Translate

Tampilkan postingan dengan label publik. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label publik. Tampilkan semua postingan

Kamis, 16 Juli 2015

DISIPLIN KELIMA



DISIPLIN KELIMA
Oleh: Gud Reacht Hayat Padje, S.Pd

Peter Senge melalui karya terkenalnya, "The Fifth Discipline" (1997) melontarkan gagasannya bahwa sebuah organisasi hanya akan mampu beradaptasi dengan perubahan apabila ia mampu menjadikan dirinya tampil sebagai sebuah organisasi pembelajaran, learning organization, yakni sebuah organisasi yang dibangun oleh orang-orang yang secara terus-menerus mau memperluas kapasitas dirinya dalam rangka mencapai tujuan bersama yang telah ditetapkan.
Senge menekankan bahwa yang harus dikembangkan dalam gaya pembelajaran ini bukanlah semata pengembangan kemampuan-kemampuan baru, melainkan juga kemampuan untuk menggeser pemikiran-pemikiran yang mendasar. Dalam organisasi pembelajaran berlaku kaidah bahwa belajar adalah bagian dari pekerjaan itu sendiri. Learning is part of work, a part of everybody's job description, tegas Michael Marquardt dalam "Building Learning Organization" (1996).
Intinya, sebuah organisasi pembelajaran dikatakan berhasil ketika semua orang dalam organisasi mampu melihat dan mengalami dunia dengan cara berbeda ketika asumsi dan keyakinan baru muncul, dan ketika setiap orang mampu melakukan hal-hal yang sebelumnya tidak bisa dilakukan. Lahirnya banyak gagasan baru adalah indikator penting dari keberhasilan membangun organisasi pembelajaran.
Dalam konteks ini, Peter Senge menawarkan lima disiplin yang harus dijalankan oleh para pelaku birokrasi, utamanya oleh para pemimpinnya sebagai syarat sebuah organisasi mampu melakukan perubahan.
Disiplin pertama, mengembangkan personal mastery atau penguasaan pribadi seluruh aparat birokrasi. Kaidahnya, pembelajaran secara terus-menerus akan terjadi apabila dipicu oleh semangat keingintahuan setiap aparat itu sendiri. Pembelajaran sejati akan terjadi apabila dimotivasi oleh semangat untuk meningkatkan kapasitas atau keahliannya.
Untuk itu, setidaknya ada dua langkah penting yang harus dilakukan. Pertama, setiap aparat didorong untuk memiliki visi. Kedua, mereka disadarkan tentang realitas kekinian yang dimilikinya (current reality).
Tugas para pemimpin birokrasi adalah bagaimana menciptakan situasi yang kondusif yang mampu menciptakan "greget" (creative tension) pada setiap aparat untuk mewujudkan visinya. Indikator keberhasilannya, visi diterima setiap aparat bukan karena rumusannya yang menarik, bukan karena merupakan ide yang bagus, melainkan lebih karena sebuah panggilan.
Disiplin kedua adalah membangun model mental, yakni membangun citra, asumsi atau keyakinan yang telah tertanam kuat dalam pikiran setiap orang, dilatarbelakangi oleh pengalaman, yang dipengaruhi oleh cara pandang setiap orang terhadap semua aspek kehidupan dunia yang dilihatnya selama ini, termasuk cara melihat dirinya. Jika disiplin pertama lebih banyak diarahkan untuk membangun semangat berpikir aparat, disiplin kedua ini ditujukan untuk membangun semangat mencari kebenarannya (inquiry).
Inti dari disiplin ini adalah upaya untuk mempertemukan ragam sudut pandang, keyakinan, atau asumsi menjadi sebuah model mental bersama (shared mental model) yang pada gilirannya diharapkan bisa melahirkan apa yang disebut dengan kecerdasan kolektif (collective intelligence). Melalui kecerdasan kolektif itulah, gambaran dunia baru bisa ditemukan karena setiap orang dituntut untuk melihat kekurangan yang dimilikinya dan dalam waktu yang sama bersedia menerima kelebihan yang dimiliki orang lain, bawahan sekalipun.
Secara jujur harus diakui, banyak dari hambatan penyelenggaraan birokrasi selama ini, berkait dengan persoalan mental model ini. Munculnya kekeliruan dalam menjabarkan sebuah kebijakan yang dibuat pemimpin, misalnya, berkait dengan adanya ragam model mental yang dimiliki aparat. Sang pemimpin yang tidak mau mendengar alternatif gagasan bawahan yang dipimpinnya - mental block - adalah contoh lain dari kegagalan membangun model mental ini.
Disiplin ketiga adalah membangun visi bersama, shared vision, yakni harapan bersama tentang masa depan yang ingin dicapai organisasi. Sebuah visi benar-benar merupakan visi bersama apabila setiap orang memiliki gambaran yang sama dan setiap orang merasa memiliki komitmen untuk mencapainya. Itu sebabnya, visi yang baik selain mengikat seluruh anggotanya, juga mampu menjadi sumber inspirasi dalam menjalankan tugas mereka. Oleh karena itu, visi bersama juga berfungsi membangkitkan dan mengarahkan.
Dalam membangun organisasi pembelajran, visi bersama menjadi sangat penting artinya setidaknya karena dua hal: memberi fokus dan energi pembelajaran. Di sini kemampuan seorang pemimpin untuk membangun nilai-nilai, norma-norma yang mampu memelihara dan memperkuat komitmen semua anggota organisasi dalam pencapaian visi menjadi kunci.
