Translate

Rabu, 07 Agustus 2013

HUBUNGAN_KEKERABATAN_BAHASA_SABU_DENGAN_BAHASA_TETUN

HUBUNGAN KEKERABATAN BAHASA SABU DENGAN BAHASA TETUN
Oleh: Gud Reacht Hayat Padje


I. Pendahuluan
Penelitian mengenai hubungan kekerabatan antara bahasa Sabu dengan bahasa Tetun ini membahas sejarah bahasa-bahasa sekerabat di Timor NTT dan kepulauan di sekitarnya. Penulisan ini termasuk kajian linguistik historis komparatif yang disebut juga linguistik diakronis.
Linguistik historis komparatif sebagai cabang linguistik mempunyai tugas utama antara lain menetapkan fakta dan tingkat kekerabatan antarbahasa yang berkaitan erat dengan pengelompokan bahasa-bahasa sekerabat. Bahasa-bahasa sekerabat yang termasuk dalam anggota satu kelompok bahasa pada dasarnya memiliki sejarah perkembangan yang sama. Sesuai dengan tugas utama itu, maka linguistik historis komparatif memiliki kewenangan dalam mengkaji hubungan genetic di antara sekelompok bahasa tertentu. Pembukitan hubungan kekerabatan dan keasalan itu, pada umumnya bertolak dari pengelompokan bahasa-bahasa dan rekonstruksi protobahasanya. Pengelompokan adalah penentuan kedudukan bahasa-bahasa dalam suatu susunan atau pohon kerabat (family tree). Selanjutnya, rekonstruksi (protobahasa) adalah penetapan satuan-satuan kebahasaan sebagai bentuk proto. Dengan demikian, melalui pengelompokan dan rekonstruksi dapat diperoleh kejelasan hubungan kekerabatan dan keasalan, sesuai dengan jenjang struktur dan silsilah kekerabatan bahasa-bahasa (Antila, Hock, 1988:577; Bynon, 1979:266).
Para ahli di bidang kajian ini pada prinsipnya menganut pendapat yang sama bahwa dalam rangka kerja penelitian serupa itu, pengambilan simpulan yang bersifat historis dapat dibenarkan (Lehmann, 19743:6; Bynin, 1979:271-272). Demikian pula, berkaitan dengan penelitian hubungan genetic dan keasalan bahasa-bahasa, maka hal yang paling mendasar untuk dilakukan adalah menjejaki inovasi protobahasa, yaitu adanya warisan bersama. Warisan mersama itu dihipotesisikan berasal dari protobahasa yang sama pula (Lyons, 1982:184; Jeffers dan Lehiste, 1972:43; Lehmann, 1972:20).
Dilihat dari sejarah penyebaran manusia yang mendiami wilayah Belu dan Sabu, ada kemungkinan berasal dari wilayah yang sama sebagaimana yang dikemukakan oleh Riwu Kaho (2000:54-62) bahwa dalam sejarah dunia, tercatat ada tiga gelombang migrasi penduduk secara besar-besaran; yang pertama terjadi pada sekitar tahun 2000 SM yaitu orang-orang Austronesia bermigrasi dari timur ke arah barat wilayah nusantara; gelombang kedua terjadi sekitar tahun 500 SM yaitu orang-orang berasal dari Hindia Muka/Asia Selatan, bergerak melalui Muangthai ke Malaysia Barat (Malaka) lalu menyebar ke kepulauan nusantara. Berkaitan dengan migrasi penduduk pada gelombang kedua ini, ada banyak ungkapan dan cerita rakyat baik yang berupa mithe maupun legenda yang mengungkapkan bahwa nenek moyang orang Sabu dan orang Belu berasal dari rumpun yang sama. Gelombang migrasi penduduk yang ketiga terjadi pada abad IV dan V M. Pada saat itu terjadi peperangan yang berkepanjangan di India Selatan akibat invasi yang dilakukan India Utara pada masa pemerintahan Raja Chandragupta (375-413 M).
Berdasarkan uraian-uraian di atas, penulis berpendapat bahwa “bila orang Sabu dengan orang Belu berasal dari daerah yang sama maka bahasa Sabu dan bahasa Tetun dicurigai memiliki tingkat kekerabatan bahasa yang tinggi.

