Translate

Tampilkan postingan dengan label Sabu. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Sabu. Tampilkan semua postingan

Jumat, 27 November 2015

TIPOLOGI DAN ALIANSI GRAMATIKAL BAHASA SABU

TIPOLOGI DAN ALIANSI GRAMATIKAL
BAHASA SABU
Oleh: Gud Reacht Hayat Padje

1. Pendahuluan
1.1 Latar Belakang
                Masyarakat Indonesia dalam pergaulannya sehari-hari pada umumnya menggunakan bahasa daerah dan bahasa Indonesia. Bahasa-bahasa daerah yang ada di wilayah Indonesia merupakan lahan subur bagi penelitian kebahasaan. Jumlah bahasa daerah di Indonesia belum dapat disepakati oleh para ahli dengan angka tertentu, karena masih banyak bahasa daerah yang belum terjamah oleh peneliti terutama bahasa minor, misalnya, di pedalaman Papua. Sementara itu, menurut Purwo (2009), secara kuantitatif, menyebutkan bahasa daerah di Indonesia berjumlah 706 bahasa. Dari 706 bahasa daerah itu, satu di antaranya adalah bahasa Sabu.
Bahasa Sabu (yang selanjutnya disingkat BS) digunakan oleh masyarakat yang ada di Kepulauan Sabu, Kabupaten Kupang, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) sebagai alat komunikasi intraetnis dalam kehidupan sehari-hari. BS juga dipakai oleh masyarakat Sabu yang berada di daerah lain, misalnya di Sumba, Kupang, Flores, dan Rote. Selain sebagai alat komunikasi sehari-hari, BS juga digunakan dalam upacara-upacara adat, misalnya: upacara kelahiran, perkawinan, kematian, dan keagamaan (Koreh, 2006). BS juga digunakan dalam pewarisan karya sastra lisan, seperti (1) Lupe’jo (tuturan yang dilagukan untuk mengiringi tarian massal pedo’a), (2) Liikewede (pantun), (3) Lu jawi (cerita rakyat), (4) Lumengao (doa permohonan), (5) Lulodo (nyanyian rakyat), (6) Tangipali (nyanyian kedukaan), dan (7) Liipake (mantra).
Kepulauan Sabu secara geografis terletak di antara Pulau Sumba, Pulau Rote, dan Pulau Timor, Provinsi NTT. Kepulauan Sabu terdiri atas tiga pulau, yakni Pulau Sabu, Pulau Raijua, dan Pulau Dana. Masyarakat yang berdominasi di tiga pulau ini, baik yang termasuk etnis Sabu maupun etnis non-Sabu mengenal istilah sabu dalam kehidupan mereka. Akan tetapi, di kalangan orang Sabu, penyebutan istilah sabu kurang populer karena orang Sabu lebih senang menyebutnya dengan hawu. Lebih lanjut, Kaho (2007) mengungkapkan bahwa orang Sabu menamakan dirinya dengan sebutan Do Hawu dan menamakan Pulau Sabu dengan sebutan Rai Hawu. Do adalah singkatan dari kata dou yang berarti orang atau manusia, sedangkan rai berarti tanah atau negeri. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa Do Hawu mengacu pada orang atau manusia Sabu, sedangkan Rai Hawu mengacu pada tanah atau negeri Sabu.
                Data statistik tahun 1998 menunjukkan bahwa penduduk Pulau Sabu berjumlah 63.617 jiwa dengan rincian 31.969 jiwa laki-laki dan 31.648 jiwa perempuan. Mata pencaharian utama penduduk Sabu adalah pertanian, kerajinan (khususnya tenun dan gula nira ), dan pengolahan hasil laut (khususnya rumput laut). Aktivitas ekonomi masyarakat Sabu masih konvensional yang terikat dengan norma budaya. Selain itu, masyarakat Sabu masih tetap konsisten menjalankan budaya lokal walaupun kemajuan informasi dan teknologi telah mulai berkembang. Dari ibu kota kabupaten, daratan Sabu yang luasnya 460,78 km², terdiri atas lima kecamatan (Kecamatan Sabu Barat, Kecamatan Sabu Timur, Kecamatan Liae, Kecamatan Mesara, dan Kecamatan Raijua), dan berpenduduk 30 ribu jiwa lebih itu, dapat ditempuh dalam hitungan menit atau jam. Bila menggunakan jalur udara, jarak tempuh dari ibu kota kabupaten ke Pulau Sabu  sekitar 45 menit dan bila menggunakan jalur laut jarak tempuhnya adalah sekitar 12 jam.
                 Secara administrasi pemerintahan, Pulau Sabu masuk ke dalam wilayah Kabupaten Kupang. Namun, untuk keperluan percakapan sehari-hari masyarakat pulau ini lebih banyak menggunakan bahasa Sabu yang sekelompok dengan bahasa Bima-Sumba (Pemerintah Kabupaten Kupang, Provinsi Nusa Tenggara Timur, 2007). Menurut Kridalaksana (2008), rumpun bahasa Bima-Sumba ini meliputi bahasa Bima, bahasa Manggarai, bahasa Ngada, bahasa Lio, bahasa Sumba Barat, bahasa Sumba Timur, dan bahasa Sabu.
BS memiliki lima variasi dialek, yakni dialek Seba, dialek Mesara, dialek Raijua, dialek Timu, dan dialek Liae (Walker,1982:3). Kelima variasi dialek tersebut tidak memiliki perbedaan yang signifikan atau mencolok. Perbedaannya hanya terletak pada variasi fonologis pada sebagian kecil leksikon (Koreh, 2006). Dalam penelitian ini yang menjadi subjek penelitian adalah BS dialek Seba karena dialek Seba dapat dipahami oleh penutur pada semua dialek BS. Untuk lebih jelasnya, variasi fonologis sebagai penanda dialek tersebut terlihat di bawah ini.
Seba
Mesara
Timu
Liae
Raijua
Arti
yaa
dja
djaa
yaa
ja,o
Saya
dji
djii
djii
dji
jii
Kami
Ri
ri
ro
ri
li
Oleh
do
do
do
do
ro
Yang
hiammu
hiemmu
ihiammu
hiammu
la’i
Istri/Suami
terae
terae
terae
terafae
terae
Jagung

BS dipergunakan dalam komunikasi sehari-hari dan di tempat upacara yang dilakukan oleh setiap kelompok sepanjang takwin adat. Kegiatan upacara dibagi dalam kurun musim kemarau dan kurun musim hujan. Upacara itu berfungsi untuk menyingkirkan segala bentuk kekuatan gaib yang merusak dan mengancam kehidupan manusia. Upacara adat musim hujan dipimpin Deo Rai ‘dewa tanah’, sedangkan upacara musim kemarau dipimpin oleh Pulodo Wadu ‘leluhur Matahari’ (Juli, 2003). Masyarakat Sabu tergolong masyarakat dwibahasawan, yakni menguasai dan menggunakan dua bahasa (BS sebagai bahasa ibu dan bahasa Indonesia). Bahasa Indonesia dikuasai dan digunakan oleh anggota masyarakat yang berpendidikan dan tinggal di ibu kota kecamatan. Kegiatan berbahasa Indonesia dilakukan ketika berkomunikasi dengan mitra tutur yang bukan penutur BS. Hal itu sangat berbeda dengan masyarakat yang tinggal di daerah pedalaman, seperti di Lii aE, Tana Djawa, Rae Dewa, Rae Nalulu, Rae Nale, Rae Mude, Kota Hawu, Lede Ana, Daieko, Pedaro, Teriwu, Lobo Hede, Lede Kee, Bebae, Matei, Aimada Kee, Menia, Rae Loro yang menggunakan BS sebagai alat komunikasi utama.
               
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, dan mengingat kajian sintaksis secara linguistik memiliki ruang lingkup yang sangat luas, maka masalah penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut:
1)         Bagaimanakah struktur dasar klausa BS?
2)         Bagaimanakah perilaku sintaksis argumen klausa BS?
3)         Bagaimana bentuk diathesis Bahasa Sabu
4)         Bagaimanakah aliansi gramatikal klausa BS untuk menentukan sistem tipologinya?

1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini dapat dibedakan menjadi dua, yaitu tujuan umum dan tujuan khusus. Tujuan umum menyangkut penelitian bahasa dipandang dari dimensi teori, sedangkan tujuan khusus meliputi subjek penelitian itu sendiri

1.3.1 Tujuan Umum
                Secara umum penelitian yang akan dilakukan ini bertujuan untuk :
(1)                mendapatkan fakta sintaksis untuk kepentingan tipologi BS;
(2)                menerapkan beberapa teori tipologi sintaksis yang relevan untuk mengungkapkan tipe sintaksis BS;
(3)                memberikan sumbangan temuan berupa tipe sintaksis BS.

1.3.2  Tujuan Khusus
Berdasarkan rumusan masalah di atas, tujuan khusus penelitian ini meliputi hal-hal berikut:
(1)                mendeskripsikan struktur dasar klausa BS;
(2)                mengembangkan perilaku argumen klausa intransitif dan perilaku argumen klausa intransitif dalam hal pelesapan dalam kalimat majemuk atau kalimat kompleks BS;
(3)                mendeskripsikan tipologi BS;
(4)                mendeskripsikan fakta tentang mekanisme struktur, tipologi BS.
1.4  Manfaat Penelitian
Sebagaimana penelitian keilmuwan pada umumnya yang diharapkan memberi sejumlah manfaat, penelitian klausa BS ini mempunyai sejumlah manfaat yang diklasifikasikan atas manfaat teoretis dan manfaat praktis.

1.4.1 Manfaat Teoretis
Secara teoretis, kajian yang akan dilakukan ini diharapkan dapat bermanfaat dalam bidang pengembangan tipologi sintaksis. Penerapan teori tipologi sintaksis dalam menganalisis klausa BS, diharapkan struktur informasi BS dapat terungkap untuk mengetahui fungsi BS dalam konteks interaksi sosial.

1.4.2  Manfaat Praktis
Hasil penelitian yang akan dilakukan ini diharapkan memberikan sumbangan terhadap deskripsi BS, untuk dipertimbangkan dalam menentukan bahan ajar BS, pembinaan dan pengembangan BS dan membantu di dalam konservasi bahasa daerah.

