Translate

Tampilkan postingan dengan label dialektologi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label dialektologi. Tampilkan semua postingan

Senin, 03 Maret 2014

KAITAN DIALEKTOLOGI DENGAN ETNOLINGUISTIK, DIALEKTOLOGI STRUKTURAL, DAN DIALEKTOLOGI GENERATIF

KAITAN DIALEKTOLOGI DENGAN ETNOLINGUISTIK,
DIALEKTOLOGI STRUKTURAL, DAN DIALEKTOLOGI GENERATIF

Oleh Gud Reacht Hayat Padje


Setiap kelompok manusia yang hidup bersama dan berdampingan sudah pasti berbahasa demi kelancaran dalam komunikasi, sekalipun sangat sederhana. Masyarakat yang telah saling berkomunikasi dan saling mengerti, pada akhirnya, membentuk suatu masyarakat bahasa (Parera, 1991: 26). Setiap masyarakat bahasa memiliki bahasa tertentu hingga akhirnya tercipta ribuan bahasa yang dituturkan oleh masyarakat bahasa dari seluruh dunia. Dalam setiap bahasa, terdapat pula variasi-variasi. Adapun variasi ditentukan oleh letak geografis, tata tingkat dalam masyarakat, atau dapat pula ditentukan oleh profesi masing-masing kelompok penutur dalam batas-batas saling mengerti (Parera, 1991: 26). Variasi bahasa berdasarkan letak geografis disebut dialek (Parera, 1991: 26). Dengan kata lain, dialek adalah variasi bahasa yang muncul dalam lingkup ruang atau spasial.
Cabang ilmu linguistik yang khusus mengkaji dialek disebut dialektologi. Dielektologi, sebagai salah satu cabang ilmu linguistik yang berpijak pada ruang lingkup kajian variasi bahasa secara spasial, secara tak langsung bersentuhan dengan permasalahan bahasa yang terancam punah, kematian bahasa, hak berbahasa-ibu, dan ekologi bahasa (Lauder, 2007: 39). Hal tersebut menandai bahwa dialektologi bukan hanya sekadar pemetaan bahasa. Peta bahasa hanya salah satu alat untuk memvisualkan distribusi variasi bahasa (Lauder, 2007: 25). Setelah pemetaan dilakukan, bahasa kemudian dianalisis dalam kaitannya dengan faktor-faktor gerografis setempat.
Selain dialektologi, terdapat sosiolinguistik yang sama-sama menangani variasi bahasa. Perbedaannya, sosiolinguistik menangani masalah variasi bahasa dalam lingkup strata sosial. Jadi, orientasi penelitian dialektologi bersifat horizontal, sedangkan orientasi penelitian sosiolinguistik bersifat vertikal (Lauder, 2007: 33).
Analisis dalam kajian dialektologi, dalam perkembangannya, bersifat multidisipliner. Disiplin ilmu yang erat kaitannya dengan dialektologi, salah satunya adalah etnolinguistik. Etnolinguistik atau yang juga disebut dengan antropolinguistik merupakan studi yang berusaha untuk mempelajari hubungan antara bahasa, penggunaan bahasa, dan kebudayaan pada umumnya. Studi bidang ini berusaha menelaah seluk-beluk aneka pemakaian bahasa dengan pola kebudayaan masyarakat tertentu untuk mencari hubungan antara bahasa, penggunaan bahasa, dan kebudayaan pada umumnya sehingga etnolinguistik kerap mempelajari berbagai ciri kebahasaan dari suku-suku bangsa beserta persebarannya. Bahasa merupakan media utama untuk memasuki suatu masyarakat bahasa sehingga dalam praktiknya studi mengenai kebudayaan manusia dan bahasa alamiah manusia memiliki kaitan yang sangat erat. Studi etnolinguistik ini memang membutuhkan penelitian pada masyarakat tutur tertentu untuk memperoleh gambaran pemakaian bahasa masyarakat tersebut dalam kehidupan sehari-hari.
