Translate

Senin, 03 Maret 2014

KAITAN DIALEKTOLOGI DENGAN ETNOLINGUISTIK, DIALEKTOLOGI STRUKTURAL, DAN DIALEKTOLOGI GENERATIF

KAITAN DIALEKTOLOGI DENGAN ETNOLINGUISTIK,
DIALEKTOLOGI STRUKTURAL, DAN DIALEKTOLOGI GENERATIF

Oleh Gud Reacht Hayat Padje


Setiap kelompok manusia yang hidup bersama dan berdampingan sudah pasti berbahasa demi kelancaran dalam komunikasi, sekalipun sangat sederhana. Masyarakat yang telah saling berkomunikasi dan saling mengerti, pada akhirnya, membentuk suatu masyarakat bahasa (Parera, 1991: 26). Setiap masyarakat bahasa memiliki bahasa tertentu hingga akhirnya tercipta ribuan bahasa yang dituturkan oleh masyarakat bahasa dari seluruh dunia. Dalam setiap bahasa, terdapat pula variasi-variasi. Adapun variasi ditentukan oleh letak geografis, tata tingkat dalam masyarakat, atau dapat pula ditentukan oleh profesi masing-masing kelompok penutur dalam batas-batas saling mengerti (Parera, 1991: 26). Variasi bahasa berdasarkan letak geografis disebut dialek (Parera, 1991: 26). Dengan kata lain, dialek adalah variasi bahasa yang muncul dalam lingkup ruang atau spasial.
Cabang ilmu linguistik yang khusus mengkaji dialek disebut dialektologi. Dielektologi, sebagai salah satu cabang ilmu linguistik yang berpijak pada ruang lingkup kajian variasi bahasa secara spasial, secara tak langsung bersentuhan dengan permasalahan bahasa yang terancam punah, kematian bahasa, hak berbahasa-ibu, dan ekologi bahasa (Lauder, 2007: 39). Hal tersebut menandai bahwa dialektologi bukan hanya sekadar pemetaan bahasa. Peta bahasa hanya salah satu alat untuk memvisualkan distribusi variasi bahasa (Lauder, 2007: 25). Setelah pemetaan dilakukan, bahasa kemudian dianalisis dalam kaitannya dengan faktor-faktor gerografis setempat.
Selain dialektologi, terdapat sosiolinguistik yang sama-sama menangani variasi bahasa. Perbedaannya, sosiolinguistik menangani masalah variasi bahasa dalam lingkup strata sosial. Jadi, orientasi penelitian dialektologi bersifat horizontal, sedangkan orientasi penelitian sosiolinguistik bersifat vertikal (Lauder, 2007: 33).
Analisis dalam kajian dialektologi, dalam perkembangannya, bersifat multidisipliner. Disiplin ilmu yang erat kaitannya dengan dialektologi, salah satunya adalah etnolinguistik. Etnolinguistik atau yang juga disebut dengan antropolinguistik merupakan studi yang berusaha untuk mempelajari hubungan antara bahasa, penggunaan bahasa, dan kebudayaan pada umumnya. Studi bidang ini berusaha menelaah seluk-beluk aneka pemakaian bahasa dengan pola kebudayaan masyarakat tertentu untuk mencari hubungan antara bahasa, penggunaan bahasa, dan kebudayaan pada umumnya sehingga etnolinguistik kerap mempelajari berbagai ciri kebahasaan dari suku-suku bangsa beserta persebarannya. Bahasa merupakan media utama untuk memasuki suatu masyarakat bahasa sehingga dalam praktiknya studi mengenai kebudayaan manusia dan bahasa alamiah manusia memiliki kaitan yang sangat erat. Studi etnolinguistik ini memang membutuhkan penelitian pada masyarakat tutur tertentu untuk memperoleh gambaran pemakaian bahasa masyarakat tersebut dalam kehidupan sehari-hari.
Awal berkembanganya studi ini berasal dari Amerika Serikat ketika para antropolog bertemu dengan masyarakat Indian Amerika Serikat. Kala itu, masyarakat Indian tidak memiliki warisan tulis-menulis, menggunakan bahasa yang tata bahasanya berbeda dengan yang telah dikenal di Eropa, dan memiliki ciri kebudayaan dengan tipe yang tersendiri, seperti pola pembagian sosial sendiri, nilai hidup sendiri, agama, pandangan hidup, dan tata cara sendiri. Kemajuan studi etnolinguistik yang dimotori oleh para pionirnya seperti Frans Boas dengan bukunya yang berjudul Handbook of the American Indian Languages, Edward Sapir, dan B. L. Whorf (1956) ini memberikan dampak positif bagi field linguisticsyang menggunakan metode tertentu dalam mendekati dan berkomunikasi dengan para informan. Edward Sapir berpendapat bahwa studi bahasa-bahasa eksotis tersebut harus terjadi dalam hubungan keseluruhan konteks kebudayaan dan dalam peranan hubungan interaksi sosial masyarakat tersebut. Kini, studi etnolinguistik tidak lagi menggunakan metode-metode pertama linguistik, tetapi telah berkembang dengan metode tersendiri. Dans Rasyidi dalam artikelnya yang berjudul “Sekilas tentang Etnolinguistik” menyebutkan bahwa metode yang dapat digunakan adalah metode etnolinguistik yang ditambah dengan teknik-teknik yang dikembangkan dalam bidang studi lain, seperti pragmatik perkembangan, analisis percakapan, puisi (sastra), dan sejarah.
Etnolingusitik ini memiliki cakupan atau ruang lingkupnya tersendiri, yakni meliputi bahasa dengan budaya, terutama dari segi penyelidikan antropologi budaya yang bersatu-padu dengan segi linguistik. Studi etnolinguistik ini tentunya memberikan banyak manfaat bagi kehidupan. Studi ini mampu memberikan pemahaman mengenai berbagai masalah yang berkaitan dengan hubungan timbal balik antara struktur bahasan dan kebudayaan, yakni bahasa sebagai suatu sistem kognitif dan manifestasinya dalam penataan lingkungan sosial-budaya dan biofisik. Kajian ini tentunya juga memberikan sumbangan besar bagi penelitian teks lisan (tradisi lisan), seperti mitos, legenda atau dongeng masyarakat setempat.
Dialektologi sebagai suatu studi yang mempelajari variasa bahasa (dialek) berdasasrkan geografinya (persebarannya) tentu berkaitan dengan studi etnolinguistik. Dalam praktiknya, studi dialektologi berkenaan dengan wilayah-wilayah atau daerah yang menjadi sorotannya untuk meneliti suatu dialek untuk berbagai tujuan. Wilayah atau daerah yang menjadi tempat penelitian variasi bahasa tersebut tentu berbeda satu sama lainnya, baik dari segi kontur wilayah, keadaan alam (lingkungan), mata pencaharian, agama, sampai adat-istiadat tersendiri. Akan tetapi, tentu tidak mudah meneliti dialek di wilayah-wilayah tersebut karena perbedaan yang telah disebutkan, terutama yang menyangkut hal adat-istiadat atau kebudayaan lokal yang bisa saja menjadi masalah yang sensitif bagi sebagian masyarakat. Di sinilah etnolinguisitik memainkan perannya. Pendekatan antropologis terhadap suatu masyarakat bahasa terlebih dahulu akan membantu memudahkan para peneliti dialek untuk berbaur dengan masyarakat sekaligus mempelajari kebahasaan mereka dalam kehidupan sehari-hari. Para peneliti dapat menemukan karakteristik kebahasaan mereka dari kebudayaan mereka, begitu pula sebaliknya.
Munculnya teori-teori baru dalam bidang tata bahasa juga menandai berkembangnya kajian dialektologi di samping masuknya berbagai disiplin ilmu dalam kajian tersebut. Teori tata bahasa struktural yang digagas oleh Ferdinand de Saussure dan teori tata bahasa generatif oleh Noam Chomsky melahirkan dua jenis kajian dalam dialektologi: dialektologi struktural dan dialektologi generatif.