2. Konsep dan Acuan Teori
2.1  Konsep
                Konsep adalah gambaran mental dari objek, proses, atau apa pun yang ada di luar bahasa, dan yang memerlukan penggunaan akal budi untuk memahaminya (Kridalaksana, 2008:132). Untuk memberikan informasi dan menyamakan pandangan, pemahaman teoretis dan konsep terkait dengan judul dan teori penelitian ini, pada bagian ini dikemukakan beberapa konsep utama sehubungan dengan istilah teknis linguistik yang dipergunakan  dalam penelitian ini. Konsep-konsep linguistik tersebut sebagaimana dipaparkan di bawah ini.
2.1.1  Klausa
                Konsep “klausa” dipakai untuk merujuk pada satuan (konstruksi) dalam kalimat yang mempunyai struktur predikasi (Kosmas, 2008). Terkait dengan itu, klausa didifinisikan sebagai satuan gramtikal berupa kelompok kata yang sekurang-kurangnya terdiri atas subjek dan predikat, dan mempunyai potensi untuk menjadi kalimat (Kridalaksana, 2008: 124). Sementara itu, Lapoliwa (1990) mendifinisikan klausa sebagai kalimat (tunggal) minus intonasi. Selain itu, klausa juga didifinisikan sebagai kalimat yang terdiri atas hanya sebuah verba atau varsa verbal, disertai satu atau lebih konstituen yang secara sintaktis berhubungan dengan verba tadi. Dalam hal  ini, konsep klausa disejajarkan dengan konsep kalimat karena klausa yang dimaksud dalam penelitian ini adalah kalimat yang terdiri atas sebuah predikat, baik predikat sederhana, yaitu predikat yang hanya terdiri atas sebuah kata dasar inti verba atau kategori lain  sebagai pengisi fungsi predikat, ataupun predikat kompleks, yang realisasinya muncul dalam bentuk serialisasi verba.

2.1.2 Linguistik Tipologi
                Linguistik tipologi merupakan kajian linguistik yang berusaha mengelompokkan bahasa – bahasa berdasarkan sifat – perilaku (property) bahasa tersebut. Tujuan pokoknya adalah menjawab pertanyaan : seperti apa bahasa X itu ?  (Mallinson dan Blake, 1981; Comrie, 1983, 1988, dan Artawa, 2000).

2.1.3. Argumen
                Argumen adalah unsur (sintaksis/semantik) yang diperlukan oleh sebuah verba, yang umumnya berkorelasi dengan partisipasi pada suatu kejadian atau keadaan yang dinyatakan oleh verba/ predikatnya. Berdasarkan pengertian tersebut, jumlah argumen dalam suatu klausa / kalimat ditentukan oleh verba sebagai inti dari klausa/kalimat tersebut (Williams, 1991:100; Culicover, 1997:16-17)

2.1.4 Verba Intransitif dan Transitif
                Verba Intransitif adalah verba yang menuntut suatu argumen inti yang secara otomatis berfungsi sebagai subjek gramatikal. Verba ekatransitif adalah verba yang menuntut dua argumen inti yang masing – masing berfungsi sebagai SUBJ dan OBJ. Sementara itu, verba dwitransitif adalah verba yang menuntut hadirnya tiga argumen inti yang masing – masing berfungsi sebagai SUBJ, OBJ1, dan OBJ2. Berdasarkan jumlah argumen yang diharapkan, verba intransitif disebut pula verba bervalensi satu, verba monotransitif disebut pula verba bervalensi dua dan verba dwitransitif disebut verba bervalensi tiga (Kridalaksana, 1993; Matthews, 1997)

2.1.5 Pivot
                Pivot adalah suatu kategori yang mengaitkan S dan A, S dan P, atau S,A dan P, dalam hal ini, pivot dapat diartikan sebagai nomina atau frasa nominal yang paling sentral secara gramatikal. Pada bahasa – bahasa bertipologi akusatif, pivot adalah subjek gramatikal, sedangkan pada bahasa – bahasa yang bertipologi ergatif, pivot adalah nomina atau frasa nominal yang merupakan pasien (Dixon, 1994; Matthews,1997).

2.1.6  Subjek
                Subjek merupakan fungsi gramatikal yang utama yang bisa ditempatai oleh farasa nominal (FN) dalam sebuah kalimat. Subjek merupakan satu – satunya argumen inti yang terdapat pada kalimat intransitif, sedangkan subjek pada kalimat transitif merupakan FN yang menduduki posisi tertinggi pada hierarki fungsi gramatikal (Blake, 1990).

2.1.7 Objek
                Objek merupakan fungsi gramatikal selain subjek yang ditempati oleh FN sebagai argumen inti. Objek secara konvensional dapat dibagi menjadi objek langsung, objek tak langsung, dan objek oblik (Trask, 1993). Matthews (1997) menyebutkan bahwa objek adalah suatu elemen dalam konstruksi dasar kalimat suatu bahasa yang menyatakan seseorang atau sesuatu selain subjek. Pada umumnya objek merupakan fungsi atau relasi gramatikal yang harus hadir dalam sebuah kalimat transitif (Kaplan dan Bresnan, 1995; Dixon, 1994).

2.1.8 Oblik
                Oblik (relasi oblik) merupakan relasi gramatikal selain dari relasi utama (subjek) relasi kedua (objek). Relasi oblik merupakan relasi gramatikal yang bersifat semantis (Blake, 1990; Palmer, 1994; Artawa, 2000).

2.1.9 Aliansi Gramatikal
                Aliansi gramatikal dapat dikatakan pula sebagai sistem atau kecenderungan persekutuan gramatikal di dalam atau antarklausa dalam suatu bahasa secara tipologis, apakah S = A, S = P, Sa = A, Sp = P (Dixon, 1994; Arka, 2000; Payne, 2002; Jufrizal, 2004). Dixon, seperti dikutip oleh Artawa (2005:11), mengemukakan bahwa sistem aliansi gramatikal menjadi titik perhatian untuk menentukan tipologi gramatikal yang mungkin untuk bahasa – bahasa di dunia terdiri atas tiga, yakni sistem akusatif, sistem ergatif, sistem s-terpilah (bahasa aktif). Comrie (1978:332) dan Croft (2006:145) menggambarkan tipologi yang dimaksud sebagai berikut :
 










2.2 Kerangka Teori
Penelitian tentang klausa bahasa Sabu dengan kajian tipologi sintaksis ini menggunakan teori tipologi linguistik. Gambaran yang lengkap dan rinci tentang teori yang digunakan dalam penelitian ini dapat disajikan sebagai berikut.