II. Acuan Teori
Penelitian ini dilandasi oleh teori linguistik historis komparatif. Teori ini dikembangkan antara lain oleh Jacob Grimm (1787-1863), Lehman (1972), Hock (1988), Bynon (1979). Teori ini disebut juga teori diakronik, yaitu menyangkut analisis bentuk dan keteraturan perubahan bahasa-bahasa umum misalnya yang dilengkapi dengan perubahan bunyi, untuk merekonstruksi bahasa masa lalu, yaitu bahasa purba (proto) yang hidup pada ribuan tahun sebelum itu. Bahasa purba (proto) ini berubah dan pecah menjadi beberapa bahasa turunan karena faktor tempat dan waktu (Bynon, 1979:54). Bahasa-bahasa turunan ini mewarisi kaidah-kaidah bahasa asalnya dan akan berbeda karena perkembangan (inovasi) yang terjadi belakangan setelah bahasa itu berbeda (Bynon, 1979:61).
Hubungan kekerabatan antara bahasa serumpun dalam kajian historis komparatif pada dasarnya dapat dibuktikan berdasarkan unsur-unsur warisan darai bahasa asal atau protobahasa (Fernandez, 1996:21). Konsep bahasa asal atau protobahasa sesungguhnya bukanlah merupaka wujud nyata bahasa, melainkan suatu bentuk yang dirancang bangun atau dirakit kembali sebagai gambaran tentang masa lalu suatu bahasa. Dengan kata lain, konsep ini adalah merupakan gagasan teoritis yang dirancang dengan cara yang amat sederhana guna menghubungkan sistem-sistem bahasa kerabat dengan menggunakan sejumlah kaidah (Bynon, 1979:71). Fakta-fakta kebahasaan dalam wujud keteraturan kesepadanan yang ditemukan pada bahasa-bahasa kerabat menunjukkan bukti adanya keaslian bersama yang terwaris dari moyang yang sama (Bynon, 1979:47). Dengan adanya ciri-ciri warisan yang sama, keeratan hubungan keseasalan antara bahasa-bahasa kerabat dapat ditemukan dan sistem protobahasanya dapat dijejaki.
Hubungan kekerabatan antarbahasa serumpun dalam kajian komparatif pada dasarnya dapat dibuktikan berdasarkan unsur-unsur warisan dari bahasa asalnya atau proto bahasa (Hock, 1988). Konsep bahasa asal atau proto bahasa sesungguhnya bukanlah merupakan wujud nyata bahasa, melainkan suatu bentuk yang dirancang bangun atau dirakit kembali sebagai gambaran tentang masa lalu suatu bahasa. Dengan kata lain, konsep ini merupakan gagasan teoretis yang dirancang dengan cara yang amat sederhana guna menghubungkan sistem-sistem bahasa sekerabat dengan menggunakan sejumlah kaidah (Jeffers dan Lehiste, 1970; Bynon, 1979:71). Fakta-fakta kebahasaan dalam wujud keteraturan, kesepadanan yang ditemukan pada bahasa-bahasa kerabat menunjukkan bukti adanya keaslian bersama yang terwaris dari moyang yang sama (Bynon, 1979:47). Dengan adanya ciri-ciri warisan yang sama, keeratan hubungan keseasalan antara bahasa-bahasa kerabat dapat ditemukan dan sistem protobahasanya dapat dijejaki.
Pengelompokan berarti penentuan silsilah kelompok bahasa demi kejelasan struktur genetisnya. Dengan pengelompokan, setiap bahasa yang diperbandingkan dapat diketahui kedudukan dan hubungan keseasalannya dengan bahasa-bahasa kerabat lainnya. Di lain pihak, rekonstruksi protobahasa memperjelas hubungan kekerabatan dan ikatan keseasalan bahasa-bahasa itu sesuai jenjang kekerabatan yang dapat disilsilahkan. Hal itu mengandung makna, protobahasa sebagai suatu sistem yang diabstrasikan dari wujud bahasa-bahasa kerabat merupakan pantulan kesejarahan bahwa bahasa-bahasa itu pernah mengalami perkembangan yang sama sebagai bahasa tunggal (Antilla, 1972:213).
