KLITIK DAN AFIKS
Oleh: Gud Reacht Hayat Padje
1. Klitik
1.1
Konsep Klitik
Klitik
berasal dari bahasa Yunani yaitu dari kata kerja, klinein yang berarti ‘bersandar’ (Verhaar, 1982;62). Ia
mengatakan bahwa klitik selalu dipakai untuk menyebutkan
kata-kata singkat yang tidak beraksen dan selalu bersandar pada suatu kata sebagai konstituennya. Kridalaksana
(1993:113) mengatakan klitik ialah bentuk terikat,
secara fonologis tidak mempunyai tekanan sendiri atau yang tidak dianggap morfem terikat, tetapi mempunyai ciri-ciri
kata karena dapat berlaku sebagai bentuk bebas.
Elson
dan Piccket dalam Damanik (1999), membatasi klitik sebagai suatu bentuk yang keberadaannya selalu bersandar
pada bentuk lain sebagai bentuk yang lebih
tinggi serta secara leksikal memiliki arti. Hasil analisisnya membuktikan bahwa suatu klitika hampir sama atau mendekati
ciri afiks. Hanya perbedaannya klitika masih
memiliki arti leksikal sedangkan afiks tidak. Ciri lain yang ditemukan adalah bahwa klitik mendekati ciri sebuah kata
kendatipun bentuknya tidak mencirikan sebuah
kata (selalu melekat pada bentuk lain sebagai bentuk yang lebih tinggi). Dengan demikian, dikatakannya bahwa
klitika adalah bukan afiks dan juga bukan kata.
Katamba
(2001), memberikan pendapat yang sama bahwa klitik
memiliki arti tanpa ada tekanan dari bagian kata yang lebih tinggi sesuai
dengan kaidah fonologis yang memisahkan antara
kelompok afiks dan klitik.
Ramlan
(1987:31) mengatakan, satuan-satuan ku, mu, dan nya dalam tuturan biasa tidak dapat berdiri sendiri, dan
secara gramatikal juga tidak memiliki kebebasan.
Jelaslah bahwa satuan-satuan itu adalah satuan-satuan terikat. Namun, ada perbedaan antara satuan-satuan itu dengan ber-,
ter-, men-, dan sebagainya. Perbedaannya
adalah satuan-satuan ku, mu, dan nya memiliki arti leksikal,
sedangkan satuan-satuan ber-, ter-, men-, dan
sebagainya tidak memiliki arti leksikal karena itu, satuan-satuan
ku, mu, dan nya tidak digolongkan kedalam afiks melainkan
golongan yang biasa disebut klitika. Klitika dapat
dibedakan menjadi dua golongan, yaitu proklitik
dan enklitik. Proklitik terletak dimuka, misalnya ku- pada kuambil,
kau pada kauambil,
sedangkan
enklitik terletak dibelakang, misalnya -ku pada rumahku, -mu pada
rumahmu, dan –nya pada rumahnya.
Sanda
dalam Damanik (1999) merumuskan ciri-ciri klitika sebagai berikut;
a)
Klitika tidak dapat berdiri sendiri.
b)
Klitika selalu muncul bersama-sama bentuk lain yang dianggap lebih tinggi kategorinya dan berposisi sebagai
proklitik dan enklitik.
c)
Klitika dapat dilekatkan dengan lebih dari satu kategori kata.
d)
Klitika sama dengan afiks (bentuknya) dan sama dengan kata (makna/artinya).
1.2
Bentuk Klitika
Bentuk
klitika tidak terlepas dari posisi klitik yang melekat pada bentuk lain. Penampakan atau rupa satuan bahasa disebut
bentuk (Kridalaksana, 1993:28). Klitik yang
secara fonologis terikat dengan kata yang mengikutinya disebut proklitik (Kridaklasana, 1993:179), seperti ku menggantikan
‘aku’ pada contoh (3) berikut..
Klitik yang terikat dengan unsur yang mendahuluinya disebut enklitik (Kridalaksana, 1993:51), seperti -nya
pada contoh (5) dibawah ini.
