Translate

Tampilkan postingan dengan label statistika. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label statistika. Tampilkan semua postingan

Kamis, 26 November 2015

SARANA BERPIKIR ILMIAH: LOGIKA, BAHASA, MATEMATIKA, DAN STATISTIKA

SARANA BERPIKIR ILMIAH:
LOGIKA, BAHASA, MATEMATIKA, DAN STATISTIKA
Oleh:
Gud Reacht Hayat Padje
Ricardus Pande
Ade Setiawan Simon 
1. Pendahuluan
Perbedaan utama antara manusia dan binatang terletak pada kemampuan manusia untuk mengambil jalan melingkar dalam mencapai tujuannya. Seluruh pikiran binatang dipenuhi oleh kebutuhan yang menyebabkan mereka secara langsung mencari objek yang diinginkannya atau membuang benda yang menghalanginya. Dengan demikian sering kita melihat seekor monyet yang menjangkau secara sia-sia benda yang dia inginkan, sedangkan manusia yang paling primitif pun telah tahu mempergunakan bandringan, laso, atau melempar dengan batu (Philip E. B. Jourdain dalam Jujun S. Suriasumantri, 1990:165). Manusia sering disebut sebagai homo faber[1]: makhluk yang membuat alat; dan kemampuan membuat alat itu dimungkinkan oleh pengetahuan. Berkembangnya pengetahuan tersebut memerlukan alat-alat.
Untuk melakukan kegiatan ilmiah secara baik diperlukan sarana berpikir. Tersedianya sarana tersebut memungkinkan dilakukannya penelaahan ilmiah secara teratur dan cermat. Penggunaan sarana berpikir ilmiah ini merupakan suatu hal yang bersifat imperatif bagi seorang ilmuwan. Tanpa menguasai hal ini maka kegiatan ilmiah yang baik tidak dapat dilakukan.
Berpikir merupakan kegiatan [akal] untuk memperoleh pengetahuan yang benar.[2] Berpikir ilmiah adalah kegiatan [akal] yang menggabungkan induksi dan deduksi.[3] Induksi adalah cara berpikir yang di dalamnya kesimpulan yang bersifat umum ditarik dari pernyataan-pernyataan atau kasus-kasus yang bersifat khusus; sedangkan, deduksi ialah cara berpikir yang di dalamnya kesimpulan yang bersifat khusus ditarik dari pernyataan-pernyataan yang bersifat umum.[4]
Penarikan kesimpulan secara deduktif biasanya menggunakan pola yang disebut silogismus[5] atau silogisme.[6] Silogisme tersusun dari dua pernyataan (premis mayor dan premis minor) dan sebuah kesimpulan. Suatu kesimpulan atau pengetahuan akan benar apabila (1) premis mayornya benar, (2) premis minornya benar, dan (3) cara penarikan kesimpulannya pun benar.
Induksi berkaitan dengan empirisme, yakni paham yang memandang rasio sebagai sumber kebenaran. Sementara itu, deduksi bersahabat dengan rasionalisme, yaitu paham yang memandang fakta yang ditangkap oleh pengalaman manusia sebagai sumber kebenaran.[7] Dengan demikian, berpikir ilmiah atau metode keilmuan merupakan kombinasi antara empirisme dan rasionalisme.[8]
Tujuan mempelajari sarana ilmiah adalah untuk memungkinkan kita melakukan penelaahan ilmiah secara baik, sedangkan tujuan mempelajari ilmu dimaksudkan untuk mendapatkan pengetahuan yang memungkinkan kita untuk bisa memecahkan masalah kita sehari-hari. Dalam hal ini maka sarana berpikir ilmiah merupakan alat bagi cabang-cabang pengetahuan untuk mengembangkan materi pengetahuannya berdasarkan metode ilmiah, atau secara lebih sederhana, sarana berpikir ilmiah merupakan alat bagi metode ilmiah dalam melakukan fungsinya secara baik.
Sarana ilmiah pada dasarnya merupakan alat yang membantu kegiatan ilmiah dalam berbagai langkah yang harus ditempuh. Untuk dapat melakukan kegiatan berpikir ilmiah dengan baik maka diperlukan sarana yang berupa logika, bahasa, matematika dan statistika, agar dalam kegiatan ilmiah tersebut dapat berjalan dengan baik, teratur dan cermat.

2. Permasalahan
Adapun permasalahan yang penulis angkat dalam makalah ini adalah “bagaimanakah fungsi dan peranan sarana berpikir ilmiah: logika, bahasa, matematika, dan statistika?”.




3. Pembahasan
Untuk dapat melakukan kegiatan berpikir ilmiah dengan baik maka diperlukan sarana yang berupa logika, bahasa, matematika, dan statistika. Bahasa merupakan alat komunikasi verbal yang dipakai dalam seluruh proses berpikir ilmiah di mana bahasa merupakan alat berpikir dan alat komunikasi untuk menyampaikan jalan pikiran tersebut kepada orang lain. Ditinjau dari pola berpikirnya maka ilmu merupakan gabungan antara berpikir deduktif dan berpikir induktif. Untuk itu maka penalaran ilmiah menyadarkan diri kepada proses logika deduktif dan logika induktif. Matematika mempunyai peranan yang sangat penting dalam berpikir deduktif ini sedangkan statistika mempunyai peranan penting dalam berpikir induktif (Jujun S. Suriasumantri, 1995:167).

3.1 Logika
3.1.1 Pengertian Logika
Secara etimologi, logika berasal dari bahasa Yunani yaitu kata sifat logike yang berkaitan dengan kata logos yang berarti ucapan, kata, pikiran, akal budi, dan ilmu (Bakry, 1981:18)[9]. Kata atau pikiran yang dimaksud di sini adalah yang benar atau yang sehat. Pikiran yang benar atau sehat itu dimanifestasikan dalam bahasa. Jadi, dapat disimpulkan bahwa logika adalah suatu disiplin ilmu yang mempelajari pikiran sehingga orang yang mempelajarinya itu dapat berpikir dan berbahasa secara benar. Dalam arti luas logika adalah sebuah metode dan prinsip-prinsip yang dapat memisahkan secara tegas antara penalaran yang benar dengan penalaran yang salah. Secara leksikal menurut Kamus Oxford logika adalah (a) science of reasoning; (b) particular system or method of reasoning.
Dalam kamus Oxford juga disebutkan bahwa aslinya istilah lengkap untuk logika adalah logike tekhne, yang artinya seni atau keterampilan berpikir. Apa yang dapat disimpulkan dari pengertian tersebut (pengertian etimologis dan leksikal) mengenai logika sebagaimana dikemukakan di atas menegaskan dua hal sekaligus sebagai inti pengertian logika. Pertama, logika sebagai ilmu; logika adalah elemen dasar setiap ilmu pengetahuan. Kedua, logika sebagai seni atau keterampilan, yakni seni atau asas-asas pemikiran yang tepat lurus dan semestinya (Bagus, 1996: 519)[10].
Berdasarkan uraian di atas dapat digarisbawahi bahwa logika menempatkan penalaran sebagai pokok pembicaraan yang mana kami mencoba meneropong logika sebagai satu bagian dari sistem sarana berpikir ilmiah yang dapat menghantar orang untuk bernalar secara benar. Dengan kata lain, logika tidak mempersalahkan siapa atau dalam keadaan apa pembuat penalaran itu berada. Apakah pembuat penalaran itu waras atau tidak, bukan menjadi perhatian logika. Logika juga tidak bermaksud mempelajari system interaksi sosial di mana si pembuat penalaran itu berada. Bidang perhatian dan tugas logika adalah menyelidiki penalaran yang tepat, lurus dan semsetinya sehingga dapat dibedakan dari penalaran yang tidak tepat. Denga demikian maka logika itu sendiri dapat dibagi menjadi tiga bagian yakni:
  Logika alamiah
Adalah kinerja akal budi manusia yang berpikir secara tepat dan lurus sebelum dipengaruhi keinginan-keinginan dan kecendrungan-kecendrungan subyektif. Kemampuan logika alamiah ada sejak lahir. Logika alamiah memperhalus, mempertajam pikiran serta akal budi.
  Logika kodratiah
Ada pada setiap manusia karena kodratnya sebagai makhluk rasional. Sejauh manusia itu memiliki ratio maka dia dapat berpikir atau dengan akal budi manusia dapat bekerja menurut hukum-hukum logika entah secara spontan ataupun disengaja
  Logika ilmiah
Adalah ilmu praktis normative yang mempelajari hukum-hukum, prinsip-prinsip dan bentuk-bentuk pikiran manusia yang jika dipatuhi akan membimbing kita mencapai simpulan-simpulan yang lurus/sah. Logika ilmiah membentangkan metode yang menjamin kita bernalar secara tepat.