Awal berkembanganya studi ini berasal dari Amerika Serikat ketika para antropolog bertemu dengan masyarakat Indian Amerika Serikat. Kala itu, masyarakat Indian tidak memiliki warisan tulis-menulis, menggunakan bahasa yang tata bahasanya berbeda dengan yang telah dikenal di Eropa, dan memiliki ciri kebudayaan dengan tipe yang tersendiri, seperti pola pembagian sosial sendiri, nilai hidup sendiri, agama, pandangan hidup, dan tata cara sendiri. Kemajuan studi etnolinguistik yang dimotori oleh para pionirnya seperti Frans Boas dengan bukunya yang berjudul Handbook of the American Indian Languages, Edward Sapir, dan B. L. Whorf (1956) ini memberikan dampak positif bagi field linguisticsyang menggunakan metode tertentu dalam mendekati dan berkomunikasi dengan para informan. Edward Sapir berpendapat bahwa studi bahasa-bahasa eksotis tersebut harus terjadi dalam hubungan keseluruhan konteks kebudayaan dan dalam peranan hubungan interaksi sosial masyarakat tersebut. Kini, studi etnolinguistik tidak lagi menggunakan metode-metode pertama linguistik, tetapi telah berkembang dengan metode tersendiri. Dans Rasyidi dalam artikelnya yang berjudul “Sekilas tentang Etnolinguistik” menyebutkan bahwa metode yang dapat digunakan adalah metode etnolinguistik yang ditambah dengan teknik-teknik yang dikembangkan dalam bidang studi lain, seperti pragmatik perkembangan, analisis percakapan, puisi (sastra), dan sejarah.
Etnolingusitik ini memiliki cakupan atau ruang lingkupnya tersendiri, yakni meliputi bahasa dengan budaya, terutama dari segi penyelidikan antropologi budaya yang bersatu-padu dengan segi linguistik. Studi etnolinguistik ini tentunya memberikan banyak manfaat bagi kehidupan. Studi ini mampu memberikan pemahaman mengenai berbagai masalah yang berkaitan dengan hubungan timbal balik antara struktur bahasan dan kebudayaan, yakni bahasa sebagai suatu sistem kognitif dan manifestasinya dalam penataan lingkungan sosial-budaya dan biofisik. Kajian ini tentunya juga memberikan sumbangan besar bagi penelitian teks lisan (tradisi lisan), seperti mitos, legenda atau dongeng masyarakat setempat.
Dialektologi sebagai suatu studi yang mempelajari variasa bahasa (dialek) berdasasrkan geografinya (persebarannya) tentu berkaitan dengan studi etnolinguistik. Dalam praktiknya, studi dialektologi berkenaan dengan wilayah-wilayah atau daerah yang menjadi sorotannya untuk meneliti suatu dialek untuk berbagai tujuan. Wilayah atau daerah yang menjadi tempat penelitian variasi bahasa tersebut tentu berbeda satu sama lainnya, baik dari segi kontur wilayah, keadaan alam (lingkungan), mata pencaharian, agama, sampai adat-istiadat tersendiri. Akan tetapi, tentu tidak mudah meneliti dialek di wilayah-wilayah tersebut karena perbedaan yang telah disebutkan, terutama yang menyangkut hal adat-istiadat atau kebudayaan lokal yang bisa saja menjadi masalah yang sensitif bagi sebagian masyarakat. Di sinilah etnolinguisitik memainkan perannya. Pendekatan antropologis terhadap suatu masyarakat bahasa terlebih dahulu akan membantu memudahkan para peneliti dialek untuk berbaur dengan masyarakat sekaligus mempelajari kebahasaan mereka dalam kehidupan sehari-hari. Para peneliti dapat menemukan karakteristik kebahasaan mereka dari kebudayaan mereka, begitu pula sebaliknya.
Munculnya teori-teori baru dalam bidang tata bahasa juga menandai berkembangnya kajian dialektologi di samping masuknya berbagai disiplin ilmu dalam kajian tersebut. Teori tata bahasa struktural yang digagas oleh Ferdinand de Saussure dan teori tata bahasa generatif oleh Noam Chomsky melahirkan dua jenis kajian dalam dialektologi: dialektologi struktural dan dialektologi generatif.
