Translate

Kamis, 16 Juli 2015

DISIPLIN KELIMA



DISIPLIN KELIMA
Oleh: Gud Reacht Hayat Padje, S.Pd

Peter Senge melalui karya terkenalnya, "The Fifth Discipline" (1997) melontarkan gagasannya bahwa sebuah organisasi hanya akan mampu beradaptasi dengan perubahan apabila ia mampu menjadikan dirinya tampil sebagai sebuah organisasi pembelajaran, learning organization, yakni sebuah organisasi yang dibangun oleh orang-orang yang secara terus-menerus mau memperluas kapasitas dirinya dalam rangka mencapai tujuan bersama yang telah ditetapkan.
Senge menekankan bahwa yang harus dikembangkan dalam gaya pembelajaran ini bukanlah semata pengembangan kemampuan-kemampuan baru, melainkan juga kemampuan untuk menggeser pemikiran-pemikiran yang mendasar. Dalam organisasi pembelajaran berlaku kaidah bahwa belajar adalah bagian dari pekerjaan itu sendiri. Learning is part of work, a part of everybody's job description, tegas Michael Marquardt dalam "Building Learning Organization" (1996).
Intinya, sebuah organisasi pembelajaran dikatakan berhasil ketika semua orang dalam organisasi mampu melihat dan mengalami dunia dengan cara berbeda ketika asumsi dan keyakinan baru muncul, dan ketika setiap orang mampu melakukan hal-hal yang sebelumnya tidak bisa dilakukan. Lahirnya banyak gagasan baru adalah indikator penting dari keberhasilan membangun organisasi pembelajaran.
Dalam konteks ini, Peter Senge menawarkan lima disiplin yang harus dijalankan oleh para pelaku birokrasi, utamanya oleh para pemimpinnya sebagai syarat sebuah organisasi mampu melakukan perubahan.
Disiplin pertama, mengembangkan personal mastery atau penguasaan pribadi seluruh aparat birokrasi. Kaidahnya, pembelajaran secara terus-menerus akan terjadi apabila dipicu oleh semangat keingintahuan setiap aparat itu sendiri. Pembelajaran sejati akan terjadi apabila dimotivasi oleh semangat untuk meningkatkan kapasitas atau keahliannya.
Untuk itu, setidaknya ada dua langkah penting yang harus dilakukan. Pertama, setiap aparat didorong untuk memiliki visi. Kedua, mereka disadarkan tentang realitas kekinian yang dimilikinya (current reality).
Tugas para pemimpin birokrasi adalah bagaimana menciptakan situasi yang kondusif yang mampu menciptakan "greget" (creative tension) pada setiap aparat untuk mewujudkan visinya. Indikator keberhasilannya, visi diterima setiap aparat bukan karena rumusannya yang menarik, bukan karena merupakan ide yang bagus, melainkan lebih karena sebuah panggilan.
Disiplin kedua adalah membangun model mental, yakni membangun citra, asumsi atau keyakinan yang telah tertanam kuat dalam pikiran setiap orang, dilatarbelakangi oleh pengalaman, yang dipengaruhi oleh cara pandang setiap orang terhadap semua aspek kehidupan dunia yang dilihatnya selama ini, termasuk cara melihat dirinya. Jika disiplin pertama lebih banyak diarahkan untuk membangun semangat berpikir aparat, disiplin kedua ini ditujukan untuk membangun semangat mencari kebenarannya (inquiry).