Pemikiran linguistik modern menampakkan kelemahan dialektologi tradisional yang cenderung memperlakukan bentuk-bentuk linguistik dalam pengasingan daripada menjadikannya sebagai bagian dari sistem atau struktur. Dalam struktural, kita tidak lagi mengelompokkan variasi-variasi bersama menurut apakah mereka serupa secara fonetis atau tidak tetapi melihat dasar sistem fonologi mereka. Maka, dapat dikatakan sekarang ini kita membandingkan bentuk-bentuk individual tidak melihat persamaan atau perbedaan, tetapi melihat bagian-bagian konstituen (unsur) sistem mereka sendiri.
Pendekatan struktural ini memliki implikasi pada pekerjaan lapangan dialektologi. William G. Moulton menunjukkan bahwa para peneliti dialek harus lebih sadar akan variasi-variasi bahasa yang memiliki sistem dan tidak hanya bergantung pada salinan atau turunan fonetis yang terpecah. Mereka seharusnya lebih menyelidiki perbedaan fonemis dengan menanyakannya pada informan langsung mengenai bunyi pasangan-pasangan kata atau iramanya. Pendekatan sistematis pada perbedaan-perbedaan dialek merupakan dasar dari dialektologi struktural. Dialeltologi struktural ini sendiri dimulai pada tahin 1954 yang dipublikasikan oleh Uriel Weinreich dengan sebuah artikel yang bernama “Is a structural dialectology possible?’. Pada waktu itu, artikel ini tampil dengan alasan bahwa para linguis cenderung mematuhi sebuah pandangan, yakni sebuah sistem linguistik harus dipelajari pada masanya sendiri (jangka waktunya sendiri) tanpa referensi pada sistem lainnya. Sistem fonemis pada sebuah variasi tertentu bekerja menggunakan prinsip distribusi komplementer yang terkenal, kemiripan fonetis dan keberadaan pasangan minimal dalam variasi tersebut.
Dialektologi struktural merupakan salah satu upaya untuk menerapkan dialektologi dalam membandingkan varietas bahasa (Chambers, 1980: 41). Varietas bahasa ini, secara fonologis, mungkin berbeda dalam beberapa cara dan dialektologi struktural haruslah dapat menyelesaikan masalah perbedaan ini. Berikut ini adalah perbedaan yang dapat ditemukan.
a.     Perbedaan pertama adalah inventaris fonem, berapa banyak dan yang mana fonem yang dimiliki oleh bahasa tersebut.
b.     Perbedaan kedua adalah distribusi fonem. Varietas bahasa juga mungkin berbeda dalam distribusi fonem, yaitu varietas mungkin mempunyai inventaris yang sama, tetapi memiliki lingkungan fonologis yang berbeda saat fonem tertentu terjadi.
c.     Perbedaan varietas bahasa yang ketiga adalah insiden fonem. Insiden fonem ini terjadi karena varietas bahasa mempunyai inventaris fonem yang sama atau identik dan secara leksikal belum terdapat perbedaan yang signifikan dalam fonem-fonem tertentu.
Korespondensi leksikal bertujuan untuk menunjukkan fonem dalam satu rangkaian kata pada satu varietas sesuai dengan fonem dalam rangkaian yang sama di dalam varietas yang lain perlu dilakukan korespondensi leksikal (Chambers, 1980: 42-43). Masalah yang terdapat dalam korespondensi leksikal adalah insiden yang terlibat memiliki perbedaan yang kompleks. Adanya perbedaan fonologis dalam varietas biasanya dibuat dalam sebuah skema untuk membentuk sebuah diasistem.
Sebuah penelitian yang melihat perbedaan fonologis antara RP dan bahasa Inggris yang diucapkan di timur Anglian kota Norwich menunjukkan bahwa sebuah diasistem yang terbentuk adalah diasistem parsial dan tidak memiliki unit fonologi tunggal yang umum. Hal ini pun serupa seperti yang ditulis oleh Ernst Pulgram bahwa sebuah diasistem yang mengambil kondisi tertentu dengan pertimbangan dari ahli bahasa sejarah, ahli dialektologi, dan speaker akan dianggap sebagai sesuatu yang sangat diperlukan dan akan menunjukkan begitu sedikit kesepakatan antara keeratan hubungan dialek yang membuat tampak asing bagi yang lain dalam mendistorsi fakta (Chambers, 1980: 44-45). Dengan kata lain, jika kita mengambil korespondensi leksikal ke dalam perhitungan maka hasilnya dapat menjadi absurd dan jika kita tidak mengambil korespondensi leksikal ke dalam perhitungan maka selanjutnya potensi absurditas menjadi mungkin: London dan Yorkshire [a:] dapat dianggap sebagai diasistematik yang sama dan diasistem ini dapat dibangun untuk varietas yang sama sekali tidak terkait,  seperti, katakanlah, Inggris dan Cina.
Dialektologi struktural telah mampu menginventarisasi perbedaan variasi dalam suatu bahasa. Namun, perbedaan-perbedaan tersebut tidak dapat dijelaskan generalisasinya, terlebih bila penelitian melibatkan lebih dari dua variasi bahasa. Adapun penjelasan tersebut dapat diungkap dengan dialektologi generatif.
Dialektologi generatif menerapkan konsep dan temuan-temuan dari tata bahasa generatif transformasional yang digagas Noam Chomsky, terutama fonologi generatif: untuk mendeskripsikan dan membandingkan variasi bahasa atau dialek yangn diteliti. Terdapat dua tahap pendekatan dalam fonologi generatif, yaitu bentuk dasar, yaitu bentuk-bentuk leksikal yang terdaftar dalam kosakata, dan kaidah-kaidah fonologis yang mengubah bentuk dasar ke bentuk yang diucapkan oleh penutur asli (Chambers, 1980: 45). Artinya, fonologi generatif meyakini perujudan bentuk-bentuk dalam berbagai variasi penggantian dalam suatu variasi bahasa adalah penerapan dari suatu kaidah fonologis, misalnya bunyi tertentu dalam sebuah kata berubah ketika kata tersebut dalam keadaan-keadaan tertentu:electric-electricismromantic-romanticism à [k] menjadi [s] setelah mengalami penambahan sufiks.
Atas asumsi dasar tatabahasa generatif yang “dua unsur itu berbeda” (Parera, 1991: 84), dialektologi generatif menilai perbedaan-perbedaan yang terjadi dalam suatu dialek yang berhubungan dapat dijelaskan melalui suatu bentuk dasar. Perbedaan tersebut dapat berupa kaidah fonologis yang diterapkan pada bentuk dasar dan/atau lingkungan diterapkannya kaidah (Chambers, 1980: 46).
Satu masalah yang muncul dari dialektologi generatif adalah mengenai ketepatan dari ujud bentuk dasar yang sebenarnya, terlebih apabila terdapat beberapa kosakata yang berbeda dalam dialek suatu bahasa (Chambers, 1980: 47). Yang mana yang merupakan bentuk dasar tidak dapat dijelaskan dengan baik. Penyelesaian yang muncul pertama kali untuk masalah tersebut adalah ditentukannya salah satu dialek sebagai dasar untuk menjabarkan perbedaan dari dialek-dialek yang ada. Namun, hal ini dirasa kurang tepat dengan berbagai alasan, salah satunya mengenai kriteria dialek yang menjadi acuan. Adapun cara yang kemudian ditemukan untuk menyelesaikan masalah tersebut adalah membebaskan dialek dari bentuk dasar sebagai syarat yang harus diacu dan memaklumi perbedaan kosakata sebagaimana perbedaan fonologis (Chambers, 1980: 50).

