KAITAN
DIALEKTOLOGI DENGAN ETNOLINGUISTIK,
DIALEKTOLOGI
STRUKTURAL, DAN DIALEKTOLOGI GENERATIF
Oleh Gud Reacht Hayat Padje
Setiap kelompok manusia yang hidup bersama dan berdampingan sudah pasti
berbahasa demi kelancaran dalam komunikasi, sekalipun sangat sederhana.
Masyarakat yang telah saling berkomunikasi dan saling mengerti, pada akhirnya,
membentuk suatu masyarakat bahasa (Parera, 1991: 26). Setiap masyarakat bahasa
memiliki bahasa tertentu hingga akhirnya tercipta ribuan bahasa yang dituturkan
oleh masyarakat bahasa dari seluruh dunia. Dalam setiap bahasa, terdapat pula
variasi-variasi. Adapun variasi ditentukan oleh letak geografis, tata tingkat
dalam masyarakat, atau dapat pula ditentukan oleh profesi masing-masing
kelompok penutur dalam batas-batas saling mengerti (Parera, 1991: 26). Variasi
bahasa berdasarkan letak geografis disebut dialek (Parera, 1991: 26). Dengan
kata lain, dialek adalah variasi bahasa yang muncul dalam lingkup ruang atau
spasial.
Cabang ilmu linguistik yang khusus mengkaji dialek disebut dialektologi.
Dielektologi, sebagai salah satu cabang ilmu linguistik yang berpijak pada
ruang lingkup kajian variasi bahasa secara spasial, secara tak langsung
bersentuhan dengan permasalahan bahasa yang terancam punah, kematian bahasa,
hak berbahasa-ibu, dan ekologi bahasa (Lauder, 2007: 39). Hal tersebut menandai
bahwa dialektologi bukan hanya sekadar pemetaan bahasa. Peta bahasa hanya salah
satu alat untuk memvisualkan distribusi variasi bahasa (Lauder, 2007: 25).
Setelah pemetaan dilakukan, bahasa kemudian dianalisis dalam kaitannya dengan
faktor-faktor gerografis setempat.
Selain dialektologi, terdapat sosiolinguistik yang sama-sama menangani
variasi bahasa. Perbedaannya, sosiolinguistik menangani masalah variasi bahasa
dalam lingkup strata sosial. Jadi, orientasi penelitian dialektologi bersifat
horizontal, sedangkan orientasi penelitian sosiolinguistik bersifat vertikal
(Lauder, 2007: 33).
Analisis dalam kajian dialektologi, dalam perkembangannya, bersifat
multidisipliner. Disiplin ilmu yang erat kaitannya dengan dialektologi, salah
satunya adalah etnolinguistik. Etnolinguistik atau yang juga disebut dengan
antropolinguistik merupakan studi yang berusaha untuk mempelajari hubungan
antara bahasa, penggunaan bahasa, dan kebudayaan pada umumnya. Studi bidang ini
berusaha menelaah seluk-beluk aneka pemakaian bahasa dengan pola kebudayaan
masyarakat tertentu untuk mencari hubungan antara bahasa, penggunaan bahasa,
dan kebudayaan pada umumnya sehingga etnolinguistik kerap mempelajari berbagai
ciri kebahasaan dari suku-suku bangsa beserta persebarannya. Bahasa merupakan
media utama untuk memasuki suatu masyarakat bahasa sehingga dalam praktiknya
studi mengenai kebudayaan manusia dan bahasa alamiah manusia memiliki kaitan
yang sangat erat. Studi etnolinguistik ini memang membutuhkan penelitian pada
masyarakat tutur tertentu untuk memperoleh gambaran pemakaian bahasa masyarakat
tersebut dalam kehidupan sehari-hari.