Rekonstruksi protobahasa berpijak pada dua hipotesis, yakni hipotesis keterhubungan dan hipotesis keteraturan (Jeffers dan Lehiste, 1979:17; Hock, 1988:567). Ciri umum yang dimiliki hipotesis keterhubungan ini adalah kemiripan dan kesamaan wujud kebahasaan. Salah satu ciri yang paling diandalkan adalah kemiripan bentuk dan makna kata-kata. Kata-kata yang memiliki kemiripan atau kesamaan bentuk dan makna yang biasa disebut kosa kata seasal (cognate set) bukan sebagai pinjaman, kebetulan, atau kecenderungan semesta, tetapi dihipotesiskan sebagai warisan dari asal-usul yang sama. Hipotesis keteraturan berwujud perubahan bunyi yang bersistem dan teratur pada bahasa-bahasa turunan. Sebuah segmen bunyi dari protobahasa yang terwaris melalui kosakata seasal berubah secara teratur pada suatu bahasa turunan.
Penelusuran terhadap unsur warisan bahasa berkerabat meliputi tataran leksikal, fonologi, morfologi, dan sintaksis. Dalam studi komparatif, tataran leksikal dan fonologi lebih umum dipakai sebagai dasar penentuan kekerabatan dan pengelompokan suatu bahasa serumpun dengan alasan sebagai berikut. Pertama, melalui pengelompokan leksikal, kita bisa memperoleh informasi tentang budaya, sejarah, kehidupan sosial, dan fakta-fakta geografis suatu masyarakat bahasa. Kedua, pengelompokan yang paling berhasil pada studi komparatif adalah pengelompokan pada tataran fonologis karena berbagai faktor: (a) segmen atau unsur fonologis merupakan unsur terkecil dalam suatu bahasa, dengan demikian lebih mudah dipahami; (b) lebih mudah ditemukan fakta yang relevan dibandingkan tataran lainnya. Karena sebuah tuturan kecil dengan cepat dan banyak dapat ditemukan fakta yang diperlukan; (c) masalah bunyi telah banyak dikaji dalam studi linguistik sehingga telah menjadi kajian yang sangat mapan. (d) perubahan bunyi itu beraturan dan dapat memberi indikasi hubungan di antaranya (Hock, 1988:573).
Tataran leksikal merupakan salah satu aspek penting dalam studi komparatif. Hal tersebut tampak terutama pada pengamatan tingkat awal dalam upaya pengelompokan antarbahasa sekerabat. Dengan menggunakan bukti-bukti kuantitatif yang lebih berorientasi pada pengamatan sekilas pada sejumlah kosakata dasar dapat ditentukan kelompok bahasa-bahasa sekerabat berdasarkan prosentasenya, sedangkan tataran fonologis dapat dipakai pada tingkat lanjutan untuk menentukan pengelompokan protobahasa. Berdasarkan perubahan bunyi secara teratur yang terjadi pada masing-masing bahasa kerabat dapat disusun kaidah-kaidah korespondensi fonem (Dyen, 1978 dan Bynon, 1979:25).
Pada dasarnya inti dari upaya penelusuran terhadap hubungan kekerabatan suatu bahasa, baik untuk tujuan pengelompokan bahasa (subgrouping) maupun penelitian asal bahasa, adalah penemuan terhadap bukti-bukti yang meyakinkan, yang terdapat dalam setiap bahasa yang diperbandingkan. Bukti-bukti tersebut dapat bersifat kuantitaif dan kualitatif. Bukti kuantitatif adalah dalam bentuk sejumlah kosakata kerabat (cognate set) yang berkaitan dengan retensi bersama (shared retention). Bukti kualitatif berupa inovasi bersama (shared inovation) serta korespondensi fonologis (Crowley, 1983; Jeffers dan Lehiste, 1979:1-16).