2.2.1 Tipologi Bahasa dan Aliansi Gramatikal
Pada tahun 1970-an di Amerika berkembang suatu kajian yang bersifat lintas bahasa, baik dalam linguistik teoretis maupun bidang kajian bahasa empiris teori netral. Perkembangan teori dan pendekatan lintas bahasa ini lahir sebagai reaksi dari teori Tata Bahasa Transformasi – Generatif yang cenderung didasarkan pada perilaku bahasa Inggris. Beberpa teori linguistik (tata bahasa) yang muncul pada tahun tersebut, antara lain, Tata Bahasa Relasional (Perlmutter dan Postal, 1977; Johnson dan Postal 1980), dan Tata Bahasa Fungsional (Dick, 1978)  ( Mallinson dan Blake, 1981:1-2).
                Comrie mengembangkan sebuah model kajian bahasa yang mengarah ke generalisasi bahasa berdasarkan skala luas kajian – kajian bahasa yang bersifat perbandingan. Model kajian lintas bahasa yang mengarah ke generalisasi dan pengelompokan bahasa – bahasa itu menjadi arah baru penelitian linguistik tahun 1980-an dan tahun berikutnya. Kajian linguistik seperti ini pada dasarnya berada pada tataran morfologi sintaksis (meskipun juga menyinggung tataran lain, seperti fonologi, semantik, dan pragmatik). Kajian linguistik seperti ini memberikan sumbangan pemikiran dasar pada bidang kajian tipologi bahasa yang pada tataran morfosintaksis membicarakan (a) pemarkahan agen dan pasien; (b) urutan kata; (c) koordinasi: reduksi konjungsi; dan (d) subordinasi : klausa relatif. Butir kajian (a) dan (b) berhubungan dengan kalimat sederhana, sedangkan (c) dan (d) berkaitan dengan kalimat majemuk dan kalimat kompleks. Keempat butir kajian itu saling berkaitan (Mallinson dan Blake, 1981:1-2)
                Tipologi adalah klasifikasi ranah (classification of domain). Pengertian tipologi itu bersinonim dengan istilah taksonomi (Mallinson dan Blake, 1981:3). Istilah teknis tipologi telah menjadi begitu dikenal dalam linguistik yang merujuk ke pengelompokan bahasa – bahasa berdasarkan atas ciri khas tata kata dan tata kalimatnya. Menurut Mallinson dan    Blake (1981:3), bahasa dapat dikelompok-  kan ke dalam batasan – batasan cirri khas strukturalnya. Akan tetapi, menurut mereka, tipologi yang terkenal adalah tipologi yang berusaha menetapkan pengelompokan luas berdasarkan sejumlah fitur yang saling berhubungan. Greenberg (1963) sebagaimana dikutip oleh Mallinson dan Blake (1981), misalnya, telah menunjukkan bahwa bahasa – bahasa dapat dikelompokkan menurut urutan dasar subjek, objek, dan verba (S,O,V). Tipologi urutan kata ini merupakan kajian tipologi yang berhasil karena sejumlah fitur yang lainnya dapat ditafsirkan dari urutan tiga unsur dasar ini.
Pendapat yang dikemukakan oleh Mallinson dan Blake (1981) mendapat dukungan dari Comrie (1983:30-32). Menurut Comrie, kajian kesemestaan bahasa dan kajian tipologi itu seolah – olah bertentangan dengan kajian kesemestaan bahasa yang berusaha menemukan : (1) perilaku dan sifat – sifat yang umum bagi semua bahasa manusia; (2) mencari/menemukan kemiripan yang ada dalam lintas bahasa; dan (3) berusaha menetapkan batas – batas variasi dalam bahasa manusia. Penelitian tipologi berusaha : (1) mengelompokkan bahasa – bahasa, yaitu menetapkan bahasa – bahasa ke kelompok/tipe yang berbeda; (2) mengkaji perbedaan antara bahasa – bahasa; dan (3) mempelajari variasi – variasi bahasa manusia. Melihat implikasi timbal balik kedua bentuk kajian ini dapat dikatakan bahwa ada keterkaitan antara kesemestaan bahasa dan tipologi; keduanya berjalan bergandengan. Untuk menetapkan tipologi bahasa, perlu ditetapkan parameter tertentu untuk mengelompokkan bahasa di dunia. Dalam menetapkan tipologi bahasa diperlukan pembuatan asumsi tentang kesemestaan bahasa. Istilah kesemestaan bahasa bukan berarti seluruh bahasa mempunyai fitur atau kasus yang sama, melainkan hanya bersifat “hampir keseluruhan” (kecenderungan umum). Dengan demikian, istilah lain yang bisa dipakai, menurut Mallinson dan Blake (1981:8), atau lebih cocok sebagai pengganti kesemestaan bahasa itu adalah generalisasi lintas bahasa.
                Berdasarkan tipologi morfologis, bahasa – bahasa di dunia dapat dikelompokkan menjadi empat, yaitu (1) bahasa isolasi ( bahasa yng tidak mempunyai proses morfologi; adanya hubungan atu lawan satu antara kata dan morfem, misalnya bahasa China, Vietnam, dan sebagainya); (2) bahasa aglutinasi ( bahasa yang mempunyai proses morfologis; kata dapat terdiri atas lebih dari satu morfem, dan batas – batas antara morfem – morfem dapat dengan mudah dipisahkan/ditentukan, misalnya bahasa Hongaria, Indonesia, dan sebagainya); (3) bahasa fusional atau infleksi (bahasa yang morfemnya diwujudkan dengan afiks-afiks, tetapi umumnya tidak mudah dan tidak jelas untuk memisahkan/ menentukan morfem/afiks – afiks yang mewujudkan kata atau morfem tersebut, misalnya bahasa Arab, Latin, dan sebagainya ); dan (4) bahasa polisintetik dan inkorporasi (bahasa yang mempunyai kemungkinan mengambil sejumlah morfem leksikal dan menggabungnya bersama ke dalam kata tunggal, misalnya bahasa Greenlandic Eskimo, Inggris, dan sebagainya) (Comrie, 1983:41-42; Mallinson dan Blake 1981:20-21).
                Comrie (1988) (lihat juga Artawa, 1995:60; 1998:127; 2000:487-689) menyatakan bahwa tujuan linguistik tipologi adalah untuk mengelompokkan bahasa – bahasa berdasarkan sifat – perilaku (property) struktural bahasa tersebut. Tujuan pokoknya adalah untuk menjawab pertanyaan : seperti apa bahasa x itu? Menurutnya, ada dua asumsi pokok linguistik tipologi, yakni (a) semua bahasa dapat dibandingkan berdasarkan strukturnya, dan (b) ada perbedaan di antara bahasa – bahasa yang ada. Bahasa – bahasa dapat dikelompokkan menjadi beberapa kelompok, seperti bahasa akusatif, ergatif, dan aktif.
                Satu bahasa dikatakan bertipe ergatif apabila argumen pasien (P) dari predikat transitif  “diperlakukan” sama dengan argumen predikat intransitif (S) dan berbeda dengan argumen agen (A) dari predikat transitif. “Perlakuan sama” di sini dapat terjadi pada tataran morfologis dan sintaksis. Apabila perlakuan yang sama tersebut diperlihatkan secara morfologis, bahasa itu dikatakan sebagai bahasa ergatif secara morfologis. Jika perlakuan yang sama tersebut ditunjukkan dalam proses sintaksis, bahasa itu disebut bahasa ergatif secara sintaktis. Perlu dicatat bahwa tidak semua bahasa ergatif secara morfologis adalah juga ergatif secara sintaktis (Artawa, 2000:487-488; Comrie, 1983:104-107).
                Sistem akusatif digunakan untuk menamai bahasa yang memperlakukan A sama dengan S dan perlakuan yang berbeda diberikan pada P. Bahasa Inggris, misalnya, termasuk bahasa akusatif. Perhatikan contoh berikut :
(1) He (S) runs
(2) He (A) hits her (P)
Berdasarkan contoh di atas terlihat bahwa A diperlakukan sama dengan S. Perlakuan yang sama itu ditunjukkan dalam pemarkahan kasus, persesuaian, dan urutan kata. Argumen (S) dalam klausa intransitif dan A dalam klausa transitif muncul dengan kasus nominatif, sedangkan P untuk klausa transitif diberi kasus akusatif (Artawa, 2000:488).
Bahasa bertipe ergatif memperlakukan P sama dengan S. Biasanya sama-sama tidak bermarkah. Contoh berikut adalah dari bahasa Aborigin Australia, Kalkatungu (Blake,1988)
(3)   Kalpin (S) ingka
        lelaki pergi
       ‘Lelaki itu pergi’

(4)   Marapa-thu (A)   nanya  kalpin (P)
        wanita ERG melihat lelaki
       ‘Wanita itu melihat lelaki itu’

Contoh (3) dan (4) menunjukkan bahwa P dan S diperlakukan sama secara morfologis, yaitu sama-sama tidak bermarkah. Sementara itu, A dimarkahi dengan kehadiran sufiks –thu (Artawa, 2000 : 488-449)
Lebih lanjut, Comrie (1983:51-60) menjelaskan aspek – aspek yang erat kaitannya dengan tipologi secara teoretis. Aspek – aspek kajian tersebut adalah sebagai berikut. Pertama, peran semantik di sini dibicarakan perihal agen dan pasien.  Kedua, peran pragmatis  atau peran wacana adalah cara – cara berbeda dengan informasi yang sama, atau kandungan semantik yang sama bisa disusun secara berbeda untuk merefleksikan aliran informasi lama dan baru. Dalam peran – peran pragmatik, sebagaimana peran – peran semantik, mesti ditekankan bahwa peran – peran itu berkenaan dengan hubungan antara argumen frasa nominal dan predikatnya, dan tidak dengan properti frasa nominal secara tersendiri. Terdapat perbedaan antara topik dan fokus, keterbatasan dan ketidakterbatasan. Ketiga, relasi gramatikal, secara tradisional ( dan dalam tulisan mutakhir) relasi gramatikal adalah relasi – relasi tentang subjek, objek langsung, dan objek tak langsung. Dalam teori Tata Bahasa Relasional, komponen relasi gramatikal itu adalah subjek, objek langsung, objek tak langsung, dan oblik (oblique). Hakikat relasi gramatikal bisa dipahami dalam pengertian interaksi peran semantik dan pragmatik. Sebagai contoh, kesubjekan bisa dipahami dengan prototipe subjek sebagai interaksi agen dan topik.
Pembahasan tentang aliansi gramatikal (persekutuan gramatikal) pada dasarnya didasari dan dicermati melalui kajian tipologi bahasa yang bersangkutan. Seperti disinggung di atas, untuk dapat sampai pada penentuan tipologi bahasa, banyak aspek kebahasaan yang perlu dikaji lebih dahulu, baik secara gramatikal (morfosintaksis) maupun fenomena semantik-pragmatik. Begitu juga, jika ingin mengetahui aliansi gramatikal, penelusuran secara tipologis pada tataran linguistik tertentu perlu dilakukan untuk memberikan gambaran yang jelas tentang alur penelitian yang mengarah ke aliansi gramatikal ini.
Di antara kajian yang perlu dilakukan dalam tipologi bahasa adalah perihal relasi gramatikal. Menurut Van Valin Jr. dan La Polla (1999:242-243), relasi gramatikal adalah bagian dari gramatika tradisional yang pada awalnya didasarkan pada fenomena gramatika bahasa – bahasa Indo-Eropa. Ada dua hal yang memungkinkan relasi gramatikal ini berterima dalam beberapa teori tata bahasa yang setuju dengan konsep ini. Pertama, relasi gramatikal dapat diterapkan sebagai bentuk asal (bukan bentuk turunan dari yang lain). Kedua, relasi gramatikal dapat dianggap sebagai turunan dari fenomena sintaksis, semantik, atau pragmatik. Namun, pada hakikatnya, relasi gramatikal itu adalah asal dan juga turunan sekaligus yang agak sulit dipahami secara teoretis dan terapan.
Sulitnya menganggap relasi gramatikal sebagai bentuk asal dan turunan menyebabkan munculnya beberapa pendapat dan penerapan tentang relasi gramatikal itu tidak banyak diperdebatkan. Untuk melihat bagaimana pemahaman relasi gramatikal itu secara tipologis dan mengarah ke aliansi gramatikal, perlu diperhatikan pendapat yang dikemukakan oleh Palmer (1994:14). Menurutnya, dalam kajian tipologi, kenyataan bahwa S diperlakukan sama dengan A dalam sistem akuatif, dan perlakuan S sama dengan P dalam sistem ergatif, menjadikan penting untuk menjelaskan perbedaan antara “peran gramatikal” dan “relasi gramatikal”. Penentuan S = A dan S = P merupakan konsep yang berbeda dari peran S, A, dan P. Dalam hal ini S, A, dan P adalah peran gramatikal, tetapi S = A dan S = P merupakan relasi gramatikal.
Pengertian relasi gramatikal ( S = A dan S = P ) seperti dikemukakan oleh Palmer (1994) itu bisa diterima sebagai dasar berpijak untuk kajian tipologis awal. Namun, jika dihubungkan dengan pengertian relasi gramatikal dalam pembicaraan terdahulu, apa yang dikemukakan oleh Palmer itu memerlukan tafsiran lebih lanjut untuk memahaminya. Untuk memudahkan pemahaman, pendapat Palmer (1994) itu digabungkan dengan pendapat Dixon (1994) dan Arka (2000). Peran gramatikal yang dilambangkan dengan S, A dan P ( bagi Dixon P digantinya dengan O) dapat diterima keberadaannya. Namun, kenyataan atau kecenderungan adanya sistem S = A dan S = P dan sistem yang lainnya juga disebut sebagai aliansi gramatikal (persekutuan gramatikal) (lihat Dixon, 1994; Arka, 2000:424). Dengan demikian, aliansi gramatikal adalah sistem atau kecenderungan, persekutuan gramatikal yang ada dalam suatu bahasa secara tipologis; apakah berupa S = A, S= P, Sa = A – Sp = P atau yang lainnya.
Banyak bahasa mencampur jenis nominatif-akusatif dan absolutif-ergatif dalam hal pemarkahan intraklausa. Kondisi itulah yang disebut sistem terpilah (split). Kondisi itu berhubungan dengan hakikat semantik verba utama, hakikat semantik frasa nominal inti, kala (tense) atau aspek atau modus (mood) klausa, atau status gramatikal klausa (apakah klausa utama atau bawahan/turunan), dan sebagainya. Beberapa bahasa menunjukkan keadaan pertengahan (bukan akusatif, bukan pula ergatif); memarkahi sejumlah S sama dengan A dan sejumlah lainnya sama dengan P (Dixon (1994) menggunakan O sebagai pengganti P). Bahasa yang demikian dapat dibagi menjadi dua jenis, yaitu S-terpilah (split) dan S-Alir          (fluid-S) (Dixon, 1994:70).
                Dixon (1994:70 – 71) menjelaskan bahwa aliansi gramatikal yang (mungkin) ada dalam bahasa – bahasa di dunia (karena merujuk pada Dixon (1994), lambang yang digunakan adalah S (subjek intransitif), A (subjek transitif), dan O (objek transitif). S yang secara semantis mirip dengan A dilambangkan dengan Sa, dimarkahi seperti A; S yang secara semantis mirip dengan O dilambangkan dengan So, dimarkahi seperti O. Bahasa yang membedakan anata Sa dan So sebagai subtipe dari S ada dua jenis. Pertama, seperti bahasa ergatif dan akusatif dalam hal secara sintaksis, yakni adanya pemarkahan dasar pada unsur ini. Setiap verba ditunjukkan oleh serangkaian kerangka sintaktis, dengan pemarkah kasus atau rujuk silang selalu dilakukan dalam cara yang sama, dengan tidak memperdulikan semantik dalam pemakaian tertentu. Sistem itu disebut S-terpilah (split-S). Kedua, memperlakukan secara sintaktis pemarkahan dasar untuk verba transitif, tetapi memperlakukan secara semantis pemarkah dasar hanya untuk verba intransitif. Sebuah subjek intansitif dapat dimarkahi sebagai Sa (seperti A) atau So (seperti O) tergantung pada semantik contoh pemakaian tertentu. Aliansi seperti ini disebut sistem A-alir (fluid-S).
                Paparan di atas merupakan aliansi (persekutuan) gramatikal yang (mungkin) ada secara lintas bahasa. Aliansi gramatikal secara tipologis itu digambarkan oleh Dixon (1994:72-79) seperti di bawah ini.

