Translate

Tampilkan postingan dengan label Linguistik. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Linguistik. Tampilkan semua postingan

Senin, 23 November 2015

KONSTRUKSI VERBA DAN MEKANISME PERUBAHAN VALENSI VERBA BAHASA SABU

KONSTRUKSI VERBA DAN
MEKANISME PERUBAHAN VALENSI VERBA BAHASA SABU
Oleh: Gud Reacht Hayat Padje

Pendahuluan
Secara umum dapat dikatakan bahwa istilah valensi dalam linguistik dirujuk sebagai kemampuan verba, yang menempati unsur predikat sebuah kalimat, dalam mengiat argumen. Aisen (dalam Hopper dan Thompson, ed., 1982:8) mengemukakan bahwa valensi digunakan untuk merujuk ke jumlah argumen nominal dalam sebuah klausa pada tataran apa saja. Katamba (1993:266) menyebutkan bahwa valensi adalah julah argumen dalam kerangka sintaktis dikaitkan dengan verba yang disebabkan oleh fungsi-fungsi gramatikal.
Hal senada juga diatakan oleh Van Valin Jr., dan LaPolla (1999:147-150) bahwa banyaknya argumen yang diikat oleh verba disebut valensi. Sementara herbert (dalam Hopper dan Thompson, 1982:211,213) mengemukakan bahwa pengertian valensi umumnya dikaitkan dengan ketransitifan, baik secara struktural maupun tradisional. Ketransitifan struktural adalah struktur yang berhubungan dengan sebuah predikat dan dua argumen bukan oblik; S dan OL. Ketransitifan tradisional adalah ketransitifan secara menyeluruh pada klausa; merujuk ke membawa atau memindahkan tindakan dari agen ke pasien (lihat juga Katamba, 1993:256-258); bahkan Katamba menegaskan bahwa pada dasarnya valensi ditentukan oleh perilaku verba. Oleh karena itu verba dapat disebut sebagai verba transitif (ekatransitif dan dwitransitif). Kajian tentang valensi yang disamakan dengan ketransitifan juga dikemukakan oleh Van Valin Jr., dan LaPolla (1999;148-150), bahwa verba yang mempunyai satu argumen inti disebur verba intransitif, yang mempunyai dua argumen disebut ekatransitif, dan yang memilik tiga argumen disebut dwitransitif.
Kajian tentang valensi dan ketransitifan verba bahasa Sabu dalam tulisan inidimaksudkan agarstruktur argumen bahasa Sabu dapat terungkap lebih rinci sehingga dapat mendukung pembahasan tentang aliansi gramatikal bahasa Sabu.
Pembahasan
Pembahasan tentang valensi dan ketransitifan bahasa Sabu dalam kajian ini akan lebih banyak melihat struktur argumen dan titik pandang predikasi (kalimat utuh) sedangkan bagian tentang valensi dan ketransitifan ini lebih terpusat pada verba dan perilaku semantis verbanya.
Perhatikan contoh betikut ini:

1   1.      Ro     hari-hari          medja’dhi     pa               kedera
     3JM   semua              duduk           PREP         kursi
     ‘Mereka semua duduk di kursi’

    2.      Ama   Giri     pida
    bapak Giri    pindah
   ‘Bapak Giri pindah’

    3.      Kepue      due      nani     keloli     la           loko
    pohon      lontar   PEN    roboh     PREP    sungai
   ‘Pohon lontar itu roboh ke sungai’

Verba intransitif medja’dhi, pida, keloli apabila diberi pemarkah TR pe- menjadi verba transitif. Masing-masing verba yang telah mendapat pemarkah morfologis tersebut berubah (naik) ketransitifannya dengan bukti bahwa ketiganya membutuhkan argumen kedua yaitu objek (gramatikal). Dengan kata lain, valensi verba intransitif tersebut menjadi naik seiring dengan perubahan ketransitifannya. Berdasarkan kenyataan ini, ketransitifan (valensi) verba bahasa Sabu menjadi naik dengan penambahan pemarkah morfologis tertentu.
Selanjutnya, cermati klausa dengan verba transitif bahasa Sabu berikut ini.

      4.      Mince           bhuki   (huri)
      NAMA         tulis     (surat)
      ‘Mince menulis (surat)'

      5.      A’a                nga      ari       nga’a          (nga’a)
     Kakak           dan      adik     makan        (nasi)
    ‘Kakak dan adik makan (nasi)’

Pada dua kalimat di atas, secara semantis, verba bhuk i ‘menulis’ dan nga’a ‘makan’ telah dapat dipahami tanpa kehadiran objek huri ‘surat’ dan nga’a ‘nasi’. Namun ketransitifan dari verba tersebut (secara sintaksis) lebih tinggi jika dibandingkan dengan kelompok verba yang secara sintaksis ataupun semantis tidak memerlukan argumen kedua (intransitif). Keadaan ini menyebabkan kehadiran argumen kedua (objek gramatikal) diperlukan secara sintaktis. Verba seperti inilah yang dikelompokkan oeh sebagian ahli sebagai verba semi transitif (lihat Alwi dkk., 2009:91-93). Namun apabila diperhatikan secara sungguh-sungguh sifat perilaku sintaktis dan semantis verbanya tetap digolongkan sebagai verba transitif. Hanya saja ketransitifanna (secara semantis) lebih lemah jika dibandingkan dengan kelompok verba transitif yang lebih nyata.
Berikut ini disajikan contoh-contoh kalimat bahasa Sabu dengan verba transitif lainnya.

     6.      A’a      ya                  tao                djala           nadu’u
     Kakak 1TG POS      membuat       jaring           ikan
    ‘Kakak saya membuat jaring ikan’

     7.      Ihianga  daurae     ya             ha’e     kepue     due
     Teman   tetangga   1TG POS panjat  pohon    lontar
    ‘teman tetangga saya memanjat pohon lontar’

     8.      No     heleo   bhunga            nani
     3TG  lihat     bunga              itu
    ‘dia melihat bunga itu’

Verba tao ‘membuat’ ha’e ‘panjat’ heleo ‘lihat’ adalah verba transitif. Setiap verba tersebut mengikat dua argumen (argumen subjek dan objek) yang kehadirannya bersifat wajib. Dengan kata lain, masing-masing verba transitif dalam contoh di atas dikatakan sebagai verba bervalensi dua. Verba transitif yang mengikat dua argumen seperti itu biasa disebut sebagai verba ekatransitif. Valensi (ketransitifan) verba seperti contoh (6, 7, dan 8) di atas akan naik apabila verba tersebut diberi pemarkah morfologis dengan menghadirkan pemarkah TR pe-. Perhatikan contoh berikut ini.

9.         A’a       ya      ta           pe-tao     natu     ari   ya      djala   nadu’u
Kakak  1TG  IMPER  TR-buat untuk   adik 1TG  jaring  ikan
‘Kakak saya mau membuatkan adik saya jaring ikan’

10.     Ihianga daurae             ya        ta                pe-ha’e         no        kepue   due
Teman    tetangga          1TG     IMPER      TR-panjat     3TG     pohon  lontar
‘teman tetangga saya mau memanjatkan dia pohon lontar’

11.     No          pe-heleo           pa        ama            bhunga         nani
3TG       TR-lihat           PREP  bapak bunga         itu
‘dia memperlihatkan pada bapak bunga itu’

Apabila diperbandingkan contoh (6, 7, dan 8) dengan (9, 10, 11) maka dapat dilihat hal berikut. Verba tao ‘membuat yang mengikat dua argumen (bervalensi dua) akan memunculkan argumen ketiga, apabila verba tao ‘membuat’ mendapat TR pe- menjadi petao ‘membuatkan’. Hal itu terlihat pada contoh nomor 9, yang memunculkan argumen ketiga yaitu ari ya ‘adik saya’. Demikian juga pada contoh nomor 10 dengan verba transitif ha’e ‘memanjat’ dengan mendapat pemarkah TR pe- menjadi peha’e ‘memanjatkan’ memunculkan argumen baru no ‘dia’ sehingga verba peha’e mengikat tiga argumen. Pada contoh 11 dengan verba heleo ‘melihat’ dengan mendapat pemarkah TR pe-, menjadi peheleo ‘memperlihatkan’ juga memunculkan argumen baru yaitu pa ama ‘pada bapak’, sehingga verba itu mengikat tiga argumen. Dengan demikian dalam klausa transitif bahasa Sabu, TR pe- mempunyai fungsi meningkatkan valensi, yaitu dari verba bervalensi dua menjadi verba bervalensi tiga.