Daftar Bacaan
Chambers, J.K, Peter Trudgill. 1980. Dialectology. Great Britain: Cambridge University Press
Lauder, Multamia RMT. 2007. Sekilas Mengenai Pemetaan Bahasa. Jakarta: Media Akbar Aksara
Parera, Jos Daniel. 1991. Kajian Linguistik Umum Historis Komparatif dan Tipologi Struktural: Edisi Kedua. Jakarta: Penerbit Erlangga


Selasa, 24 September 2013

INTERFERENSI FONOLOGIS DALAM BAHASA INDONESIA OLEH PENUTUR ASLI BAHASA SABU DI KUPANG

INTERFERENSI FONOLOGIS DALAM BAHASA INDONESIA
OLEH PENUTUR ASLI BAHASA SABU DI KUPANG

Oleh: Gud Reacht Hayat Padje

ABSTRAK

Tulisan ini membahas interferensi fonologis bahasa Indonesia oleh penutur asli bahasa Sabu di Kupang. Peristiwa yang diamati adalah peristiwa tutur yang berlangsung antara penjual dan pembeli di Pasar Inpres Naikoten I Kupang. Penjual adalah penutur asli bahasa Sabu yang dalam proses jual-beli bertutur dengan menggunakan bahasa Indonesia, sedangkan pembeli tidak selamanya penutur asli bahasa Sabu. Oleh karena itu teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori sosiolinguistik sedangkan metode yang digunakan adalah metode deskriptif kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa interferensi fonologis bahasa Indonesia oleh penutur asli bahasa Sabu di Kupang, meliputi interferensi fonologis pengurangan huruf dan interferensi perubahan huruf, sedangkan interferensi penambahan huruf tidak ditemukan

Kata Kunci: sosiolinguistik, interferensi, bahasa Sabu

1. Pendahuluan
1.1    Latar Belakang
Bahasa Indonesia merupakan alat pemersatu berbagai suku bangsa yang memiliki latar belakang berbeda-beda, sebab Indonesia adalah negara yang multilingual. Selain bahasa Indonesia yang digunakan secara nasional, terdapat pula ratusan bahasa daerah yang digunakan oleh masyarakat, baik untuk komunikasi sehari-hari maupun keperluan yang sifatnya kedaerahan.
Dalam masyarakat multilingual yang mobilitasnya tinggi, anggota-anggota masyarakatnya akan cenderung menggunakan dua bahasa atau lebih, baik sepenuhnya atau sebagian, bahasa Sabu pada umumnya dipakai oleh masyarakat yang tinggal di wilayah Pemerintahan Kabupaten Sabu Raijua, Provinsi Nusa Tenggara Timur.
Di Propinsi Nusa Tenggara Timur umumnya kota Kupang juga terdapat daerah yang dominan penutur asli bahasa Sabu yang hidupnya berdampingan dengan suku-suku yang lain, sehingga dalam membangun komunikasi dipakai bahasa Indonesia dalam beriteraksi.
Dalam penggunaan bahasa Sabu yang dikuasai sejak kecil dan terus digunakan dalam kehidupan masyarakat Sabu sudah tentu berpengaruh pada penggunaan bahasa Indonesia pada saat mereka berkomunikasi. Apalagi penutur yang masih kental dengan bahasa ibunya, situasi ini memungkinkan terjadinya interferensi dalam bahasa Indonesia sebagai akibat dari dan seringnya mempergunakan bahasa Sabu menyebabkan terbawa masuknya unsur bahasa Sabu ke dalam bahasa Indonesia yang sedang digunakan, sehingga tampak adanya penyimpangan kaidah dari bahasa Indonesia yang sedang digunakan.
Alwasilah (1985:131) mengetengahkan pengertian interferensi berdasarkan rumusan Hartman dan Stonk bahwa interferensi merupakan kekeliruan yang disebabkan oleh adanya kecenderungan membiasakan pengucapan (ujaran) suatu bahasa terhadap bahasa lain mencakup pengucapan satuan bunyi, tata bahasa, dan kosakata.
Dengan kata lain bahwa interferensi merupakan gejala penyusupan sistem suatu bahasa ke dalam bahasa lain. Interferensi timbul karena dwibahasawan menerapkan sistem satuan bunyi (fonem) bahasa pertama ke dalam sistem bunyi bahasa kedua sehingga mengakibatkan terjadinya gangguan atau penyimpangan pada sistem fonemik bahasa penerima. Salah satu bentuk interferensi yaitu pada tata bunyi atau interferensi fonologis yakni penghilangan fonem konsonan diakhir sebuah kata yang terjadi pada bahasa Indonesia, oleh penutur asli bahasa Sabu di Kupang. Interferensi merupakan gejala perubahan terbesar, terpenting dan paling dominan dalam perkembangan bahasa. Dalam bahasa Indonesia juga tidak terlepas dari interferensi, terutama untuk kosakata yang berkenaan dengan budaya dan alam lingkungan bahasa donor.
Dari uraian dimaksud, peneliti merasa tertarik untuk meneliti bentuk interferensi bahasa Sabu dalam pengunaan bahasa Indonesia oleh penutur asli bahasa Sabu di kota Kupang. Khususnya Interferensi Fonologis dalam Bahasa Indonesia oleh Penutur Asli Bahasa Sabu di Kupang Dengan demikian hasilnya diharapkan dapat dijadikan informasi penting bagi pemerhati bahasa dalam upaya pengembangan dan pembinaan bahasa Indonesia.