Pemikiran linguistik modern menampakkan kelemahan dialektologi tradisional yang cenderung memperlakukan bentuk-bentuk linguistik dalam pengasingan daripada menjadikannya sebagai bagian dari sistem atau struktur. Dalam struktural, kita tidak lagi mengelompokkan variasi-variasi bersama menurut apakah mereka serupa secara fonetis atau tidak tetapi melihat dasar sistem fonologi mereka. Maka, dapat dikatakan sekarang ini kita membandingkan bentuk-bentuk individual tidak melihat persamaan atau perbedaan, tetapi melihat bagian-bagian konstituen (unsur) sistem mereka sendiri.
Pendekatan struktural ini memliki implikasi pada pekerjaan lapangan dialektologi. William G. Moulton menunjukkan bahwa para peneliti dialek harus lebih sadar akan variasi-variasi bahasa yang memiliki sistem dan tidak hanya bergantung pada salinan atau turunan fonetis yang terpecah. Mereka seharusnya lebih menyelidiki perbedaan fonemis dengan menanyakannya pada informan langsung mengenai bunyi pasangan-pasangan kata atau iramanya. Pendekatan sistematis pada perbedaan-perbedaan dialek merupakan dasar dari dialektologi struktural. Dialeltologi struktural ini sendiri dimulai pada tahin 1954 yang dipublikasikan oleh Uriel Weinreich dengan sebuah artikel yang bernama “Is a structural dialectology possible?’. Pada waktu itu, artikel ini tampil dengan alasan bahwa para linguis cenderung mematuhi sebuah pandangan, yakni sebuah sistem linguistik harus dipelajari pada masanya sendiri (jangka waktunya sendiri) tanpa referensi pada sistem lainnya. Sistem fonemis pada sebuah variasi tertentu bekerja menggunakan prinsip distribusi komplementer yang terkenal, kemiripan fonetis dan keberadaan pasangan minimal dalam variasi tersebut.
Dialektologi struktural merupakan salah satu upaya untuk menerapkan dialektologi dalam membandingkan varietas bahasa (Chambers, 1980: 41). Varietas bahasa ini, secara fonologis, mungkin berbeda dalam beberapa cara dan dialektologi struktural haruslah dapat menyelesaikan masalah perbedaan ini. Berikut ini adalah perbedaan yang dapat ditemukan.
a.     Perbedaan pertama adalah inventaris fonem, berapa banyak dan yang mana fonem yang dimiliki oleh bahasa tersebut.
b.     Perbedaan kedua adalah distribusi fonem. Varietas bahasa juga mungkin berbeda dalam distribusi fonem, yaitu varietas mungkin mempunyai inventaris yang sama, tetapi memiliki lingkungan fonologis yang berbeda saat fonem tertentu terjadi.
c.     Perbedaan varietas bahasa yang ketiga adalah insiden fonem. Insiden fonem ini terjadi karena varietas bahasa mempunyai inventaris fonem yang sama atau identik dan secara leksikal belum terdapat perbedaan yang signifikan dalam fonem-fonem tertentu.
Korespondensi leksikal bertujuan untuk menunjukkan fonem dalam satu rangkaian kata pada satu varietas sesuai dengan fonem dalam rangkaian yang sama di dalam varietas yang lain perlu dilakukan korespondensi leksikal (Chambers, 1980: 42-43). Masalah yang terdapat dalam korespondensi leksikal adalah insiden yang terlibat memiliki perbedaan yang kompleks. Adanya perbedaan fonologis dalam varietas biasanya dibuat dalam sebuah skema untuk membentuk sebuah diasistem.