 





               

 







Penelitian ini berusaha mengkaji dan menyimpulkan sistem aliansi gramatikal yang ada dalam BS. Untuk itu, perlu ditinjau dan dicermati lebih dahulu hal – hal pokok secara tipologis yang dapat mengantarkan penelitian ini ke pembahasan aliansi gramatikal dimaksud, pengertian lain yang lebih rinci atau contoh – contoh yang dapat memperjelas pembahasan disertakan pada bab – bab pembahasan. Bagian – bagian yang dibahas meliptuti tataran morfologis dan sintaktis disertai peran / fungsi semantis untuk memperkuat bahasan.

2.2.2   Struktur Informasi
Mengenai Struktur Informasi, Lambrecht (1996:334-340) menyampaikan paparan yang terintegrasi tentang hubungan antara struktur formal kalimat-kalimat dan situasi komunikatif di mana kalimat digunakan untuk mendapatkan informasi yang proporsional. Paparan ini berdasarkan asumsi bahwa hubungan ini diatur oleh prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah gramatika, di dalam suatu komponen yang disebut struktur informasi. Di dalam komponen struktur informasi ini, dalil, sebagai bentuk konseptual dari suatu keadaan atau peristiwa, mengalami pembentukan pragmatis sesuai dengan situasi wacana karena keadaan ini harus dikomunikasikan. Pembentukan pragmatis dari dalil (perumpamaan) dilakukan dalam bentuk asumsi pembicara berkaitan dengan keadaan pikiran pendengar pada saat terjadinya ujaran tersebut. Dalil yang dibentuk secara pragmatis kemudian dipasangkan dengan struktur-struktur leksikogramatika yang pantas.
Kategori-kategori komponen struktur informasi memiliki dua tipe utama. Tipe pertama memuat perwujudan mental dari entitas di dalam suatu wacana. Perwujudan ini ditentukan oleh dua faktor fisikologis: pengetahuan dan kesadaran. Faktor pengetahuan relevan dengan suatu asumsi mengenai (dengan maksud) apakah seorang pendengar sudah mengetahui suatu entitas yang diberikan atau dalil (perumpamaan) pada saat terjadinya ujaran tersebut atau tidak.
Kategori tipe struktur informasi kedua berisi hubungan yang terbentuk secara pragmatis antara tanda penunjuk dan dalil. Ada dua hubungan pragmatik antara tanda penunjuk dan dalil; hubungan topik (topic relation) dan hubungan fokus (focus relation). Hubungan topik merupakan hubungan perkiraan antara sebuah entitas dalil dan entitas wacana. Suatu dalil (proposisi) diinterpretasikan sebagai perkiraan tentang entitas jika dimengerti untuk menyampaikan informasi yang relevan yang berhubungan dengan entitas ini, yaitu karena meningkatkan pengetahuan pendengar tentang hal tersebut. Suatu entitas topik harus berada pada wacana secara mandiri tentang apa yang sedang diprediksi berkenaan dengan hal tersebut di dalam sebuah dalil, yaitu suatu acuan wacana.
Fungsi pernyataan topik adalah untuk menamakan suatu acuan topik di dalam wacana bersangkutan atau untuk menyatakan suatu hubungan semantik antara suatu acuan topik dan suatu predikat. Yang pertama merupakan fungsi yang berorientasi pada referensi, dan yang kedua  adalah fungsi yang berorientasi pada peran. Tata bahasa cenderung memisahkan kedua fungsi ini dengan mengkodekan mereka secara terpisah. Yang pertama dikodekan dengan frasa nomina leksikal, sedangkan yang kedua dikodekan dengan pronomina yang tidak ditekankan (morfem infleksi dan argumen).
Struktur fokus suatu kalimat adalah asosiasi konvensional antara struktur kalimat tersebut dan fokus yang dinyatakan olehnya. Lambrecth telah memostulasi tiga tipe struktur fokus menurut ranah semantik fokus tersebut di dalam dalil dan ranah semantik yang menyatakan fokus dalam kalimat: fokus predikat, fokus argumen, dan fokus kalimat.

2.2.2.1   Struktur yang berfokus pada predikat 
Di dalam KALIMAT YANG BERFOKUS PADA PREDIKAT prasyarat yang relevan timbul dalam respons adalah bahwa car ‘mobil’ penutur tersedia secara pragmatis sebagai suatu topik diskusi, yaitu bahwa proposisi tersebut dapat diuraikan sebagai suatu komentar tentang topik ini, ketegasan ini merupakan pembentukan dari suatu hubungan perkiraan antara referensi topik dan kejadian yang didenotasikan dengan predikat; dan fokus adalah predikat “broke down”. Tekanan kalimat memarkahi denotatum predikat sebagai fokus proposisi. Struktur informasinya secara skematis ditunjukkan sebagai berikut:
Contoh:
What happened to your car?
My car/ It broke down.

Kalimat :  My car broke down
Presuposisi         : “Mobil penutur merupakan suatu topik untuk komentar x”
Ketegasan           : “x = broke down”
Ranah fokus       : VP

2.2.2.2   Struktur yang berfokus pada argumen
Analisis STRUKTUR BERFOKUS PADA ARGUMEN di bawah ini mirip dengan struktur kalimat yang dikaji sebelumnya ( yaitu : MICHAEL urged Nixon to appoint Carswell).  Perumpamaan pengetahuan yang relevan ditimbulkan dalam respons/ jawaban berikut ini, yaitu bahwa sesuatu yang dimiliki oleh penutur broke down ‘mogok’; penegasannya adalah bahwa benda ini adalah car ‘mobil’ penutur, dan fokus adalah car ‘mobil’. Tekanan (aksen) memarkahi argument “car” sebagai fokus dari proposisi. Secara skematis hal tersebut dapat dicontohkan adalah sebagai berikut:
Contoh:
I heard your motorcycle broke down.
My CAR broke down

Kalimat                 : My CAR broke down.
Presuposisi         : “X kepunyaan penutur broke down ‘mogok’
Fokus                    : “X = car”
Ranah fokus       : NP

2.2.2.3   Struktur dengan fokus Kalimat
Di dalam struktur informasi dengan fokus kalimat ini tidak ada presuposisi pragmatik yang secara formal ditimbulkan, kecuali untuk beberapa dari fitur-fitur yang secara presuposisional tidak berbeda juga ditemukan, yaitu proposisi bahwa penutur memiliki sebuah car ‘mobil’, bahwa penutur tersebut merupakan suatu topik. Secara skematis hal tersebut dicontohkan sebagai berikut:    
Contoh :
What happened?
My CAR broke down.
               
