Translate

Minggu, 29 November 2015

KLITIK DAN AFIKS

KLITIK DAN AFIKS
Oleh: Gud Reacht Hayat Padje

1. Klitik
1.1 Konsep Klitik
Klitik berasal dari bahasa Yunani yaitu dari kata kerja, klinein yang berarti ‘bersandar’ (Verhaar, 1982;62). Ia mengatakan bahwa klitik selalu dipakai untuk menyebutkan kata-kata singkat yang tidak beraksen dan selalu bersandar pada suatu kata sebagai konstituennya. Kridalaksana (1993:113) mengatakan klitik ialah bentuk terikat, secara fonologis tidak mempunyai tekanan sendiri atau yang tidak dianggap morfem terikat, tetapi mempunyai ciri-ciri kata karena dapat berlaku sebagai bentuk bebas.
Elson dan Piccket dalam Damanik (1999), membatasi klitik sebagai suatu bentuk yang keberadaannya selalu bersandar pada bentuk lain sebagai bentuk yang lebih tinggi serta secara leksikal memiliki arti. Hasil analisisnya membuktikan bahwa suatu klitika hampir sama atau mendekati ciri afiks. Hanya perbedaannya klitika masih memiliki arti leksikal sedangkan afiks tidak. Ciri lain yang ditemukan adalah bahwa klitik mendekati ciri sebuah kata kendatipun bentuknya tidak mencirikan sebuah kata (selalu melekat pada bentuk lain sebagai bentuk yang lebih tinggi). Dengan demikian, dikatakannya bahwa klitika adalah bukan afiks dan juga bukan kata.
Katamba (2001), memberikan pendapat yang sama bahwa klitik memiliki arti tanpa ada tekanan dari bagian kata yang lebih tinggi sesuai dengan kaidah fonologis yang memisahkan antara kelompok afiks dan klitik.
Ramlan (1987:31) mengatakan, satuan-satuan ku, mu, dan nya dalam tuturan biasa tidak dapat berdiri sendiri, dan secara gramatikal juga tidak memiliki kebebasan. Jelaslah bahwa satuan-satuan itu adalah satuan-satuan terikat. Namun, ada perbedaan antara satuan-satuan itu dengan ber-, ter-, men-, dan sebagainya. Perbedaannya adalah satuan-satuan ku, mu, dan nya memiliki arti leksikal, sedangkan satuan-satuan ber-, ter-, men-, dan sebagainya tidak memiliki arti leksikal karena itu, satuan-satuan ku, mu, dan nya tidak digolongkan kedalam afiks melainkan golongan yang biasa disebut klitika. Klitika dapat dibedakan menjadi dua golongan, yaitu proklitik dan enklitik. Proklitik terletak dimuka, misalnya ku- pada kuambil, kau pada kauambil, sedangkan enklitik terletak dibelakang, misalnya -ku pada rumahku, -mu pada rumahmu, dan –nya pada rumahnya.
Sanda dalam Damanik (1999) merumuskan ciri-ciri klitika sebagai berikut;
a) Klitika tidak dapat berdiri sendiri.
b) Klitika selalu muncul bersama-sama bentuk lain yang dianggap lebih tinggi kategorinya dan berposisi sebagai proklitik dan enklitik.
c) Klitika dapat dilekatkan dengan lebih dari satu kategori kata.
d) Klitika sama dengan afiks (bentuknya) dan sama dengan kata (makna/artinya).

1.2 Bentuk Klitika
Bentuk klitika tidak terlepas dari posisi klitik yang melekat pada bentuk lain. Penampakan atau rupa satuan bahasa disebut bentuk (Kridalaksana, 1993:28). Klitik yang secara fonologis terikat dengan kata yang mengikutinya disebut proklitik (Kridaklasana, 1993:179), seperti ku menggantikan ‘aku’ pada contoh (3) berikut.. Klitik yang terikat dengan unsur yang mendahuluinya disebut enklitik (Kridalaksana, 1993:51), seperti -nya pada contoh (5) dibawah ini.
(3)     Kubebaskan yang mencuri
‘        Saya membebaskan pencuri’.
(4)     Kupergi lihat yang mati
‘        Aku pergi melihat orang meninggal’.
(5)     Besar sekali kepalanya
          ‘Kepalanya besar sekali’.
Dalam Tata Bahasa Baku Indonesia terdapat bentuk ku, mu, nya, lah, tah, kah, dan pun sebagai enklitik (Moeliono, 1992:247). Bentuk kah, lah, pun, dan tah tidak dapat berdiri sendiri, tetapi selalu melekat pada bentuk lain.