Simpulan
Berdasarkan uraian sebelumnya, penulis dapat menyimpulkan bahwa:
1.      Predikasi bahasa Sabu dapat pula terdiri atas satu predikat verbal dengan satu argumen (verbal intransitif) dan dengan dua argumen (verba ekatransitif) atau dengan tiga argumen (verba dwitransitif)
2.      Ketransitifan verba dalam bahasa Sabu dapat naik apabila pada verba tersebut mendapat pemarkah transitif pe-
3.      Pemarkah pe- adalah pemarkah transitif yang berfungsi menaikkan valensi verba bahasa Sabu.

Daftar Rujukan
Alwi, Hasan., dkk., 2009. Modalitas dalam Bahasa Indonesia. Seri IDEP. Yoyakarta: Kanisius
Alwi, Hasan., dkk., 2009. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Edisi Ketiga. Jakarta: Balai Pustaka
Hopper, Paul J., dan S. A. Thompson, 1982. Syntex and Semantics: Studies in Transitivity. (Volume 15). New York: Academic Press Inc.
Katamba, Francis. 1993. Morfology. London: The Macmillan Press.

Van Valin, Jr., Robert D., dan Randy J. LaPolla. 1999. Syntax: Structure, Meaning, and Function. Cambridge: Cambridge University Press.