Awal berkembanganya studi ini berasal dari Amerika Serikat ketika para
antropolog bertemu dengan masyarakat Indian Amerika Serikat. Kala itu,
masyarakat Indian tidak memiliki warisan tulis-menulis, menggunakan bahasa yang
tata bahasanya berbeda dengan yang telah dikenal di Eropa, dan memiliki ciri
kebudayaan dengan tipe yang tersendiri, seperti pola pembagian sosial sendiri,
nilai hidup sendiri, agama, pandangan hidup, dan tata cara sendiri. Kemajuan
studi etnolinguistik yang dimotori oleh para pionirnya seperti Frans Boas
dengan bukunya yang berjudul Handbook of the American Indian
Languages, Edward Sapir, dan B. L. Whorf (1956) ini memberikan
dampak positif bagi field linguisticsyang
menggunakan metode tertentu dalam mendekati dan berkomunikasi dengan para
informan. Edward Sapir berpendapat bahwa studi bahasa-bahasa eksotis tersebut
harus terjadi dalam hubungan keseluruhan konteks kebudayaan dan dalam peranan hubungan
interaksi sosial masyarakat tersebut. Kini, studi etnolinguistik tidak lagi
menggunakan metode-metode pertama linguistik, tetapi telah berkembang dengan
metode tersendiri. Dans Rasyidi dalam artikelnya yang berjudul “Sekilas tentang
Etnolinguistik” menyebutkan bahwa metode yang dapat digunakan adalah metode
etnolinguistik yang ditambah dengan teknik-teknik yang dikembangkan dalam
bidang studi lain, seperti pragmatik perkembangan, analisis percakapan, puisi
(sastra), dan sejarah.
Etnolingusitik ini memiliki cakupan atau ruang lingkupnya tersendiri,
yakni meliputi bahasa dengan budaya, terutama dari segi penyelidikan
antropologi budaya yang bersatu-padu dengan segi linguistik. Studi
etnolinguistik ini tentunya memberikan banyak manfaat bagi kehidupan. Studi ini
mampu memberikan pemahaman mengenai berbagai masalah yang berkaitan dengan
hubungan timbal balik antara struktur bahasan dan kebudayaan, yakni bahasa
sebagai suatu sistem kognitif dan manifestasinya dalam penataan lingkungan
sosial-budaya dan biofisik. Kajian ini tentunya juga memberikan sumbangan besar
bagi penelitian teks lisan (tradisi lisan), seperti mitos, legenda atau dongeng
masyarakat setempat.
Dialektologi sebagai suatu studi yang mempelajari variasa bahasa (dialek)
berdasasrkan geografinya (persebarannya) tentu berkaitan dengan studi
etnolinguistik. Dalam praktiknya, studi dialektologi berkenaan dengan
wilayah-wilayah atau daerah yang menjadi sorotannya untuk meneliti suatu dialek
untuk berbagai tujuan. Wilayah atau daerah yang menjadi tempat penelitian
variasi bahasa tersebut tentu berbeda satu sama lainnya, baik dari segi kontur
wilayah, keadaan alam (lingkungan), mata pencaharian, agama, sampai
adat-istiadat tersendiri. Akan tetapi, tentu tidak mudah meneliti dialek di
wilayah-wilayah tersebut karena perbedaan yang telah disebutkan, terutama yang
menyangkut hal adat-istiadat atau kebudayaan lokal yang bisa saja menjadi
masalah yang sensitif bagi sebagian masyarakat. Di sinilah etnolinguisitik
memainkan perannya. Pendekatan antropologis terhadap suatu masyarakat bahasa
terlebih dahulu akan membantu memudahkan para peneliti dialek untuk berbaur
dengan masyarakat sekaligus mempelajari kebahasaan mereka dalam kehidupan
sehari-hari. Para peneliti dapat menemukan karakteristik kebahasaan mereka dari
kebudayaan mereka, begitu pula sebaliknya.
Munculnya teori-teori baru dalam bidang tata bahasa juga menandai
berkembangnya kajian dialektologi di samping masuknya berbagai disiplin ilmu
dalam kajian tersebut. Teori tata bahasa struktural yang digagas oleh Ferdinand
de Saussure dan teori tata bahasa generatif oleh Noam Chomsky melahirkan dua
jenis kajian dalam dialektologi: dialektologi struktural dan dialektologi
generatif.
Pemikiran linguistik modern menampakkan kelemahan dialektologi
tradisional yang cenderung memperlakukan bentuk-bentuk linguistik dalam
pengasingan daripada menjadikannya sebagai bagian dari sistem atau struktur.