1.3 Fungsi Klitik
Peran unsur dalam suatu ujaran dan hubungannya secara struktural dengan unsur lain disebut fungsi (Kridalaksna, 1993:60). Fungsi klitik dalam sebuah kalimat dapat saja mengubah kalimat menjadi kategori lain atau kelas kata lain. Dalam bahasa Indonesia terdapat bentuk ku ‘aku’ yang berkategori nomina. Apabila melekat pada kata ambil yang berjenis verba menjadi verba ‘kuambil’.

1.4 Makna Klitik
Makna adalah hubungan dalam arti kesepadanan atau ketidaksepadanan antara bahasa dan alam di luar bahasa atau ujaran dan juga hal yang ditunjukkannya (Kridalaksana, 1993:133). Menurut Djajasudarma (1993:5), makna adalah pertautan yang ada di antara unsur bahasa itu sendiri (terutama kata-kata). Jadi makna klitik adalah kesepadanan atau pertautan yang terkandung dalam unsur-unsur klitik.
Misalnya dalam bahasa Indonesia klitik ‘ku’, ‘mu’ dan ‘nya’ mengandung makna posesif ‘kepunyaan’.
Contoh:      (10)   Tidak ada rumahku
                            ‘Rumahku tidak ada’.
                   (11)   Kenapa kamu dipukul pamanmu
                            ‘Kenapa pamanmu memukulmu’.
                   (12)   ‘Sepatunya baru’