(3)
Kubebaskan yang mencuri
‘ Saya membebaskan pencuri’.
(4)
Kupergi
lihat yang mati
‘ Aku pergi melihat orang meninggal’.
(5)
Besar sekali kepalanya
‘Kepalanya besar sekali’.
Dalam
Tata Bahasa Baku Indonesia terdapat bentuk ku, mu, nya, lah, tah, kah, dan pun sebagai enklitik (Moeliono,
1992:247). Bentuk kah, lah, pun, dan tah tidak dapat
berdiri sendiri, tetapi selalu melekat pada bentuk lain.
1.3
Fungsi Klitik
Peran
unsur dalam suatu ujaran dan hubungannya secara struktural dengan unsur lain disebut fungsi (Kridalaksna,
1993:60). Fungsi klitik dalam sebuah kalimat dapat
saja mengubah kalimat menjadi kategori lain atau kelas kata lain. Dalam bahasa Indonesia terdapat bentuk ku ‘aku’
yang berkategori nomina. Apabila melekat pada kata
ambil yang berjenis verba menjadi verba ‘kuambil’.
1.4
Makna Klitik
Makna
adalah hubungan dalam arti kesepadanan atau ketidaksepadanan antara bahasa dan alam di luar bahasa atau ujaran
dan juga hal yang ditunjukkannya (Kridalaksana,
1993:133). Menurut Djajasudarma (1993:5), makna adalah pertautan yang ada di antara unsur bahasa itu
sendiri (terutama kata-kata). Jadi makna klitik adalah
kesepadanan atau pertautan yang terkandung dalam unsur-unsur klitik.
Misalnya
dalam bahasa Indonesia klitik ‘ku’, ‘mu’ dan ‘nya’ mengandung makna posesif ‘kepunyaan’.
Contoh:
(10) Tidak
ada rumahku
‘Rumahku tidak ada’.
(11) Kenapa kamu dipukul pamanmu
‘Kenapa pamanmu
memukulmu’.
(12) ‘Sepatunya baru’
2. Afiks
2.1 Konsep Afiks
Afiks
adalah morfem yang harus dilekatkan pada morfem yang lain untuk membentuk kata
yang berfungsi dalam ujaran (Pateda, 1998:77). Sedangkan Cahyono (1995:110)
menyatakan bahwa afiks adalah bentuk terikat yang bila ditambahkan pada bentuk
lain akan merubah makna gramatikal.
Ramlan
(1990:37) menyatakan bahwa afiks adalah satuan gramatik yang dalam suatu kata
merupakan suatu unsur yang bukan kata dan bukan pokok kata yang mempunyai
kesanggupan melekat pada satuan-satuan lain untuk membentuk kata atau pokok
kata baru. Hal ini sejalan dengan pendapat Muchlis (1990:37) menyatakan bahwa
afiks adalah bentuk kebahaan terikat yang hanya mempunyai arti yang gramatikal,
yang merupakan unsur langsung suatu kata, tetapi bukan suatu bentuk dasar yang
mempunyai kesanggupan untuk membentuk kata baru.
Berdasarkan
beberapa pendapat di atas, penulis menyimpulkan bahwa afiks adalah morfem
terikat yang mempunyai makna gramatikal dan mempunyai kesanggupan melekat pada
satuan-satuan lain sehingga terbentuk kata atau kata kompleks.
2.2
Pembagian Afiks
Pateda
(1998:70) menyatakan bahwa afiks itu banyak jenisnya, meskipun afiks dapat
dibagi berdasarkan (a) posisisnya, (b) kemampuan melekatnya, dan (c) asalnya.
2.2.1
Afiks Dilihat dari Segi Posisinya
Dilihat
dari segi posisinya, afiks dapat dibedakan atas:
1. Prefiks
yaitu afiks yang melekat di depan sebuah morfem dasar untuk membentuk kata yang
berfungsi dalam ujaran. Misalnya me-, ber-, per-, dan sebagainya.
2. Infiks
yaitu afiks yang melekat di tengah sebuah morfem dasar untuk membentuk kata
yang berfungsi dalam ujaran. Misalnya-el-, -em-, dan -er-.