Disiplin keempat adalah membangun pembelajaran tim, team learning. Inti dari penegakan disiplin ini adalah mengumpulkan berbagai pendapat individu dalam sebuah organisasi sehingga menghasilkan apa yang disebut dengan collective intelligence, yakni sebuah sinergi pemikiran di antara anggota organisasi. Kaidah dari penegakan disiplin ini adalah bahwa kecerdasan tim selalu lebih baik dari kecerdasan perorangan.
Itu sebabnya, disiplin ini sangat meniscayakan arti pentingnya membangun kemitraan atau kesetaraan (alignment) untuk mencapai hasil yang diinginkan. Membangun komunikasi yang didasarkan kepada prinsip saling memahami, saling mendengar dan saling melengkapi adalah kunci yang akan menentukan keberhasilan membangun disiplin ini.
Disiplin kelima adalah membangun cara berpikir secara sistem atau berpikir sistemik, system thinking. Peter Senge menempatkan disiplin ini sekaligus sebagai "disiplin yang kelima" yang kemudian menjadi judul dari karya terkenal yang ditulisnya, "The Fith Discipline". Alasannya, disiplin ini selain berfungsi sebagai fondasi sekaligus juga berfungsi mengintegrasikan penegakan empat disiplin yang lainnya.
Inti dari penegakan disiplin ini adalah kemampuan untuk melihat dan memahami setiap kejadian sebagai sebuah sistem, yakni entitas keseluruhan yang dibangun oleh bagian-bagian yang saling berhubungan, saling berkaitan, dan karenanya saling menentukan. Syarat awal untuk memulai berpikir sistemik adalah membangun kesadaran bahwa kejadian apa pun, fisik maupun nonfisik, dipahami sebagai sebuah hasil dari keseluruhan interaksi antarunsur dalam batas-batas sebuah sistem.
Berpikir sistemik juga sering disebut dengan cara berpikir generatif karena mampu melihat setiap kejadian tidak dari fenomena yang muncul kepermukaan, tetapi dari dinamika strukturnya yang paling dalam. Di sini, berpikir sistemik merupakan sebuah disiplin untuk memahami kerumitan dan perubahan.
Karena kemampuannya dalam memahami dinamika sistem, orang-orang dengan kemampuan berpikir ini juga biasanya begitu cerdas membuat sebuah pengungkit (leaverage) sederhana, namun dengan efek ungkit yang demikian berarti. Indikatornya, ketika dihadapkan kepada sebuah masalah, orang-orang dengan kemampuan berpikir ini cenderung akan bertindak membuat solusi berdasarkan kepada akar penyebabnya, bukan kepada gejala yang tampak ke permukaan. Selalu mengutamakan solusi yang bersifat fundamental, bukan symptomatik. Selalu berpikir jauh ke depan, bukan jangka sesaat.
Yang menarik, orang-orang dengan kemampuan cara berpikir ini cenderung tak pernah menyalahkan orang lain, karena ia selalu melihat dirinya sebagai bagian dari setiap kejadian yang muncul. The enemy is not there, itulah yang menjadi landasan pemikirannya.
Itulah lima disiplin yang mesti dibangun dalam menjalankan roda organisasi pembelajaran. Peter Senge melihat kelima disiplin tersebut sebagai serangkaian prinsip dan praktik yang mesti dikuasai dan mengintegrasikannya dalam kehidupan sebuah organisasi. Dua disiplin pertama, personal mastery dan mental model, dibangun dalam rangka mengubah cara berpikir orang-orang dalam organisasi. Sementara itu, tiga disiplin berikutnya, yakni visi bersama, pembelajaran tim, dan berpikir sistemik, dibangun untuk mengubah hubungan interaksi orang-orangnya. Untuk bisa melakukan itu semua, Peter Senge mengingatkan bahwa tidak semua pemimpin akan mampu melakukannya. Oleh karena itu, perlu ada perubahan gaya kepemimpinan dalam semua level kepemimpinan birokrasi.
Dalam organisasi pembelajaran, pemimpin adalah perancang, pengasuh, dan guru. Sebagai perancang, tugas utama pemimpin adalah menciptakan dan mengintegrasikan seluruh komponen organisasi yang dipimpinnya menuju sebuah visi yang telah disepakatinya. Sebagai pengasuh, apa saja yang dilakukan sang pemimpin selalu ditujukan dalam rangka mengasuh dan menjaga semua anggota yang ada dalam organisasi yang dipimpinnya, bahkan demi kepemimpinannya, ia akan rela mengorbankan visi pribadinya semata demi kepentingan visi bersama organisasinya.
Sebagai guru, pemimpin bukan berarti harus mengajarkan kepada orang bagaimana mencapai visinya, melainkan lebih kepada upaya untuk memberi dukungan pada setiap orang untuk belajar. Pemimpin yang memberdayakan, singkatnya, itulah sosok pemimpin yang diharapkan mampu membangun organisasi pembelajaran, pemimpin yang diharapkan mampu membawa birokrasi cerdas dan cakap mengelola perubahan. Tidak mudah memang, tapi itulah tindakan yang mestinya mulai dilakukan. Mengabaikannya akan berarti membiarkan eksistensi birokrasi sebagai pelayan publik di negeri ini kian terpinggirkan karena ditelan perubahan.***
DAFTAR PUSTAKA
Marquardt, J. Michael. 1996. Building The Learning Organization. New York: McGraww Hill,.

Senge, Peter M. 2002. Buku Pegangan Disiplin Kelima (The Fifth Discipline Field book). Alih Bahasa Hari Suminto. Batam: Interaksara,