1.2    Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka yang menjadi masalah dalam penelitian ini adalah: Bagaimana terjadinya interferensi fonologis dalam bahasa Indonesia oleh penutur asli bahasa Sabu di Kupang?

1.3    Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini yakni untuk mengidentifikasi dan mendeskripsikan bentuk interferensi fonologis dalam bahasa Indonesia oleh penutur asli bahasa Sabu di Kupang.

1.4    Manfaat Penelitian
Ada tiga manfaat dalam penelitian ini.
a.    Penelitian ini diharapkan mampu menambah khasanah penelitian terhadap pemakaian bahasa lisan melalui pendekatan sosiolinguistik dan menjadi acuan bagi penelitian selanjutnya.
b.    Sebagai pembuka jalan atau sebagai bahan pertimbangan dalam penelitian yang lebih mendalam mengenai interferensi fonologis.
c.    Memberi informasi kepada pembaca tentang fenomena kebahasaan melalui pendekatan sosiolingistik yang dipakai penulis.


2. Acuan Teori dan Konsep
2.1  Acuan Teori
Teori yang digunakan adalah teori sosiolinguistik dengan pendekatan analisis kontrastif.

2.1.1   Teori Sosiolingustik
Istilah sosiolinguistik terdiri dari dua unsur: sosio dan linguistik. Kata sosio berasal dari sosial yaitu yang berhubungan dengan masyarakat, kelompok-kelompok masyarakat dan aktifis kemasyarakatan. Sedangkan linguistik adalah ilmu yang mempelajari tentang bahasa, khususnya unsur-unsur bahasa (fonem, morfem, kata dan kalimat) dan hubungan antar unsur-unsur (struktur) bahasa tersebut. Menurut J. A. Fishman (dalam Chaer dan Agustina, 2004:4) mendefinisikan sosiolinguistik sebagai kajian tentang ciri khas variasi bahasa, fungsi-fungsi variasi bahasa, dan pemakai bahasa karena ketiga unsur ini selalu berinteraksi, berubah, dan saling mengubah satu sama lain dalam suatu masyarakat tutur.
Subyek dalam kajian sosiolinguistik dilihat atau didekati sebagai sarana interaksi atau komunikasi di dalam masyarakat manusia. Jadi, sosiolinguistik lebih berhubungan dengan perincian-perincian penggunaan bahasa yang sebenarnya. Sosiolinguistik memandang bahasa sebagai sistem sosial dan sistem komunikasi serta merupakan bagian dari masyarakat dan kebudayaan tertentu.
Dengan demikian bahasa tidak saja dipandang sebagai gejala individual, tetapi juga merupakan gejala sosial. Di dalam masyarakat seseorang tidak lagi dipandang sebagai individu yang terpisah dari yang lain, ia merupakan anggota dari kelompok sosialnya.
Hal ini menyebabkan bahasa dan pemakaian bahasa tidak diamati secara individual, tetapi selalu dihubungkan dengan kegiatannya dalam masyarakat. Dari uraian dimaksud dapat diketahui bahwa sosiolinguistik merupakan kajian yang bersifat interdisipliner yang mengkaji masalah-masalah kebahasaan dalam hubungannya dengan aspek-aspek sosial, situasional, dan budaya (culture). Dengan memahami prinsip-prinsip sosiolinguistik setiap penutur akan menyadari betapa pentingnya ketepatan bahasa sesuai dengan konteks sosial. Pada dasarnya sosiolinguistik dan linguistik mempunyai kesamaan metode penelitian, keduanya selalu didasarkan pada hasil yang dikumpulkan secara empiris yang diterapkan pada sebuah data, serta simpulan ditarik secara induktif. Selain memiliki persamaan juga memiliki perbedaannya yaitu, sosiolinguistik selalu memperhatikan konteks pemakaian bahasa di dalam bentuk arti, perubahan bahasa, maupun pemerolehan bahasa. Sedangkan linguistik dalam analisisnya semata-mata menyoroti dari segi struktur bahasa sebagai kode.
Dalam proses tutur, pembicara selalu memperhitungkan faktor sosio-kultural dan sosio-situasional di samping faktor linguistik secara gramatikal. Sosiolinguistik merupakan cabang linguistik yang bertujuan menemukan prinsip-prinsip yang mendasar beberapa bahasa. Dengan jalan lebih komprehensif dan dengan melibatkan perhitungan pengaruh berbagai konteks sosial. Penelitian dengan pendekatan sosiolinguistik terhadap berbagai bentuk interferensi dapat menjelaskan adanya interferensi bahasa, variasi tuturan seperti dialek, gaya bahasa, ragam bahasa, dan tingkat tutur.

2.1.2   Analisis Kontrastif
Secara umum memahami pengertian analisis kontrastif dapat ditelusuri melalui makna kedua kata tersebut. Analisis diartikan sebagai semacam pembahasan atau uraian. Yang dimaksud dengan pembahasan adalah proses atau cara membahasa yang bertujuan untuk mengetahui sesuatu yang memungkinkan dapat mengetahui inti permasalahannya. Permasalahan yang ditemukan itu kemudian dikupas, dikritik, diulas dan akhirnya disimpulkan untuk dipahami. Moeliono (1988:32) menjelaskan bahwa analisis adalah atas penguraian suatu pokok berbagai bagiannya dan penelaahan bagian itu sendiri serta hubungan antar bagian untuk memperoleh pengertian yang tepat dan pemahaman arti keseluruhan. Sedangkan kontrastif diartikan sebagai perbedaan atau pertentangan antara dua hal. Perbedaan inilah yang menarik untuk dibicarakan, diteliti, dipahami.
Lebih lanjut Moeliono (1988:32) menjelaskan bahwa kontrastif diartikan sebagai bersifat membandingkan perbedaan. Istilah kontrastif lebih dikenal dalam ranah kebahasaan (linguistik). Sehubungan dengan ini kemudian muncul istilah linguistic kontrastif yang merupakan cabag ilmu bahasa. Linguistik kontrastif membandingkan dua bahasa dari segala komponennya secara sinkronik sehingga ditemukan perbedaan-perbedaan dan kemiripan-kemiripan yang ada.
Dari hasil penemuan itu dapat diduga adanya penyimpangan-penyimpangan, pelanggaran-pelanggaran, atau kesalahan-kesalahan yang mungkin dilakukan para dwibahasawan (orang yang mampu menggunakan dua bahasa secara baik).
Analisis Kontrastif yang juga disebut analisis bandingan merupakan kajian linguistik yang bertujuan untuk mendeskripsikan persamaan dan perbedaan dua bahasa yang berbeda. Pendeskripsian dan persamaan tersebut, akan bermanfaat untuk pengajaran kedua bahasa, sebagai bahasa ke dua (bahasa asing). Suatu metode analisis pengkajian kontrastif ini menunjukan kesamaan dan perbedaan antara dua bahasa dengan tujuan untuk menemukan prinsip yang dapat diterapkan pada masalah praktis dalam pengajaran bahasa atau terjemahannya.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa linguistik kontrastif merupakan salah satu cabang linguistik yang fungsinya mengontraskan dua bahasa atau lebih tidak serumpun dan linguistik kontrastif dapat membantu kesulitan yang mungkin dialami seseorang dalam mengajarkan bahasa yang berbeda rumpun bahasanya, ataupun bagi seseorang yang belajar bahasa asing yang rumpun bahasanya berbeda.