3. Sufiks
yaitu afiks yang melekat di akhir sebuah morfem dasar untuk membentuk kata yang
berfungsi dalam ujaran. Misalnya –kan, -i, dan –an.
4. Konfiks
adalah afiks yang harus dilekatkan serempak pada sebuah morfem dasar untuk
membentuk kata yang berfungsi dalam ujaran. Misalnya ke-…-an dalam kehujanan.
5. Gabungan
afiks adalah afiks yang terdiri dari dua atau lebih afiks yang tidak perlu
melekat secara serempak untuk membentuk kata yang berfungsi dalam ujaran.
Misalnya mem-per pada kata indah menjadi memperindah.
Selain
jenis-jenis afiks ini, Kridalaksana (1984:30) menyatakan masih ada afiks lain
bila ditinjau dari segi posisinya yaitu sebagai berikut.
1. Simulfiks
adalah kombinasi afiks yang memanifestasikan dengan ciri-ciri segmental yang
dileburkan pada bentuk dasar. Dalam bahasa Indonesia simulfiks dimanifestasikan
dengan nasalisasi dari fonem pertama suatu bentuk dasar dan fungsinya ialah
menverbalkan nomina, adjektiva atau kelas kata lain, penggunaan bentuk-bentuk tersebut
hanya kita dapatkan dalam bahasa tidak baku.
Contoh:
Dari
kata dasar kopi menjadi ngopi.
Dari
kata kebut menjadi ngebut.
2. Superfiks
atau suprafiks adalah afiks yang memanifestasikan dengan ciri-ciri
suprasegmental atau afiks yang berhubungan dengan morfem suprasegmental. Afiks
ini tidak terdapat dalam bahasa Indonesia.
2.2.2
Afiks Dilihat dari Segi Asalnya
Ditinjau
dari segi asalnya, afiks dapat dibedakan menjadi afiks asli dan afiks asing
atau afik bahasa asing (Pateda, 1988:71).
1. Afiks
asli yaitu afiks yang berasal dari bahasa penutur. Misalnya dalam bahasa
Indonesia me-, ter-, -kan.
2. Afiks
asing atau afiks yang belum mampu keluar dari bahasa aslinya yaitu bahasa Arab
(Pateda, 1988:71).
Di
samping itu beliau juga menyinggung afiks serapan yaitu afiks yang berasal dari
bahasa lain (yang bukan bahasa penutur) tetapi afiks tersebut mampu keluar dari
lingkungan di mana afiks itu berasal.
Pernyataan
di atas sejalan dengan pendapat Ramlan (1987:66) mengemukakan sebagai berikut:
Selain
–in seperti muslimin dan –at seperti muslimat yang merupakan afiks bahasa
aslinya adalah bahasa Arab, tidak atau belum dapat digolongkan sebagai afik
dalam bahasa Indonesia, meskipun di samping muslimin dan muslimat terdapat kata
muslim oleh karena afiks-afiks tersebut belum dianggap melekat pada satuan lain
yang tidak berasal dari bahasa Aslinya yaitu bahasa Arab.
Selanjutnya
ditegaskan pula bahwa afiks itu berasal dari bahasa asing atau berasal dari
bahasa sendiri itu tidak penting. Yang terpenting adalah soal produktivitas
afiks-afiks tersebut (Ramlan, 1987:61).
2.2.3
Afiks Dilihat dari Segi Produktivitasnya
Ditinjau
dari segi melekatnya, afiks dibagi menjadi:
1. Afiks
produktif yaitu afiks yang mempunyai kemampuan besar untuk dilekatkan pada
macam-macam morfem lain untuk membentuk kata yang berfungsi dalam ujaran.
Misalnya me-, di-,-an.
2. Afiks
improduktif yaitu afiks yang mempunyai kemampuan atau kesanggupan untuk
dilekatkan pada morfem lain. Misalnya –el-,-em- (Pateda, 1988:70).