Kalimat                 : My CAR broke down
Presuposisi         : -
Penegasan          : “mobil penutur mogok”
Fokus                    : “mobil penutur mogok”
Ranah fokus       : S

3. Pembahasan
Dalam penelitian ini pengkajian meliputi (1) struktur dasar klausa Bahasa Sabu; (2) struktur argument Bahasa Sabu; (3) mekanisme perubahan valensi Bahasa Sabu; (4) struktur informasi Bahasa Sabu; (5) kalimat kompleks Bahasa Sabu; dan (6) tipologi sintaksis Bahasa Sabu.
(1) Struktur Dasar Bahasa Sabu
Pembahasan struktur dasar klausa Bahasa Sabu didahului dengan pembahasan system pronominal kemudian dilanjutkan dengan morfologi verba, karena kedua kategori ini merupakan dua komponen pentingdalam Bahasa Sabu.
Pronominal persona BS ini tidak memiliki variasi bentuk sesuai dengan fungsi yang didudukinya, seperti terlihat dalam bagan berikut.
Persona
Subjek
Objek
Pemilik
Contoh Pemilik
I
TG
Ya
Ya
Ya
ina ya = ibu saya
JM
Inkl
Di
Di
Di
ina di = ibu kita
Eksl
Dji
Dji
Dji
ina dji = ibu kami
II
TG
Au
Au
Au
ina au = ibu kamu
JM
Mu
Mu
Mu
ina mu = ibu mu
III
TG
No
No
No
ina no = ibu dia
JM
Ro
Ro
Ro
Ina ro = ibu mereka
Bagan Pronomina Persona Bahasa Sabu
Perhatikan contoh berikut ini.
1.       Ya                           hogo      wowai
1TG-SUBJ            masak   ubi
‘Saya memasak ubi’

2.       No          tabbho                 mu
3TG        tikam                     2JM-OBJ
‘Dia menikam kamu’

3.       Au          hadja    ina          au
2TG        sayang  ibu          2TG-POS
‘Kamu mencintai ibumu’
Tampak pada contoh di atas bahwa ya ‘saya’ pada klausa (1) adalah pronominal persona yang berfungsi sebagai subjek, pada klausa (2) mu ‘kamu’, yang menempati posisi setelah verba tabbho ‘tikam’ adalah pronominal persona yang berfungsi sebagai objek. Pada klausa (3) pronominal au ‘kamu’ yang menempati posisi setelah ina ‘ibu’ adalah pronominal persona yang berfungsi sebagai posesif.
Peranan verba dalam klausa amat penting. Berdasarkan bentuknya, verba Bahasa Sabu dapat dikelompokkan menjadi verba asal dan verba turunan. Jumlah verba turunan dalam Bahasa Sabu tentu terbatas, karena Bahasa Sabu termasuk Bahasa yang minim afiks (hanya memiliki satu prefiks). Berikut ini adalah contoh verba asal.
Dakka ‘datang’
Era ‘ada’
Kako ‘pergi’
Jaga ‘jaga’
Mejaddhi ‘duduk’

Verba turunan dalam Bahasa Sabu yang diturunkan dari afiksasi dapat dimarkahi oleh prefiks pe-. Berikut contohnya:
a.       Verba turunan dengan dasar verba
Tuku      ‘lempar’               pe-tuku                ‘melemparkan’
Lare       ‘pindah’               pe-lare                  ‘memindahkan’
Lii            ‘bicara’                 pe-lii                      ‘berulangkali bicara’
Raga     ‘kejar’                   pe-raga                 ‘saling mengejar’

b.       Verba turunan dengan adjektiva
Ra’I        ‘kotor’  pe-ra’I  ‘mengotori
Ha’e       ‘nai’       pe-ha’e ‘menaiki’
Mou      ‘bersih’ pe-mou ‘membersihkan’

c.       Verba kompositum dengan komposisi VN
Tabbhu la’I         ‘tikam isteri’                       tebbhula’I           ‘kawin’
Hemata ai           ‘menadah tangan’           hemataai            ‘meminta’
Pemaho kenoto ‘memasukkan                   pemahokenoto ‘meminang’       
                                tempat sirih’

d.       Verba turunan reduplikasi
Perai      ‘lari’                       perai-perai          ‘lari-lari’
Nginu    ‘minum’               nginu-nginu       ‘minum-minum’
Bajdji    ‘tidur’                    bajdji-bajdji        ‘tidur-tiduran’

e.       Verba turunan dengan perubahan internal
Nga’a   ‘makan’                nga’e    ‘menyuruh makan’
Wabba ‘pukul’                  wabbe  ‘menyuruh pukul’
Kai          ‘angkat’                kae         ‘menyuruh angkat’

Verba turunan dengan proses morfologis pada prefiks pe-, kompositum, reduplikasi, perubahan internal, membentuk verba dalam Bahasa Sabu dengan menghasilkan sifat perilaku morfosintaksis dan semantic tertentu.
Struktur dasar Bahasa Sabu dapat terdiri atas klausa berpredikat bukan verbal dan yang berpredikat verbal. Klausa berpredikat bukan verbal dapat berupa predikat adjektival, nominal, numeral, dan frasa preposisional. Klausa berpredikat verbal dapat terdiri atas klausa intransitive dan klausa transitif (eka transitif, dan dwitransitif) (lihat Padje, 2013:35-40). Verba transitif secara morfologis dapat hadir dengan bermarkah (berafiks), dapat juga tidak bermarkah. Berbeda dengan verba intransitif, kehadirannya tidak bermarkah. Diagram berikut ini merangkum klausa dasar dan verba Bahasa Sabu.
Diagram Konstruksi Dasar Klausa Bahasa Sabu (Padje, 2013:40)
Peran gramatikal Bahasa Sabu dapat dikategorikan sebagai agen (actor) dan pasien (undergoer). Peran gramatikal agen atau pasien ditentukan dengan memerhatikan jenis verba pada predikat klausa yang bersangkutan. Pada klausa intransitif Bahasa Sabu, peran gramatikal agen merupakan argument satu-satunya (sebagai struktur inti). Jika verba yang menempati posisi verba intransitif itu adalah verba keadaan atau predikat bukan verbal, subjek gramatikal dapat berperilaku sebagai pasien. Sementara itu, pada klausa transitif, subjek gramatikal pada umumnya adalah agen, sedangkan objek gramatikalnya merupakan pasien.
Relasi gramatikal Bahasa Sabu adalah relasi-relasi yang dapat dikatakan subjek (S), objek langsung (OL), objek tak langsung (OTL), dan relasi oblik (OBL). Pengujian dan penentuan relasi gramatikal subjek dalam Bahasa Sabu dilakukan berdasarkan pengujian yang bersifat gramatikal. Pengujian tersebut dilakukan melalui ekspansi adverbial, pivot, dan pemvokusan. Berdasarkan pengujian tersebut, subjek gramatikal Bahasa Sabu mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
1.       Dapat disisipi adverbial baik dengan pemarkah kala maupun dengan pemarkah intensitas di Antara subjek dan predikat pada klausa intransitif dan transitif Bahasa Sabu;
2.       Subjek gramatikal klausa Bahasa Sabu adalah FN yang berada sebelum verba;
3.       Memiliki proporti [+pivot], yaitu dengan ketidakhadiran arguen itu pada klausa bawahan;
4.       Dapat difokuskan dengan penda focus do ‘yang’.
Relasi gramatikal objek dalam Bahasa Sabu mempunyai ciri-ciri berikut ini.
1.       Objek Bahasa Sabu adalah FN yang langsung berada setelah verba;
2.       Objek Bahasa Sabu adalah FN yang tidak bias disisipi adverbial dengan verbanya;
3.       Objek dalam Bahasa Sabu adalah FN yang menduduki posisi objek kalimat aktif dan dapat dinaikkan menjadi subjek kalimat pasifnya;
4.       Objek tak langsung Bahasa Sabu langsung mengikuti verba, sedangkan objek langsung mengikutinya. Keduanya dapat menjadi subjek kalimat pasif melalui kaidah pemasifan.
Ciri-ciri gramatikal relasi oblik Bahasa Sabu adalah sebagai berikut:
1.       Oblik Bahasa Sabu adalah argument (FN) yang berpreposisi.
2.       Relasi oblik Bahasa Sabu tidak bias dijadikan subjek kalimat pasif melalui kaidah pemasifan.
Relasi gramatikal inti klausa Bahasa Sabu dapat dijelaskan dengan memerhatian jenis klausa, intransitif atau transitif. Subjek merupakan satu-satunya relasi gramatikal inti ada klausa intransitif. Relasi gramatikal inti pada klausa transitif dua tempat adalah subjek dan pasien, dan relasi gramatikal inti yang lain, dibutuhkan oeh verba transitif tiga tempat (dwitransitif).
(aa) Neru             wabbe ya
         NAMA         pukul     1TG
         ‘Neru memukul saya’

(ab) ya                  do           Neru      wabbe
         1TG               FOK        NAMA  pukul
         ‘saya yang Neru pukul’

(ac)  ya                  neru       wabbe
         1TG               NAMA  pukul
         ‘saya Neru pukul’
Verba BS tidak dimarkahi secara semantis untuk menunjukkan property semantis argumennya, baik pada agen (A) maupun ada pasien (P). untuk lebih jelasnya, perhatikan contoh yang ditampilkan berikut ini.
(ba) ya/         mu/       di/       no/     ro/                au/               dji/            Neru/       bedjdji
         Saya/     kamu/  kita/   dia/    mereka/     engkau/     kami/       Neru/       tidur

(bb) ya/         mu/       di/       no/     ro/                au/               dji/            Neru/       bui
         Saya/     kamu/  kita/   dia/    mereka/     engkau/     kami/       Neru/       jatuh

(ca)  no           tabbho ya
         3TG        tikam    1TG
         ‘dia menikam saya’

(cb) ya           do          no       tabbho
         1TG        FOK       3TG     tikam
         ‘saya yang dia tikam’

(cc)  ya           tabbho no
         1TG        tikam    3TG
         ‘saya menikam dia’

(cd) No          do           ya        tabbho
         3TG        FOK       1TG     tikam
         ‘dia yang saya tikam’

Berdasarkan contoh (ba) dan (bb) di atas dapat ditunjukkan bahwa satu-satunya argumen S pada klausa intransitif adalah agen (A) pada klausa (ba) dan pasien (bb) pada posisi awal mempunyai bentuk yang sama tanpa kehadiran pemarkah pada verbanya. Demikian juga hal yang sama terjadi pada kalimat transitif seperti pada contoh (ca) dan (cb). Pronominal no ‘dia’ dan ya ‘saya’ walaupun posisi dan peran semantisnya dibolak balik, baik sebagai agen (A) maupun pasien (P), memiliki bentuk yang sama.
Pada contoh (ba), verba bedjdji ‘tidur’ membutuhkan hadirnya satu argumen yang merupakan agen (A). pada contoh (bb), verba bui ‘jatuh’ membutuhkan kehadiran satu argumen yang merupakan pasien (P). Contoh (c) merupakan klausa transitif. Pada contoh ini, verba tabbho ‘tikam’ membutuhkan kehadiran dua argumen yaitu agen (A) dan pasien (P).
Berdasarkan contoh kalimat (b) dan (c) tersebut di atas, dapat dinyatakan bahwa secara morfologis S tidak terpilah. Pronominal atau nomina yang memiliki peran sebagai S, A, dan P mempunyai bentuk yang sama tanpa adanya penanda kasus pada pronominal/nomina tersebut. Contoh (b) dan (c) tersebut dapat ditulis kembali sebagai berikut:
(da) ya           bedjdji/bui      Sa/Sp
         No          bedjdji/bui      Sa/Sp