3.1.2 Aturan Cara Berpikir Yang Benar
Kondisi adalah hal-hal yang harus ada supaya sesuatu dapat terwujud, dapat terlaksana. Untuk berpikir baik, benar, logis dialektis, juga dibutuhkan kondisi-kondisi tertentu[11]:
a.    Mencintai kebenaran
Sikap ini sangat fundamental untuk berpikir yang baik, sebab sikap ini senantiasa menggerakkan si pemikir untuk mencari,mengusut, meningkatkan mutu berpikir dan penalarannya. Menggerakkan si pemikir untuk senantiasa mewaspadai ruh–ruh yang akan menyelewengkannya dari yang benar. Misalnya menyederhanakan kenyataan, menyempitkan cakrawala/perspektif, berpikir terkotak-kotak, memutlakkan titik berdiri atau suatu profil dan sebagainya.
b.    Ketahuilah dengan sadar apa yang sedang anda kerjakan
Kegiatan yang sedang dikerjakan adalah kegiatan berpikir. Seluruh aktivitas intelek kita adalah suatu usaha terus menerus mengerjakan kebenaran yang diselingi dengan diperolehnya pengetahuan tentang kebenaran tetapi bersifat parsial.
c.    Ketahuilah dengan sadar apa yang sedang anda katakan
Pikiran diungkapkan ke dalam kata-kata.kecermatan pikiran terungkap ke dalam kecermatan kata-kata,karenanya kecermatan ungkapan pikiran ke dalam kata merupakan sesuatu yang tidak boleh ditawar lagi.
d.    Buatlah distingsi (pembeda) dan pembagian(klasifikasi) yang semestinya Jika ada dua hal yang tidak memiliki bentuk yang sama , hal itu jelas berbeda .tetapi banyak kejadian di mana dua hal atau lebih mempunyai bentuk sama,namun tidak identik. Di sinilah perlunya membuat distingsi, suatu perbedaan.



e.    Cintailah definisi yang tepat
Penggunaan bahasa sebagai ungkapan sesuatu kemungkinan tidak ditangkap sebagaimana yang di ungkapkan atau yang dimaksud. Karenanya jangan segan membuat definisi. Definisi harus diburu hingga tertangkap. Definisi adalah pembatasan yakni membuat jelas batas-batas sesuatu.
f.     Ketahuilah dengan sadar mengapa anda menyimpulkan begini atau begitu Ketahuilah mengapa anda berkata begini atau begitu. Anda harus bisa dan biasa melihat asumsi–asumsi. implikasi-implikasi, dan konsekuensi-konsekuensi dari suatu penuturan pernyataan atau kesimpulan yang dibuat.
g.    Hindarilah kesalahan kesalahan dengan segala usaha dan tenaga,serta sangguplah mengenali jenis, macam dan nama kesalahan, demikian juga mengenali sebab-sebab kesalahan pemikiran (penalaran).

3.1.3 Fungsi dan Peran Logika.
Fungsi logika adalah : [1] membedakan ilmu yang satu dari yang lain apabila objeknya sama, dan [2] menjadi dasar ilmu pada umumnya dan falsafah pada khususnya.[12] Sedangkan peranan logika adalah sebagai berikut:
a. Logika menyatakan, menjelaskan, dan mempergunakan prinsip-prinsip abstrak yang dapat dipergunakan dalam semua lapangan ilmu pengetahuan.
b. Pelajaran logika menambah daya pikir abstrak dan ddengan demikian melatih dan mengembangkan daya pemikiran dan menimbulkan disiplin intelektual.
c.    Logika mencegah kita tersesat oleh segala sesuatu yang kita peroleh berdasarkan otoriti.