Ramlan
(1987:61) membagi afiks berdasarkan produktifitasnya dan membedakannya dua
golongan yaitu afiks yang produktifitas yaitu afiks yang mempunyai kesanggupan
yang besar untuk melekat pada kata-kata atau morfem-morfem seperti ternyata
dari distribusinya terbatas pada beberapa kata yang tidak lagi membentuk
kata-kata baru.
2.3 Fungsi
Afiks
Sebuah
afiks dikatakan berfungsi gramatikal kalau bentuk dasarnya berbeda dengan jenis
bentukan yang baru. Misalnya kata makan berbeda dengan jenisnya makanan
tergolong jenis kata benda. Perubahan jenis kata kerja menjadi kata benda
merupakan salah satu fungsi gramatikal afiks –an atau dengan kata lain, salah
satu fungsi afiks –an adalah bentuk kata benda.
Fungsi
semantik adalah fungsi yang berhubungan dengan makna kata. Makna kata sepeda
berbeda dengan makna kata bersepeda. Kata bersepeda bermakna atau mempunyai
sepeda. Jadi, fungsi semantik yang dikandung afiks ber- antara lain mempunyai
atau menggunakan.
Fungsi
afiks membentuk kata infleksional dan derivasional. Infleksional yaitu semua
perubahan afiks yang mempertahankan identitas kata. Hal ini terdapat
dalam kata membaca yang dibentuk dari prefiks mem- dan baca (verba) dalam
proses ini tidak terjadi perubahan kelas kata (masih verba). Derivasional yaitu
semua perubahan yang melampaui semua perubahan identitas atau dengan kata lain
setiap perubahan yang terjadi maka akan berpindah kelas kata (berderivasi). Hal
ini terlihat pada bentukan kata pekerjaan yang dibentuk dari morfem pe-an
dengan kata dasar kerja. Verba dasar kerja berubah menjadi kelas kata nomina
pekerjaan (Verhaar, 1986:62).
2.4
Ciri-Ciri Afiks
Pada
umumnya selalu dikacaukan dengan unsur-unsur terikat lainnya seperti partikel
dan klitik. Hal ini bisa saja terjadi karena bila ditinjau dari segi posisinya
memang sulit dibedakan. Oleh karena itu, berikut dikemukakan beberapa rumusan
yang membedakan afiks dengan unsur-unsur lainnya.
Goris
Keraf (1987:92) membedakan rumusan perbedaan partikel dengan afiks sebagai
berikut.
1. Partikel
tidak memindahkan jenis kata (kelas kata) yang diikutinya, sebaliknya sufiks
(juga semua afiks) memindahkan semua kelas kata dari kata yang diikutinya.
2. Kata-kata
yang diikuti oleh sebuah partikel biasanya bermacam-macam jenis kata sebaliknya
sufiks (juga semua afiks) mengelompokkan bermacam-macam jenis itu menjadi satu
jenis kata yang sama.
3. Bidang
gerak partikel adalah sintaksis termasuk frase dan klausa sedangkan sufiks
(juga semua afiks) bergerak dalam bidang morfologi.
3. Simpulan
Berdasarkan uraian di atas, maka penulis dapat menyimpulkan bahwa ciri-ciri
yang membedakan afiks dengan klitik adalah sebagai berikut:
1. Klitik
dari segi makna, mempunyai makna leksikal; sedangkan afiks mempunyai makna
grmamatikal.
2. Klitik
dari segi fungsi tidak dapat/tidak mengubah
jenis kata atau kelas kata, sedangkan afiks dapat mengubah makna dan kelas
kata.
3. Klitik
secara gramatikal mempunyai sifat bebas (tidak terikat) sedangkan afiks
mempunyai sifat terikat (Yasin, 1988:51).
DAFTAR PUSTAKA
Katamba, Francis. 1993. Morfology.
London: The Macmillan Press.
Kridalaksana,
Harimurti. 1993. Pembentukan Kata dalam Bahasa Indonesia. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.
Ramlan, M.
1987. Morfologi : Suatu Tinjauan Deskriptif.
Yogyakarta : CV. Karyono.
Verhaar, J. W. M. 1982. Asas-Asas Linguistk Umum. Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press
Tidak ada komentar:
Posting Komentar