Dalam struktural, kita tidak lagi mengelompokkan variasi-variasi bersama
menurut apakah mereka serupa secara fonetis atau tidak tetapi melihat dasar
sistem fonologi mereka. Maka, dapat dikatakan sekarang ini kita membandingkan
bentuk-bentuk individual tidak melihat persamaan atau perbedaan, tetapi melihat
bagian-bagian konstituen (unsur) sistem mereka sendiri.
Pendekatan struktural ini memliki implikasi pada pekerjaan lapangan
dialektologi. William G. Moulton menunjukkan bahwa para peneliti dialek harus
lebih sadar akan variasi-variasi bahasa yang memiliki sistem dan tidak hanya
bergantung pada salinan atau turunan fonetis yang terpecah. Mereka seharusnya
lebih menyelidiki perbedaan fonemis dengan menanyakannya pada informan langsung
mengenai bunyi pasangan-pasangan kata atau iramanya. Pendekatan sistematis pada
perbedaan-perbedaan dialek merupakan dasar dari dialektologi struktural.
Dialeltologi struktural ini sendiri dimulai pada tahin 1954 yang dipublikasikan
oleh Uriel Weinreich dengan sebuah artikel yang bernama “Is a structural dialectology possible?’. Pada waktu
itu, artikel ini tampil dengan alasan bahwa para linguis cenderung mematuhi
sebuah pandangan, yakni sebuah sistem linguistik harus dipelajari pada masanya
sendiri (jangka waktunya sendiri) tanpa referensi pada sistem lainnya. Sistem
fonemis pada sebuah variasi tertentu bekerja menggunakan prinsip distribusi
komplementer yang terkenal, kemiripan fonetis dan keberadaan pasangan minimal
dalam variasi tersebut.
Dialektologi struktural merupakan salah satu upaya untuk menerapkan
dialektologi dalam membandingkan varietas bahasa (Chambers, 1980: 41). Varietas
bahasa ini, secara fonologis, mungkin berbeda dalam beberapa cara dan
dialektologi struktural haruslah dapat menyelesaikan masalah perbedaan ini.
Berikut ini adalah perbedaan yang dapat ditemukan.
a.
Perbedaan pertama adalah inventaris fonem, berapa banyak dan yang mana fonem
yang dimiliki oleh bahasa tersebut.
b.
Perbedaan kedua adalah distribusi fonem. Varietas bahasa juga mungkin berbeda
dalam distribusi fonem, yaitu varietas mungkin mempunyai inventaris yang sama,
tetapi memiliki lingkungan fonologis yang berbeda saat fonem tertentu terjadi.
c.
Perbedaan varietas bahasa yang ketiga
adalah insiden fonem. Insiden fonem ini terjadi karena
varietas bahasa mempunyai inventaris fonem yang sama atau identik dan secara
leksikal belum terdapat perbedaan yang signifikan dalam fonem-fonem tertentu.
Korespondensi leksikal bertujuan untuk menunjukkan fonem dalam satu
rangkaian kata pada satu varietas sesuai dengan fonem dalam rangkaian yang sama
di dalam varietas yang lain perlu dilakukan korespondensi leksikal (Chambers,
1980: 42-43). Masalah yang terdapat dalam korespondensi leksikal adalah insiden
yang terlibat memiliki perbedaan yang kompleks. Adanya perbedaan fonologis
dalam varietas biasanya dibuat dalam sebuah skema untuk membentuk sebuah
diasistem.