3.2 Bahasa
Bahasa memegang peranan penting dan suatu hal yang lazim dalam hidup dan kehidupan manusia. Kelaziman tersebut membuat manusia jarang memperhatikan bahasa dan menganggapnya sebagai suatu hal yang biasa, seperti bernafas dan berjalan. Menurut Ernest Cassirer, sebagaimana yang dikutip oleh Jujun, bahwa keunikan manusia bukanlah terletak pada kemampuan berpikir melainkan terletak pada kemampuan berbahasa (Jujun S. Suriasumantri, 1995:171).
Berpikir sebagai proses berkerjanya akal dalam menelaah sesuatu merupakan ciri hakiki manusia. Dan hasil kerjanya dinyatakan dalam bentuk bahasa. Bahasa memegang peranan penting dan suatu hal yang lazim dalam kehidupan manusia. Bahasa adalah suatu simbol-simbol bunyi yang arbitrer yang dipergunakan oleh suatu kelompok sosial sebagai alat berkomunikasi (Bloch dan trager dalam Bakhtiar 2004:176). Hal senada disampaikan oleh Joseph Broam bahwa bahasa adalah sistem yang berstruktur dari simbol-simbol bunyi arbitrer yang dipergunakan oleh para anggota suatu kelompok sosial sebagai alat bergaul satu sama lain. Sedangkan menurut (John W. Santrock; 2008:68) bahasa adalah bentuk komunikasi, entah itu lisan, tertulis atau tanda, yang didasarkan pada sistem simbol. Bahasa juga merupakan pernyataan pikiran atau perasaan sebagai alat komunikasi manusia. Maka bahasa adalah suatu alat komunikasi yang berupa simbol-simbol yang digunakan oleh manusia untuk berpikir atau melakukan penalaran induktif dan deduktif dalam kegiatan ilmiah.
Sementara itu Jujun Suparjan Suriasumantri menyebut bahasa sebagai serangkaian bunyi dan lambang yang membentuk makna.[13] Lebih lengkapnya, bahasa adalah “a systematic means of communicating ideas of feeling by the use of conventionalized signs, sounds, gestures, or marks having understood meanings”.[14] Dalam KBBI, diterakan bahwa bahasa ialah “sistem lambang bunyi yang arbitrer yang dipergunakan oleh para anggota suatu masyarakat untuk bekerja sama, berinteraksi, dan mengidentifikasikan diri”.[15] Definisi-definisi bahasa tersebut menekankan bunyi, lambang, sistematika, komunikasi, dan alat.
Alhasil, bahasa memiliki tujuh ciri sebagai berikut:[16]
1.     Sistematis, yang berarti bahasa mempunyai pola atau aturan.
2.   Arbitrer (manasuka). Artinya, kata sebagai simbol berhubungan secara tidak logis dengan apa yang disimbolkannya.
3.      Ucapan/vokal. Bahasa berupa bunyi.
4.      Bahasa itu simbol. Kata sebagai simbol mengacu pada objeknya.
5.   Bahasa, selain mengacu pada suatu objek, juga mengacu pada dirinya sendiri. Artinya, bahasa dapat dipakai untuk menganalisis bahasa itu sendiri.
6.      Manusiawi, yakni bahasa hanya dimiliki oleh manusia.
7.  Bahasa itu komunikatif. Fungsi terpenting dari bahasa adalah menjadi alat komunikasi dan interaksi.
Bahasa sebagai alat komunikasi verbal yang digunakan dalam proses berpikir ilmiah maka bahasa harus bisa mengkomunikasikan atau menyampaikan jalan pikiran kepada orang lain. Baik pemikiran yang berlandasan induktif maupun deduktif. Dengan kata lain kegiatan berpikir ilmiah sangat erat kaitannya dengan bahasa.
Para ahli filsafat bahasa dan psikolinguistik melihat fungsi bahasa sebagai sarana untuk menyampaikan pikiran, perasaan, dan emosi. Sedangkan aliran sisiolinguistik berpendapat bahwa fungsi bahasa adalah sarana untuk perubahan masyarakat. Walaupun terdapat perbedaan tetapi pendapat ini saling melengkapi satu sama lainnya. Secara umum dapat dinyatakan bahwa fungsi bahasa adalah:
1. Koordinator kegiatan-kegiatan dalam masyarakat
2. Penetapan pemikiran dan pengungkapan
3. Penyampaian pikiran dan perasaan
4. Penyenangan jiwa
5. Pengurangan keguncangan jiwa (Fathi Ali Yunus dalam Bakhtiar, 2010:180).
Sementara Kneller[17] mengemukakan 3 fungsi bahasa yaitu:
1. Simbolik
2. Emotif
3. Afektif (George F. Kneller dalam Jujun S. Suriasumantri, 1995:175).
Fungsi simbolik dari bahasa menonjol dalam komunikasi ilmiah sedangkan fungsi emotif menonjol dalam komunikasi estetik. Komunikasi dengan mempergunakan bahasa akan mengandung unsur simbolik dan emotif. Artinya, kalau kita berbicara maka pada hakikatnya informasi yang kita sampaikan mengandung unsur-unsur emotif, demikian juga kalau kita menyampaikan perasaan maka ekspresi itu mengandung unsur-unsur informatif. Kadang-kadang dapat dipisahkan dengan jelas seperti “musik dapat dianggap sebagai bentuk bahasa, di mana emosi terbebas dari informasi, sedangkan buku telepon memberikan kita informasi sama sekali tanpa emosi“. Dalam komunikasi ilmiah proses komunikasi itu harus terbebas dari unsur emotif, agar pesan itu reproduktif, artinya identik dengan pesan yang dikirimkan (Jujun S. Suriasumantri, 1990:175).
Menurut Halliday sebagaimana yang dikutip oleh Thaimah bahwa fungsi bahasa adalah sebagai berikut:
1. Fungsi Instrumental: penggunaan bahasa untuk mencapai suatu hal yang bersifat materi seperti makan, minum, dan sebagainya
2. Fungsi Regulatoris: penggunaan bahasa untuk memerintah dan perbaikan tingkah laku
3. Fungsi Interaksional: penggunaan bahasa untuk saling mencurahkan perasaan pemikiran antara seseorang dan orang lain
4. Fungsi Personal: seseorang menggunakan bahasa untuk mencurahkan perasaan dan pikiran
5. Fungsi Heuristik: penggunaan bahasa untuk mengungkap tabir fenomena dan keinginan untuk mempelajarinya
6. Fungsi Imajinatif: penggunaan bahasa untuk mengungkapkan imajinasi seseorang dan gambaran-gambaran tentang discovery seseorang dan tidak sesuai dengan realita (dunia nyata)
7. Fungsi Representasional: penggunaan bahasa untuk menggambarkan pemikiran dan wawasan serta menyampaikannya pada orang (Rushdi Ahmad Thaimah dalam Bakhtiar, 2010:181).
Untuk menelaah bahasa ilmiah perlu dijelaskan tentang penggolongan bahasa. Ada dua pengolongan bahasa yang umumnya dibedakan yaitu:
1.  Bahasa alamiah yaitu bahasa sehari-hari yang digunakan untuk menyatakan sesuatu, yang tumbuh atas pengaruh alam sekelilingnya.
Bahasa alamiah dibedakan menjadi dua bagian yaitu;
a. Bahasa Isyarat, bahasa ini dapat berlaku umum dan dapat berlaku khusus.
b. Bahasa Biasa, bahasa yang digunakan dalam pergaulan sehari-hari
2.  Kedua bahasa buatan adalah bahasa yang disusun sedemikian rupa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan akal pikiran untuk maksud tertentu. Bahasa buatan dibedakan menjadi 2 bagian yaitu;
a.    Bahasa istilah, bahasa ini rumusannya diambil dari bahasa biasa yang diberi arti tertentu, misal demokrasi (demos dan kratien)
b.    Bahasa artifisial, murni bahasa buatan, atau sering juga disebut dengan bahasa simbolik, bahasa berupa simbol-simbol sebagaimana yang digunakan dalam logika dan matematika. Dalam bahasa ini tidak ada bentuk kiasan yang mengaburkan. Misalnya (a =b) ^ (b =d)  (a=c). Bahasa artifisial mempunyai dua macam ciri-ciri yaitu pertama tidak berfungsi sendiri, kosong dari arti, oleh karena itu dapat dimasuki arti apapun juga. Kedua arti yang dimaksudkan dalam bahasa artifisial ditentukan oleh penghubung. (tim dosen Filsafat Ilmu UGM: 1996:100)
Perbedaan bahasa alamiah dan bahasa buatan adalah sebagai berikut: Bahasa alamiah, antara kata dan makna merupakan satu kesatuan utuh, atas dasar kebiasaan sehari-hari, karena bahasanya secara spontan, bersifat kebiasaan, intuitif (bisikan hati) dan pernyataan langsung. Sedangkan bahasa buatan, antara istilah dan konsep merupakan satu kesatuan bersifat relatif, atas dasar pemikiran akal karena bahasanya berdasarkan pemikiran, sekehendak hati, diskursif (logika, luas arti) dan pernyataan tidak langsung.
Dari uraian di atas tentang bahasa, bahasa buatan inilah yang dimaksudkan bahasa ilmiah, dengan demikian bahasa ilmiah dapat dirumuskan; bahasa buatan yang diciptakan para ahli dalam bidangnya dengan menggunakan istilah-istilah atau lambang-lambang untuk mewakili pengertian-pengertian tertentu. Dan bahasa ilmiah inilah pada dasarnya merupakan kalimat-kalimat deklaratif atau suatu pernyataan yang dapat dinilai benar atau salah, baik menggunakan bahasa biasa sebagai bahasa pengantar untuk mengkomunikasikan karya ilmiah.
3.2.1 Struktur Bahasa dan Kosakata
Saking pentingnya struktur atau tata bahasa bagi kegiatan ilmiah, Suriasumantri mengajukan pertanyaan retoris: bagaimana mungkin seseorang bisa melakukan penalaran yang cermat tanpa menguasai struktur bahasa yang tepat?[18] Penguasaan tata bahasa secara pasif dan aktif memungkinkannya menyusun pernyataan-pernyataan atau premis-premis dengan baik dan juga menarik kesimpulan dengan betul.
Tata bahasa ialah kumpulan kaidah tentang struktur gramatikal bahasa.[19] Lebih lanjut, Charlton Laird memerikan tata bahasa sebagai alat dalam mempergunakan aspek logis dan kreatif dari pikiran untuk mengungkapkan makna dan emosi dengan memakai aturan-aturan tertentu.[20]
Selain struktur atau tata bahasa, yang penting pula dikuasai oleh ilmuwan adalah kosakata dan maknanya. Sebab, yang disampaikan oleh pembicara atau penulis kepada lawan bicaranya atau pembacanya sejatinya ialah makna (informasi, pengetahuan). Dan, makna ini diwadahi di dalam kosakata, yang dalam khazanah ilmiah dinamakan dengan istilah atau terminologi.
Tata bahasa, kosakata dan makna inilah yang kerap menimbulkan persoalan dalam kegiatan ilmiah lantaran kelemahan inheren bahasa. Maka, sekali lagi, andaikata para ilmuwan tidak cukup menguasai tata bahasa, kosakata dan makna, persoalan-persoalan dalam kegiatan ilmiah bakal kian ruwet.