(db) no           tabbho ya        AVP
         Ya           tabbho no       AVP
Pada klausa (da) ya ‘saya’ dan no ‘dia’ yang berfungsi sebagai S diperlakukan sama dengan no ‘dia’ dan ya ‘saya’ pada (db) yang berfungsi sebagai A. jadi secara sintaksis S diperlakukan sama dengan A, berdasarkan data itu dapat disimpulkan bahwa BS tergolong tipe Bahasa Akusatif secara sintaksis.
(2) Struktur Argumen
Predikasi Bahasa Sabu dengan predikat bukan verba Bahasa Sabu mempunyai satu argumen yang juga merupakan subjek gramatikal dan agen. Wujud klausa yang terdiri atas predikat dan argumennya dalam tulisan ini disebut predikasi. Predikasi Bahasa Sabu yang predikatnya bukan verba terdiri atas predikat nominal, adjektival, numeral, dan adverbial dengan satu argumen (FN) sebagai subjek. Keempat formula dari predikasi bukan verba itu dapat ditampilkan sebagai berikut.
a.       Predikasi dengan predikat nomina yang terdiri atas predikat dan satu argumen sebagai subjek dan unsur yang bukan argumen mungkin saja ditambahkan pada predikasi tersebut (yang sifatnya mana suka). Predikat nominal adalah predikat yang unsur pengisinya berupa nomina (termasuk ronominal). Seperti pada klausa nominal berikut ini:
(1a) ana               nani       ana        hekola
         Anak            PEN        anak      sekolah
         ‘anak itu murid’

Pada (1a) predikat bukan verbalnya diisi oleh nomina ana hekola ‘murid’, dan argumen subjeknya adalah ana nani ‘anak itu’ dan posisinya di depan verba. Dan karena Bahasa Sabu juga punya urutan VS, yaitu argumen inti juga bias di kanan verba, sehingga klausa (1a) bisa beralternasi seperti (1b) berikut:
(1b) ana               hekola  ana        nani
         Anak            sekolah anak      PEN
         ‘anak sekolah anak itu’

Namun secara pragmatis menghendaki hadirnya unsur suprasegmental berupa intonasi khusus antara predikat dan subjek. Bila dtranskripsikan secara sederhana dapat diortografiskan dengan tanda garis miring (//) melambangkan jeda khusus. Ana hekola // ana nani ‘anak sekolah anak itu’.
b.       Predikasi dengan predikat adjektival yang terdiri atas predikat dan satu argumen (subjek) dengan adjung (unsur bukan argumen) yang sifatnya mana suka yang mungkin ditambahkan pada predikasi tersebut. Predikat adjektiva yang dimaksud di sini adalah predikat yang diisi oleh adjektiva, seperti pada contoh berikut ini.
(2a) due               nani       natta     tarra
         Tuak             PEN        manis    sekali
         ‘tuak itu manis sekali’
Pada (2a) predikat bukan verbalnya diisi oleh adjektiva natta ‘manis’, argumen subjeknya due nani ‘tuak itu’ dan dalam predikasi itu tarra ‘sekali’ merupakan adverbial. Seperti pada nomina, pada predikat adjektival pun dapat dipertukarkan posisinya dengan S, seperti berikut ini.
(2b) natta           tarra      due         nani      
         manis           sekali     tuak       PEN       
         ‘manis sekali tuak itu’
Pada (2b) due nani ‘tuak itu’ adalah subjek yang menempati posisi di depan predikat, jadi pola itu dengan bentuk VS.
c.       Predikasi dengan predikat numeral yang terdiri atas predikat dan satu argumen (subjek) dengan adjung yang bersifat mana suka. Predikat numeral yang dimaksud dalam hal ini adalah predikat yang kategori pengisina berupa numeral atau bilangan. Hal itu dapat ditampilkan dengan contoh berikut ini.
(3)    ana               manu    nani       appa      ngi’u
         Anak            ayam     PEN        empat   ekor
         ‘anak yam itu empat ekor’

Pada klausa (3) predikat numeralnya adalah appa ‘empat’ dan ana manu nani ‘anak ayam itu’ adalah FN yang berungsi sebagai subjek, dengan posisi di depan verba, sementara ngi’u ‘ekor’  pada predikat itu adalah adverbial.
d.       Predikasi dengan predikat adverbial atau frasa preposisional yang terdiri atas predikat adverbial dengan satu argumen sebagai subjek. Predikat adverbial adalah predikat yang katagori pengisinya adalah adverbial atau frasa preposisional. Hal ini dapat ditampilkan dengan contoh seperti berikut.
(4)    dji                  la            loko
         1JM              PREP      sungai
         ‘kami ke sungai’

Pada klausa (4) predikat adverbial adalah la loko ‘ ke sungai’, dan dji adalah argumen yang berfungsi sebagai subjek, yang menempati posisi di depan verba. Selanjutnya, predikasi dan struktur argumen predikat Bahasa Sabu dengan verba intransitif dapat disampaikan sebagai berikut.
e.       Predikasi dengan predikat intransitif yang terdiri atas predikat intransitif dengan satu argumen yang berperan sebagai agen/pasien. Hal ini dapat ditampilkan dengan contoh seperti berikut.
(5)    dou               nani       bui
         Orang          PEN        jatuh
         ‘orang itu jatuh’

(6)    ina                ya           djiu
         Ibu                1TG        mandi
         ‘ibu saya mandi’

Pada klausa (6) verba intransitif yang mengisi predikat itu adalah bui ‘jatuh’ dan argumen dou nani ‘orang itu’ yang secara semantic berperan sebagai pasien. Pada klausa (5), verba intransitif yang mengisi predikat adalah djiu ‘mandi’ dan arguen ina ya ‘ibu saya’ yang secara semantis berperan sebagai agen.
Sementara itu, predikasi dan struktur argumen dari verba predikat transitif dapat disajikan sebagai berikut.        
        
f.        Predikasi dengan struktur argumen dari verba transitif dapat ditampilkan sebagai berikut.
(7)    no                 nginu    ei             ajdji
         3TG               minum  air           hujan
         ‘dia minum air hujan’

(8)    ro                  wabbe                  ya
         3JM              pukul                     1TG
         ‘mereka memukul saya’

(9)    ina                pe-hogo               wie         dji           nga’a
         Ibu                PRE-masak          untuk    1JM        nasi
         ‘ibu memasakkan kami nasi’

