KONSTRUKSI VERBA DAN
MEKANISME PERUBAHAN VALENSI VERBA
BAHASA SABU
Oleh: Gud Reacht Hayat Padje
Pendahuluan
Secara umum dapat dikatakan bahwa istilah valensi dalam
linguistik dirujuk sebagai kemampuan verba, yang menempati unsur predikat
sebuah kalimat, dalam mengiat argumen. Aisen (dalam Hopper dan Thompson, ed.,
1982:8) mengemukakan bahwa valensi digunakan untuk merujuk ke jumlah argumen
nominal dalam sebuah klausa pada tataran apa saja. Katamba (1993:266)
menyebutkan bahwa valensi adalah julah argumen dalam kerangka sintaktis
dikaitkan dengan verba yang disebabkan oleh fungsi-fungsi gramatikal.
Hal senada juga diatakan oleh Van Valin Jr., dan LaPolla
(1999:147-150) bahwa banyaknya argumen yang diikat oleh verba disebut valensi.
Sementara herbert (dalam Hopper dan Thompson, 1982:211,213) mengemukakan bahwa
pengertian valensi umumnya dikaitkan dengan ketransitifan, baik secara
struktural maupun tradisional. Ketransitifan struktural adalah struktur yang
berhubungan dengan sebuah predikat dan dua argumen bukan oblik; S dan OL.
Ketransitifan tradisional adalah ketransitifan secara menyeluruh pada klausa;
merujuk ke membawa atau memindahkan tindakan dari agen ke pasien (lihat juga
Katamba, 1993:256-258); bahkan Katamba menegaskan bahwa pada dasarnya valensi
ditentukan oleh perilaku verba. Oleh karena itu verba dapat disebut sebagai
verba transitif (ekatransitif dan dwitransitif). Kajian tentang valensi yang
disamakan dengan ketransitifan juga dikemukakan oleh Van Valin Jr., dan LaPolla
(1999;148-150), bahwa verba yang mempunyai satu argumen inti disebur verba
intransitif, yang mempunyai dua argumen disebut ekatransitif, dan yang memilik
tiga argumen disebut dwitransitif.
Kajian tentang valensi dan ketransitifan verba bahasa
Sabu dalam tulisan inidimaksudkan agarstruktur argumen bahasa Sabu dapat
terungkap lebih rinci sehingga dapat mendukung pembahasan tentang aliansi gramatikal
bahasa Sabu.
Pembahasan
Pembahasan tentang valensi dan ketransitifan bahasa Sabu
dalam kajian ini akan lebih banyak melihat struktur argumen dan titik pandang
predikasi (kalimat utuh) sedangkan bagian tentang valensi dan ketransitifan ini
lebih terpusat pada verba dan perilaku semantis verbanya.
Perhatikan contoh betikut ini:
1 1.
Ro hari-hari medja’dhi pa kedera
3JM semua duduk PREP
kursi
‘Mereka semua duduk di kursi’
2.
Ama Giri pida
bapak Giri pindah
‘Bapak Giri pindah’
3.
Kepue due nani keloli la loko
pohon lontar PEN roboh
PREP sungai
‘Pohon lontar itu roboh ke sungai’
Verba intransitif medja’dhi, pida,
keloli apabila diberi pemarkah TR pe- menjadi verba transitif.
Masing-masing verba yang telah mendapat pemarkah morfologis tersebut berubah
(naik) ketransitifannya dengan bukti bahwa ketiganya membutuhkan argumen kedua
yaitu objek (gramatikal). Dengan kata lain, valensi verba intransitif tersebut
menjadi naik seiring dengan perubahan ketransitifannya. Berdasarkan kenyataan
ini, ketransitifan (valensi) verba bahasa Sabu menjadi naik dengan penambahan
pemarkah morfologis tertentu.
Selanjutnya, cermati klausa dengan verba transitif bahasa Sabu berikut ini.
4.
Mince bhuki (huri)
NAMA tulis (surat)
‘Mince menulis (surat)'
5.
A’a nga ari nga’a (nga’a)
Kakak dan adik makan (nasi)
‘Kakak dan adik makan (nasi)’
Pada dua kalimat di atas, secara semantis, verba bhuk i ‘menulis’ dan nga’a
‘makan’ telah dapat dipahami tanpa kehadiran objek huri ‘surat’ dan nga’a
‘nasi’. Namun ketransitifan dari verba tersebut (secara sintaksis) lebih tinggi
jika dibandingkan dengan kelompok verba yang secara sintaksis ataupun semantis
tidak memerlukan argumen kedua (intransitif). Keadaan ini menyebabkan kehadiran
argumen kedua (objek gramatikal) diperlukan secara sintaktis. Verba seperti
inilah yang dikelompokkan oeh sebagian ahli sebagai verba semi transitif (lihat
Alwi dkk., 2009:91-93). Namun apabila diperhatikan secara sungguh-sungguh sifat
perilaku sintaktis dan semantis verbanya tetap digolongkan sebagai verba
transitif. Hanya saja ketransitifanna (secara semantis) lebih lemah jika
dibandingkan dengan kelompok verba transitif yang lebih nyata.