3.2.2 Ciri-ciri Bahasa Ilmiah
Dalam komunikasi ilmiah, tentu yang dipakai adalah bahasa ilmiah, lisan maupun tulisan. Bahasa ilmiah berbeda dengan bahasa sastra, bahasa agama, bahasa percakapan sehari-hari, dan ragam bahasa lainnya. Bahasa sastra sarat dengan keindahan atau estetika.[21] Sementara itu, bahasa agama, dari perspektif theo-oriented, merupakan bahasa kitab suci yang preskriptif dan deskriptif, sedangkan dari perspektif anthropo-oriented, bisa mengarah pada narasi filsafat atau ilmiah.[22]
Bahasa ilmiah memiliki ciri-ciri tersendiri, yaitu informatif, reproduktif atau intersubjektif, dan  antiseptik. Informatif berarti bahwa bahasa ilmiah mengungkapan informasi atau pengetahuan. Informasi atau pengetahuan ini dinyatakan secara eksplisit dan jelas untuk menghindari kesalahpahaman. Maksud ciri reproduktif adalah bahwa pembicara atau penulis menyampaikan informasi yang sama dengan informasi yang diterima oleh pendengar atau pembacanya. Menurut Kemeny, antiseptik berarti bahwa bahasa ilmiah itu objektif dan tidak memuat unsur emotif, kendatipun pada kenyataannya unsur emotif ini sulit dilepaskan dari unsur informatif.[23]
Slamet Iman Santoso mengimbuhkan bahwa bahasa ilmiah itu bersifat deskriptif (descriptive language). Artinya, bahasa ilmiah menjelaskan fakta dan pemikiran; dan pernyataan-pernyataan dalam bahasa ilmiah bisa diuji benar-salahnya.[24] Beerling, Kwee, Mooij, Van Peursen menambahkan ciri intersubjektif, yaitu ungkapan-ungkapan yang dipakai mengandung makna-makna yang sama bagi para pemakainya.[25]

3.2.3 Kelemahan Bahasa
Sampai di sini, kiranya sudah dimaklumi bahwa bahasa sangat vital bagi manusia dalam aktivitas ilmiah (maupun aktivitas non-ilmiah). Pun, bahasa memperjelas cara berpikir manusia, maka orang yang terbiasa menulis dengan bahasa yang baik akan mempunyai cara berpikir yang lebih sistematis.[26] Lebih jauh, sesungguhnya bahasa menstrukturkan pengalaman manusia dan, begitu pula sebaliknya, pengalaman manusia ini membentuk bahasa.[27]
Namun, bahasa pun tak luput dari sejumlah kelemahan inheren yang menghambat komunikasi ilmiah.[28] Pertama, bahasa mempunyai multifungsi (ekspresif, konatif, representasional, informatif, deskriptif, simbolik, emotif, afektif) yang dalam praktiknya sukar untuk dipisah-pisahkan. Akibatnya, ilmuwan sukar untuk membuang faktor emotif dan afektifnya ketika mengomunikasikan pengetahuan informatifnya. Syahdan, pengetahuan yang diutarakannya tak sepenuhnya kalis dari emosi dan afeksi dan, karenanya, tak seutuhnya objektif; konotasinya bersifat emosional.
Kedua, kata-kata mengandung makna atau arti yang tidak seluruhnya jelas dan eksak. Misalnya, kata “cinta” dipakai dalam lingkup yang luas dalam hubungan antara ibu-anak, ayah-anak, suami-istri, kakek-nenek, sepasang kekasih, sesama manusia, masyarakat-negara. Banyaknya makna yang termuat dalam kata “cinta” menyulitkan kita untuk membuat bahasa yang tepat dan menyeluruh. Sebaliknya, beberapa kata yang merujuk pada sebuah makna—bahasa bersifat majemuk atau plural—kerap kali memantik apa yang diistilahkan sebagai kekacauan semantik, yakni dua orang yang berkomunikasi menggunakan sebuah kata dengan makna-makna yang berlainan, atau mereka menggunakan dua kata yang berbeda untuk sebuah makna yang sama.
Ketiga, bahasa acap kali bersifat sirkular (berputar-putar). Jujun mencontohkan kata “pengelolaan” yang didefinisikan sebagai “kegiatan yang dilakukan dalam sebuah organisasi”, sedangkan kata “organisasi” didefinisikan sebagai “suatu bentuk kerja sama yang merupakan wadah dari kegiatan pengelolaan”.
Kelemahan-kelemahan bahasa tersebut sebenarnya telah menjadi kajian keilmuan tersendiri dalam, misalnya, filsafat analitik,[29] linguistik, psikolinguistik, sosiolinguistik.
Oleh karena itu, jelaslah bagi kita bahwa bahasa menjadikan manusia sebagai makhluk yang lebih maju ketimbang makhluk-makhluk lainnya. Jelaslah pula bahwa, di satu sisi, bahasa sebagai sarana berpikir ilmiah mempunyai fungsi-fungsi yang sangat bermanfaat bagi aktivitas-aktivitas ilmiah. Di sisi lain, bahasa tidak alpa dari kelemahan-kelemahannya yang merintangi pencapaian tujuan dari aktivitas-aktivitas ilmiah. Kelemahan-kelemahan bahasa ini barangkali akan ditutupi oleh kelebihan-kelebihan dari dua sarana berpikir ilmiah lainnya, yaitu matematika dan statistika.

3.3 Matematika
3.3.1 Pengertian Matematika
Matematika dibandingkan dengan disiplin-disiplin ilmu yang lain mempunyai karakteristik tersendiri. Banyak para ahli menyebutkan bahwa matematika itu berhubungan dengan ide-ide atau konsep-konsep yang abstrak yang penalarannya bersifat deduktif, namun orang-orang sering menyebut matematika itu ilmu hitung.
Matematika berasal dari bahasa latin manthanein atau mathema yang berarti ‘belajar atau hal yang dipelajari’, sedang dalam bahasa Belanda disebut wiskunde atau ilmu pasti, yang kesemuanya berkaitan dengan penalaran. Matematika memiliki bahasa dan aturan yang terdefinisi dengan baik, penalaran yang jelas dan sistematis, dan struktur atau keterkaitan antar konsep yang kuat. Unsur utama pekerjaan matematika adalah penalaran deduktif yang bekerja atas dasar asumsi (kebenaran konsistensi).
Dari segi pengetahuan, arti matematika sangat luas dan dapat dikelompokkan dalam subsistem sesuai dengan semesta pembicaraannya. Dalam setiap subsistem itu ada objek pembicaraan, ada metode pembahasan dan selalu dipenuhi konsistensi pembahasan. Menurut Karso (1994:16)[30] matematika adalah ilmu deduktif tentang struktur yang terorganisir, sebab berkembang dari unsur yang tidak didefinisikan ke unsur yang didefinisikan ke aksioma dan ke teori.
Anton Moeliono dalam Amin Suyitno (1997:1) berpendapat bahwa matematika sebagai ilmu tentang bilangan-bilangan, hubungan antara bilangan, dan prosedur operasional yang digunakan dalam menyelesaikan masalah mengenai bilangan. Sedangkan menurut Mohammad Soleh (1998: 12) pada dasarnya objek pembicaraan matematika adalah objek abstrak, metodologinya adalah deduktif, yaitu berawal dari pengertian dan pernyataan lalu diturunkan dari pengertian dan pernyataan pangkal sebelumnya yang telah dijelaskan atau dibuktikan kebenarannya.
Berdasarkan penjelasan di atas ditarik suatu kesimpulan bahwa matematika sebagai ilmu deduktif berkaitan struktur yang terorganisir, berkembang dari unsur yang tidak didefinisikan ke unsur yang didefinisikan ke aksioma dan ke teori, di mana objek pembicaraannya abstrak, serta selalu dipenuhi keajegan (konsistensi) pada pembahasannya. Dalam pembelajaranya, matematika biasanya terdiri bilangan-bilangan, hubungan antara bilangan, dan prosedur operasional yang digunakan dalam menyelesaikan masalah mengenai bilangan.