Sabtu, 21 November 2015

LINGUISTIK KEBUDAYAAN: PERSPEKTIF TEORETIS DAN ORIENTASI METODOLOGIS DALAM ANALISIS FUNGSI

LINGUISTIK KEBUDAYAAN: PERSPEKTIF TEORETIS DAN ORIENTASI METODOLOGIS DALAM ANALISIS FUNGSI

Oleh:
Gud Reacht Hayat Padje


1.    Pengantar
Terminologi linguistik budaya pertama kali diperkenalkan di Indonesia oleh Suharno (1981/1982) dengan sebutan “Linguistik Kultural” dalam tulisannya yang berjudul “Linguistik Kultural: Peranan Manusia dalam Telaah Bahasa”. Kemudian, istilah keilmuan yang sama juga dikemukakan oleh Palmer (1996) dengan sebutan “Cultural Linguistics” dalam sebuah tulisannya yang berjudul “Toward a Theory of Cultural Linguistics”, yang diterbitkan di USA oleh University of Texas Press. Cikal bakal keilmuan linguistik budaya sudah dikembangkan jauh sebelumnya di Amerika Serikat dan Eropah. Franz Boas (1858—1942) seorang ahli Antropologi dan ahli bahasa-bahasa Indian Amerika menyebutnya sebagai “Linguistik Antropologi”, sedangkan di Eropah disebut “Etnolinguistik”, seperti yang dapat dilihat dalam beberapa tulisan, antara lain: Hymes (1980), Seong (1997), dan Duranti (2001). Adapun cakupan studi linguistik budaya, antara lain menelaah: (1) hubungan intrinsik antara bahasa dan budaya, dan bahasa dipandang sebagai fenomena budaya; (2) memberikan perhatian pada fungsi yang diperankan bahasa dan bahasa sebagai institusi budaya; (3) kajiannya berkaitan dengan istilah “language in culture” atau “language and culture”, ada makna (budaya) di balik bahasa; (4) studinya menjangkau semua aspek (tujuh aspek) universal dari kebudayaan; (5) sifat penelitiannya yang cenderung kualitatif yang bermuara pada penyesuaian proses dan hasilnya (band. Riana, 2003: 8-9).
Realitas bahasa, baik sebagai teks maupun konteks merupakan salah satu sistem dalam kebudayaan. Bahasa dan kebudayaan berinteraksi timbal balik. Studi bidang ilmu interdisipliner bahasa dan budaya ditengarai sebagai “Linguistik Budaya”. Palmer (1996: 96—113) menyebutkan bahwa perhatian utama linguistik budaya adalah bukan bagaimana orang mengatakan suatu realitas yang objektif, melainkan bagaimana orang mengatakan sesuatu yang dipikirkan? Pikiran berpengaruh dan menentukan bahasa yang diformulasikan dalam sebuah pertanyaan menarik, yakni bagaimana orang membingkai berbagai pengalaman dengan maknanya yang abstrak? Artinya, ada makna (budaya) di balik penggunaan bahasa (band. Foley, 1997: 1; Duranti, 1997: 1-2; Pastika, 2004: 35—37).
Studi bahasa dalam perspektif linguistik budaya mempertimbangkan pandangan atau pikiran konseptual yang relevan dari para tokoh yang sering disitir oleh I Gusti Ngurah Bagus dan para pengikutnya dalam kuliah-kuliahnya di Program Pascasarjana, Fakultas Sastra, Universitas Udayana Denpasar (1996—2005), antara lain: Humboldt (1830), Saussure (1857—1913), Boas (1888—1897), Malinowsky (1923), Halliday (1925—1989), Firth (1952—1959), Sapir – Whorf (1956), Jacobson (1960), Hymes (1967), Ricoeur (1976), Alisjahbana (1977), Suharno (1981/1982), Thomson (1984), Masinambow (1985), dan Kridalaksana (1991).
Kecuali Saussure, semua tokoh pemikir bahasa di atas terkesan mengedepankan makna daripada bentuk. Saussure (1977:1—101) dalam konsep linguistik struktural terpengaruh oleh ajaran sosiologi “Durkheim” yang menganut aliran filsafat positivisme. Namun, ajaran-ajaran linguistiknya masih menempatkan studi makna menjadi bagian yang tidak terpisahkan dengan bentuk, seperti tampak pada konsep dasarnya, antara lain: significant(yang menandai, segi bentuk) dan signifie (yang ditandai, segi isi, atau makna). Sehubungan dengan hal tersebut, Kridalaksana (1991: 14—16) menyebutkan bahwa sistem bahasa (tekstual dan kontekstual) mencakup hubungan struktural dan fungsional; penjabarannya terdiri atas: bentuk, fungsi, dan makna (band. Alisjahbana, 1977: 290-291; Hoed, 1994: 1—26).
Selama ini, linguistik telah bergerak dari orientasi modern menuju purna modern (postmodernism). Orientasi tersebut ditandai dengan telah kaburnya garis-garis pemisah antara linguistik dan ilmu-ilmu sosial. Tampak pula tumpang tindih linguistik dengan psikologi, sosiologi, antropologi, etnologi, dan sebagainya (Verhaar, 1994: 14—21). Konsekuensinya, linguistik budaya yang juga disebut linguistik antropologi, antropolinguistik, atau etnolinguistik sebagai salah satu bidang ilmu interdisipliner yang mempelajari hubungan bahasa dan budaya juga memasuki paradigma purna modern. Eratnya hubungan bahasa dan kebudayaan dapat dilihat pada penggunaan bahasa yang di dalamnya termasuk satuan lingual yang fungsional (fonologi dan tata bahasa) sebagai realitas pengalaman, pengetahuan, dan pandangan pemakainya (Kuper dan Kuper, 1996: 547-548; Palmer, 1996: 13—23; band. Duranti, 1997: 11).
Hubungan bahasa dan kebudayaan dalam kaitannya dengan studi komunikasi lintas budaya, Wierzbicka (1991: 2—4) pada intinya mengemukakan bahwa perbedaan budaya berimplikasi pada perbedaan cara berinteraksi. Perbedaan yang terdapat pada setiap bahasa alamiah dapat dieksplikasi dengan cara yang sama melalui makna asali. Adapun makna asali terdiri atas seperangkat makna yang diwariskan manusia sejak lahir tidak berubah walaupun ada perubahan dalam kebudayaannya. Selanjutnya, Goddard (1994: 2) menegaskan bahwa makna asali merupakan refleksi dari pembentukan pikiran (band. Whorf, 1979: 207—219; Wierzbicka, 1996: 31; Beratha, 1998: 287—290).
Kuper dan Kuper (1996: 547-548) menyebutkan keterkaitan bahasa dan budaya dalam tiga hal, yaitu: bahasa sebagai bagian budaya, bahasa sebagai indeks budaya, dan bahasa sebagai simbol budaya. Dimensi hubungan bahasa dan budaya tersebut dapat dijabarkan bersinergi dengan beberapa konsep terkait lainnya berikut ini.
a.       Bahasa sebagai Bagian Budaya: Sebagian besar perilaku manusia dilingkupi oleh bahasa, sehingga bahasa menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari budaya. Realitas upacara, nyanyian, ceritera, mantera, kutukan, doa, dan hukum adalah tindakan, kejadian, atau peristiwa bahasa. Siapapun yang akan memasuki dan memahami sebuah budaya harus menguasai bahasanya karena hanya melalui bahasa, seseorang bisa berpartisipasi dan mengalami sendiri sebuah budaya (Kuper dan Kuper, 1996: 547-548).
Bahasa dan kebudayaan dapat dipandang sebagai sistem yang terpisah, atau sistem hubungan timbal balik yang koordinatif dan subordinatif. Apabila pengutamaan dilakukan pada bahasa, maka bahasalah yang menjadi penentu corak kebudayaan. Penonjolan sistem bahasa yang demikian sudah menjadi pendirian teoretis Sapir – Whorf. Carrol (1956) memperkenalkan pendirian teoretis dimaksud sebagai “Hipotesis Sapir–Whorf” yang antara lain menyebutkan bahwa pikiran berada di bawah kekuasaan bahasa. Ilmu yang dikuasai manusia adalah sesuai dengan bahasanya karena sistem bahasa yang membentuk idea atau pemrogram kegiatan mental. Artinya, kita menangkap dan menganalisis dunia luar (pengalaman) sesuai dengan sistem bahasa yang ada dalam pikiran. Hipotesis itu pada dasarnya mengandung prinsip “bahasa mempengaruhi pikiran”. Prinsip itulah yang disebut dengan relativitas kebahasaan (linguistic relativity) (Whorf, 1979: 207—219; Wardhaugh, 1986: 212—213).
Analisis bahasa dan kebudayaan yang berkembang hingga dewasa ini pada umumnya memperhatikan hipotesis Sapir – Whorf. Hipotesis tersebut ditengarai memiliki kelebihan dan kekurangan. Dalam banyak hal, realitas bahasa mencerminkan pikiran. Artinya, bahasa yang dipakai dalam interaksi sosial merupakan pengejawantahan pikiran penuturnya. Pikiran berpengaruh dan tercermin pada bahasa yang dipakai oleh penuturnya. Humboldt (1830—1835) menyebutkan bahwa hakikat bahasa dan pikiran berhubungan sangat erat dan tidak terpisahkan. Ia menegaskan bahwa bahasa sebagai kemampuan kreatif (energia), bukan sekadar produk (ergon). Bahasa tidak seharusnya diidentifikasikan sebagai produk mati hasil analisis tata bahasawan. Kemampuan berbahasa adalah suatu bagian penting dari pikiran manusia. Humboldt mengikuti jalan pikiran Herder mengenai jati diri masyarakat-masyarakat bahasa yang berbeda sebagai ciri khas dari bangsa atau kelompok pemakai bahasa (Miller, 1968: 32—34; Robin, 1990: 242—249).
Pengaruh pikiran terhadap bahasa sebagai perilaku-perilaku manusia, Chauchard (1983: 13—40) menyebutkan bahwa bahasa adalah penemuan manusia yang paling menakjubkan. Manusia sungguh-sungguh “sapien” (berpikir, berbudi, dan bijaksana). Hanya karena ia “loquens” (berbahasa, bertutur) dapat belajar bercakap-cakap. Hal seperti tu hanya bisa dilakukan atau dicapai oleh manusia karena perkembangan otaknya. Kemudian, kemajuan pikiran manusia dapat menghasilkan bahasa yang membuatnya mampu untuk mengembangkan penalaran-penalaran baru. Sejalan dengan itu, Santoso (1982: 225—229) menyebutkan bahwa sesuatu yang pokok adalah pemikiran konseptual dinyatakan dalam bahasa. Fungsi bahasa yang paling dasar adalah menjelmakan pemikiran konseptual ke dalam dunia kehidupan. Pikiran dan bahasa berpengaruh timbal balik. Implikasinya dalam penilaian, yaitu jelas atau kaburnya pikiran seseorang tercermin pada bahasanya. Apabila bahasanya sudah terang, barulah pemikiran dapat diteliti mengenai benar dan salahnya melalui pemakaian bahasanya secara konseptual (Suriasumantri, 1982: 1—40; Nababan, 1992: 140—161; Sihombing, 1994: 3—9).
Sejalan dengan konsep hubungan sistem bahasa dan kebudayaan di depan, Masinambow (1985: 180—189) menyebutnya sebagai sistem sosial budaya, yang terdiri atas: sistem ideologi, sistem sosial, teknosistem, dan sistem kebahasaan (verbal dan non verbal). Konsep sistem sosial budaya tersebut pada dasarnya menekankan bahwa sistem kebahasaan terwujud ke dalam tingkah laku kebahasaan dan bahasa-bahasa. Ia memberikan model pemahaman lebih lanjut mengenai proses perubahan bahasa yang sifatnya saling tergantung dengan aspek-aspek kebudayaan lainnya dalam jaringan sistem, yaitu sistem budaya, sistem bahasa, sistem sosial, dan kebudayaan material.
b.      Bahasa sebagai Indeks Budaya: Realitas bahasa merupakan produk dan proses dari perannya sebagai bagian kebudayaan. Bahasa menyingkap cara berpikir dan cara mengorganisasikan pengalaman dalam sebuah budaya. Tentu saja bahasa menyediakan istilah-istilah leksikal dari beragam benda budaya, nilai, dan perilaku yang diakui dalam budaya tersebut. Bahasa juga menyediakan tipologi asli, yang acuan-acuannya dikelompokkan, seperti: warna, gejala penyakit, hubungan kekerabatan, ritual, makanan, tanaman, bagian-bagian tubuh, spesies binatang, dan sebagainya. Semua itu merupakan tipologi bahasa. Ikatan-ikatan budaya serta kualitas-kualitas sistematis yang mendapat pengakuan budaya diungkapkan oleh bahasa berdasarkan ikatan budaya terkait (Kuper dan Kuper, 1996: 548).
c.       Bahasa sebagai Simbol Budaya: Bahasa merupakan sistem simbol yang paling lengkap bagi manusia, sehingga tidak mengherankan bahasa menjadi simbol sebuah etnokultur. Hal itu bukan hanya kasus suatu bagian mewakili keseluruhan, tetapi juga berlaku sebaliknya, bagian tersebut menjadi suatu rangkaian simbol seutuhnya. Hal tersebut dalam beberapa kasus menjadi penyebab bagi dirinya sendiri. Pergerakan dan kompleksitas penggunaan bahasa sebagai simbol dapat menggerakkan rakyat dalam membela dan mengangkat budaya yang terkait dengan mereka (Kuper dan Kuper, 1996: 548).
Linguistik Boasian menaruh perhatian pada etnosemantik, yakni aspek psikologis penutur asli yang terdapat pada wacana yang aktual. Palmer (1996: 35—37) melakukan studi wacana dengan sebuah sintesis linguistik kognitif yang ditengarai sebagai linguistik budaya, yang meliputi: linguistik Boasian (lingusitik dan etnologi), etnosemantik, dan etnografi berbahasa (band. Hymes, 1964: 15—22).
Hubungan bahasa dalam suatu jaringan sistem kebudayaan; bahasa terletak di antara sistem sosial dan sistem budaya. Hubungan tersebut menyiratkan bahasa berfungsi sebagai sarana pergaulan sosial dan mengungkapkan atau melambangkan sistem budaya. Adapun sistem budaya tercermin pada ketiga aspek kebudayaan dalam jaringan sistem itu. Sistem bahasa mencerminkan sistem sosial dan kebudayaan fisik (material). Sistem sosial tercermin pada kebudayaan fisik (Masinambow, 1985: 180—189; band. Alisjahbana, 1985: 141—153; Suharno, 1985: 66—75; Koentjaraningrat, 1992: 1—8).
Seperti yang telah dikemukakan di depan bahwa objek materi kajian bahasa dalam perspektif linguistik budaya meliputi: bentuk, fungsi, dan makna; maka dalam lanjutan tulisan ini kami akan menguraikan tentang perspektif analisis fungsi.