Pada klausa (7) predikasi dengan predikatnya verba nginu ‘minum’ dan argumen no ‘dia’ yang berfungsi sebagai subjek (juga agen) dan argumen ei ajdji ‘air hujan’ sebagai objek. Secara semantis, verba nginu dapat saja tidak menghendaki argumen objek ei ajdji, namun secara sintaksis, verba tersebut menghendaki argumen subjek pasien. Dengan demikian, kehadiran argumen ei ajdji pada (7) bersifat mana suka (secara semantis) meskipun secara sintaksis bersifat wajib. Oleh karena itu, nginu dapat digolongkan sebagai verba semitransitif (lihat Alwi, dkk., 2000:91-93). Verba wabbe ‘pikul’ (8) menghendaki dua argumen, ro ‘mereka’ yang berfungsi sebagai subjek dan agen, dan ya ‘saya’ yang merupakan objek/pasien pada (7), bahwa hadirnya ya pada (8) adalah wajib, baik secara semantis maupun sintaktis. Verba wabbe ‘memukul’ pada predikasi (8) adalah verba eka transitif, yaitu verba yang menhendaki adanya dua argumen. Sementara verba (9) pe-hogo ‘memasakkan’ mempunyai argumen-argumen ina ‘ibu’ (S/A), dji ‘kami’ (OTL) dan nga’a ‘nasi’ (OL). Berdasarkan uraian di atas, predikasi Bahasa Sabu dengan predikat verba transitif menghendaki dua argumen atau lebih. Kehadiran argumen-argumen itu dalam predikasi transitif bersifat wajib (kecuali verbanya semitransitif).
Pengausatifan Bahasa Sabu dapat mengubah valensi satu menjadi valensi dua, baik yang bertipe morfologis, analitis, maupun leksikal. Kausatif morfologi dengan menggunakan pemarkah pe-, kausatif analitis dengan menggunakan verba tao ‘buat’ yang diikuti verba tak transitif, dan kausatif leksikal dengan verba atta ‘potong’ dan verba dhari ‘asah’. Dengan demikian, pengausatifan Bahasa Sabu tergolong dalam struktur eka transitif karena dalam struktur itu terdapat dua argumen inti (core argument) yaitu agen (Ag) dan Pasien (Ps). Pengausatifan dengan pemarkah pe- Bahasa Sabu merupakan pengausatifan yang produktif dalam Bahasa Sabu dibandingkan dengan tipe analitis dan leksikal. Bentuk dasar verba kausatif yang dimarkahi oleh pemarkah pe- dalam Bahasa Sabu dapat berupa verba intransitif atau pun adjektiva. Jadi, dalam pembahasan engausatifan Bahasa Sabu memperlihatkan mekanisme penaian valensi, yang berfungsi sebagai penciptaan objek.
Untuk menurunkan verba bermakna aplikatif dalam BS juga digunakan pemarkah pe-. Analisis data BS secara tipologis sehubungan dengan pengaplikatifan lokatif, baik yang menunjuk tempat maupun tujuan, merupakan proses penciptan objek. Pengaplikatifan yang memperlihatkan kaidah penciptaan objek tersebut mengisyaratkan bahwa BS mempunyai ciri sebagai Bahasa akusatif secara sintaksis.
Aplikatif instrumental dalam BS dimarkahi oleh pemarkah pe-, sementara oblik instrumental dimarkahi oleh preposisi ri ‘dengan’. Pengaplikatifan instrumental ini juga merupakan proses penciptaan objek. Kenyataan ini kembali mengisyaratkan tipologi gramatikal bahwa BS mempunai ciri sebagai Bahasa akusatif. Bukti gramatikal selanjutnya yang menunjukkan bahwa BS mempunyai ciri tipologis sebagai Bahasa akusatif adalah aplikatif benefaktif dalam BS juga merupakan pembentukan objek.
Perilaku gramatika yang sedikit berbeda diperlihatkan oleh aplikatif sumber. Pada aplikatif sumber, beberapa verba turunan yang terjadi, menunjukkan bahwa terjadi pembentukan subjek dan sejumlah hal lainnya yang merupakan pemciptaan objek. Konstruksi aplikatif sumber dalam BS juga dimarkahi oleh pemarkah pe-. Dengan adanya sejumlah verba BS yang pada konstruksi aplikatif-sumber memperlihatkan kaidah penciptaan subjek memberikan isyarat bahwa keakusatifan BS tidak bersifat mutlak. Berdasarkan kenyataan ini juga dapat ditafsirkan bahwa tipologi BS dapat ditarik kea rah ergatif karena kaidah pembentukan subjek adalah ciri keergatif. Akan tetapi, penipologian BS secara gramatikal lebih beralasan sebagai Bahasa akusatif karena bukti-bukti gramatikal yang menunjukkan bahwa BS bercirikan sebagai Bahasa akusatif lebih banyak dibandingkan dengan ciri sebagai Bahasa ergatif.
Selanjutnya, konstruksi aplikatif-penerima dalam BS dimarkahi juga oleh pe-. Argumen penerima diberi pemarkah preposisi apabila berposisi di belakang OL. Pemarkah preposisi dilesapkan apabila argumen penerima diposisikan di depan OL.
Mekanisme perubahan valensi verba BS juga dapat dilihat pada konstruksi resultatif. Konstruksi resultatif dalam Bahasa ini ditentukan oleh tata urut verba yang dalam klausa itu menempati posisi akhir. Konstruksi resultatif mirip dengan konstruksi pasif, khususnya konstruksi pasif yang tidak menghendaki agen. Jadi, konstruksi resultatif tergolong konstruksi penurunan valensi.
Berdasarkan pembahasan tentang struktur dasar dan konstruksi verba ditemukan bahwa secara garis besar bahwa verba BS dapat terwujud dalam klausa dasar dengan konstruksi tanpa afiks dan konstruksi dengan afiks, yaitu satu-satunya pemarkah pe-. Klausa BS dengan konstruksi verba seperti itu dapat merupakan klausa dasar dengan tata urutan kata SVO. Sementara itu klausa BS dengan konstruksi verba tanpa afiks dapat pula mempunyai urutan OSV. Konstruksi tata urutan seperti ini tidak dapat dikatakan sebagai konstruksi klausa dasar, tetapi merupakan klausa turunan, yaitu konstruksi yang dapat disebut konstruksi penopikalan.
(3) Diatesis Bahasa Sabu
 a. Diatesis Aktif
Pembahasan mengenai diatesis BS diawali dengan pembahasan diatesis aktif, yaitu kalimat yang subjek gramatikalnya agen, verbanya transitif, objeknya wajib hadir (Trask, 1993; Artawa, 1998) dalam kajian ini disebut diatesis aktif. Dengan pertimbangan bahwa struktur kalimat dengan bentuk verba dasar transitif tanpa afiks memiliki agen sekaligus SUBJ. Agen (A) muncul sebelum verba, sedangkan asien (P) muncul setelah verba.
Konsep Ag dalam kajian ini mengacu tidak hanya pada partisipan yang secara sengaja menyebabkan peristiwa terjadi, tetapi jga partisipan yang melakukan sesuatu, walaupun tidak dengan sengaja. Dengan demikian, Ag mencakup tidak hanya pelaku dari tindakan yang diungkapkan oleh verba transitif volisional, yang oleh Andrews (1985) disebut dengan verba transitif primer seperti verba memukul  dan membunuh, tetapi juga pelaku dari verba persepsi, seperti verba melihat dan mendengar (lihat juga Artawa, 2004). Sementara itu argumen P mengacu pada partisipan yang terkena dampak dari tindakan yang diungkapkan oleh verba (Andrews, 1985:68). Konsep P dalam konteks ini tidak secara kaku mencerminkan peran semantic karena argumen P juga mengacu pada argumen inti dari verba persepsi, seperti melihat, yang mana entitas yang dilihat merupakan argumen P.
Klausa-klausa berikut ini adalah klausa berdiatesis aktif, bentuk diathesis aktif ditandai oleh verba dasar transitif yang terletak diantara Ag dan P.
10a. No    ta            nga’a    nga’a
         3TG  IMPER   makan  nasi
         ‘Dia makan nasi’

11a. ina    ta            hogo     terae
         Ibu   IMPER   masak   sorgum
         ‘Ibu memasak sorgum’

12a. Ya     ta            moa       huri
         1TG  IMPER   kirim      surat
         ‘Saya mengirim surat’

13a. No    ta            tuku       wopau
         3TG  IMPER   lempar  manga
         ‘Dia melempar mangga’

14a. Au    ta            bhakka nyiu
         2TG  IMPER   belah     kelapa
         ‘Kamu membelah kelapa’

Kelima klausa di atas memiliki predikat verba dasar transitif yakni nga’a ‘makan’ pada (10), hogo ‘memasak’ pada (11), moa ‘mengirim’ pada (12), tuku ‘melempar’ pada (13), dan bhakka ‘membelah’ pada (14). Dalam keempat klausa di atas, argument Ag, yakni no ‘dia’ pada (10), ina ‘ibu’ pada (11), ya ’saya’ pada (12), no ‘dia’ pada (13), dan au ‘kamu’ pada (14) masing-masing mempunyai fungsi gramatikal sebagai SUBJ, sedangkan P yang berposisi pasca verba memiliki fungsi gramatikal sebagai OBJ. konstruksi transitif dengan verba dasar memiliki pola urut Ag V P. Variasi tata urut konstituen dimungkinkan dalam konstruksi ini selama V dan P tidak disela oleh konstituen yang lain karena V dan P membentuk satu konstituen. Dalam konstruksi ini, argument Ag bias ditempatkan pada posisi akhir, tetapi arguen Ag tidak dapat diletakkan antara V dan P, seperti contoh berikut ini.

15a. ta                      nga’a    nga’a    //no
         IMPER             makan  nasi           3TG    
         ‘makan nasi, dia’

15b. ta                      nga’a    no           nga’a   
         IMPER             makan     3TG     nasi                       
         ‘makan nasi, dia’




b. Diatesis Pasif
BS adalah Bahasa yang minim afiks, sehingga tidak memiliki pasif sesuai dengan ketentuan (Dixon, 1994:322) seperti (1)diperlakukan terhadap klausa transitif dan untuk membentuk klausa intransitif; (2) subjek sebelumnya bias dilesapkan; (3) perubahan terjadi pada tataran morfologi verba untuk menandai pemasifan. Namun dari data yang ditemukan pada tataran sintaksis adanya pemarkah preposisi ri ‘oleh’ pada argument Ag yang diposisikan sebagai oblik. Argument P muncul sebelum verba, sedangkan argument Ag dengan pemarkah preposisi ri ‘oleh’ muncul setelah verba yang tidak bias dilesapkan. Secara fungsional, argument P memiliki fungsi SUBJ, sedangkan Ag diposisian sebagai OBL. Konstruksi dengan pemarkah ri ‘oleh’ ini memiliki ciri seperti ciri umum konstruksi pasif lintas Bahasa, yaitu (1) objek promosi ke posisi subjek; (2) subjek sebelumnya diturunkan ke argument oblik, yang dalam BS bersifat wajib.
10b. nga’a              ta            nga’a    ri             no
         nasi  IMPER   makan  oleh       3TG
         ‘Nasi dimakan oleh dia’

11b. terae               ta            hogo     ri             ina
         Sorgum          IMPER   masak   oleh       ibu
         ‘Sorgum dimasak oleh ibu’

12b. huri                  ta            moa       ri             ya
         surat                IMPER   kirim      oleh       1TG
         ‘Surat dikirim oleh saya’

13b. wopau            ta            tuku       ri             No
         mangga          IMPER   lempar oleh        3TG       
         ‘Mangga dilempar oeh dia’

14b. nyiu                 ta            bhakka ri             au
         kelapa             IMPER   belah     oleh       2TG       
         ‘Kelapa dibelah oleh dia’

Setelah mencermati klausa (10b-14b), ditemukan konstruksi yang lebih kompleks dibandingkan dengan klausa (10a-14a) yaitu dengan hadirnya pemarkah ri ‘oleh’ pada argument Ag yang diposisikan sebagai OBL. Konstruksi (10b-14b) merupakan ciri dari konstruksi pasif. Berdasarkan data ini, serta minimnya afiks dalam BS, maka BS tidak memiliki konstruksi pasif secara morfologis, tetapi BS memiliki strategi pemasifan melalui konstruksi pasif sintaksis yaitu dengan memunculkan pemarkah ri ‘oleh’ pada argumen Ag yang berfungsi sebagai OBL.  Artawa (2005:23) mengungkapkan bahwa apabila konsep pasif tidak semata berdasarkan pemarkah morfologis klausa yang agen obliknya bermarkah sintaksis dapat dikategorikan menjadi pasif, yaitu “pasif sintaksis”. Sehingga verba nga’a berpengertian ‘dimakan’ (10b), verba hogo berpengertian ‘dimasak’ (11b), verba moa berpengertian ‘dikirim’ (12b), verba tuku berpengertian ‘dilempar’ (13b), dan verba bhakka berpengertian ‘dibelah’ (14b). sementara ta sebagai pemarkah aspek pada klausa itu, menunjukkan peristiwa pada klausa itu mau dilakukan.

c.   Diatesis Medial
1) Medial Morfologi
Medial morfologis adalah medial intransitif dengan pemarkah morfologis. Pemarkah morfologis tersebut adalah pemarkah pe- yang dapat mengandung fungsi dengan makna yang menunjukkan konstruksi medial. Karena minimnya afiks dalam BS, maka jumlah verba medial morfologis BS tidak banyak ditemukan.
15a      Ro           nani       pe-manga-manga           pa           hedhapa              hekola
             3JM        PEN        TR-main-main                    PREP      depan                   sekolah
             ‘Mereka itu bermain-main di depan sekolah’

15b      No          pe-kako-kako
             3TG        TR-jalan-jalan
             ‘Dia berjalan-jalan’

15c      No          pe-kedhaka-kedhaka
             3TG        TR-peluk-peluk
             ‘Dia berpelukan’

Verba pemanga-manga ‘bermain-main’ pada (15a), pekako-kako ‘berjalan-jalan’ pada (15b), dan pekedhaka-kedhaka ‘berpelukan’ pada (15c) adalah verba intransitif yang berpemarkah pe-, yang menghasilkan konstruksi medial. Diidentifikasikan sebagai konstruksi medial karena tindakan yang dinyatakan oleh verba berpemarkah pe- tersebut dilakukan oleh Ag dan hasilnya kembali kepada Ag sendiri.