Inti dari disiplin ini adalah upaya untuk mempertemukan ragam sudut pandang, keyakinan, atau asumsi menjadi sebuah model mental bersama (shared mental model) yang pada gilirannya diharapkan bisa melahirkan apa yang disebut dengan kecerdasan kolektif (collective intelligence). Melalui kecerdasan kolektif itulah, gambaran dunia baru bisa ditemukan karena setiap orang dituntut untuk melihat kekurangan yang dimilikinya dan dalam waktu yang sama bersedia menerima kelebihan yang dimiliki orang lain, bawahan sekalipun.
Secara jujur harus diakui, banyak dari hambatan penyelenggaraan birokrasi selama ini, berkait dengan persoalan mental model ini. Munculnya kekeliruan dalam menjabarkan sebuah kebijakan yang dibuat pemimpin, misalnya, berkait dengan adanya ragam model mental yang dimiliki aparat. Sang pemimpin yang tidak mau mendengar alternatif gagasan bawahan yang dipimpinnya - mental block - adalah contoh lain dari kegagalan membangun model mental ini.
Disiplin ketiga adalah membangun visi bersama, shared vision, yakni harapan bersama tentang masa depan yang ingin dicapai organisasi. Sebuah visi benar-benar merupakan visi bersama apabila setiap orang memiliki gambaran yang sama dan setiap orang merasa memiliki komitmen untuk mencapainya. Itu sebabnya, visi yang baik selain mengikat seluruh anggotanya, juga mampu menjadi sumber inspirasi dalam menjalankan tugas mereka. Oleh karena itu, visi bersama juga berfungsi membangkitkan dan mengarahkan.
Dalam membangun organisasi pembelajran, visi bersama menjadi sangat penting artinya setidaknya karena dua hal: memberi fokus dan energi pembelajaran. Di sini kemampuan seorang pemimpin untuk membangun nilai-nilai, norma-norma yang mampu memelihara dan memperkuat komitmen semua anggota organisasi dalam pencapaian visi menjadi kunci.
Disiplin keempat adalah membangun pembelajaran tim, team learning. Inti dari penegakan disiplin ini adalah mengumpulkan berbagai pendapat individu dalam sebuah organisasi sehingga menghasilkan apa yang disebut dengan collective intelligence, yakni sebuah sinergi pemikiran di antara anggota organisasi. Kaidah dari penegakan disiplin ini adalah bahwa kecerdasan tim selalu lebih baik dari kecerdasan perorangan.
Itu sebabnya, disiplin ini sangat meniscayakan arti pentingnya membangun kemitraan atau kesetaraan (alignment) untuk mencapai hasil yang diinginkan. Membangun komunikasi yang didasarkan kepada prinsip saling memahami, saling mendengar dan saling melengkapi adalah kunci yang akan menentukan keberhasilan membangun disiplin ini.
Disiplin kelima adalah membangun cara berpikir secara sistem atau berpikir sistemik, system thinking. Peter Senge menempatkan disiplin ini sekaligus sebagai "disiplin yang kelima" yang kemudian menjadi judul dari karya terkenal yang ditulisnya, "The Fith Discipline". Alasannya, disiplin ini selain berfungsi sebagai fondasi sekaligus juga berfungsi mengintegrasikan penegakan empat disiplin yang lainnya.
Inti dari penegakan disiplin ini adalah kemampuan untuk melihat dan memahami setiap kejadian sebagai sebuah sistem, yakni entitas keseluruhan yang dibangun oleh bagian-bagian yang saling berhubungan, saling berkaitan, dan karenanya saling menentukan. Syarat awal untuk memulai berpikir sistemik adalah membangun kesadaran bahwa kejadian apa pun, fisik maupun nonfisik, dipahami sebagai sebuah hasil dari keseluruhan interaksi antarunsur dalam batas-batas sebuah sistem.
