepeda. Jadi, fungsi semantik yang dikandung afiks ber- antara lain mempunyai atau menggunakan.
Fungsi afiks membentuk kata infleksional dan derivasional. Infleksional yaitu semua perubahan  afiks yang mempertahankan identitas kata. Hal ini terdapat dalam kata membaca yang dibentuk dari prefiks mem- dan baca (verba) dalam proses ini tidak terjadi perubahan kelas kata (masih verba). Derivasional yaitu semua perubahan yang melampaui semua perubahan identitas atau dengan kata lain setiap perubahan yang terjadi maka akan berpindah kelas kata (berderivasi). Hal ini terlihat pada bentukan kata pekerjaan yang dibentuk dari morfem pe-an dengan kata dasar kerja. Verba dasar kerja berubah menjadi kelas kata nomina pekerjaan (Verhaar, 1986:62).

2.4 Ciri-Ciri Afiks
Pada umumnya selalu dikacaukan dengan unsur-unsur terikat lainnya seperti partikel dan klitik. Hal ini bisa saja terjadi karena bila ditinjau dari segi posisinya memang sulit dibedakan. Oleh karena itu, berikut dikemukakan beberapa rumusan yang membedakan afiks dengan unsur-unsur lainnya.
Goris Keraf (1987:92) membedakan rumusan perbedaan partikel dengan afiks sebagai berikut.
1.    Partikel tidak memindahkan jenis kata (kelas kata) yang diikutinya, sebaliknya sufiks (juga semua afiks) memindahkan semua kelas kata dari kata yang diikutinya.
2.    Kata-kata yang diikuti oleh sebuah partikel biasanya bermacam-macam jenis kata sebaliknya sufiks (juga semua afiks) mengelompokkan bermacam-macam jenis itu menjadi satu jenis kata yang sama.
3.    Bidang gerak partikel adalah sintaksis termasuk frase dan klausa sedangkan sufiks (juga semua afiks) bergerak dalam bidang morfologi.

3. Simpulan
Berdasarkan uraian di atas, maka penulis dapat menyimpulkan bahwa ciri-ciri yang membedakan afiks dengan klitik adalah sebagai berikut:
1.    Klitik dari segi makna, mempunyai makna leksikal; sedangkan afiks mempunyai makna grmamatikal.
2.    Klitik dari segi fungsi tidak dapat/tidak mengubah jenis kata atau kelas kata, sedangkan afiks dapat mengubah makna dan kelas kata.
3.    Klitik secara gramatikal mempunyai sifat bebas (tidak terikat) sedangkan afiks mempunyai sifat terikat (Yasin, 1988:51).

DAFTAR PUSTAKA

Katamba, Francis. 1993. Morfology. London: The Macmillan Press.
Kridalaksana, Harimurti. 1993. Pembentukan Kata dalam Bahasa Indonesia. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.
Ramlan, M. 1987. Morfologi : Suatu Tinjauan Deskriptif. Yogyakarta : CV. Karyono.
Verhaar, J. W. M. 1982. Asas-Asas Linguistk Umum. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press