2. Afiks
2.1 Konsep Afiks
Afiks adalah morfem yang harus dilekatkan pada morfem yang lain untuk membentuk kata yang berfungsi dalam ujaran (Pateda, 1998:77). Sedangkan Cahyono (1995:110) menyatakan bahwa afiks adalah bentuk terikat yang bila ditambahkan pada bentuk lain akan merubah makna gramatikal.
Ramlan (1990:37) menyatakan bahwa afiks adalah satuan gramatik yang dalam suatu kata merupakan suatu unsur yang bukan kata dan bukan pokok kata yang mempunyai kesanggupan melekat pada satuan-satuan lain untuk membentuk kata atau pokok kata baru. Hal ini sejalan dengan pendapat Muchlis (1990:37) menyatakan bahwa afiks adalah bentuk kebahaan terikat yang hanya mempunyai arti yang gramatikal, yang merupakan unsur langsung suatu kata, tetapi bukan suatu bentuk dasar yang mempunyai kesanggupan untuk membentuk kata baru.
Berdasarkan beberapa pendapat di atas, penulis menyimpulkan bahwa afiks adalah morfem terikat yang mempunyai makna gramatikal dan mempunyai kesanggupan melekat pada satuan-satuan lain sehingga terbentuk kata atau kata kompleks.  
2.2 Pembagian Afiks
Pateda (1998:70) menyatakan bahwa afiks itu banyak jenisnya, meskipun afiks dapat dibagi berdasarkan (a) posisisnya, (b) kemampuan melekatnya, dan (c) asalnya.
2.2.1 Afiks Dilihat dari Segi Posisinya
Dilihat dari segi posisinya, afiks dapat dibedakan atas:
1.    Prefiks yaitu afiks yang melekat di depan sebuah morfem dasar untuk membentuk kata yang berfungsi dalam ujaran. Misalnya me-, ber-, per-, dan sebagainya.
2.    Infiks yaitu afiks yang melekat di tengah sebuah morfem dasar untuk membentuk kata yang berfungsi dalam ujaran. Misalnya-el-, -em-, dan -er-.
3.    Sufiks yaitu afiks yang melekat di akhir sebuah morfem dasar untuk membentuk kata yang berfungsi dalam ujaran. Misalnya –kan, -i, dan –an.
4.    Konfiks adalah afiks yang harus dilekatkan serempak pada sebuah morfem dasar untuk membentuk kata yang berfungsi dalam ujaran. Misalnya ke-…-an dalam kehujanan.
5.    Gabungan afiks adalah afiks yang terdiri dari dua atau lebih afiks yang tidak perlu melekat secara serempak untuk membentuk kata yang berfungsi dalam ujaran. Misalnya mem-per pada kata indah menjadi memperindah.
Selain jenis-jenis afiks ini, Kridalaksana (1984:30) menyatakan masih ada afiks lain bila ditinjau dari segi posisinya yaitu sebagai berikut.
1.    Simulfiks adalah kombinasi afiks yang memanifestasikan dengan ciri-ciri segmental yang dileburkan pada bentuk dasar. Dalam bahasa Indonesia simulfiks dimanifestasikan dengan nasalisasi dari fonem pertama suatu bentuk dasar dan fungsinya ialah menverbalkan nomina, adjektiva atau kelas kata lain, penggunaan bentuk-bentuk tersebut hanya kita dapatkan dalam bahasa tidak baku.
Contoh:
Dari kata dasar kopi menjadi ngopi.
Dari kata kebut menjadi ngebut.
2.    Superfiks atau suprafiks adalah afiks yang memanifestasikan dengan ciri-ciri suprasegmental atau afiks yang berhubungan dengan morfem suprasegmental. Afiks ini tidak terdapat dalam bahasa Indonesia.
2.2.2 Afiks Dilihat dari Segi Asalnya
Ditinjau dari segi asalnya, afiks dapat dibedakan menjadi afiks asli dan afiks asing atau afik bahasa asing (Pateda, 1988:71).
1.    Afiks asli yaitu afiks yang berasal dari bahasa penutur. Misalnya dalam bahasa Indonesia me-, ter-, -kan.
2.    Afiks asing atau afiks yang belum mampu keluar dari bahasa aslinya yaitu bahasa Arab (Pateda, 1988:71).
Di samping itu beliau juga menyinggung afiks serapan yaitu afiks yang berasal dari bahasa lain (yang bukan bahasa penutur) tetapi afiks tersebut mampu keluar dari lingkungan di mana afiks itu berasal.
Pernyataan di atas sejalan dengan pendapat Ramlan (1987:66) mengemukakan sebagai berikut:
Selain –in seperti muslimin dan –at seperti muslimat yang merupakan afiks bahasa aslinya adalah bahasa Arab, tidak atau belum dapat digolongkan sebagai afik dalam bahasa Indonesia, meskipun di samping muslimin dan muslimat terdapat kata muslim oleh karena afiks-afiks tersebut belum dianggap melekat pada satuan lain yang tidak berasal dari bahasa Aslinya yaitu bahasa Arab.
Selanjutnya ditegaskan pula bahwa afiks itu berasal dari bahasa asing atau berasal dari bahasa sendiri itu tidak penting. Yang terpenting adalah soal produktivitas afiks-afiks tersebut (Ramlan, 1987:61).
2.2.3 Afiks Dilihat dari Segi Produktivitasnya 
Ditinjau dari segi melekatnya, afiks dibagi menjadi:
1.    Afiks produktif yaitu afiks yang mempunyai kemampuan besar untuk dilekatkan pada macam-macam morfem lain untuk membentuk kata yang berfungsi dalam ujaran. Misalnya me-, di-,-an.
2.    Afiks improduktif yaitu afiks yang mempunyai kemampuan atau kesanggupan untuk dilekatkan pada morfem lain. Misalnya –el-,-em- (Pateda, 1988:70).
Ramlan (1987:61) membagi afiks berdasarkan produktifitasnya dan membedakannya dua golongan yaitu afiks yang produktifitas yaitu afiks yang mempunyai kesanggupan yang besar untuk melekat pada kata-kata atau morfem-morfem seperti ternyata dari distribusinya terbatas pada beberapa kata yang tidak lagi membentuk kata-kata baru.
2.3 Fungsi Afiks
Sebuah afiks dikatakan berfungsi gramatikal kalau bentuk dasarnya berbeda dengan jenis bentukan yang baru. Misalnya kata makan berbeda dengan jenisnya makanan tergolong jenis kata benda. Perubahan jenis kata kerja menjadi kata benda merupakan salah satu fungsi gramatikal afiks –an atau dengan kata lain, salah satu fungsi afiks –an adalah bentuk kata benda.
Fungsi semantik adalah fungsi yang berhubungan dengan makna kata. Makna kata sepeda berbeda dengan makna kata bersepeda. Kata bersepeda bermakna atau mempunyai sepeda. Jadi, fungsi semantik yang dikandung afiks ber- antara lain mempunyai atau menggunakan.
Fungsi afiks membentuk kata infleksional dan derivasional. Infleksional yaitu semua perubahan  afiks yang mempertahankan identitas kata. Hal ini terdapat dalam kata membaca yang dibentuk dari prefiks mem- dan baca (verba) dalam proses ini tidak terjadi perubahan kelas kata (masih verba). Derivasional yaitu semua perubahan yang melampaui semua perubahan identitas atau dengan kata lain setiap perubahan yang terjadi maka akan berpindah kelas kata (berderivasi). Hal ini terlihat pada bentukan kata pekerjaan yang dibentuk dari morfem pe-an dengan kata dasar kerja. Verba dasar kerja berubah menjadi kelas kata nomina pekerjaan (Verhaar, 1986:62).