3.3.1 Matematika sebagai bahasa
Matematika adalah bahasa yang melambangkan serangkaian makna dari pernyataan yang ingin kita sampaikan. Lambang-lambang matematika bersifat “artifisial” yang baru mempunyai arti setelah sebuah makna diberikan kepadanya. Tanpa itu maka matematika hanya merupakan kumpulan rumus-rumus yang mati.
Bahasa verbal mempunyai beberapa kekurangan yang sangat mengganggu. Untuk mengatasi kekurangan kita berpaling kepada matematika. Matematika adalah bahasa yang berusaha menghilangkan sifat kabur, majemuk dan emosional dari bahasa verbal. Umpamanya kita sedang mempelajari kecepatan jalan kaki seorang anak maka objek “kecepatan jalan kaki seorang anak” dilambangkan x, dalam hal ini maka x hanya mempunyai arti yang jelas yakni “kecepatan jalan kaki seorang anak”. Demikian juga bila kita hubungkan “kecepatan jalan kaki seorang anak” dengan obyek lain misalnya “jarak yang ditempuh seorang anak” yang kita lambangkan dengan y, maka kita lambangkan hubungan tersebut dengan z = y / x di mana z melambangkan “waktu berjalan kaki seorang anak”. Pernyataan z = y / x tidak mempunyai konotasi emosional dan hanya mengemukakan informasi mengenai hubungan antara x, y, dan z. Oleh karena itu, pernyataan matematika mempunyai sifat yang jelas, spesifik, dan informatif dengan tidak menimbulkan konotasi yang bersifat emosional (Jujun S. Suriasumantri, 1990, 191).
Matematika merupakan salah satu puncak kegemilangan intelektual. Di samping pengetahuan mengenai matematika itu sendiri, matematika juga memberikan bahasa, proses dan teori yang memberikan ilmu suatu bentuk kekuasaan. Fungsi matematika menjadi sangat penting dalam perkembangan macam-macam ilmu pengetahuan. Penghitungan matematis misalnya menjadi dasar desain ilmu teknik, metode matematis yang dapat memberikan inspirasi kepada pemikiran di bidang sosial dan ekonomi bahkan pemikiran matematis dapat memberikan warna kepada arsitektur dan seni lukis.
Matematika dalam perkembangannya memberikan masukan-masukan pada bidang-bidang keilmuan yang lainnya. Kontribusi matematika dalam perkembangan ilmu alam, lebih ditandai dengan penggunaan lambang-lambang bilangan untuk menghitung dan mengukur, objek ilmu alam misal gejala-gejala alam yang dapat diamati dan dilakukan penelaahan secara berulang-ulang. Berbeda dengan ilmu sosial yang memiliki objek penelaahan yang kompleks dan sulit melakukan pengamatan. Di samping objeknya yang tak terulang maka kontribusi matematika tidak mengutamakan pada lambang-lambang bilangan.

3.3.2 Sifat Kuantitatif Matematika
Matematika mempunyai kelebihan lain dibandingkan dengan bahasa verbal. Matematika mengembangkan bahasa-bahasa numerik yang memungkinkan kita untuk melakukan pengukuran secara kuantitatif. Dengan bahasa verbal bila kita membandingkan dua objek yang berlainan umpamanya gajah dan semut, maka kita hanya bisa mengatakan gajah lebih besar dibandingkan dengan semut maka kita mengalami kesukaran dalam mengemukakan hubungan itu. Kemudian jika sekiranya kita ingin mengetahui secara eksak berapa besar gajah bila dibandingkan dengan semut maka dengan bahasa verbal kita tidak dapat mengatakan apa-apa.
Untuk mengatasi masalah ini matematika mengembangkan konsep pengukuran. Lewat pengukuran, maka kita dapat mengetahui dengan tepat berapa besar gajah dan sebaliknya dengan semut. Dengan mengetahui hal ini maka pernyataan ilmiah yang berupa pernyataan kualitatif seperti gajah lebih besar dari semut dapat diganti dengan pernyataan matematika yang lebih eksak umpamanya
V =   P x L x T
V =   volume
P   =   panjang gajah.
L  =   Lebar gajah.
T  =   Tinggi gajah
Jika Panjang gajah = 3 m
Lebar gajah = 1 m
Tinggi gajah = 2 m
Berapa besar gajah?
Jawabnya 3 x 1 x 2 = 6 m

3.3.3 Matematika: Sarana berpikir deduktif
Nama ilmu deduktif diperoleh karena penyelesaian masalah-masalah yang dihadapi tidak didasari atas pengalaman seperti halnya yang terdapat di dalam ilmu-ilmu empirik, melainkan didasarkan atas deduksi (penjabaran).
Umpamanya dia mempunyai fakta bahwa x – 3 = 7 dan bermaksud untuk mencari nilai x tersebut. Dia melihat bahwa jika angka 3 ditambahkan kepada kedua ruas persamaan tersebut maka dia akan memperoleh bahwa x = 10. Pertanyaannya adalah bolehkah dia melakukan langkah ini? untuk menjawab hal tersebut maka pertama-tama dia harus mengetahui bahwa sebuah persamaan tidak berubah jika kepada kedua ruas persamaan tersebut ditambahkan nilai yang sama. Hal ini berarti bahwa dengan menambahkan angka 3 kepada kedua belah persamaan tersebut, dia takkan mengubah harga persamaan tadi. Berdasarkan hal ini maka dia berkesimpulan bahwa langkah yang dilakukannya ternyata dapat dipertanggungjawabkan. Cara berpikir yang dilakukan di sini adalah deduksi. Seperti pada contoh di atas, dalam semua pemikiran deduktif, maka kesimpulan yang ditarik merupakan konsekuensi logis dari fakta-fakta yang sebelumnya telah diketahui. Di sini, seperti juga pada fakta-fakta yang mendasarinya, maka kesimpulan yang ditarik tak usah diragukan lagi.
Secara deduktif, matematika menemukan pengetahuan yang baru berdasarkan premis-premis tertentu, walaupun pengetahuan yang ditemukan ini sebenarnya bukanlah konsekuensi dari pernyataan-pernyataan ilmiah yang kita telah temukan sebelumnya. Meskipun “tak pernah ada kejutan dalam logika” (Ludwig Wittgenstein), namun pengetahuan yang didapatkan secara deduktif sangat berguna dan memberikan kejutan yang sangat menyenangkan. Dari beberapa premis yang kita telah ketahui, kebenarannya dapat diketemukan pengetahuan-pengetahuan lainnya yang memperkaya perbendaharaan ilmiah kita.