Penjejakan bukti-bukti kuantitatif atau retensi bersama didasarkan atas asumsi bahwa kosakata tersebut bersifat semesta dan konstan sepanjang masa. Dikatakan bersifat semesta karena kosakata yang dibandingkan merupakan kosakata inti yang sangat intim dengan kehidupan manusia dan ada dalam setiap bahasa. Kosakata inti termasuk kosakata yang usianya setua manusia dan sukar berubah dibandingkan dengan kosakata lainnya. Perubahan kosakata itu hanya sekitar 20% dalam setiap 1000 tahun atau mampu bertahan sebesar 80% (Crowley, 1983), 81% (Hockett, 1963, dan Swadesh, 1972). Itulah sebabnya kosakata itu dikatakan bersifat konstan sepanjang masa. Bukti-bukti kuantitatif tersebut dipakai sebagai dasar pengelompokan pada tahap awal pada suatu bahasa untuk tujuan pemerolehan persentase kosakata kerabat yang dihitung dengan menggunakan leksikostatistik, dan menghitung masa pisah setiap bahasa dengan menggunakan glotokronologis (Dyen, 1978; Swadesh, 1972).
Penjejakan terhadap bukti-bukti kualitatif merupakan upaya penemuan fakta-fakta tentang perubahan-perubahan yang ekslusif, yang hanya terdapat dalam dua bahasa atau lebih. Perubahan bersama yang ekslusif (exclivelu shared linguistic innovation) itu merupakan retensi dari protobahasa asalnya dan tidak ditemukan pada bahasa atau subkelompok bahasa lainnya. Perubahan yang dimaksud hanya terjadi satu kali dalam perjalanan sejarah bahasa itu. Perubahan-perubahan itu tampak dalam bentuk perubahan bunyi yang teratur dan perubahan bunyi yang sporadis; dapat berupa perubahan leksikon, serta dapat pula berupa perubahan makna (Jeffers dan Lehiste 1979).
Beberapa pola perubahan bunyi dapat terjadi, seperti peleburan (merger), pelengkahan (split), penunggalan (monophonemization) penggugusan (diphonemization) dan peluluhan bunyi (phonemic losss) (Penz. 1969:11-13; Hock 1988:107-117).
Leksikostatistik adalah salah satu teknik pengelompokan bahasa-bahasa atau dialek yang mengutamakan perhitungan kata-kata secara statistik untuk mengetahui jumlah kesamaan kata-kata kerabat yang diperbandingkan (Grimes, 1987 dalam Mead 1999). Leksikostatistik berisikan daftar kosakata dasar setiap bahasa yang akan diperbandingkan. Morris Swadesh mengusulkan 200 kosakata dasar yang universal, yang meliputi kata-kata ganti, kata bilangan, kata-kata anggota badan (sifat dan aktivitasnya), alam dan sekitarnya dan alat-alat budaya sehari-hari.
Untuk menentukan jumlah kata-kata kerabat pada bahasa-bahasa yag dibandingkan, maka digunakan teknik-teknik sebagai berikut:
  1. Pasangan yang identik
  2. Pasangan yang memiliki korespondensi fonemis
  3. Pasangan yang mirip secara fonetis
  4. Pasangan satu fonem berbeda         (Keraf, 1984)
Setelah semua teknik perbandingan di atas digunakan, maka diadakan perhitungan untuk mengetahui jumlah prosentase kesamaan kata-kata kerabat. Hasil prosentase kesamaan akan menunjukkan pola-pola hubungan antara bahasa-bahasa dan selanjutnya dapat ditentukan status dan garis keturunan bahasa-bahasa yang dibandingkan.
Menurut Simons (1997) dalam Mead (1999), studi leksikostatistik sinkronis juga dapat menetukan batas-batas bahasa dan dialek dengan presentase pengelompokan yang diusulkan Grimes (1987), sebagai berikut:
Under 15%               =  belong to different phylum
Over 15%                 =  belong to the same phylum
Over 25%                 =  belong to the same superstock
Over 45%                 =  belong to the same stock
Over 65%                 =  belong to the same family
Over 75%                 =  belong to the same sub family
Over 80%                 =  belong to the same language
Over 90%                 =  belong to the same dialect
Selain pendekatan leksikostatistik sinkronis, studi ini juga akan menggunakan pendekatan Diakronis. Tujuan penggunaan pendekatan ini untuk melacak dan memberi gambaran tentang usia pisah dan proses perkembangan bahasa selanjutnya dari bahasa protonya.