2.2  Konsep Dasar
Untuk mencapai suatu hasil penelitian yang mendalam dan tuntas, maka perlu diadakan pembatasan konsep yang menjadi dasar penelitian tidak kabur dan tidak melewati daerah penelitiannya. Maka dalam penelitian ini, yang dikaji adalah interferensi dan proses fonologis dengan menggunakan teori sosiolinguistik dengan pendekatan analisis kontrastif.

2.2.1    Interferensi
2.2.1.1 Batasan Interferensi
Interferensi pada umumnya dianggap sebagai gejala tutur (speech parole), hanya terjadi pada dwibahasawan dan peristiwanya dianggap sebagai penyimpangan.
Interferensi dianggap sebagai sesuatu yang tidak perlu terjadi karena unsur-unsur serapan itu sudah ada padanannya dalam bahasa penyerap. Cepat atau lambat sesuai dengan perkembangan bahasa penyerap, interferensi diharapkan semakin berkurang atau sampai batas yang paling minim.
Chaer dan Agustina (2004:160-161) menyatakan bahwa interferensi yang terjadi dalam proses interpretasi disebut interferensi reseptif, yakni berupa penggunaan bahasa B dengan diresapi bahasa A. Sedangkan interferensi yang terjadi pada proses representasi disebut interferensi produktif.
Interferensi reseptif dan interferensi produktif yang terdapat dalam tindak laku bahasa penutur bilingual disebut interferensi perlakuan. Interferensi perlakuan biasa terjadi pada mereka yang sedang belajar bahasa kedua, karena itu interferensi ini juga disebut interferensi belajar atau interferensi perkembangan. Istilah interferensi pertama kali digunakan untuk menyebutkan adanya perubahan sistem suatu bahasa sehubungan dengan adanya persentuhan bahasa tersebut dengan unsur-unsur bahasa lain yang dilakukan oleh penutur bilingual, interferensi sebagai bentuk pengukuran terhadap kesalahan berbahasa yang disebabkan oleh terbawanya kebiasaan ujaran berbahasa atau dialek bahasa pertama terhadap kegiatan berbahasa.
Interferensi yaitu penyimpangan dari norma-norma bahasa dalam bahasa yang digunakan sebagai akibat pengenalan terhadap bahasa lain. Transfer dalam kontak bahasa dapat terjadi dalam semua tataran linguistik, baik fonologis, morfologis, sintaksis, semantis, maupun leksikon.
Berdasarkan uraian ini dapat diketahui bahwa interferensi adalah.
a)  Suatu penggunaan unsur-unsur dari bahasa ke bahasa yang lain sewaktu berbicara atau menulis dalam bahasa lain.
b)  Merupakan penerapan dua sistem secara serempak pada suatu unsur bahasa.
c)  Terdapatnya suatu penyimpangan dari norma-norma bahasa masing-masing yang terdapat dalam tuturan dwibahasawan.

2.2.1.2 Gejala Interferensi
Gejala interferensi dapat dilihat dalam tiga dimensi kejadian. Pertama, dimensi tingkah laku berbahasa dari individu-individu di tengah masyarakat. Kedua, dimensi sistem bahasa dari kedua bahasa atau lebih yang berbaur. Ketiga, dimensi pembelajaran bahasa. Dari dimensi tingkah laku berbahasa, penutur dengan mudah dapat disimak dari berbagai praktek campur kode yang dilakukan penutur yang bersangkutan. Interferensi ini murni merupakanran rancangan atau model buatan penutur itu sendiri. Dari dimensi sistem bahasa, dikenal dengan sebutan interferensi sistemik yaitu pungutan bahasa. Sedangkan dari dimensi pembelajaran bahasa, di kenal dengan sebutan interferensi pendidikan.
Dalam proses pembelajaran bahasa kedua atau asing, pembelajaran tentu menjumpai unsur-unsur yang mirip, atau bahkan mungkin sama dengan bahasa pertamanya (Paul Ohoiwutun, 2002:72-74)
2.2.1.3 Macam-macam Interferensi
Chaer dan Agustina (2004:162-165) mengidentifikasi interferensi bahasa menjadi empat macam.

1.    Interferensi Fonologis
Interferensi fonologis terjadi apabila penutur mengungkapkan kata-kata dari suatu bahasa dengan menyisipkan bunyi-bunyi bahasa dari bahasa lain. Interferensi fonologis dibedakan menjadi dua macam, yaitu interferensi fonologis pengurangan huruf dan interferensi fonologis pergantian huruf.
Contoh:   slalu: selalu, adek: adik
                ama: sama, rame: ramai
                smua: semua, cayang: sayang

2.    Interferensi Morfologis
Interferensi morfologis terjadi apabila dalam pembentukan katanya suatu bahasa menyerap afiks-afiks bahasa lain. Penyimpangan struktur itu terjadi kontak bahasa antara bahasa yang sedang diucapkan (bahasaIndonesia) dengan bahasa lain yang juga dikuasainya (bahasa daerah atau bahasa asing).
Contoh:   kepukul? terpukul
                dipindah? dipindahkan
                neonisasi? peneonan
                menanyai? Bertanya

3.    Interferensi Sintaksis
Interferensi sintaksis terjadi apabila struktur bahasa lain (bahasa daerah, bahasa asing, dan bahasa gaul) digunakan dalam pembentukan kalimat bahasa yang digunakan. Penyerapan unsur kalimatnya dapat berupa kata, frase, dan klausa. Interferensi sintaksis seperti ini tampak jelas pada peristiwa campur kode.
Contoh:   mereka akan married bulan depan
                Karena saya sudah kadhun gapik sama dia, ya saya tanda tangan saja

4.    Interferensi Semantis
Interferensi yang terjadi dalam bidang tata makna. Menurut bahasa resipiennya, interferensi semantik dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu interferensi ekspansif dan interferensi aditif.
(1)     Interferensi ekspansif, yaitu interferensi yang terjadi jika bahasa yang tersisipi menyerap konsep kultural beserta namanya dari bahasa lain.
       Contoh: teman-teman ku tambah goki lsaja.
(2)   Interferensi aditif, yaitu interferensi yang muncul dengan penyesuaian dan interferensi yang muncul berdampingan dengan bentuk lama dengan makna yang agak khusus.
       Contoh: mbak Ari cantik sekali.