2. Konsep Dasar Teori Fungsi
Dalam ilm-ilmu sosial, konsep dasar fungsi dapat ditelusuri lewat dua jalur utama (Paloma, 1987:23-26) yaitu:
a.    Jalur Comte-an tentang struktur dan fungsi-fungsi sosial yang kemudian dikembangkan oleh Spencer. Masalah pokok teorinya adalah persamaan antara masyarakat dengan organisme, keduanya sama-sama mengalami pertumbuhan. Jalur inilah yang kemudian melahirkan teori-teori positivisme.
b.    Jalur Durkheim-ian. Masyarakat sebagai totalitas organis, di dalamnya setiap totalitas memiliki fungsi tertentu. Selanjutnya teori ini diembangkan oleh Malinowski dan Radcliffe-Brown, sehingga keduanya kemudian disebut sebagai tokoh-tokoh Fungsionalisme. Di Amerika, fungsionalisme ini dikembangkan oleh Parsons dan Merton.

3. Teori Fungsionalisme Bahasa
Linguistik fungsional hampir seluruhnya masuk ke dalam kawasan purna modern. Isu postmodern yang merambah dunia kelinguistikan memusatkan perhatian pada semestaan bahasa, tipologi bahasa, analisis wacana, tata bahasa “lahiriah” dari kebutuhan penyampaian informasi dan deiksis. Persoalan yang digarap adalah sifat-sifat tipologi bahasa atas dasar data yang diambil sebanyak-banyaknya (Verhaar, 1995:19).
Bahasa mempunyai dua fungsi secara garis besarnya, yaitu fungsi intern bahasa (intralingual) dan fungsi ekstern bahasa (ekstralingual). Konsep fungsi intern bahasa meliputi aspek bentuk formal bahasa, seperti: bunyi, kata, frase, klausa, kalimat, paragraf, dan wacana. Kategori bahasa pada tataran wacana terdapat sarana, piranti, atau upaya kohesi dan koherensi yang harus ditentukan statusnya atas dasar nilai fungsionalnya. Konsep fungsi ekstern bahasa berkaitan dengan konteks situasi dan sosiokultural. Hymes (1962) mengemukan tujuh fungsi bahasa yang tipikal sehubungan dengan konteks etnografi komunikasi seiring dengan akronim “SPEAKING[1]. Adapun model fungsi bahasa yang dikembangkan oleh Hymes diadopsi dari konsepnya Jacobson (1960) yang telah melakukan penyempurnaan terhadap teori fungsi dari Buhler (1934). Tiga model fungsi bahasa yang penting dan pantas dikemukakan di sini, yang kehadirannya merupakan reaksi dari ketidakpuasan terhadap model fungsi bahasa sebelumnya, yaitu: model tradisional, model etnografi komunikasi, dan model metafungsi (Lyon, 1970: 143; Halliday, 1970: 101; Robinson, 1972: 154—172; Halliday dan Hasan, 1989: 5—14).
Jacobson (1960) merevisi dan memodifikasi model tiga fungsi bahasa (kognitif, evaluatif, dan afektif) menjadi enam fungsi yang bertumpu pada aspek-aspek pembicaraan, yaitu: (1) fungsi emotif, ekspresif, afektif terhadap aspek pembicara (addresser); (2) fungsi konatif terhadap pendengar (addressee); (3) fungsi referensial, kognitif, denotatif terhadap aspek konteks (contecxt); (4) fungsi puitik terhadap aspek pesan (message); (5) fungsi fatik terhadap aspek kontak (contact); (6) fungsi metalinguistik terhadap aspek kode (code) (Tarigan, 1987: 11—14; Suparno, 2002: 7—9; Ricoeur, 2003: 63).
Tujuh fungsi bahasa dari Hymes (1962), yaitu fungsi ekspresif (emotif), direktif (konatif, persuasif), puitis, kontak (fisik, psikologi), metalinguistik, referensial, dan kontekstual (situasi). Keserasian penggunaan bahasa tergantung pada berbagai kombinasi dari unsur-unsur peristiwa bahasa, yang terdiri atas: pengirim pesan (sender), penerima pesan (receiver), bentuk pesan (message form); saluran (channel), yang disampaikan secara lisan atau tertulis; sandi (code), yang meliputi: dialek, bahasa, atau jargon; judul, topik (topic), dan latar atau situasi (setting or situation) (Stub, 1983: 46-47; Tarigan, 1987: 11—14; Kridalaksana, 1991: 8-9; Ibrahim, 1993: 215—224).
Bahasa, yakni realitas wacana sebagai teks linguistik sistemik fungsional mencakup: (1) bahasa sebagai realitas fisik, yakni medan wacana; (2) bahasa sebagai realitas sosial, yakni pelibat wacana; (3) bahasa sebagai realitas semiotik di dalam teks, yakni sarana wacana. Sehubungan dengan hal tersebut, mikrofungsi yang meliputi fungsi ideasional, fungsi interpersonal, dan fungsi tekstual merupakan metafungsi yang dianggap sebagai mekanisme yang mengubah makna menjadi sistem gramatikal; struktur gramatikal dan tindak ujar (Halliday dan Hasan, 1989: 15—28). Sebelumnya, Pike (1967) menggunakan istilah etik dan emik terhadap hubungan metafungsi yang bersifat umum dan khusus. Penentuan kebermaknaan terhadap realitas bahasa tersebut selalu terkait dengan ketiga metafungsi itu. Jadi, linguistik sistemik fungsional memberikan tekanan pada makna berdasarkan fungsi bahasa dalam masyarakat. Makna dapat dilihat dari segi relasi dan akibatnya dalam sistem. Demikianlah fungsionalisme, yang memberikan tekanan pada relasi dan fungsi (band. Bell, 1974; Hoed, 1994: 10; Ibrahim, 1995: 132—137).

4. Teori Fungsionalisme Budaya
Teori fungsionalisme dalam ilmu Antropologi mulai dikembangkan oleh seorang pakar yang sangat penting dalam sejarah teori antropologi, yaitu Bronislaw Malinowski (1884-1942). Ia kemudian mengembangkan suatu kerangka teori baru untuk menganlisis fungsi kebudayaan manusia, yang disebutnya dengan teri fungsionalisme kebudayaan, atau a funcitional theory of culture. Ia kemudian mengambil keputusan untuk menetap di Amerika Serikat, ketika ia menjadi guru besar Antropologi di University Yale tahun 1942. Sayang tahun itu ia juga meninggal dunia. Buku mengenai fungsional yang baru yang telah ditulisnya, diredaksi oleh muridnya H. Crains dan menerbitkannya dua tahun selepas itu (Malinowski 1944).
Bagi Malinowski (Ihroni 2006), mengajukan sebuah orientasi teori yang dinamakan fungsionalisme, yang beranggapan atau berasumsi, “…bahwa semua unsur kebudayaan bermanfaat bagi masyarakat di mana unsur itu berada. Dengan kata lain, pandangan fungsionalisme terhadap kebudayaan mempertahankan bahwa setiap pola kelakuan yang sudah menjadi kebisaaan, setiap kepercayaan dan sikap yang merupakan bagian dari kebudayaan dalam suatu masyarakat, memenuhi beberapa fungsi mendasar dalam kebudayaan yang bersangkutan.“
Pandangan Malinowski (Ihroni, 2006), fungsi dari satu unsur budaya adalah kemampuannya untuk memenuhi beberapa kebutuhan dasar atau beberapa kebutuhan yang timbul dari kebutuhan dasar yaitu kebutuhan sekunder dari para warga suatu masyarakat. Kebutuhan pokok adalah seperti makanan, reproduksi (melahirkan keturunan), merasa enak badan (bodily comfort), keamanan, kesantaian, gerak dan pertumbuhan. Beberapa aspek dari kebudayaan memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar itu. Dalam pemenuhan kebutuhan dasar itu, muncul kebutuhan jenis kedua (derived needs), kebutuhan sekunder yang harus juga dipenuhi oleh kebudayaan.
Pemikiran Malinowski mengenai syarat-syarat metode geografi berintegrasi secara fungsional yang dikembangkannya dalam kuliah-kuliahnya tentang metode-metode penelitian lapangan dalam masa penulisannya ketiga buku etnografi mengenai kebudayaa Trobriand selanjutnya, menyebabkan bahwa konsepnya mengenai fungsi sosial dari adat, tingkah laku manusia, dan pranata-pranata sosial menjadi mantab juga. Dalam hal itu ia membedakan antara fungsi sosial dalam tiga tingkat abstraksi (Koentjaraningrat, 1987:167), yaitu:
1.     Fungsi sosial dari suatu adat, pranata sosial atau unsur kebudayaan pada tingkat abstraksi pertama mengenai pengaruh atau efeknya, terhadap adat, tingkah laku manusiadan pranata sosial yang lain dalam masyarakat;
2.     Fungsi sosial dari suatu adat, pranata sosial atau unsur kebudayaan pada tingkat abstraksi kedua mengenai pengaruh atau efeknya, terhadap kebutuhan suatu adat atau pranata lain untuk mencapai maksudnya, seperti yang dikonsepsikan oleh warga, masyarakat yang bersangkutan;
3.     Fungsi sosial dari suatu adat, pranata sosial atau unsur kebudayaan pada tingkat abstraksi ketiga mengenai pengaruh atau efeknya, terhadap kebutuhan mutlak untuk berlangsungnya secara integrasi dari suatu sistem sosial yang tertentu.
Contohnya: unsur kebudayaan yang memenuhi kebutuhan akan makanan menimbulkan kebutuhuan sekunder yaitu kebutuhan untuk kerja sama dalam pengumpulan makanan atau untuk produksi; untuk ini masyarakat mengadakan bentuk-bentuk organisasi dan pengawasan sosial yang manjamin kelangsungan kewajiban kerja sama tersebut di atas. Jadi menurut pandangan Malinowski tentang kebudayaan, semua unsur kebudayaan akhirnya dapat dipandang sebagai hal yang memenuhi kebutuhan dasar para warga masyarakat.