2) Medial Perisfrastik
Medial perisfrastik adalah medial yang memerlukan kehadiran Ag dan P, dan diantara kedua unsur tersebut terjadi hubungan yang koreferensial. Dengan demikian, medial perifrastik itu sama dengan konstruksi refleksif koreferensial. Verba yang digunakan dalam konstruksi medial perifrastik adalah verba transitif dengan dua argumen inti langsung.

16a      Ya           ballo      ta            luhu       ngi’u      ya           djammiae           ne
             1TG        lupa       IMPER   cukur     diri          1TG        pagi                        tadi
             ‘Saya lupa mencukur diri saya tadi pagi’

16b      No          menyiru               ngi’u      no
             3TG        jemur                    diri          3TG
             ‘Dia menjemur dirinya’




16c      No          do           I’a           djiu        ngi’u      no           miha
             3TG        PERF      bisa        mandi   diri          3TG        sendiri
             ‘Dia bisa mandikan dirinya sendiri’

16d      Hadhi    kelua     no           henge   pake      beda      worawwu           no
             Setiap   keluar   3TG        ingat      pakai     bedak   wajah                    3TG
             ‘Setiap keluar, dia membedaki wajahnya’

Verba medial luhu ‘cukur’ pada (16a), menyiru ‘menjemur’ pada (16b), djiu ‘mandi’ pada (16c), dan pake beda ‘membedaki’ pada (16d), adalah verba transitif yang membutuhkan objek sebagai pasien yang bersifat refleksif. Agar verba tersebut tetap menghasilkan konstruksi medial, FN yang hadir sebagai pasien setelah verba medial tersebut mengacu pada antisedennya, berkaitan dengan verba medial pada (16d) diisi oleh serial verba pake beda ‘membedaki’. Ini adalah salah satu ciri bahwa BS adalah minim afiks, sehingga strategi untuk membentuk verba medial adalah dengan menghadirkan verba serial. Jadi konstruksi tersebut (16a-16d) menjadi konstruksi medial perifrastik akibat kehadiran pasien reflektif dan berterima secara sintaksis dan semantic dalam BS.

3) Medial Leksikal
Dalam BS ditemukan ada beberapa verba intransitif yang dapat digunakan dalam konstruksi medial. Konstruksi medial yang dihasilkan dari verba dasar intransitif disebut dengan medial leksikal. Hal ini karena verba intransitif tersebut menunjukkan hasil tindakan atau keadaan yang dilakukan oleh Ag berpengaruh terhadap Ag itu sendiri. Contoh verba intransitif yang menghasilkan konstruksi medial leksikal dalam BS adalah sebagai berikut.
17a      Lami                      au           medae  kako      bhallirai
             Kemana               2TG        akan      jalan      besok
             ‘Kemana kamu akan pergi besok’

17b      Paawe tadhai   la            rudjara,                ae           hianga  no           dakka  
             Ketika   tiba        di            jalan                      banyak teman   3TG        dating
             ‘Ketika tiba di jalan, banyak temannya datang’

17c      No          mejaddhi             dhungu
             3TG        duduk                   termenung
             ‘Dia duduk termenung’

Verba kako ‘pergi’ pada (17a), dakka ‘datang’ pada (17b), dan mejaddhi ‘duduk’ pada (17c) semuanya termasuk verba dasar intransitif. Konstruksi yang dihasilkan oleh ketiga verba intransitif tersebut menunjukkan suatu tindakan dan tindakan tersebut mengacu kembali kepada satu-satunya argumen inti konstruksi tersebut. Jadi, dalam konstruksi tersebut, Ag sekaligus dipengaruhi oleh tindakan yang dinyatakan oleh verba dasar dari klausa itu.




(4) Tipologi Sintaksis Bahasa Sabu
Setelah serangkaian pokok kajian sehubungan dengan struktur dasar dan struktur argumen, sampailah pada pembahasan penentuan system aliansi gramatikal dan tipologi sintaksis BS. Penelaahan data sintaksis BS yang telah disajikan secara berurutan di atas, menghantarkan peneliti pada simpulan dan temuan penelitian bahwa BS mempunyai system aliansi gramatikal A=S, dan ≠P. ini berarti BS secara gramatikal memperlakukan A sama dengan S, dan perlakuan berbeda diberikan pada P. Sistem gramatikal seperti ini menunjukkan bahwa BS adalah Bahasa bertipologi nominative-akusatif (secara singkat biasa disebut Bahasa akusatif) secara sintaktis. System aliansi gramatikal yang menunjukkan tipologi sintaksis BS dapat digambarkan sebagai berikut.


                                                                           Atau A=S, ≠P
Bila dilihat dari diatesis, BS sebagai Bahasa bertipologi akusatif secara sintaktis, maka secara teoritis, BS mempunyai tiga jenis diatesis, yang menjadi ciri utamanya, yaitu diatesis aktif, pasif, dan medial (medial perisfrastik dan leksikal). Berdasarkan kajian yang telah dilakukan, diatesis aktif merupakan diatesis dasar BS. Sementara itu diatesis pasif adalah diatesis turunan dalam BS. BS tergolong Bahasa yang minim afiks sehingga BS tidak memiliki konstruksi pasif secara morfologis, tetapi BS memiliki konstruksi pasif berdasarkan tata urutan kata sehingga tampak konstruksi pasif BS adalah jenis konstruksi pasif sintaktis dengan pemarkahan sintaksis berupa preposisi ri ‘oleh’. Namun, apabila ri dilesapkan, ditemukan pola urutan kata OSV yang menunjukkan pada simpulan bahwa konstruksi itu adalah konstruksi pentopikalan. Dengan demikian, klausa-klausa berikut ini adalah contoh konstruksi penopikalan dalam BS.
Buku               no                  adja
Buku               dia                 baca
‘buku dia baca’

Doi                   ya                  aggu
Uang               saya              bawa
‘uang saya bawa’

Huri                 dji                  moa
Surat               kami             kirim
‘surat kami kirim’

DAFTAR PUSTAKA


Adriana Ratu Koreh, 2006. ‘Laporan Hasil Penelitian Bahasa Sabu’. Kupang: Unit Pelaksana Teknis Dinas Bahasa Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Propinsi Nusa Tenggara Timur.
Albert Jita, 2007. ‘Welcome to Savu’. Kupang: Pemerintah Kabupaten Kupang Propinsi Nusa Tenggara Timur.
Artawa, I Ketut, 1998. Ergativity and Balinese Syntax. Dalam Nusa Volume 44. Jakarta: Pusat Kajian Bahasa dan Budaya.
Bambang Kaswanti Purwo, 2009. ‘Makalah: Meneliti Bahasa Sendiri’. Jakarta:  Universitas Atmajaya.
Bryson, Bill. 1990. The Mother Tongue: English and How It got that way. USA: Printed in the U.S.A.
Budiarta, I Wayan, 2009. ‘Aliansi Gramatikal Bahasa Dawan (Kajian Tipologi Bahasa)’ (tesis). Denpasar: Program Pascasarjana Universitas Udayana.
Burhan Bungin, 2008. ‘Penelitian Kualitatif:  Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik dan Ilmu Sosial Budaya’. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Burhan Bungin, 2008. ‘Analisis Data Penelitian Kualitatif ’. Jakarta: Raja Wali Press.
Burhan Bungin, 2008.‘Metode Penelitian Kuantitatif: Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik dan Ilmu Sosial Budaya’. Jakarta: Kencana
Dixon, R. M. W. 2010. Basic Linguistic Theory. Oxford: Oxford University Press.
Hornby A S, 2005. Oxford Advanced Learner’s Dictionary of Current English. Oxford University Press.
Kridalaksana, Harimurti. 2008. Kamus Linguistik.  Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Labu Juli, 2003. ‘Tesis Peran Semantis Argumen Verba Bahasa Sabu’ Program Studi Magister (S2) Linguistik Program Pascasarjana Universitas Udayana Denpasar.
Margono, 2002. Diatesis Resiprokal dalam Bahasa Indonesia.  Fakultas Sastra Universitas Indonesia.
Padje, Gud Reacht Hayat. 2013. Klausa Transitif Bahasa Sabu. Dalam Bianglala Linguistika Vol. 1 No,1 Oktober 2013. Kupang: PPs Undana Program Studi Linguistik
Sedeng, I Nyoman, 2010. Morfosintaksis Bahasa Bali Dialek Sembiran. Udayana University Press.
Sudaryanto, 1990, Aneka Konsep Kedataan Lingual dalam Linguistik. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
Sudaryanto, 1992, Metode Linguistik. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
Sudaryanto, 1993, Metode dan Aneka Tehnik Analisis Bahasa. Yogyakarta: Duta Wacana University Press.
Sudaryanto, 1998, Metode Linguistik: Bagian Kedua Meode dan Teknik Pengumpulan Data. Yogyakarta: Gajah Mada University.
Walker, Alan T., 1982. ‘Grammar of Sawu’. Badan Penyelenggara Seri Nusa Universitas Atmajaya Jakarta.