2.4 Ciri-Ciri Afiks
Pada umumnya selalu dikacaukan dengan unsur-unsur terikat lainnya seperti partikel dan klitik. Hal ini bisa saja terjadi karena bila ditinjau dari segi posisinya memang sulit dibedakan. Oleh karena itu, berikut dikemukakan beberapa rumusan yang membedakan afiks dengan unsur-unsur lainnya.
Goris Keraf (1987:92) membedakan rumusan perbedaan partikel dengan afiks sebagai berikut.
1.    Partikel tidak memindahkan jenis kata (kelas kata) yang diikutinya, sebaliknya sufiks (juga semua afiks) memindahkan semua kelas kata dari kata yang diikutinya.
2.    Kata-kata yang diikuti oleh sebuah partikel biasanya bermacam-macam jenis kata sebaliknya sufiks (juga semua afiks) mengelompokkan bermacam-macam jenis itu menjadi satu jenis kata yang sama.
3.    Bidang gerak partikel adalah sintaksis termasuk frase dan klausa sedangkan sufiks (juga semua afiks) bergerak dalam bidang morfologi.

3. Simpulan
Berdasarkan uraian di atas, maka penulis dapat menyimpulkan bahwa ciri-ciri yang membedakan afiks dengan klitik adalah sebagai berikut:
1.    Klitik dari segi makna, mempunyai makna leksikal; sedangkan afiks mempunyai makna grmamatikal.
2.    Klitik dari segi fungsi tidak dapat/tidak mengubah jenis kata atau kelas kata, sedangkan afiks dapat mengubah makna dan kelas kata.
3.    Klitik secara gramatikal mempunyai sifat bebas (tidak terikat) sedangkan afiks mempunyai sifat terikat (Yasin, 1988:51).

DAFTAR PUSTAKA

Katamba, Francis. 1993. Morfology. London: The Macmillan Press.
Kridalaksana, Harimurti. 1993. Pembentukan Kata dalam Bahasa Indonesia. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.
Ramlan, M. 1987. Morfologi : Suatu Tinjauan Deskriptif. Yogyakarta : CV. Karyono.
Verhaar, J. W. M. 1982. Asas-Asas Linguistk Umum. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press


Tidak ada komentar:

Posting Komentar