Berpikir sistemik juga sering disebut dengan cara berpikir generatif karena mampu melihat setiap kejadian tidak dari fenomena yang muncul kepermukaan, tetapi dari dinamika strukturnya yang paling dalam. Di sini, berpikir sistemik merupakan sebuah disiplin untuk memahami kerumitan dan perubahan.
Karena kemampuannya dalam memahami dinamika sistem, orang-orang dengan kemampuan berpikir ini juga biasanya begitu cerdas membuat sebuah pengungkit (leaverage) sederhana, namun dengan efek ungkit yang demikian berarti. Indikatornya, ketika dihadapkan kepada sebuah masalah, orang-orang dengan kemampuan berpikir ini cenderung akan bertindak membuat solusi berdasarkan kepada akar penyebabnya, bukan kepada gejala yang tampak ke permukaan. Selalu mengutamakan solusi yang bersifat fundamental, bukan symptomatik. Selalu berpikir jauh ke depan, bukan jangka sesaat.
Yang menarik, orang-orang dengan kemampuan cara berpikir ini cenderung tak pernah menyalahkan orang lain, karena ia selalu melihat dirinya sebagai bagian dari setiap kejadian yang muncul. The enemy is not there, itulah yang menjadi landasan pemikirannya.
Itulah lima disiplin yang mesti dibangun dalam menjalankan roda organisasi pembelajaran. Peter Senge melihat kelima disiplin tersebut sebagai serangkaian prinsip dan praktik yang mesti dikuasai dan mengintegrasikannya dalam kehidupan sebuah organisasi. Dua disiplin pertama, personal mastery dan mental model, dibangun dalam rangka mengubah cara berpikir orang-orang dalam organisasi. Sementara itu, tiga disiplin berikutnya, yakni visi bersama, pembelajaran tim, dan berpikir sistemik, dibangun untuk mengubah hubungan interaksi orang-orangnya. Untuk bisa melakukan itu semua, Peter Senge mengingatkan bahwa tidak semua pemimpin akan mampu melakukannya. Oleh karena itu, perlu ada perubahan gaya kepemimpinan dalam semua level kepemimpinan birokrasi.
Dalam organisasi pembelajaran, pemimpin adalah perancang, pengasuh, dan guru. Sebagai perancang, tugas utama pemimpin adalah menciptakan dan mengintegrasikan seluruh komponen organisasi yang dipimpinnya menuju sebuah visi yang telah disepakatinya. Sebagai pengasuh, apa saja yang dilakukan sang pemimpin selalu ditujukan dalam rangka mengasuh dan menjaga semua anggota yang ada dalam organisasi yang dipimpinnya, bahkan demi kepemimpinannya, ia akan rela mengorbankan visi pribadinya semata demi kepentingan visi bersama organisasinya.
Sebagai guru, pemimpin bukan berarti harus mengajarkan kepada orang bagaimana mencapai visinya, melainkan lebih kepada upaya untuk memberi dukungan pada setiap orang untuk belajar. Pemimpin yang memberdayakan, singkatnya, itulah sosok pemimpin yang diharapkan mampu membangun organisasi pembelajaran, pemimpin yang diharapkan mampu membawa birokrasi cerdas dan cakap mengelola perubahan. Tidak mudah memang, tapi itulah tindakan yang mestinya mulai dilakukan. Mengabaikannya akan berarti membiarkan eksistensi birokrasi sebagai pelayan publik di negeri ini kian terpinggirkan karena ditelan perubahan.***
DAFTAR PUSTAKA
Marquardt, J. Michael. 1996. Building The Learning Organization. New York: McGraww Hill,.