5. Teori Fungsionalisme Folklor
a. Fungsionalisme Murni
Teori fungsi dalam folklore dikenal meluas setelah di Amerika Boas dan Benedict menerapkan etnografi budaya, yang mengungkapkan bahwa foklor mampu mencerminkan norma budaya. Hal ini semakin tampak lagi setelah Bascom mengungkap fungsi folklore dengan memperluas pandangan Malinowsky.
Teori ini sangat berkembang luas di kalangan peneliti folklore, sehingga sering dianggap sebagai pragmatik folklore. Menurut Bascom, folklore mempunyai empat fungsi (Dundes, 1965:279-298) yakni sebagai: 1) cermin atau proyeksi angan-angan pemiliknya; 2) alat pengesahan pranata dan lembaga kebudayan; 3) alat pendidikan; dan 4) alat penekan atau pemaksa berlakunya tata nilai masyarakat (means of sosial pressure) dan pengendali perilaku masyarakat (exercisian sosial control). Fungsi-fungsi semacam ini, dapat dilacak berdasarkan data di lapangan.
Fungsi folklore menurut Dundes bukan hanya empat saja, diantaranya sebagai : 1) alat pendidikan; 2) peningkat perasaan solidaritas kelompok; 3) pengunggul dan pencela orang lain; 4) pelipur lara; 5) kritik masyarakat, dll.
b. Fungsionalisme Struktural
Teori fungsionalisme structural meyakini bahwa kebudayaan memiliki fungsi bagi pemenuhan keutuhan dan sistematik struktur sosial. Struktur sosial dapat dipahami sebagai pengaturan kontinuitas orang-orang dalam kaitan yang ditentukan oleh institusi, yakni norma dan pola perilaku yang dimapankan secara sosial. Di lain pihak, Evan Pritchard (Endraswara, 2009:130) berpendapat bahwa struktur sosial adalah konfigurasi kelompok yang mantap.
Masyarakat pemilik folklore adalah sebuah institusi yang satu sama lain saling terkait. Mereka saling mengisi demi keutuhan folklore itu sendiri. Maka tidak salah kalau Leach (1949:542) menatakan bahwa struktur sosial merupakan bentuk eksis pada tataran objektivitas yang kira-kira sama dengan nyatanya anatomi manusia. Anatomi manusia menyatakan hubungan ketergantungan di dalam kerjanya, begitu pula folklore. Setiap folklore memiliki jaringan yang saling berhubungan. Jaringan itu membentuk struktur yang unik.
Dari pendapat di atas dapat diketengahkan bahwa pengkajian folklore dari aspek structural fungsional akan menghubungkan masing-masing unsur struktur sosial. Setiap unsur memiliki tujuan, peranan, keyakinan, ambisi, dan lain-lain demi kelangsungan sebuah struktur. Pada situasi demikian peneliti akan meninjau lebih jauh seberapa fungsi masing-masing unsur ke dalam struktur yang lebih besar. Masing-masing pihak apakah memperoleh keuntungan dan atau kerugian dalam interaksi. Setiap unsur struktur ada kalanya memiliki pola hidup tersendiri, yang harus diterima atau ditolak oleh unsur lain, dan seterusnya.

6. Penutup
Berdasarkan uraian pada bagian sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa analisis fungsi ditinjau dari perspektif linguistic budaya, memiliki keragaman pendekatan yang pada akhirnya dapat membingungkan peneliti dalam melihat objek yang akan diteliti. Hal ini bisa saja dikatakan sebagai kekayaan dari teori fungsi yang mampu beradaptasi dengan berbagai macam ilmu, tetapi juga bisa dikatakan sebagai kebingungan. Oleh karena itu, sebagai sebuah teori yang matang, sebaiknya linguistik kebudayaan dapat memilahkan kebingungan ini menjadi suatu patokan yang jelas, sehingga teori fungsi yang dipakai tidak menimbulkan perdebatan.