Sebuah penelitian yang melihat perbedaan fonologis antara RP dan bahasa
Inggris yang diucapkan di timur Anglian kota Norwich menunjukkan bahwa sebuah
diasistem yang terbentuk adalah diasistem parsial dan tidak memiliki unit
fonologi tunggal yang umum. Hal ini pun serupa seperti yang ditulis oleh
Ernst Pulgram bahwa sebuah diasistem yang
mengambil kondisi tertentu dengan pertimbangan dari ahli
bahasa sejarah, ahli dialektologi, dan speaker akan dianggap sebagai sesuatu yang sangat
diperlukan dan akan menunjukkan begitu sedikit kesepakatan antara
keeratan hubungan dialek yang membuat tampak asing bagi yang lain
dalam mendistorsi fakta (Chambers, 1980: 44-45). Dengan kata
lain, jika kita mengambil korespondensi leksikal ke dalam perhitungan maka
hasilnya dapat menjadi absurd dan jika kita tidak mengambil
korespondensi leksikal ke dalam perhitungan maka selanjutnya potensi
absurditas menjadi mungkin: London dan Yorkshire [a:] dapat
dianggap sebagai diasistematik yang sama dan diasistem ini dapat
dibangun untuk varietas yang sama sekali tidak terkait,
seperti, katakanlah, Inggris dan Cina.
Dialektologi struktural telah mampu menginventarisasi perbedaan variasi
dalam suatu bahasa. Namun, perbedaan-perbedaan tersebut tidak dapat dijelaskan
generalisasinya, terlebih bila penelitian melibatkan lebih dari dua variasi
bahasa. Adapun penjelasan tersebut dapat diungkap dengan dialektologi
generatif.
Dialektologi generatif menerapkan konsep dan temuan-temuan dari tata
bahasa generatif transformasional yang digagas Noam Chomsky, terutama fonologi
generatif: untuk mendeskripsikan dan membandingkan variasi bahasa atau dialek
yangn diteliti. Terdapat dua tahap pendekatan dalam fonologi generatif, yaitu
bentuk dasar, yaitu bentuk-bentuk leksikal yang terdaftar dalam kosakata, dan
kaidah-kaidah fonologis yang mengubah bentuk dasar ke bentuk yang diucapkan
oleh penutur asli (Chambers, 1980: 45). Artinya, fonologi generatif meyakini
perujudan bentuk-bentuk dalam berbagai variasi penggantian dalam suatu variasi
bahasa adalah penerapan dari suatu kaidah fonologis, misalnya bunyi tertentu
dalam sebuah kata berubah ketika kata tersebut dalam keadaan-keadaan tertentu:electric-electricism, romantic-romanticism à
[k] menjadi [s] setelah mengalami penambahan sufiks.
Atas asumsi dasar tatabahasa generatif yang “dua unsur itu berbeda”
(Parera, 1991: 84), dialektologi generatif menilai perbedaan-perbedaan yang
terjadi dalam suatu dialek yang berhubungan dapat dijelaskan melalui suatu
bentuk dasar. Perbedaan tersebut dapat berupa kaidah fonologis yang diterapkan
pada bentuk dasar dan/atau lingkungan diterapkannya kaidah (Chambers, 1980:
46).
Satu masalah yang muncul dari dialektologi generatif adalah mengenai
ketepatan dari ujud bentuk dasar yang sebenarnya, terlebih apabila terdapat
beberapa kosakata yang berbeda dalam dialek suatu bahasa (Chambers, 1980: 47).
Yang mana yang merupakan bentuk dasar tidak dapat dijelaskan dengan baik.
Penyelesaian yang muncul pertama kali untuk masalah tersebut adalah
ditentukannya salah satu dialek sebagai dasar untuk menjabarkan perbedaan dari
dialek-dialek yang ada. Namun, hal ini dirasa kurang tepat dengan berbagai
alasan, salah satunya mengenai kriteria dialek yang menjadi acuan. Adapun cara
yang kemudian ditemukan untuk menyelesaikan masalah tersebut adalah membebaskan
dialek dari bentuk dasar sebagai syarat yang harus diacu dan memaklumi
perbedaan kosakata sebagaimana perbedaan fonologis (Chambers, 1980: 50).
Daftar Bacaan
Chambers, J.K, Peter
Trudgill. 1980. Dialectology. Great Britain:
Cambridge University Press
Lauder, Multamia
RMT. 2007. Sekilas Mengenai Pemetaan Bahasa.
Jakarta: Media Akbar Aksara
Parera, Jos Daniel.
1991. Kajian Linguistik Umum Historis Komparatif dan Tipologi
Struktural: Edisi Kedua. Jakarta: Penerbit Erlangga