Sebuah penelitian yang melihat perbedaan fonologis antara RP dan bahasa Inggris yang diucapkan di timur Anglian kota Norwich menunjukkan bahwa sebuah diasistem yang terbentuk adalah diasistem parsial dan tidak memiliki unit fonologi tunggal yang umum. Hal ini pun serupa seperti yang ditulis oleh Ernst Pulgram bahwa sebuah diasistem yang mengambil kondisi tertentu dengan pertimbangan dari ahli bahasa sejarah, ahli dialektologi, dan speaker akan dianggap sebagai sesuatu yang sangat diperlukan dan akan menunjukkan begitu sedikit kesepakatan antara keeratan hubungan dialek yang membuat tampak asing bagi yang lain dalam mendistorsi fakta (Chambers, 1980: 44-45). Dengan kata lain, jika kita mengambil korespondensi leksikal ke dalam perhitungan maka hasilnya dapat menjadi absurd dan jika kita tidak mengambil korespondensi leksikal ke dalam perhitungan maka selanjutnya potensi absurditas menjadi mungkin: London dan Yorkshire [a:] dapat dianggap sebagai diasistematik yang sama dan diasistem ini dapat dibangun untuk varietas yang sama sekali tidak terkait,  seperti, katakanlah, Inggris dan Cina.
Dialektologi struktural telah mampu menginventarisasi perbedaan variasi dalam suatu bahasa. Namun, perbedaan-perbedaan tersebut tidak dapat dijelaskan generalisasinya, terlebih bila penelitian melibatkan lebih dari dua variasi bahasa. Adapun penjelasan tersebut dapat diungkap dengan dialektologi generatif.
Dialektologi generatif menerapkan konsep dan temuan-temuan dari tata bahasa generatif transformasional yang digagas Noam Chomsky, terutama fonologi generatif: untuk mendeskripsikan dan membandingkan variasi bahasa atau dialek yangn diteliti. Terdapat dua tahap pendekatan dalam fonologi generatif, yaitu bentuk dasar, yaitu bentuk-bentuk leksikal yang terdaftar dalam kosakata, dan kaidah-kaidah fonologis yang mengubah bentuk dasar ke bentuk yang diucapkan oleh penutur asli (Chambers, 1980: 45). Artinya, fonologi generatif meyakini perujudan bentuk-bentuk dalam berbagai variasi penggantian dalam suatu variasi bahasa adalah penerapan dari suatu kaidah fonologis, misalnya bunyi tertentu dalam sebuah kata berubah ketika kata tersebut dalam keadaan-keadaan tertentu:electric-electricismromantic-romanticism à [k] menjadi [s] setelah mengalami penambahan sufiks.
Atas asumsi dasar tatabahasa generatif yang “dua unsur itu berbeda” (Parera, 1991: 84), dialektologi generatif menilai perbedaan-perbedaan yang terjadi dalam suatu dialek yang berhubungan dapat dijelaskan melalui suatu bentuk dasar. Perbedaan tersebut dapat berupa kaidah fonologis yang diterapkan pada bentuk dasar dan/atau lingkungan diterapkannya kaidah (Chambers, 1980: 46).
Satu masalah yang muncul dari dialektologi generatif adalah mengenai ketepatan dari ujud bentuk dasar yang sebenarnya, terlebih apabila terdapat beberapa kosakata yang berbeda dalam dialek suatu bahasa (Chambers, 1980: 47). Yang mana yang merupakan bentuk dasar tidak dapat dijelaskan dengan baik. Penyelesaian yang muncul pertama kali untuk masalah tersebut adalah ditentukannya salah satu dialek sebagai dasar untuk menjabarkan perbedaan dari dialek-dialek yang ada. Namun, hal ini dirasa kurang tepat dengan berbagai alasan, salah satunya mengenai kriteria dialek yang menjadi acuan. Adapun cara yang kemudian ditemukan untuk menyelesaikan masalah tersebut adalah membebaskan dialek dari bentuk dasar sebagai syarat yang harus diacu dan memaklumi perbedaan kosakata sebagaimana perbedaan fonologis (Chambers, 1980: 50).

Daftar Bacaan
Chambers, J.K, Peter Trudgill. 1980. Dialectology. Great Britain: Cambridge University Press
Lauder, Multamia RMT. 2007. Sekilas Mengenai Pemetaan Bahasa. Jakarta: Media Akbar Aksara
Parera, Jos Daniel. 1991. Kajian Linguistik Umum Historis Komparatif dan Tipologi Struktural: Edisi Kedua. Jakarta: Penerbit Erlangga