Senge, Peter M. 2002. Buku Pegangan Disiplin Kelima (The Fifth Discipline Field book). Alih Bahasa Hari Suminto. Batam: Interaksara,

KLAUSA TRANSITIF BAHASA SABU



Gud Reacht Hayat Padje
Universitas PGRI NTT
(YPLP PT PGRI NTT)
I.       Pendahuluan
1.1 Latar Belakang
Bahasa Sabu (BS) adalah bahasa yang dipergunakan sebagai bahasa ibu oleh sekitar 91.870 orang penutur yang bermukim di Kabupaten Sabu Raijua Provinsi Nusa Tenggara Timur. BS selain digunakan sebagai media komunikasi sehari-hari, juga digunakan sebagai media pewarisan karya sastra lisan. Melihat daya dukung BS sangat sedikit, disertai dengan mobilitas masyarakat sabu ini terkenal tinggi, maka BS sangat penting untuk dipertahankan untuk menghindari bahasa ini dari kepunahannya.

1.2  Rumusan Masalah
Berdasarkan alasan di atas dapat dirumuskan masalah, yaitu: Bagaimanakah struktur klausa transitif bahasa Sabu.

1.3 Landasan Teori
Klausa sebagai satuan gramatikal berupa kelompok kata yang sekurang-kurangnya terdiri dari subjek dan predikat, dan mempunyai potensi untuk menjadi kalimat (Kridalaksana, 2008:124). Dalam hal ini, konsep klausa disejajarkan dengan konsep kalimat karena klausa yang dimaksud dalam penelitian ini adalah kalimat yang terdiri atas sebuah predikat, baik predikat sederhana, yaitu predikat yang hanya terdiri atas sebuah kata dasar inti verba atau katagori lain untuk mengisi fungsi predikat. Teori yang dipergunakan dalam pendekatan tulisan ini adalah teori Dixon (2010) yaitu transitivity (kemampuan verba untuk digunakan dengan dua argumen atau lebih). Menurut Dixon setiap bahasa mempunyai dua klausa dasar yaitu klausa intransitif dan transitif. Kedua klausa tersebut adalah sebagai berikut:
Tipe klausa   Predikat      Argumen inti
Intransitif     Intransitif   S (subjek intransitif)
Transitif        Transitif      A (subjek transitif) dan O (objek transitif)
Dalam kajian ini, penulis hanya akan memfokuskan diri pada klausa transitif.
Disamping argumen inti, klausa tersebut juga memiliki argumen non inti yang dapat ditambahkan pada tipe klausa tersebut. Dalam hal itu argumen non inti (periperi) bersifat mana suka. Jenis – jenis argumen yang dapat ditambahkan, yaitu argumen yang menyatakan alat (with a stick), beneficiary (for the child), waktu (in the afternoon), dan tempat (under the tree).
Metode yang dipergunakan dalam analisis ini adalah metode agih (metode distributional), yaitu metode yang menggunakan alat penentu unsure bahasa yang ada di dalam bahasa itu sendiri, (Sudaryanto, 1993:15).

II.       Pembahasan
Kajian sintaksis adalah sebuah kajian yang membahas tentang proses sebuah kata yang bergabung bersama, sehingga membentuk unit yang lebih besar yaitu frasa, klausa, dan kalimat. Secara umum sintaksis dipahami sebagai suatu kajian atas klausa dan atau kalimat. Klausa adalah sekelompok kata yang mempunyai unsur subjek-predikat yang menempel pada kalimat induk (Lyons, 1987), Namun dalam pembahasan ini antara klausa dan kalimat sederhana adalah sama. Bahasa Sabu, seperti bahasa bahasa pada umumnya, memiliki bahasa yang berpredikat verba dan berpredikat nonverbal. Bahasa yang berpredikat nonverbal dalam bahasa Sabu meliputi (1) klausa berpredikat adjektiva, (2) klausa berpredikat nomina, (3) klausa berpredikat frasa preposisional, (4) klausa berpredikat numeralia. Selanjutnya, klausa transitif juga dapat dibedakan berdasarkan jumlah argumen yang hadir dalam kalimat tersebut menjadi (a) klausa ekatransitif dan (b) dwitransitif. Dalam pembahasan ini akan diawali dengan menyampaikan pronominal persona bahasa Sabu, karena dengan asumsi mengenal pronominal ini akan lebih mudah untuk memahami konstruksi klausa bahasa Sabu.
Pronomina Persona Bahasa Sabu, Pronomina adalah kata-kata yang digunakan untuk mengganti nomina atau frasa nomina. Pronomina persona adalah persona yang mengacu kepada nomina insane (Tarno dkk., 1992, dalam Budiarta, 2009). Menurut Kridalaksana (2008), pronominal persona adalah persona yang menunjuk pada katagori persona. Dalam proses komunikasi, pronominal itu dibedakan atas pihak pertama sebagai pembicara, pihak kedua sebagai orang yang diajak bicara, dan pihak ketiga sebagai orang yang dibicarakan. Dengan demikian, pronominal persona dibedakan atas persona pertama, persona kedua, dan persona ketiga, masing-masing dalam jumlah tunggal dan jamak. Pronomina jamak ada yang bersifat inklusif dan ada yang eksklusif. Disebut inklusif karena pihak pertama sebagai pembicara terlibat yang diajak bicara, sedangkan eksklusif pihak pertama tidak termasuk yang diajak bicara. Pronomina bahasa Sabu tidak memiliki bentuk yang berbeda sesuai dengan fungsi yang didudukinya. Untuk jelasnya dapat dilihat pada tabel berikut: 
Persona
Subjek
Objek
Pemilik
Contoh Pemilik
I
TG
Ya
Ya
Ya
ina ya = ibu saya
JM
Inkl
Di
Di
Di
ina di = ibu kita
Eksl
Dji
Dji
Dji
ina j’i = ibu kami
II
TG
Au
Au
Au
ina au = ibu kamu
JM
Mu
Mu
Mu
ina mu = ibu mu
III
TG
No
No
No
ina no = ibu dia
JM
Ro
Ro
Ro
Ina ro = ibu mereka