.3.4 Peranan Matematika Sebagai Sarana Berpikir Ilmiah
Matematika merupakan alat yang dapat memperjelas dan menyederhanakan suatu keadaan atau situasi melalui abstraksi, idealisasi, atau generalisasi untuk suatu studi ataupun pemecahan masalah. Pentingnya matematika tidak lepas dari perannya dalam segala jenis dimensi kehidupan. Misalnya banyak persoalan kehidupan yang memerlukan kemampuan menghitung dan mengukur. Menghitung mengarah pada aritmetika (studi tentang bilangan) dan mengukur mengarah pada geometri (studi tentang bangun, ukuran dan posisi benda). Aritmetika dan geometri merupakan fondasi atau dasar dari matematika.
Untuk mengembangkan kemampuan berkomunikasi, orang dapat menyampaikan informasi dengan bahasa matematika, misalnya menyajikan persoalan atau masalah ke dalam model matematika yang dapat berupa diagram, persamaan matematika, grafik, ataupun tabel. Mengomunikasikan gagasan dengan bahasa matematika justru lebih praktis, sistematis, dan efisien. Begitu pentingnya matematika sehingga bahasa matematika merupakan bagian dari bahasa yang digunakan dalam masyarakat. Hal tersebut menunjukkan pentingnya peran dan fungsi matematika, terutama sebagai sarana untuk memecahkan masalah baik pada matematika maupun dalam bidang lainnya. Peranan matematika tersebut, terutama sebagai sarana berpikir ilmiah oleh Erman Suherman disebutkan dapat diperolehnya kemampuan-kemampuan sebagai berikut:[31]
a.    Menggunakan algoritma: yang termasuk ke dalam kemampuan ini antara lain adalah melakukan operasi hitung, operasi himpunan, dan operasi lainya. Juga menghitung ukuran tendensi sentral dari data yang banyak dengan cara manual.
b.    Melakukan manipulasi secara matematika: yang termasuk ke dalam kemampuan ini antara lain adalah menggunakan sifat-sifat atau rumus-rumus atau prinsip-prinsip atau teorema-teorema ke dalam pernyataan matematika .
c.    Mengorganisasikan data: kemampuan ini antara lain meliputi: mengorganisasikan data atau informasi, misalnya membedakan atau menyebutkan apa yang diketahui dari suatu soal atau masalah dari apa yang ditanyakan.
d.    Memanfaatkan simbol, tabel, grafik, dan membuatnya; kemampuan ini antara lain meliputi: menggunakan simbol, tabel, grafik untuk menunjukkan suatu perubahan atau kecenderungan dan membuatnya.
e.    Mengenal dan menemukan pola: kemampuan ini antara lain meliputi: mengenal pola susunan bilangan dan pola bangun geometri.
f.     Menarik kesimpulan; kemampuan ini antara lain meliputi: kemampuan menarik kesimpulan dari suatu hasil hitungan atau pembuktian suatu rumus.
g.    Membuat kalimat atau model matematika; kemampuan ini antara lain meliputi: kemampuan secara sederhana dari fenomena dalam kehidupan sehari-hari ke dalam model matematika atau sebaliknya dengan model ini diharapkan akan mempermudah penyelesaiannya.
h.    Membuat interpretasi bangun geometri ; kemampuan ini antara lain meliputi: kemampuan menyatakan bagian-bagian dari bangun geometri dasar maupun ruang dan memahami posisi dari bagian-bagian itu.
i.      Memahami pengukuran dan satuannya; kemampuan ini antara lain meliputi ; kemampuan memilih satuan ukuran yang tepat, melakukan estimasi, mengubah satuan ukuran ke satuan lainnya.
j.      Menggunakan alat hitung dan alat bantu lainnya dalam matematika, seperti tabel matematika, kalkulator, dan komputer.
Sementara itu dalam tujuan umum pendidikan matematika (Depdiknas, 2002:3) menyebutkan berbagai peranan matematika sebagai sarana berpikir ilmiah ditekankan pada kemampuan untuk memiliki:
a.    Kemampuan yang berkaitan dengan matematika yang dapat digunakan dalam memecahkan masalah matematika, pelajaran lain, ataupun masalah yang berkaitan dengan kehidupan nyata.
b.    Kemampuan menggunakan matematika sebagai alat komunikasi
c.    Kemampuan menggunakan matematika sebagai cara bernalar yang dapat dialih gunakan pada setiap keadaan, seperti berpikir kritis, berpikir logis, berpikir sistematis, bersifat objektif, bersifat jujur, bersifat disiplin dalam memandang dan menyelesaikan suatu masalah.

3.3.5 Perkembangan Matematika
Griffits dan Howson (1974)sebagaimana dikutip oleh Jujun S. Suriasumantri, membagi sejarah perkembangan matematika menjadi empat tahap. Tahap yang pertama dimulai dengan matematika yang berkembang pada peradaban Mesir Kuno dan daerah sekitarnya seperti Babylonia dan Mesopotamia. Waktu itu matematika telah dipergunakan dalam perdagangan, pertanian, bangunan dan usaha mengontrol alam seperti banjir. Tahap yang kedua, matematika mendapatkan momentum baru dalam peradaban Yunani yang sangat memperhatikan aspek estetik dari matematika. Dapat dikatakan bahwa peradaban Yunani inilah yang meletakkan dasar matematika sebagai cara berpikir rasional dengan menetapkan berbagai langkah dan definisi tertentu. Kaum cendekiawan Yunani, terutama mereka yang kaya, mempunyai budak belian yang mengerjakan pekerjaan kasar termasuk hal-hal yang praktis seperti melakukan pengukuran. Dengan demikian maka kaum cendekiawan ini dapat memusatkan perhatiannya kepada aspek estetik dari matematika yang merupakan simbol status dari golongan atas waktu itu. Perkembangan selanjutnya matematika berkembang di timur sekitar tahun 1000 M. Di mana bangsa Arab, India, dan Cina mengembangkan ilmu hitung dan aljabar. Tahap ketiga gagasan-gagasan orang Yunani dan penemuan ilmu hitung dan Al-Jabar itu dikaji kembali dalam zaman Renaissance yang meletakkan dasar bagi kemajuan matematika modern selanjutnya. Dan tahap keempat matematika berkembang dengan pesat di ujung abad 17 dan masa revolusi industri di abad ke -18.

3.3.4 Aliran-aliran dalam Matematika
  Filsafat Logistik, yang menyatakan bahwa eksistensi Matematika merupakan cara berpikir logis yang salah atau benarnya dapat ditentukan tanpa mempelajari dunia empiris.
  Filsafat Intusionis, yaitu kebenarannya diambil secara intuisi (perasaan secara tiba-tiba)
  Filsafat formalis, berdasarkan lambang-lambang.

3.4 Statistika
Secara etimologi, kata statistik berasal dari kata status (bahasa Latin) yang mempunyai persamaan arti dengan state (bahasa Inggris) yang dalam bahasa Indonesia diterjemahkan dengan negara. Pada mulanya kata statistik diartikan sebagai “kumpulan bahan keterangan (data), baik yang berwujud angka (data kuantitatif) maupun yang tidak berwujud angka (data kualitatif), yang mempunyai arti penting dan kegunaan bagi suatu negara”. Namun pada perkembangan selanjutnya, arti kata statistik hanya dibatasi dengan kumpulan bahan keterangan yang berwujud angka (data kuantitatif saja) (Anas Sudiono dalam Bakhtiar, 2010:198).
Sedangkan menurut (Sudjana 1996:3) Statistika adalah pengetahuan yang berhubungan dengan cara-cara pengumpulan data, pengelolaan atau penganalisisannya dan penarikan simpulan berdasarkan kumpulan data dan penganalisisan yang dilakukan.
Jadi statistika merupakan sekumpulan metode dalam memperoleh pengetahuan untuk mengelola dan menganalisis data dalam mengambil suatu simpulan kegiatan ilmiah. Untuk dapat mengambil suatu keputusan dalam kegiatan ilmiah diperlukan data-data, metode penelitian serta penganalisisan harus akurat.
Pemerintah telah lama mengumpulkan dan menafsirkan data yang berhubungan dengan kepentingan bernegara, umpamanya data mengenai penduduk, pajak, kekayaan, dan perdagangan luar negeri.
3.4.1 Statistik dan Cara berpikir Induktif
Penalaran induktif dimulai dengan mengemukakan pernyataan-pernyataan yang mempunyai ruang lingkup yang khas dan terbatas untuk menyusun argumentasi yang diakhiri pernyataan yang bersifat umum, umpamanya kita mempunyai fakta bahwa kerbau mempunyai mata, lembu mempunyai mata, harimau mempunyai mata, dan gajah mempunyai mata. Dari pernyataan tersebut dapat ditarik bahwa semua binatang mempunyai mata. Statistik mempunyai peranan yang penting dalam berpikir induktif.
Penarikan simpulan induktif pada hakikatnya berbeda dengan simpulan secara deduktif. Dalam penalaran deduktif maka simpulan yang ditarik adalah benar sekiranya premis-premis yang digunakannya adalah benar dan prosedur penarikan simpulannya adalah sah. Sedangkan dalam penalaran induktif meskipun premis-premisnya adalah benar dan prosedur penarikan simpulannya adalah sah maka simpulan itu belum tentu benar. Yang dapat kita katakan bahwa simpulan itu mempunyai peluang untuk benar. Statistik merupakan pengetahuan yang memungkinkan kita untuk menghitung tingkat peluang ini dengan eksak.