2.2.2    Proses Fonologis
Proses fonologis adalah suatu proses yang berusaha menerangkan perubahan-perubahan morfem atau kata berdasarkan ciri-ciri pembeda secara fonetis. Perubahannya biasa terjadi seperti penghilangan fonem pada awal, tengah, akhir, atau melalui proses penggabungan, pelesapan, penyisipan, permutasi, asimilasi dan desimilasi.

3 Metode Penelitian
3.1  Metode Penelitian
Metode penelitian pada hakekatnya merupakan operasionalisasi kearah pelaksanaan penelitian yang memberi pemahaman tentang cara atau teori menemukan atau menyusun pengetahuan dari ide, materi atau dari kedua-duanya serta merujuk pada penggunaan rasio, intuisi, fenomena atau dengan metode ilmiah. Sehingga bagaimana menemukan atau menyusun pengetahuan memerlukan kajian atau pemahaman tentang metode-metode.
Apabila dilihat dari tujuannya, penelitian ini termasuk penelitian kualitatif yang bersifat deskriptif. Pada pendekatan kualitatif data bersifat deskriptif maksudnya adalah data dapat berupa gejala-gejala yang dikategorikan ataupun dalam bentuk lainnya, seperti foto, dokumen, artefak dan catatan-catatan lapangan pada saat penelitian dilakukan.
Moleong (2007:280) berpendapat bahwa penelitian kualitatif adalah prosedur penelitian yang menganalisis data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati.
Azwar (2001:5) berpendapat bahwa metode kualitatif lebih menekankan analisisnya pada proses penyimpulan deduktif dan induktif serta pada analisis terhadap dinamika logika ilmiah. Artinya data-data penelitian ini dikumpulkan, disusun, dianalisis, diinpertasikan, dan disimpulkan untuk mengetahui “Interferensi Fonologis dalam Bahasa Indonesia oleh Penutur Asli Bahasa Sabu di Kupang”
Dengan demikian melalui metode deskriptif kualitatif ini penulis akan mengumpulkan data bahasa interferensi fonologis bahasa Indonesia oleh penutur asli bahasa Sabu di Kupang, kemudian mendeskripsikan dan melaporkan hasil penelitian dengan berpatokan pada teknik analisis data berdasarkan pada fakta dan bukti sebagai kriteria kebenaran.

3.2  Data
Data dalam penelitian ini adalah bahasa lisan yang dituturkan oleh penutur asli bahasa Sabu di kupang.

3.3  Sumber Data
Sumber data dalam penelitian ini adalah penutur asli bahasa Sabu di Kupang dalam hal ini informan. Menurut Ratukore, dkk., (1991:11) syarat-syarat menjadi informan dalam penelitian ini adalah:
1)   Penutur asli bahasa Sabu di Kupang.
2)   Laki-laki dan perempuan yang sudah dewasa.
3)   Tidak cacat wicara dan kesehatannya baik.
4)   Pendidikan sekurang-kurangnya SD atau yang sederajat.
5)   Dapat berbahasa Indonesia.
6)   Bersedia menjadi informan dan mempunyai waktu yang cukup untuk penelitian ini dan
7)   Bersikap terbuka dan tidak mudah tersinggung.

3.4  Lokasi Penelitian
            Yang menjadi lokasi penelitian adalah kota Kupang.
            Khususnya Pasar Impres Naikoten Satu, Kecamatan Kota Raja

3.5  Teknik Penelitian
3.5.1  Teknik Pengumpulan Data
            Pengumpulan data dilakukan dengan teknik sebagai berikut:
1)   Observasi
Observasi diarahkakan pada masyarakat penutur bahasa Sabu di Kupang.
2)   Wawancara dilakukan dengan masyarakat penutur bahasa Sabu di Kupang.
Tujuan wawancara ini memperoleh kemantapan korpus yang terkumpul.
3)   Simak catat
Selama observasi dan wawancara, peneliti menyimak dan membuat catatan yang memuat tentang kata dan kalimat yang memiliki potensi interferensi.
4)   Elisitasi
Korpus dikumpulkan dengan cara merekam ujaran para informan sebagai jawaban atas pemancingan korpus lisan ini dilakkukan dengan:
a.    Penterjemahan dari bahasa Indonesia ke bahasa Sabu.
b.    Penterjemahan balik dari bahasa Sabu ke dalam bahasa Indonesia.
c.    Tanya jawab dan.
d.    Penceritraan.
Data dikumpulkan melalui perekaman dengan alat perekam kemudian diolah tahap demi tahap.

3.5.2  Teknik Pengolahan Data
Data yang terkumpul diolah atau dianalisis dengan prosedur sebagai berikut:
1)        Mendengarkan rekaman;
2)        Mencatat hasil rekaman dan wawancara;
3)        Memperhatikan mendistrubusikan bunyi vokal dan konsonan;
4)        Memperhatikan dan mencatat kata yang berhubungan dengan interferensi;
5)        Menganalisis data tahap demi tahap; dan
6)        Menarik kesimpulan berdasarkan hasil analisis data.

4. Data dan Pembahasan
4.1 Data
Pada bab ini akan ditampilkan data yang berupa interferensi bahasa Indonesia oleh penutur asli bahasa Sabu di Kupang.
Data diperoleh dari penutur asli bahasa Sabu yang bertutur dalam bahasa Sabu dan bahasa Indonesia atau yang dikenal sebagai dwibahasawan, orong-orang itu yang penulis sebut dengan informan, dalam pengambilan data yang berhubungan dengan interferensi fonologis bahasa Indonesia oleh penutur asli bahasa Sabu di kupang, dengan komunikasi lepas bersama para informen itu di pasar Inpres Naikoten Satu Kupang, dengan data-data sebagai berikut:
Tabel I
No
Identifikasi Data Interferensi
Bahasa Indonesia yang mengalami interferensi
Bentuk baku dalam bahasa Indonesia
1
Ada polisi di lapu mera
Ada polisi di lampu merah
2
Ini beta punya gaba
Ini beta punya gambar
3
Beta dari dote
Beta dari dokter
4
Ada babi dua eko di kada
Ada babi dua ekor di kandang
5
Itu gapa saja
Itu gampang saja
6
Saya suda ula-ula bicara denga dia
Saya sudah ulang-ulang berbicara dengan dia
7
Kemari saya beli aya dua eko
Kemarin saya beli ayam dua ekor
8
Sekarasayo lagi maha
Sekarang sayur lagi mahal
9
Oje di pasa ini suda talalu banya
Ojek di pasar ini sudah terlalu banyak
10
Ora bila sekara cari ua talalu susa
Orang bilang cari uang terlalu susah
11
Harga toma sekara nae turu
Harga tomat sekarang naik turun
12
Tadi pagi saya kena tila di Oeba
Tadi pagi saya kena tilang di Oeba
13
Betapunya hele mera gari-gari
Beta punya helem merah garis-garis
14
Beta punya kredi moto baru habi
Beta punya kredit motor baru habis
15
Beli piri dua lusi
Beli piring dua lusin
16
Dia talalu jaha
Dia terlalu jahat
17
Ada kama madi di pasa
Ada kamar mandi di pasar
18
Beta ada kerja dapu
Beta ada kerja dapur
19
Kapa feri baru dari sabu
Kapal feri baru dari sabu