Untuk memberikan gambaran yang lebih jelas tentang konstruksi klausa dasar bahasa Sabu, berikut ini disajikan masing-masing sebuah contoh untuk setiap jenis klausa yang predikatnya nonverbal.
1.         Katu                        ya                    worena
        Kepala                    Poss                 besar
        ‘Kepala saya besar’

2.         Ama                        no                    pedhaga
        Ayah           Poss                 pedagang
        ‘Ayahnya pedagang’

3.         Dji               la                     dhoka
        1JM             Prep                 kebun
        ‘Kami ke kebun’

4.         Ammu                     ro                     tellu
        Rumah                    Poss                 tiga
        ‘Rumah mereka tiga’

Contoh (1) menunjukkan bahwa subjek klausa ketu ya ‘kepala saya’ diikuti oleh predikat worena ‘besar dengan katagori kata adjektiva. Contoh (2) menunjukkan bahwa subjek klausa ama no ‘ayahnya’ diikuti oleh predikat pedhaga ‘pedagang’ dengan katagori kata nomina.
Contoh (3) menunjukkan bahwa subjek dji ‘kami’ diikuti oleh predikat la dhoka ‘ke kebun’ dengan katagori frasa preposisional. Contoh (4) memperlihatkan bahwa subjek amu ro ‘rumah mereka’ diikuti oleh predikat telu ‘tiga’ dengan katagori kata numeralia. Contoh-contoh yang ditampilkan tersebut (1-4) dengan jelas menunjukkan bahwa klausa dalam bahasa Sabu tidak hanya diisi oleh verba, tetapi juga dapat diisi oleh non-verba.
Pembahasan selanjutnya adalah tentang klausa transitif. Pembahasan klausa transitif ini dibagi atas pembahasan klausa ekatransitif dan klausa dwitransitif. Pembahasan ini diawali dengan pembahasan klausa ekatransitif. Klausa ekatransitif bahasa Sabu dibentuk oleh kehadiran verba transitif dengan menempati posisi sebagai predikat. Seperti halnya pada klausa intransitif pada klausa ekatransitif verba yang menempati posisi predikat ada yang muncul tanpa kehadiran afiks dan ada juga yang muncul dengan menghadirkan afiks. Perhatikan contoh-contoh klausa ekatransitif dengan verba transitif yang kehadirannya tanpa afiks berikut ini.
5.         Ro               nginu               ai (loko)
        3JM             minum             air
        ‘Mereka minum air’

6.         Ya               toi        mumone          nani
        1TG             tahu     laki-laki           Dem
        ‘Saya tahu laki-laki itu’

7.         No              tada                 nelai                 nani
        3TG             paham              masalah           Dem
        ‘Ia paham masalah itu’.

8.         Au               pedai               li          Jawa
        2TG            berbicara          bahasa Indonesia
        ‘Kamu bicara bahasa Indonesia’.

9.         Mu              nga’a               laeludu
        2JM             makan              nasi
        ‘Kamu makan nasi’

Contoh-contoh tersebut di atas 5-9 menunjukkan bahwa subjek-subjek dari semua klausa itu diikuti oleh predikat yang diisi oleh verba transitif nginu ‘minum’, toi ‘tahu’, tada ‘paham’, pedai ‘bicara’, nga’a ‘makan’. Contoh 5-9 menunjukkan bahwa verba transitif yang menempati posisi predikat hadir tanpa adanya afiks pemarkah. Contoh berikut menampilkan klausa ekatransitif bahasa Sabu yang predikatnya hadir dengan afiks sebagai pemarkah aspek.
10.     Ya               tatabbho          au
        1TG            menikam          kamu
        ‘Saya menikam kamu’