3.4.2 Karakteristik Berpikir Induktif
Kegiatan ilmiah memerlukan penelitian untuk menguji hipotesis yang diajukan. Penelitian pada dasarnya merupakan pengamatan dalam alam empiris apakah hipotesis tersebut memang didukung oleh fakta-fakta. Jika umpamanya kita mempunyai hipotesis bahwa orang muda suka musik pop namun tidak musik keroncong maka kita harus melakukan pengujian untuk memperlihatkan bahwa hipotesis tersebut benar, dengan jalan mengumpulkan fakta mengenai kesukaan musik orang-orang muda. Tentu saja kita tidak bias mengadakan wawancara dengan seluruh orang muda dan untuk itu statistika terapan memberikan jalan bagaimana memilih sebagian dari orang muda tersebut sebagai contoh yang representif dan obyektif dari keseluruhan populasi orang muda tersebut. Demikian juga statistika memberikan jalan bagaimana kita menarik kesimpulan yang bersifat umum dari contoh tersebut dengan tingkat peluang dan kekeliruannya. Jelaslah kiranya bahwa tanpa menguasai statistika adalah tak mungkin untuk dapat menarik simpulan induktif dengan sah.

3.4.3 Peranan Statistika dalam tahap-tahap metode keilmuan
Dalam metode keilmuan statistika mempunyai peranan dalam kegiatan keilmuan:
1.    Alat untuk menghitung besarnya anggota sampel yang akan diambil dari populasi.
2.    Alat untuk menguji validitas dan reliabilitas instrumen. Maksudnya sebelum digunakan instrumen sebaiknya diuji validitas dan reliabilitas terlebih dahulu.
3.    Teknik untuk menyajikan data-data, sehingga data lebih komunikatif.
4.    Alat untuk analisis data seperti menguji hipotesis penelitian yang diajukan. Dalam hal ini statistik digunakan adalah korelasi, t-tes regresi, dan lain-lain.

Hubungan Antara Sarana Ilmiah Logika, Bahasa, Matematika dan Statistika
Sebagaimana yang kita bahas sebelumnya, agar dapat melakukan kegiatan berpikir ilmiah dengan baik, diperlukan sarana bahasa, matematika dan statistika. Bahasa merupakan alat komunikasi verbal yang dipakai dalam kegiatan berpikir ilmiah, di mana bahasa menjadi alat komunikasi untuk menyampaikan jalan pikiran tersebut kepada orang lain. Dan ditinjau dari pola berpikirnya, maka ilmu merupakan gabungan antara berpikir deduktif dan berpikir induktif. Matematika mempunyai peranan yang penting dalam berpikir deduktif, sedangkan statistika mempunyai peranan penting dalam berpikir induktif.
Penalaran induktif dimulai dengan mengemukakan pernyataan-pernyataan yang mempunyai ruang lingkup yang khas dan terbatas untuk menyusun argumentasi yang diakhiri pernyataan yang bersifat umum, umpamanya kita mempunyai fakta bahwa kerbau mempunyai mata, lembu mempunyai mata, harimau mempunyai mata, dan gajah mempunyai mata. Dari pernyataan tersebut dapat ditarik bahwa semua binatang mempunyai mata. Statistik mempunyai peranan yang penting dalam berpikir induktif.
Sebaliknya deduktif, cara berpikir di mana dari pernyataan yang bersifat umum ditarik simpulan yang bersifat khusus, menggunakan pola berpikir yang dinamakan silogismus. Contohnya semua makhluk mempunyai mata (premis mayor), si Bolan adalah seorang makhluk (premis minor), jadi si Bolan mempunyai mata (simpulan). Matematika adalah pengetahuan yang disusun secara deduktif. Matematika juga merupakan bahasa yang melambangkan serangkaian makna dari pernyataan yang ingin disampaikan.

D. Simpulan
Untuk melakukan kegiatan ilmiah secara baik diperlukan sarana berpikir. Tersedianya sarana tersebut memungkinkan dilakukannya penelaahan ilmiah secara teratur dan cermat. Penggunaan sarana berpikir ilmiah ini merupakan suatu hal yang bersifat imperatif bagi seorang ilmuwan. Tanpa menguasai hal ini maka kegiatan ilmiah yang baik tidak dapat dilakukan.
Sarana ilmiah pada dasarnya merupakan alat yang membantu kegiatan ilmiah dalam berbagai langkah yang harus ditempuh. Untuk dapat melakukan kegiatan berpikir ilmiah dengan baik maka diperlukan sarana yang berupa logika, bahasa, matematika, dan statistika, agar dalam kegiatan ilmiah tersebut dapat berjalan dengan baik, teratur dan cermat.
Berdasarkan hal-hal yang telah dibahas di atas, maka kami menyimpulkan bahwa:
1. Logika
Fungsi logika adalah: [1] membedakan ilmu yang satu dari yang lain apabila objeknya sama, dan [2] menjadi dasar ilmu pada umumnya dan falsafah pada khususnya.[32] Sedangkan peranan logika adalah sebagai berikut:
a.  Logika menyatakan, menjelaskan, dan mempergunakan prinsip-prinsip abstrak yang dapat dipergunakan dalam semua lapangan ilmu pengetahuan.
b. Pelajaran logika menambah daya pikir abstrak dan ddengan demikian melatih dan mengembangkan daya pemikiran dan menimbulkan disiplin intelektual.
c.    Logika mencegah kita tersesat oleh segala sesuatu yang kita peroleh berdasarkan otoriti.
2. Bahasa
Menurut Kneller[33] bahwa bahasa memiliki tiga fungsi yaitu:
a.    Simbolik
b.    Emotif
c.    Afektif (George F. Kneller dalam Jujun S. Suriasumantri, 1995:175).
3. Matematika
a.   Menggunakan algoritma: yang termasuk ke dalam kemampuan ini antara lain adalah melakukan operasi hitung, operasi himpunan, dan operasi lainya. Juga menghitung ukuran tendensi sentral dari data yang banyak dengan cara manual.
b.    Melakukan manipulasi secara matematika: yang termasuk ke dalam kemampuan ini antara lain adalah menggunakan sifat-sifat atau rumus-rumus atau prinsip-prinsip atau teorema-teorema ke dalam pernyataan matematika .
c.  Mengorganisasikan data: kemampuan ini antara lain meliputi: mengorganisasikan data atau informasi, misalnya membedakan atau menyebutkan apa yang diketahui dari suatu soal atau masalah dari apa yang ditanyakan.
d. Memanfaatkan simbol, tabel, grafik, dan membuatnya; kemampuan ini antara lain meliputi: menggunakan simbol, tabel, grafik untuk menunjukkan suatu perubahan atau kecenderungan dan membuatnya.
e.    Mengenal dan menemukan pola: kemampuan ini antara lain meliputi: mengenal pola susunan bilangan dan pola bangun geometri.
f.   Menarik kesimpulan; kemampuan ini antara lain meliputi: kemampuan menarik kesimpulan dari suatu hasil hitungan atau pembuktian suatu rumus.
g.  Membuat kalimat atau model matematika; kemampuan ini antara lain meliputi: kemampuan secara sederhana dari fenomena dalam kehidupan sehari-hari ke dalam model matematika atau sebaliknya dengan model ini diharapkan akan mempermudah penyelesaiannya.
h. Membuat interpretasi bangun geometri; kemampuan ini antara lain meliputi: kemampuan menyatakan bagian-bagian dari bangun geometri dasar maupun ruang dan memahami posisi dari bagian-bagian itu.
i.  Memahami pengukuran dan satuannya; kemampuan ini antara lain meliputi ; kemampuan memilih satuan ukuran yang tepat, melakukan estimasi, mengubah satuan ukuran ke satuan lainnya.
j.   Menggunakan alat hitung dan alat bantu lainnya dalam matematika, seperti tabel matematika, kalkulator, dan komputer.
4. Statistika
a.    Alat untuk menghitung besarnya anggota sampel yang akan diambil dari populasi.
b. Alat untuk menguji validitas dan reliabilitas instrumen. Maksudnya sebelum digunakan instrumen sebaiknya diuji validitas dan reliabilitas terlebih dahulu.
c.     Teknik untuk menyajikan data-data, sehingga data lebih komunikatif.
d.  Alat untuk analisis data seperti menguji hipotesis penelitian yang diajukan. Dalam hal ini statistik digunakan adalah korelasi, t-tes regresi, dan lain-lain.