Data kata serapan dari bahasa Indonesia ke dalam bahasa Sabu yang termasuk daftar kata interferensi
Tabel 2
No
Identifikasi data bahasa serapan
Bahasa Indonesia
Bahasa Sabu
Bahasa Indonesia
1
/lampu/
[lapu]
'lampu'
2
/gambar/
[gaba]
'gambar'
3
/dokter/
[dote]
'dokter'
4
/kandang/
[kada]
'lampu'
5
/gampang/
[gapa]
'gampang'
6
/piring/
[piri]
'piring'
7
/jahat/
[jaha]
'jahat'
8
/kamar/
[kama]
'kamar'
9
/dapur/
[dapu]
'dapur'
10
/kapal/
[kapa]
'kapal'
Keterangan   :  kata yang bercetak miring di atas yaitu kata serapan yang masih dan sering digunakan oleh penutur asli bahasa Sabu.

4.1.1    Data pengurangan fonem pada posisi tengah dan akhir, akhir dan perubahan fonem pada kata yang mengalami interferensi.
            1.         Data pengurangan fonem pada posisi tengah
                        Data (T 1)
1)      /lampu/            [lapu]               ‘lampu’            (no.1)
2)      /mandi/            [madi]              ‘mandi’            (no.17)
2.         Data pengurangan fonem  tengah dan akhir
            Data (T 1)
1)   /gambar/          [gaba]              ‘gambar’          (no.2)
3)      /dokter/            [dote]               ‘dokter’           (no.3)
4)      /kandang/        [kada]              ‘kandang’        (no.4)
5)      /gampang/        [gapa]              ‘gampang’       (no.5)
3.         Data pengurangan fonem pada posisi akhir
            Data (T 1)
1)      /merah/             [mera]             ‘merah’            (no.1)
2)      /ekor/               [eko]                ‘ekor’               (no.4)
3)      /sudah/             [suda]              ‘sudah’                        (no.6)
/ulang-ulang/    [ula-ula]          ‘ulang-ulang’
/dengan/           [denga]            ‘dengan’
4)      /kemarin/          [kemari]           ‘kemarin’         (no.7)
/ayam/              [aya]                ‘ayam’
5)      /sekarang/        [sekara]           ‘sekarang’        (no.8)
/mahal/             [maha]             ‘mahal’
6)      /ojek/                [oje]                 ‘ojek’               (no.9)
/pasar/              [pasa]              ‘pasar’
/banyak/           [banya]            ‘banyak’
7)      /orang/             [ora]                ‘orang’             ( no.10)
/bilang/             [bila]                ‘bilang’           
/uang/               [ua]                  ‘uang’
/susah/              [susa]               ‘suasah’
8)      /tomat/             [toma]              ‘tomat’                        (no.11)
/turun/              [turu]               ‘turun’
9)      /tilang/             [tila]                 ‘tilang’             (no.12)
10)  /helem/             [hele]               ‘helem’            (no.13)
/garis-garis/      [gari-gari]       ‘garis-garis’
11)   /kredit/            [kredi]              ‘kredit’                        (no.14)
 /motor/            [moto]              ‘motor’
/habis/              [habi]               ‘habis’
12)  /Piring/             [piri]                ‘piring’            (no.15)
13)  /Lusin/             [lusi]                ‘lusin’
14)  /jahat/               [jaha]               ‘jahat’              (no.16)
15)  /kamar/             [kama]             ‘kamar’            (no.17)
16)  /dapur/             [dapu]              ‘dapur’                        (no.18)
17)  /kapal/              [kapa]              ‘kapal’             (no.19)
4.         Data pergantian fonem
            Data (T 1)
1)    /sayur/              [sayo]              ‘sayur’             (no.8)
2)    /naik/               [nae]                ‘naik’               (no.11)