DAFTAR PUSTAKA


Alisjahbana, Sutan Takdir. 1977. Dari Perjuangan dan Pertumbuhan Bahasa Indonesia dan Malaysia sebagai Bahasa Modenr. Jakarta: Dian Rakyat.
Alisjahbana, Sutan Takdir. 1983. “Bahasa Indonesia sebagai Bahasa Manusia dan Kebudayaan Modern” dalam Amran Halim dan Yayah B. Lumintaintang (Eds.). Kongres Bahasa Indonesia III. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
Alisjahbana, Sutan Takdir. 1985. “Pembahasan Persepsi tentang Kebudayaan Nasional” dalam Bambang Kaswanti Purwo (Penyunting). PELLBA 5: Bahasa – Budaya. Jakarta: Lembaga Bahasa Unika Atma Jaya.
Bauman, Richard & Joel Sherzer. 1974 Explorations in The Ethnography of Speaking. Cambridge University Press.
Bertens, KL.1987. “Masalah Bahasa Religius” dalam Panorama Filsafat Modern. Jakarta: PT Gramedia.
Chauchard, Paul. 1983. “Le Langage La Pensee” terjemahan oleh A. Widyamartaya. Bahasa dan Pikiran. Yogyakarta: Yayasan Kanisius.
Duranti, Alessandro. 1977. Linguistic Anthropology. Cambridge University Press.
Duranti, Alessandro. 2001. Linguistic Anthropology, A Reader. Blackwell Publishers.
Fishman, Joshua A.. 2000. “Language and Culture” in The Sosial Sciences Encyclopedia. Terjemahan oleh Haris Munandar, dkk. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Todorov, Tzvetan. 1983. Symbolism and Interpretation. Translated by Catherine Porter. London: Routledge & Kegan Paul.
Foley, William A. 1997. Anthropological Linguistic An Introduction. USA: Blackwell Publishers Inc.
Geertz, Clifford. 1992. Kebudayaan & Agama. Yogyakarta: Kanisius.
Geertz, Clifford. 1992. Tafsir Kebudayaan. Yogyakarta: Kanisius.
Gunarwan, Asim. 1994. “Pragmatik wacana”, dalam PELLBA 7. Jakarta: Lembaga Bahasa Unika Atma Jaya.
Halliday, M.A.K. and Ruqaiya Hasan. 1976. Cohesion in English. London: Longman Group Limited.
Halliday, M.A.K. 1987. Language as Sosial Semiotic: The Sosial Interpretation of Language and Meaning. London: Edward Arnold.
Halliday, M.A.K. and Ruqauya Hasan. 1989. Language, Context, and Text: Aspect of  Language in a Sosial – Semiotic Perspective. Victoria: Deakin University Press.
Hasan, M. Zaini. 1990. “Karakteristik Penelitian Kualitatif” dalam Aminuddin (Ed.).Pengembangan Penelitian Kualitatif dalam Bidang Bahasa dan Sastra. Tayasan Asih Asah Asuh.
Herusatoto, Budiono. 2001. Simbolisme dalam Budaya Jawa. Yogyakarta: PT. Hanindita Graha Widia.
Hoed, Benny Hoedoro.1994. Linguistik, Semiotik dan Kebudayaan Kita. Pidato Pengukuhan yang Diucapkan pada Upacara Penerimaan Jabatan Guru Besar Tetap. Depok: Fakultas Sastra Universitas Indonesia.
Hoed, Benny Hoedoro. 1994. “Wacana, Teks, dan Kalimat” dalam Liberty P. Sihombing, dkk., Bahasawan Cendikia. PT. Intermasa.
Hymes, Dell. 1964. Language in Culture and Society, A Reading in Linguistic and Anthropology. New York, Evanston, and London: Harper & Row, Publisher.
Hymes, Dell. 1985. Foundation in Sociolinguistics an Ethnographic Approach. Philadelphia: University of Pennsylvania Press.
Ibrahim, Abd. Syukur. 1994. Panduan Penelitian Etnografi Komunikasi. Surabaya – Indonesia: Usaha Nasional.
Ibrahim, Abd. Syukur. 1995. Sosiolinguistik: Sajian, Tujuan, Pendekatan, dan Problem. Surabaya – Indonesia: Usaha Nasional.
Kaelan, MS. 2004. Filsafat Analitis Menurut Ludwig  Wittgenstein, Pemikiran tentang Dasar-dasar Verifikasi ilmiah Logika Bahasa, Tata Permainan Bahasa, Teologi Gramatika, Paradigma Pragmatik. Yogyakarta: Paradigma.
Koentjaraningrat. 1985. “Persepsi tentang Kebudayaan Nasional” dalam Alfian (Ed.).Persepsi Masyarakat tentang Kebudayaan. Jakarta: PT. Gramedia.
Koentjaraningrat. 1992. Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Kridalaksana, Harimurti. 1980. Fungsi dan Sikap Bahasa. Ende – Flores: Nusa Indah.
Kridalaksana, Harmurti. 1991. Fungsi dan Fungsionalisme dalam Linguistik. Pidato Pengukuhan yang Diucapkan pada Upacara Penerimaan Jabatan Guru Besar Tetap.
Kridalaksana, Harimurti. 1982. Kamus Linguistik. Jakarta: PT Gramedia.
Lander, Herbert. 1966. Language and Culture. New York: Oxford University Press.
Leech, Geoffrey. 1989. Principle of Pragmatics. London and New York: Longman.
Lemke, J. 1995. “Making Meaning: the Principles of Sosial Semiotic” in Teresa Ashforth.Language and Power. School of Humaniteis Academic Services Unit.
Liliweri, Alo. 2003. Makna Budaya dalam Komunikasi Antarbudaya. Yogyakarta: LkiS
Lubis, Hamid Hasan. 1993. Analisis Wacana   Pragmatik. Bandung: Angkasa.
Lyon, John. 1995. Introduction to Theoritical Linguistics. Terjemahan oleh I. Soetikno. Jakarta: PT Gramaedia Pustaka Utama.
Masinambow, F.KL.M. 1985. “Perspektif Kebahasaan terhadap Kebudayaan” dalam Alfian (Ed.), Persepsi Masyarakat tentang Kebudayaan. Jakarta: PT Gramedia.
Mbete, dkk, Aron Meko (Ed.). 1988. Proses & Protes Budaya: Persembahan untuk Ngurah Bagus. Denpasar: PT. Offset BP.
Miller, Robert L. 1968. The Linguistic Relativeity Principle and Humboldtian Ethnolinguistics. The Haque – Paris: Mouton.
Milles, Mathew B. and A Michael Huberman. 1992. Qualitative Data Analysis. Terjemahan oleh Tjetjep Rahendi Rohidi. Sage Publisher Publications, Inc.
Ogden, C.KL. and I.A. Richards. 1923. The Meaning of Meaning. London: Kagen Paul.
Permata, Ahmad Norma. 2003. “Hermeneutik Fenomenologi Paul Ricouer”, dalam Jurnal Ilmu-ilmu Budaya Pustaka, No. 5 Tahun XIV. Denpasar: Yayasan Guna Widya.
Peter, Pericles Trifonas. 2003. Barthes and The Empire of Signs. Terjemahan oleh Swastika, (Ed.). Yogyakarta: Penerbit Jendela.
Poespoprojo. 1987. Interpretasi. Bandung: CV. Remadja Karya.
Riana, I Ketut. 2003. “Linguistik Budaya: Kedudukan dan Ranah Pengkajiannya”. Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap dalam Bidang Ilmu Linguistik Budaya Fakultas Sastra Universitas Udayana. Denpasar: Universitas Udayana.
Ricoeur, Paul 1976. Interpretation Theory: Discourse and The Surplus of Meaning. The Texas Christian University Press.
Robin, RH. 1995. A Short History of Linguistics. Terjemahan oleh Asril Marjahan. London: Longman Group UK Limited.
Searle, John R. 1981. Expression and Meaning: Studies in The Theory of Speech Acts. Cambridge University Press.
Sherzer, Joel. 1997. “The ethnography of Speaking: a Critical Aprisal” in Muriel saville – troike, (Eds.), Linguistics and Anthrophology. Washington, D.C.: Georgetown University Press.
Sibarani, Robert. 1992. Hakikat Bahasa. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.
Sobur, Alex. 2001. Analisis Teks Media. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Soeparno. 2002. Dasar-dasar Linguistik Umum. Yogya: PT. Tiara Wacana
Spradley, James P. 1997. “The Ethnographic Interview” terjemahan oleh Misbah Zulfa Elisabeth. Metode Etnografi. Yogya: PT. Tiara Wacana  .
Sudaryanto. 1990. Aneka Konsep Kedataan Lingual dalam Linguistik. Yogyakarta:    Duta Wacana   University Press.
Sudaryanto. 1993. Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa: Pengantar Penelitian Wahana Kebudayaan secara Linguistik. Duta Wacana   University Press.
Sudjiman, Panuti dan Aart van Zoest. 1992. Serba-serbi Semiotika. Jakarta: Yayasan Sumber Agung.
Suharno, Jaya. 1996. “Linguistik Kultural: Peranan Manusia dalam Telaah Bahasa” dalam Soenjono Dardjowidjojo (Ed.), Perkembangan Linguistik di Indonesia. Jakarta: Arcan.
Thomson, John B. 1984. Studies in The Theory of The Idiology. Terjemahan oleh Haqqul Yaqin (2003). University of California Press.
Todorov, Tzvetan. 1983. Symbolism and Interpretation. Translated by Catherine Porter. London, Melbourne, and Henley: Routledge & Kegan Paul.
Verhaar, S.J. John. 1994. “Purnamodern” dalam Liberty P. Sihombing, dkk. (Ed.),Bahasawan  Cendekiawan. PT. Intermasa.




[1] Konteks situasi ini sesungguhnya sudah diperkenalkan oleh Hymes sejak tahun 1962 dengan sebutan etnografi berbahasa, yang terdiri atas beberapa komponen, seperti: latar dan suasana (Setting and scene), para partisipan (Participants), tujuan (End), urut-urutan tindakan (Act sequences), pokok pembicaraan (Key), perangkat tutur (Instrumentalities), norma-norma pembicaraan (Norms), dan jenis tutur (Genres) (band. Gumperz dan Hymes, 1972: 58—762; Sherzer dan Bauman, 1974: 417—451).

Kamis, 16 Juli 2015

KLAUSA TRANSITIF BAHASA SABU



Gud Reacht Hayat Padje
Universitas PGRI NTT
(YPLP PT PGRI NTT)
I.       Pendahuluan
1.1 Latar Belakang
Bahasa Sabu (BS) adalah bahasa yang dipergunakan sebagai bahasa ibu oleh sekitar 91.870 orang penutur yang bermukim di Kabupaten Sabu Raijua Provinsi Nusa Tenggara Timur. BS selain digunakan sebagai media komunikasi sehari-hari, juga digunakan sebagai media pewarisan karya sastra lisan. Melihat daya dukung BS sangat sedikit, disertai dengan mobilitas masyarakat sabu ini terkenal tinggi, maka BS sangat penting untuk dipertahankan untuk menghindari bahasa ini dari kepunahannya.