Berikut ini disajikan contoh-contoh kalimat bahasa Sabu dengan verba
transitif lainnya.
6.
A’a ya tao djala nadu’u
Kakak 1TG POS membuat jaring ikan
‘Kakak saya membuat jaring ikan’
7.
Ihianga daurae ya ha’e
kepue due
Teman tetangga 1TG
POS panjat pohon lontar
‘teman tetangga saya memanjat pohon lontar’
8.
No heleo bhunga nani
3TG lihat bunga itu
‘dia melihat bunga itu’
Verba tao ‘membuat’ ha’e ‘panjat’ heleo ‘lihat’ adalah verba transitif. Setiap verba tersebut
mengikat dua argumen (argumen subjek dan objek) yang kehadirannya bersifat
wajib. Dengan kata lain, masing-masing verba transitif dalam contoh di atas
dikatakan sebagai verba bervalensi dua. Verba transitif yang mengikat dua
argumen seperti itu biasa disebut sebagai verba ekatransitif. Valensi
(ketransitifan) verba seperti contoh (6, 7, dan 8) di atas akan naik apabila
verba tersebut diberi pemarkah morfologis dengan menghadirkan pemarkah TR pe-.
Perhatikan contoh berikut ini.
9.
A’a ya ta pe-tao
natu ari ya djala nadu’u
Kakak 1TG IMPER TR-buat untuk adik 1TG jaring ikan
‘Kakak saya mau membuatkan adik saya jaring ikan’
10. Ihianga daurae ya
ta pe-ha’e
no kepue
due
Teman tetangga 1TG IMPER TR-panjat 3TG pohon lontar
‘teman tetangga saya mau memanjatkan dia pohon
lontar’
11. No pe-heleo pa ama bhunga nani
3TG TR-lihat PREP bapak bunga itu
‘dia memperlihatkan pada bapak bunga itu’
Apabila diperbandingkan contoh (6, 7, dan 8) dengan (9, 10, 11) maka dapat
dilihat hal berikut. Verba tao
‘membuat yang mengikat dua argumen (bervalensi dua) akan memunculkan argumen
ketiga, apabila verba tao ‘membuat’
mendapat TR pe- menjadi petao ‘membuatkan’.
Hal itu terlihat pada contoh nomor 9, yang memunculkan argumen ketiga yaitu ari ya ‘adik saya’. Demikian juga pada
contoh nomor 10 dengan verba transitif ha’e
‘memanjat’ dengan mendapat pemarkah TR pe-
menjadi peha’e ‘memanjatkan’
memunculkan argumen baru no ‘dia’
sehingga verba peha’e mengikat tiga
argumen. Pada contoh 11 dengan verba heleo
‘melihat’ dengan mendapat pemarkah TR pe-,
menjadi peheleo ‘memperlihatkan’ juga
memunculkan argumen baru yaitu pa ama
‘pada bapak’, sehingga verba itu mengikat tiga argumen. Dengan demikian dalam
klausa transitif bahasa Sabu, TR pe-
mempunyai fungsi meningkatkan valensi, yaitu dari verba bervalensi dua menjadi
verba bervalensi tiga.
Simpulan
Berdasarkan uraian sebelumnya, penulis dapat menyimpulkan bahwa:
1. Predikasi bahasa Sabu dapat pula terdiri atas satu predikat verbal dengan
satu argumen (verbal intransitif) dan dengan dua argumen (verba ekatransitif)
atau dengan tiga argumen (verba dwitransitif)
2. Ketransitifan verba dalam bahasa Sabu dapat naik apabila pada verba
tersebut mendapat pemarkah transitif pe-
3. Pemarkah pe- adalah pemarkah
transitif yang berfungsi menaikkan valensi verba bahasa Sabu.
Daftar Rujukan
Alwi, Hasan., dkk., 2009. Modalitas
dalam Bahasa Indonesia. Seri IDEP. Yoyakarta: Kanisius
Alwi, Hasan., dkk., 2009. Tata Bahasa
Baku Bahasa Indonesia. Edisi Ketiga. Jakarta: Balai Pustaka
Hopper, Paul J., dan S. A. Thompson, 1982. Syntex and Semantics: Studies in Transitivity. (Volume 15). New
York: Academic Press Inc.
Katamba, Francis. 1993. Morfology.
London: The Macmillan Press.
Van Valin, Jr., Robert D., dan Randy J. LaPolla. 1999. Syntax: Structure, Meaning, and Function. Cambridge: Cambridge
University Press.