III. Data dan Pembahasan
3.1 Pasangan Identik
NO
GLOSS
SABU
TETUN
1.
Ibu
Ina
Ina

3.2    Pasangan yang memiliki korespondensi Fonemis
Korespondensi bunyi atau kesepadanan bunyi adalah kesejajaran bunyi pada posisi yang sama yang terdapat pada bahasa-bahasa turunan berdasarkan kognat dasar yang dikumpulkan dalam penelitian. Kesejajaran ini terlihat pada kesamaan atau kemiripan bentuk dan arti (Hock, 1988:557-558).

NO
GLOSS
SABU
TETUN
1.
Abu
awu
ahukdesan
2.
Air
ei
we
3.
Alir
mili
suli
4.
Anak
ana
oa n
5.
Api
ai
ahi
6.
Batu
wadu
fatu
7.
Belah (me)
bekka
fera
8.
Berenang
nangi
nani
9.
Berjalan
kako
lao
10.
Bilamana
perri
wehira
11.
Cacing
kelate
latik
12.
Debu
awu 
raiahun
13.
Dengan
nga
no
14.
Dengar
rengi
rona
15.
Di dalam
padara
ihalaran
16.
Dua
due
rua 
17.
Empat
eppa
hat
18.
Engkau
eu
o
19.
Gigit
hibb’e
hanisi
20.
Hapus
rohe
kose
21.
Hati
ade
aten
22.
Hidup
muri
moris
23.
Hitam
meddi
metan
24.
Ikat
ekki
kesi
25.
Ini
nadde
ne’e
26.
Itu
nanidd’e
nia
27.
Berjalan
kako
lao
28.
Jauh
djuo
dok
29.
Kaki
kae
ain
30.
Kamu
eu
emi
31.
Kanan
kedanga
wana
32.
Kecil
naiki
ki’ik
33.
Kiri
keriu 
karuk
34.
Lain
wala
feluk
35.
Laut
ei dahi
tasi
36.
Leher
lakoko
kakorok
37.
Lelaki
mone
mane
38.
Lihat
heleo
hare
39.
Lima
lemmi
lima
40.
Makan
nga ‘a
ha
41.
Mata
namada
matan
42.
Matahari
madalodo
loromatan
43.
Minum
nginu
hemu
44.
Nama
ngara
naran
45.
Panas
pana
manas
46.
Pendek
babba
badak
47.
Potong
atte
ta
48.
Putih
pudi
mutin
49.
Siang
ani lodho
loron
50.
Tajam
na’a
ro’at
51.
Takut
meda’u
hatauk
52.
Tali
dari
tali
53.
Tanah
worai
rai
54.
Tebal
me’a
ma’ar
55.
Telinga
wodilu
tilun
56.
Telur
de’lu
manutolun
57.
Tetek
huhu
hasusu
58.
Tipis
meni
mi’is
60.
Usus
tene’i
ten

3.3Kemiripan secara Fonetis
NO
GLOSS
SABU
TETUN

  1.  
Gali
Ke’i
Ke’e

  1.  
Garuk
Karu
Ko’i

3.4 Satu Fonem berbeda
NO
GLOSS
SABU
TETUN

  1.  
Ayah
Ama
Aman

  1.  
Bakar
Tunu
Sunu

  1.  
Benih
Wini
Fini

  1.  
Darah
Ra
Ran

  1.  
Pada 
Pa
Ba

  1.  
Kutu
Udu
Utu

  1.  
Mati
Made
Mate

  1.  
Merah
Mea
Mean

  1.  
Tiga
Te’lu
Tolu

  1.  
Tulang
Rui
Ruin

3.5 Persentase kekerabatan  :
X 100%
= 36,5% dibulatkan menjad 37%

Dengan persentase kekerabatan 37% ini, maka tingkatan bahasa Sabu dengan Tetun berdasarkan klasifikasi bahasa menurut Swadesh berada pada tingkatan keluarga (family), sedangkan menurut klasifikasi Grimes berada pada tingkatan stock.

3.Perhitungan Tahun Pisah :


Perhitungan Tahun Pisah :
 Angka 2290 adalah angka relatif atau tidak pasti. Oleh karena itu perlu dihitung pula jangka waktu kesalahan dengan standar 7% dari kebenaran dengan rumus.

Waktu pisah II (t1) antara bahasa Sabu dan Tetun adalah

T1= 999

Jangka kesalahan didapat dengan rumus
= t-t1
= 2290-999
= 1291
Jangka kesalahan adalah 35 tahun.
Hitung ke belakang sejak tahun 2012.
a.       2290 ±1291 ( di antara 2290 – 1291 atau dan 999 +1291
b.      999 - 2290

c.       1013 - 3303