1.2  Rumusan Masalah
Berdasarkan alasan di atas dapat dirumuskan masalah, yaitu: Bagaimanakah struktur klausa transitif bahasa Sabu.

1.3 Landasan Teori
Klausa sebagai satuan gramatikal berupa kelompok kata yang sekurang-kurangnya terdiri dari subjek dan predikat, dan mempunyai potensi untuk menjadi kalimat (Kridalaksana, 2008:124). Dalam hal ini, konsep klausa disejajarkan dengan konsep kalimat karena klausa yang dimaksud dalam penelitian ini adalah kalimat yang terdiri atas sebuah predikat, baik predikat sederhana, yaitu predikat yang hanya terdiri atas sebuah kata dasar inti verba atau katagori lain untuk mengisi fungsi predikat. Teori yang dipergunakan dalam pendekatan tulisan ini adalah teori Dixon (2010) yaitu transitivity (kemampuan verba untuk digunakan dengan dua argumen atau lebih). Menurut Dixon setiap bahasa mempunyai dua klausa dasar yaitu klausa intransitif dan transitif. Kedua klausa tersebut adalah sebagai berikut:
Tipe klausa   Predikat      Argumen inti
Intransitif     Intransitif   S (subjek intransitif)
Transitif        Transitif      A (subjek transitif) dan O (objek transitif)
Dalam kajian ini, penulis hanya akan memfokuskan diri pada klausa transitif.
Disamping argumen inti, klausa tersebut juga memiliki argumen non inti yang dapat ditambahkan pada tipe klausa tersebut. Dalam hal itu argumen non inti (periperi) bersifat mana suka. Jenis – jenis argumen yang dapat ditambahkan, yaitu argumen yang menyatakan alat (with a stick), beneficiary (for the child), waktu (in the afternoon), dan tempat (under the tree).
Metode yang dipergunakan dalam analisis ini adalah metode agih (metode distributional), yaitu metode yang menggunakan alat penentu unsure bahasa yang ada di dalam bahasa itu sendiri, (Sudaryanto, 1993:15).

II.       Pembahasan
Kajian sintaksis adalah sebuah kajian yang membahas tentang proses sebuah kata yang bergabung bersama, sehingga membentuk unit yang lebih besar yaitu frasa, klausa, dan kalimat. Secara umum sintaksis dipahami sebagai suatu kajian atas klausa dan atau kalimat. Klausa adalah sekelompok kata yang mempunyai unsur subjek-predikat yang menempel pada kalimat induk (Lyons, 1987), Namun dalam pembahasan ini antara klausa dan kalimat sederhana adalah sama. Bahasa Sabu, seperti bahasa bahasa pada umumnya, memiliki bahasa yang berpredikat verba dan berpredikat nonverbal. Bahasa yang berpredikat nonverbal dalam bahasa Sabu meliputi (1) klausa berpredikat adjektiva, (2) klausa berpredikat nomina, (3) klausa berpredikat frasa preposisional, (4) klausa berpredikat numeralia. Selanjutnya, klausa transitif juga dapat dibedakan berdasarkan jumlah argumen yang hadir dalam kalimat tersebut menjadi (a) klausa ekatransitif dan (b) dwitransitif. Dalam pembahasan ini akan diawali dengan menyampaikan pronominal persona bahasa Sabu, karena dengan asumsi mengenal pronominal ini akan lebih mudah untuk memahami konstruksi klausa bahasa Sabu.
Pronomina Persona Bahasa Sabu, Pronomina adalah kata-kata yang digunakan untuk mengganti nomina atau frasa nomina. Pronomina persona adalah persona yang mengacu kepada nomina insane (Tarno dkk., 1992, dalam Budiarta, 2009). Menurut Kridalaksana (2008), pronominal persona adalah persona yang menunjuk pada katagori persona. Dalam proses komunikasi, pronominal itu dibedakan atas pihak pertama sebagai pembicara, pihak kedua sebagai orang yang diajak bicara, dan pihak ketiga sebagai orang yang dibicarakan. Dengan demikian, pronominal persona dibedakan atas persona pertama, persona kedua, dan persona ketiga, masing-masing dalam jumlah tunggal dan jamak. Pronomina jamak ada yang bersifat inklusif dan ada yang eksklusif. Disebut inklusif karena pihak pertama sebagai pembicara terlibat yang diajak bicara, sedangkan eksklusif pihak pertama tidak termasuk yang diajak bicara. Pronomina bahasa Sabu tidak memiliki bentuk yang berbeda sesuai dengan fungsi yang didudukinya. Untuk jelasnya dapat dilihat pada tabel berikut: 
Persona
Subjek
Objek
Pemilik
Contoh Pemilik
I
TG
Ya
Ya
Ya
ina ya = ibu saya
JM
Inkl
Di
Di
Di
ina di = ibu kita
Eksl
Dji
Dji
Dji
ina j’i = ibu kami
II
TG
Au
Au
Au
ina au = ibu kamu
JM
Mu
Mu
Mu
ina mu = ibu mu
III
TG
No
No
No
ina no = ibu dia
JM
Ro
Ro
Ro
Ina ro = ibu mereka

Untuk memberikan gambaran yang lebih jelas tentang konstruksi klausa dasar bahasa Sabu, berikut ini disajikan masing-masing sebuah contoh untuk setiap jenis klausa yang predikatnya nonverbal.
1.         Katu                        ya                    worena
        Kepala                    Poss                 besar
        ‘Kepala saya besar’

2.         Ama                        no                    pedhaga
        Ayah           Poss                 pedagang
        ‘Ayahnya pedagang’

3.         Dji               la                     dhoka
        1JM             Prep                 kebun
        ‘Kami ke kebun’

4.         Ammu                     ro                     tellu
        Rumah                    Poss                 tiga
        ‘Rumah mereka tiga’

Contoh (1) menunjukkan bahwa subjek klausa ketu ya ‘kepala saya’ diikuti oleh predikat worena ‘besar dengan katagori kata adjektiva. Contoh (2) menunjukkan bahwa subjek klausa ama no ‘ayahnya’ diikuti oleh predikat pedhaga ‘pedagang’ dengan katagori kata nomina.
Contoh (3) menunjukkan bahwa subjek dji ‘kami’ diikuti oleh predikat la dhoka ‘ke kebun’ dengan katagori frasa preposisional. Contoh (4) memperlihatkan bahwa subjek amu ro ‘rumah mereka’ diikuti oleh predikat telu ‘tiga’ dengan katagori kata numeralia. Contoh-contoh yang ditampilkan tersebut (1-4) dengan jelas menunjukkan bahwa klausa dalam bahasa Sabu tidak hanya diisi oleh verba, tetapi juga dapat diisi oleh non-verba.
Pembahasan selanjutnya adalah tentang klausa transitif. Pembahasan klausa transitif ini dibagi atas pembahasan klausa ekatransitif dan klausa dwitransitif. Pembahasan ini diawali dengan pembahasan klausa ekatransitif. Klausa ekatransitif bahasa Sabu dibentuk oleh kehadiran verba transitif dengan menempati posisi sebagai predikat. Seperti halnya pada klausa intransitif pada klausa ekatransitif verba yang menempati posisi predikat ada yang muncul tanpa kehadiran afiks dan ada juga yang muncul dengan menghadirkan afiks. Perhatikan contoh-contoh klausa ekatransitif dengan verba transitif yang kehadirannya tanpa afiks berikut ini.
5.         Ro               nginu               ai (loko)
        3JM             minum             air
        ‘Mereka minum air’

6.         Ya               toi        mumone          nani
        1TG             tahu     laki-laki           Dem
        ‘Saya tahu laki-laki itu’

7.         No              tada                 nelai                 nani
        3TG             paham              masalah           Dem
        ‘Ia paham masalah itu’.

8.         Au               pedai               li          Jawa
        2TG            berbicara          bahasa Indonesia
        ‘Kamu bicara bahasa Indonesia’.