DAFTAR PUSTAKA


Adnyana, I Wayan. 2010. Pemikiran Induktif dan Deduktif dalam Ilmu Matematika. Dalam http://way4n.wordpress.com/2010/05/25/pemikiran-deduktif-dalam-matematika/ diakses 10 Oktober 2012.

Al-Rasyid, Hamzah Harun. 2012. “Sarana Ilmiah. Logika” dalam http://hamzah-harun.blogspot.com/2012/02/sarana-ilmiah_9724.html diakses 10 Oktober 2012

Alwasilah, A. Chaedar. 1993. Linguistik: Suatu Pengantar. Bandung: Angkasa

Bagus, Lorens. 1996. Kamus Filsafat. Jakarta: Gramedia.

Bakhtiar, Amsal. 2007. Filsafat Ilmu. Jakarta: Rajawali Press

Bakhtiar, Amsal. 2010. Filsafat ilmu. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Bakry, Hasbullah. 1981. Sistematika Filsafat. Jakarta: Wijaya.

Beerling, Kwee dan Mooij Van Peursen. 1990. Pengantar Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Tiara Wacana

Depdikbud. 1991. Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Kedua. Jakarta: Balai Pustaka.

Hartono Kasmadi, dkk. 1990. Filsafat Ilmu. Semarang: IKIP Semarang Press,

Hidayat, Komaruddin. 1996. Memahami Bahasa Agama: Sebuah Kajian Hermeneutik. Jakarta: Paramadina

Latif, Yudi dan Ibrahim, Idi Subandy (eds). 1996. Bahasa dan Kekuasaan: Politik Wacana di Panggung Orde Baru. Bandung: Mizan.

Munsyi, Alif Danya. 2005. Bahasa Menunjukkan Bangsa. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.

Mustansyir, Rizal. 2001. Filsafat Analitik: Sejarah, Perkembangan, dan Peranan Para Tokohnya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Santrock, Jhon W. 2008. Psikologi Pendidikan. Jakarta: Kencana.

Sudjana, 1996. Metode Statistika, Bandung: Tarsito.

Sugoyono, 2007. Statistika Untuk Penelitian. Bandung: Alfabeta.

Surajiyo,. 2009. Filsafat Ilmu dan Perkembangannya di Indonesia. Jakarta: PT Bumi Aksara.

Suriasumantri, Jujun S. (ed). 1999. Ilmu Dalam Perspektif. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Suriasumantri, Jujun S. 1995. Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

Suriasumantri, S. Jujun. 1990. Filsafat Ilmu Suatu Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

The New Oxfort Dictionary of English. 2003. UK : Oxford University Press.

Tim Dosen Filsafat Ilmu UGM, 1996. Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Liberty.

Viliandari, Arsyilia. 2010. Peran Matematika. Dalam http://arsyilia09.wordpress.com/2010/04/08/peran-matematika/ diakses 10 Oktober 2012




[1] Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1995), h. 165
[2] Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1993), h. 42.
[3] Ibid, h. 45.
[4] Ibid, h. 48-49.
[5] Ibid, h. 49. Syllogism (Inggris); sullogismos (Yunani) dari kata sullogizesthai = sun- ‘with’ + logizesthai ‘to reason, reasoning’ [menalar] (kamus digital Concise Oxford Dictionary).
[6] Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia [KBBI] Edisi Kedua (Jakarta: Balai Pustaka, 1991), h. 940.
[7] Suriasumantri, op. cit., h. 45.
[8] Jujun S. Suriasumantri (ed.), Ilmu Dalam Perspektif (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1999), h. 105.
[12] [Hartono Kasmadi, dkk.,Filsafat Ilmu, IKIP Semarang Press, 1990, hlm. 45].
[13] Ibid, h. 175.
[14] Webster’s New Collegiate Dictionary (U.S.A, 1981), h. 641, dikutip oleh A. Chaedar Alwasilah, Linguistik: Suatu Pengantar (Bandung: Angkasa, 1993).
[15] Tim Redaksi, KBBI Edisi Kedua (Jakarta: Balai Pustaka, 1991), h. 77.
[16] A. Chaedar Alwasilah, Linguistik: Suatu Pengantar (Bandung: Angkasa, 1993), h. 83-89.
[17] Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1995), h. 175
[18] Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1993), h. 169.
[19] Tim Redaksi, KBBI (Jakarta: Balai Pustaka, 1991), h. 1014.
[20] Charlton Laird, The Miracle of Language (New York: Fawcett, 1953), dikutip oleh Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1993), h. 182.
[21] Alif Danya Munsyi, Bahasa Menunjukkan Bangsa (Jakarta: Kepustakaan Gramedia Populer, 2005), h. 196.
[22] Komaruddin Hidayat, Memahami Bahasa Agama: Sebuah Kajian Hermeneutik (Jakarta: Paramadina, 1996), h. 75.
[23] Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1993), h. 173-184.
[24] Slamet Iman Santoso, “Fungsi Bahasa, Matematika dan Logika untuk Ketahanan Indonesia dalam Abad 20 di Jalan Raya Bangsa-bangsa” dalam Jujun S. Suriasumantri (ed.), Ilmu Dalam Perspektif (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1999), h. 227.
[25] Beerling, Kwee, Mooij, Van Peursen, Pengantar Filsafat Ilmu (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1990), h. 123.
[26] Komaruddin Hidayat, Memahami Bahasa Agama: Sebuah Kajian Hermeneutik (Jakarta: Paramadina, 1996), h. 44.
[27] Yudi Latif dan Idi Subandy Ibrahim (eds.), Bahasa dan Kekuasaan: Politik Wacana di Panggung Orde Baru (Bandung: Mizan, 1996), h. 17.
[28] Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1993), h. 182-187.
[29] Rizal Mustansyir, Filsafat Analitik: Sejarah, Perkembangan, dan Peranan Para Tokohnya (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001)
[30] Surajiyo,. 2009. Filsafat Ilmu dan Perkembangannya di Indonesia. Jakarta: PT Bumi Aksara.
[31] Erman Suherman (1995:56) Dalam
[32] [Hartono Kasmadi, dkk.,Filsafat Ilmu, IKIP Semarang Press, 1990, hlm. 45].
[33] Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1995), h. 175