11.     Au               tawabbe           no
        2TG            memukul         dia
        ‘Kamu memukul dia’

12.     Ro               taadja              buku
        3JM             membaca         buku
        ‘Mereka membaca buku’

13.     No.              taheleo             poto     nani
        3TG            melihat            foto     Dem
        ‘Dia melihat foto itu’

14.     Ya               tapereke           ina       ya
        1TG            memikirkan     ibu       Poss
        ‘Saya memikirkan ibu saya’

Seperti telah dikatakan sebelumnya bahwa verba transitif bahasa Sabu dalam kehadirannya ada dengan afiks. Seperti contoh kalimat 10-14 verba transitif yang menempati posisi predikat pada klausa ekatransitif hadir disertai dengan afiks. Afiks yang yang hadir adalah [ta-] yang menunjukan pemarkah aspek dalam pengertian’mau’ (future).
Kedua jenis verba transitif tersebut yang berafiks dan tanpa afiks) dapat digambarkan dalam diagram berikut ini.
Diagram 1: Wujud Morfologis verba transitif Bahasa Sabu (Klausa Ekatransitif)
         
 Berdasarkan contoh klausa ekatransitif yang ditampilkan di atas dapat dilihat bahwa struktur dasar klausa BS terdiri atas unsur inti subjek, predikat, dan objek. Seperti namanya klausa transitif menghendaki hadirnya objek. Dengan demikian, hanya terdapat dua argumen (frasa nomina) yang masing-masing ditempatkan sebelum dan sesudah predikat (frasa verba).Verba yang menempati posisi predikat dapat hadir dengan afiks ataupun hadir tanpa afiks. Hadir atau tidaknya afiks yang melekat pada verba pada klausa ekatransitif pada masing-masing contoh klausa yang telah diberikan di atas tidak mempengaruhi struktur dasar klausa BS.
Setelah membahas klausa ekatransitif, pembahasan berikutnya adalah tentang klausa dwitransitif. Klausa dwitransitif BS dibentuk oleh verba transitif yang berkedudukan sebagai predikat. Sama seperti klausa ekatransitif, klausa dwitransitif hadir disertai dengan afiks dan juga dapat hadir tanpa disertai afiks. Perhatikanlah contoh klausa dwitransitif yang hadir tanpa disertai afiks.
15.     No               ihi        gela      nani                 ai
        3TG            isi         gelas    itu                    air
        ‘Ia mengisi gelas itu air’

16.     Ya               tao       ina       ya        koki
        ITG             buat     ibu       Poss     kue
        ‘Saya membuatkan ibu saya kue’.

17.     Ro               wie      ina       ro         paj’o
        3JM             kasi      ibu       Poss     baju
        ‘Mereka mengasi ibu mereka baju’.
                                                 
Contoh-contoh tersebut di atas 15-17 menunjukkan bahwa subjek klausa itu diikuti oleh predikat yang diikuti oleh verba transitif moa ‘ngirim’, tao’membuat’, wie ‘mengasi’. Contoh 25-27 menunjukkan bahwa verba transitif yang menempati posisi predikat hadir tanpa adanya afiks pemarkah subjek ataupun pemarkah gramatikal. Berikut contoh-contoh yang menampilkan klausa dwitransitif BS yang hadir dengan afiks sebagai pemarkah sintaksis.
18.     Ya               tamoa              no        huri
        1TG             kirim                dia       surat
        ‘Saya mengirimkan dia surat.’

19.     No               taweli              ina       no        paj’o
        2TG            beli      ibu       2Poss   paying
        ‘Ia membelikan ibunya paying.’