9.         Mu              nga’a               laeludu
        2JM             makan              nasi
        ‘Kamu makan nasi’

Contoh-contoh tersebut di atas 5-9 menunjukkan bahwa subjek-subjek dari semua klausa itu diikuti oleh predikat yang diisi oleh verba transitif nginu ‘minum’, toi ‘tahu’, tada ‘paham’, pedai ‘bicara’, nga’a ‘makan’. Contoh 5-9 menunjukkan bahwa verba transitif yang menempati posisi predikat hadir tanpa adanya afiks pemarkah. Contoh berikut menampilkan klausa ekatransitif bahasa Sabu yang predikatnya hadir dengan afiks sebagai pemarkah aspek.
10.     Ya               tatabbho          au
        1TG            menikam          kamu
        ‘Saya menikam kamu’

11.     Au               tawabbe           no
        2TG            memukul         dia
        ‘Kamu memukul dia’

12.     Ro               taadja              buku
        3JM             membaca         buku
        ‘Mereka membaca buku’

13.     No.              taheleo             poto     nani
        3TG            melihat            foto     Dem
        ‘Dia melihat foto itu’

14.     Ya               tapereke           ina       ya
        1TG            memikirkan     ibu       Poss
        ‘Saya memikirkan ibu saya’

Seperti telah dikatakan sebelumnya bahwa verba transitif bahasa Sabu dalam kehadirannya ada dengan afiks. Seperti contoh kalimat 10-14 verba transitif yang menempati posisi predikat pada klausa ekatransitif hadir disertai dengan afiks. Afiks yang yang hadir adalah [ta-] yang menunjukan pemarkah aspek dalam pengertian’mau’ (future).
Kedua jenis verba transitif tersebut yang berafiks dan tanpa afiks) dapat digambarkan dalam diagram berikut ini.
Diagram 1: Wujud Morfologis verba transitif Bahasa Sabu (Klausa Ekatransitif)
         
 Berdasarkan contoh klausa ekatransitif yang ditampilkan di atas dapat dilihat bahwa struktur dasar klausa BS terdiri atas unsur inti subjek, predikat, dan objek. Seperti namanya klausa transitif menghendaki hadirnya objek. Dengan demikian, hanya terdapat dua argumen (frasa nomina) yang masing-masing ditempatkan sebelum dan sesudah predikat (frasa verba).Verba yang menempati posisi predikat dapat hadir dengan afiks ataupun hadir tanpa afiks. Hadir atau tidaknya afiks yang melekat pada verba pada klausa ekatransitif pada masing-masing contoh klausa yang telah diberikan di atas tidak mempengaruhi struktur dasar klausa BS.
Setelah membahas klausa ekatransitif, pembahasan berikutnya adalah tentang klausa dwitransitif. Klausa dwitransitif BS dibentuk oleh verba transitif yang berkedudukan sebagai predikat. Sama seperti klausa ekatransitif, klausa dwitransitif hadir disertai dengan afiks dan juga dapat hadir tanpa disertai afiks. Perhatikanlah contoh klausa dwitransitif yang hadir tanpa disertai afiks.
15.     No               ihi        gela      nani                 ai
        3TG            isi         gelas    itu                    air
        ‘Ia mengisi gelas itu air’

16.     Ya               tao       ina       ya        koki
        ITG             buat     ibu       Poss     kue
        ‘Saya membuatkan ibu saya kue’.

17.     Ro               wie      ina       ro         paj’o
        3JM             kasi      ibu       Poss     baju
        ‘Mereka mengasi ibu mereka baju’.
                                                 
Contoh-contoh tersebut di atas 15-17 menunjukkan bahwa subjek klausa itu diikuti oleh predikat yang diikuti oleh verba transitif moa ‘ngirim’, tao’membuat’, wie ‘mengasi’. Contoh 25-27 menunjukkan bahwa verba transitif yang menempati posisi predikat hadir tanpa adanya afiks pemarkah subjek ataupun pemarkah gramatikal. Berikut contoh-contoh yang menampilkan klausa dwitransitif BS yang hadir dengan afiks sebagai pemarkah sintaksis.
18.     Ya               tamoa              no        huri
        1TG             kirim                dia       surat
        ‘Saya mengirimkan dia surat.’

19.     No               taweli              ina       no        paj’o
        2TG            beli      ibu       2Poss   paying
        ‘Ia membelikan ibunya paying.’

20.     J’I               tabokke           inna     no        kelai
        IJM             buka                ibu       Poss      pintu
        ‘Kami membukakan           ibunya pintu’

Contoh-contoh tersebut di atas 18-20 menunjukkan bahwa subjek klausa tersebut diikuti oleh predikat yang diisi oleh verba transitif tamoa ‘mengirimkan’, taweli ‘membelikan’, tabokke ‘membukakan’. Contoh 18-20 menunjukkan bahwa verba transitif yang menempati posisi predikat hadir disertai dengan adanya afiks yang bermakna sudah.
Kedua jenis verba transitif pada klausa dwitransitif tersebut (yang berafiks dan tanpa afiks) dapat digambarkan dalam diagram berikut ini.



Diagram 2: Wujud morfologis Verba Transitif Bahasa Sabu (Klausa Dwitransitif)



Berdasarkan contoh klausa ekatransitif yang ditampilkan di atas dapat dilihat bahwa struktur dasar klausa BS terdiri atas unsur inti subjek, predikat, dan objek. Seperti namanya, klausa transitif menghendaki hadirnya objek. Dengan demikian, hanya terdapat tiga argumen (frasa nomina) yang ditempatkan sebelum dan sesudah predikat (frasa verba). Verba yang menempati posisi predikat dapat hadir dengan afiks ataupun hadir tanpa afiks. Kehadiran atau ketidakhadiran afiks pada verba transitif (klausa dwitransitif) pada masing-masing klausa yang telah diberikan di atas tidak mempengaruhi struktur klausa dasar BS.
Berdasarkan pemaparan di atas, klausa dasar BS mempunyai dua konstruksi berdasarkan jenis predikatnya, yaitu klausa verba dan klausa non-verba. Klausa non-verba adalah klausa yang predikatnya dapat diisi oleh adjektiva, nomina, numeralia, dan proposisi. Klausa non-verba ini mempunyai satu argumen yang letaknya sebelum predikat. Klausa verba BS terdiri atas klausa intransitif dan klausa transitif (dan dwitransitif). Kehadiran verba yang menempati posisi predikat pada kedua klausa verba tersebut ada yang disertai dengan afiks dan ada pula yang kehadirannya tanpa afiks.
Pada klausa transitif, argumennya terdiri atas dua (ekatransitif) atau tiga (dwitransitif). Argumen 1 terletek sebelum predikat dan argument 2 dan 3 terletak setelah predikat. Penjelasan tentang konstruksi dasar BS dapat digambarkan pada diagram berikut ini.






Diagram tersebut di atas menunjukkan bahwa verba pada klausa intransitif dan klausa transitif bahasa Sabu hadir dengan afiks dan tanpa afiks. Secara umum verba pada klausa intransitif dan klausa transitif hadir dengan afiks. Namun demikian, dapat pula dijumpai verba pada klausa intransitif dan klausa transitif hadir dengan tanpa afiks.

III. Simpulan
Berdasarkan analisis yang telah dilakukan dapat disimpulkan:
1.      Ditemukan predikat nonverbal dalam klausa bahasa Sabu yang meliputi ajektiva, nomina, frasa preposisi dan numeralia.
2.      Klausa dengan predikat verba transitif yang disertai afiks dan tanpa afiks.
3.      Afiks yang hadir dalam verba klausa bahasa Sabu adalah pemarkah yang mengacu pada waktu.


DAFTAR PUSTAKA

Artawa, I Ketut, 1998. Ergativity and Balinese Syntax.Dalam Nusa Volume 44. Jakarta: Pusat Kajian Bahasa dan Budaya.
Bryson, Bill. 1990. The Mother Tongue: English and How It got that way. Printed in the U.S.A.
Budiarta, I Wayan, 2009. ‘Aliansi Gramatikal Bahasa Dawan (Kajian Tipologi Bahasa)’ (tesis). Denpasar: Program Pascasarjana Universitas Udayana.
Dixon, R. M. W. 2010. Basic Linguistic Theory. Oxford University Press.
Hornby A S, 2005. Oxford Advanced Learner’s Dictionary of Current English. Oxford University Press.
Kridalaksana, Harimurti. 2008. Kamus Linguistik.  Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Margono, 2002. Diatesis Resiprokal dalam Bahasa Indonesia.  Fakultas Sastra Universitas Indonesia.
Sedeng, I Nyoman, 2010. Morfosintaksis Bahasa Bali Dialek Sembiran. Udayana University Press.