20.     J’I               tabokke           inna     no        kelai
        IJM             buka                ibu       Poss      pintu
        ‘Kami membukakan           ibunya pintu’

Contoh-contoh tersebut di atas 18-20 menunjukkan bahwa subjek klausa tersebut diikuti oleh predikat yang diisi oleh verba transitif tamoa ‘mengirimkan’, taweli ‘membelikan’, tabokke ‘membukakan’. Contoh 18-20 menunjukkan bahwa verba transitif yang menempati posisi predikat hadir disertai dengan adanya afiks yang bermakna sudah.
Kedua jenis verba transitif pada klausa dwitransitif tersebut (yang berafiks dan tanpa afiks) dapat digambarkan dalam diagram berikut ini.



Diagram 2: Wujud morfologis Verba Transitif Bahasa Sabu (Klausa Dwitransitif)



Berdasarkan contoh klausa ekatransitif yang ditampilkan di atas dapat dilihat bahwa struktur dasar klausa BS terdiri atas unsur inti subjek, predikat, dan objek. Seperti namanya, klausa transitif menghendaki hadirnya objek. Dengan demikian, hanya terdapat tiga argumen (frasa nomina) yang ditempatkan sebelum dan sesudah predikat (frasa verba). Verba yang menempati posisi predikat dapat hadir dengan afiks ataupun hadir tanpa afiks. Kehadiran atau ketidakhadiran afiks pada verba transitif (klausa dwitransitif) pada masing-masing klausa yang telah diberikan di atas tidak mempengaruhi struktur klausa dasar BS.
Berdasarkan pemaparan di atas, klausa dasar BS mempunyai dua konstruksi berdasarkan jenis predikatnya, yaitu klausa verba dan klausa non-verba. Klausa non-verba adalah klausa yang predikatnya dapat diisi oleh adjektiva, nomina, numeralia, dan proposisi. Klausa non-verba ini mempunyai satu argumen yang letaknya sebelum predikat. Klausa verba BS terdiri atas klausa intransitif dan klausa transitif (dan dwitransitif). Kehadiran verba yang menempati posisi predikat pada kedua klausa verba tersebut ada yang disertai dengan afiks dan ada pula yang kehadirannya tanpa afiks.
Pada klausa transitif, argumennya terdiri atas dua (ekatransitif) atau tiga (dwitransitif). Argumen 1 terletek sebelum predikat dan argument 2 dan 3 terletak setelah predikat. Penjelasan tentang konstruksi dasar BS dapat digambarkan pada diagram berikut ini.






Diagram tersebut di atas menunjukkan bahwa verba pada klausa intransitif dan klausa transitif bahasa Sabu hadir dengan afiks dan tanpa afiks. Secara umum verba pada klausa intransitif dan klausa transitif hadir dengan afiks. Namun demikian, dapat pula dijumpai verba pada klausa intransitif dan klausa transitif hadir dengan tanpa afiks.

III. Simpulan
Berdasarkan analisis yang telah dilakukan dapat disimpulkan:
1.      Ditemukan predikat nonverbal dalam klausa bahasa Sabu yang meliputi ajektiva, nomina, frasa preposisi dan numeralia.
2.      Klausa dengan predikat verba transitif yang disertai afiks dan tanpa afiks.
3.      Afiks yang hadir dalam verba klausa bahasa Sabu adalah pemarkah yang mengacu pada waktu.


DAFTAR PUSTAKA

Artawa, I Ketut, 1998. Ergativity and Balinese Syntax.Dalam Nusa Volume 44. Jakarta: Pusat Kajian Bahasa dan Budaya.
Bryson, Bill. 1990. The Mother Tongue: English and How It got that way. Printed in the U.S.A.
Budiarta, I Wayan, 2009. ‘Aliansi Gramatikal Bahasa Dawan (Kajian Tipologi Bahasa)’ (tesis). Denpasar: Program Pascasarjana Universitas Udayana.
Dixon, R. M. W. 2010. Basic Linguistic Theory. Oxford University Press.
Hornby A S, 2005. Oxford Advanced Learner’s Dictionary of Current English. Oxford University Press.
Kridalaksana, Harimurti. 2008. Kamus Linguistik.  Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Margono, 2002. Diatesis Resiprokal dalam Bahasa Indonesia.  Fakultas Sastra Universitas Indonesia.
Sedeng, I Nyoman, 2010. Morfosintaksis Bahasa Bali Dialek Sembiran. Udayana University Press.