4.2    Pembahasan
Interferensi fonologis bahasa Indonesia oleh penutur asli bahasa Sabu di Kupang. Interferensi adalah kekeliruan yang disebabkan oleh terbawanya kebiasaan ujaran berbahasa atau dialek bahasa pertama terhadap kegiatan berbahasa. Interferensi dianggap sebagai sesuatu yang tidak perlu terjadi karena unsur-unsur serapan itu sudah ada padanannya dalam bahasa penyerap. Interferensi dapat terjadi pada pengucapan, tata bahasa, kosakata, dan makna. Untuk memperoleh jawaban dalam penelitian ini, maka pada bab ini dibahas hal-hal yang khusus yakni: (1) interferensi fonologis, (2) proses fonologis yang terdiri atas proses penghilangan dan pelesapan bunyi.
4.2.1   Interferensi Fonologis
Interferensi fonologis terjadi apabila penutur mengungkapkan kata-kata dari suatu bahasa dengan menyisikan bunyi-bunyi bahasa dari bahasa lain. Interferensi fonologis dibedakan menjadi dua macam, yaitu interferensi fonologis pengurangan huruf dan interferensi pergantian huruf, berikut ini analis data yang diperoleh dimaksud:
4.2.1.1 Interferensi fonologis pengurangan huruf pada posisi tengah kata
Pada posisi tengah pengurangan terjadi pada bunyi-bunyi nasal /n/ dan /m/, Pengurangan tersebut umumnya terjadi khusus pada unsur-unsur bahasa serapan, terutama bahasa Indonesia dan bahasa asing yang pada katanya di akhiri dengan fonem vokal.
Cotohnya:
Data (T 1)
1)   /lampu/     [lapu]               ‘lampu’            (no.1)
Pengurangan huruf pada kata /lampu/ terletakdi posisi tengah yaitu /m/
2)   /mandi/     [madi]              ‘mandi’            (no.17)
Pengurangan huruf pada kata /mandi/ terletak di posisi tengah yaitu /n/
4.2.1.2 Interferensi fonologis pengurangan huruf pada posisi tengah dan akhir kata
Pada posisi tengah dan akhir, pengurangan terjadi pada bunyi-bunyi nasal /n/ dan /m/ serta bunyi hambatan /k/ yang berada di antara fonem fokal dan fonem konsonan, hambatan tak bersuara /p/, /b/, /t/, dan /d/. sedangkan pada bagian akhir pengurangan tersebut terjadi pada kata yang diakhiri dengan fonen konsonan, baik dalam bentuk dasar maupun bahasa serapan, terutama bahasa Indonesia dan bahasa asing.
Contohnya:
Data (T 1)
1)  /gambar/      [gaba]              ‘gambar’          (no.2)
     Pengurangan huruf pada kata /gambar/terletak pada posisi tengah yaitu /m/ dan pengurangan di posisi akhir yaitu /r/
2)  /dokter/       [dote]               ‘dokter’           (no.3)
     Pengurangan huruf pada kata /dokter/ terletak pada posisi tengah yaitu /k/ dan pengurangan di posisi akhir yaitu /r/
3)  /kandang/    [kada]              ‘kandang’        (no.4)
     Pengurangan huruf pada kata /kandang/ terletak pada posisi tengah yaitu /n/ dan pengurangan di posisi akhir yaitu /ng/
4)   /gampang/   [gapa]              ‘gampang’       (no.5)
     Pengurangan huruf pada kata /gampang/ terletak pada posisi tengah yaitu /m/ dan pengurangan di posisi akhir yaitu /ng/
4.2.1.3 Interferensi fonalogis pengurangan fonem pada posisi akhir
Padaposisi akhir, selain bunyi vokal /a/, /i/, /u/, /e/, dan /o/, setiap kata yang diakhiri dengan fonem konsonan baik kata serapan dan juga kata ulang terjadi penghilangan fonem.
Contohnya:
Data (T 1)
1)        /merah/                 [mera]             ‘merah’            (no.1)
       Pengurangan huruf pada kata /merah/ terletak di posisi akhir yaitu /h/
2)        /ekor/                    [eko]                ‘ekor’               (no.4)
       Pengurangan huruf pada kata /ekor/ terletakdi posisi akhir yaitu /r/
3)        /sudah/                  [suda]              ‘sudah’                        (no.6)
       Pengurangan huruf pada kata /sudah/ terletakdi posisi akhir yaitu /h/
4)        /ulang-ulang/        [ula-ula]          ‘ulang-ulang’
       Pengurangan huruf pada kata /ulang-ulang/ terletak di posisi akhir yaitu /ng/
5)        /dengan/   [denga]                        ‘dengan’
       Pengurangan huruf pada kata /dengan/ terletak di posisi akhir yaitu /n/
6)        /kemarin/  [kemari]           ‘kemarin’         (no.7)
       Pengurangan huruf pada kata /kemarin/ terletak di posisi akhir yaitu /n/
7)        /ayam/                   [aya]                ‘ayam’
       Pengurangan huruf pada kata /ayam/ terletak di posisi akhir yaitu /m/
8)        /sekarang/ [sekara]           ‘sekarang’        (no.8)
       Pengurangan huruf pada kata /sekarang/ terletak di posisi akhir yaitu /ng/
9)        /mahal/                  [maha]             ‘mahal’
Pengurangan huruf pada kata /mehal/ terletak di posisi akhir yaitu /l/
10)    /ojek/                    [oje]                 ‘ojek’               (no.9)
Pengurangan huruf pada kata /ojek/ terletakdi posisi akhir yaitu /k/
11)    /pasar/                   [pasa]               ‘pasar’
Pengurangan huruf pada kata /pasar/ terletakdi posisi akhir yaitu /r/
12)    /banyak/    [banya]                        ‘banyak’
Pengurangan huruf pada kata /banyak/ terletak di posisi akhir yaitu /k/
13)    /orang/                  [ora]                 ‘orang’             (no.10)
Pengurangan huruf pada kata /orang/ terletakdi posisi akhir yaitu /ng/
14)    /bilang/                 [bila]                ‘bilang’
Pengurangan huruf pada kata /bilang/ terletakdi posisi akhir yaitu /ng/
15)    /uang/                   [ua]                  ‘uang’
Pengurangan huruf pada kata /uang/ terletakdi posisi akhir yaitu /ng/
16)    /susah/                  [susa]               ‘suasah’
Pengurangan huruf pada kata /merah/ terletakdi posisiakhir yaitu /h/
17)    /tomat/                  [toma]              ‘tomat’                        (no.11)
Pengurangan huruf pada kata /tomat/ terletakdi posisi akhir yaitu /t/
18)    /turun/                   [turu]               ‘turun’
Pengurangan huruf pada kata /turun/ terletak di posisi akhir yaitu /n/
19)    /tilang/                  [tila]                 ‘tilang’             (no.12)
Pengurangan huruf pada kata /tilang/ terletakdi posisi akhir yaitu /ng/
20)    /helem/                  [hele]               ‘helem’            (no.13)
Pengurangan huruf pada kata /helem/ terletak di posisi akhir yaitu /m/
21)    /garis-garis/           [gari-gari]        ‘garis-garis’
Pengurangan huruf pada kata /garis-garis/ terletak di posisiakhir yaitu /s/
22)    /kredit/      [kredi]             ‘kredit’                        (no.14)
Pengurangan huruf pada kata /kredit/ terletak di posisi akhir yaitu /t/
23)     /motor/     [moto]             ‘motor’
Pengurangan        huruf pada kata /motor/ terletak di posisi akhir yaitu /r/
24)    /habis/                   [habi]               ‘abis’  
Pengurangan huruf pada kata /habis/ terletak di posisi akhir yaitu /s/
25)    /Piring/                  [piri]                ‘piring’            (no.15)
Pengurangan huruf pada kata /piring/ terletak di posisi akhir yaitu /ng/
26)    /Lusin/                  [lusi]                ‘lusin’
Pengurangan huruf pada kata /lusin/ terletak di posisi akhir yaitu /n/
27)    /jahat/                   [jaha]               ‘jahat’              (no.16)
Pengurangan huruf pada  kata /jahat/ terletakdi posisi akhir yaitu /t/
28)    /kamar/                 [kama]             ‘kamar’            (no.17)
Pengurangan huruf pada kata /kamar/ terletak di posisi akhir yaitu /n/
29)    /dapur/                  [dapu]              ‘dapur’                        (no.18)
Pengurangan huruf pada kata /dapur/ terletak di posisia khir yaitu /r/
30)    /kapal/                   [kapa]              ‘kapal’             (no.19)
       Pengurangan huruf pada kata /kapal/ terletak di posisiakhir yaitu /l/
4.2.1.4   Interferensi fonologis pergantian huruf
Bentuk interferensi pergantian huruf
Data (T 1)
1)                  /sayur/              [sayo]              ‘sayur’             (no.8)
2)                  /terlalu/            [talalu]             ‘terlalu’            (no.9)
3)                  /naik/               [nae]                ‘naik’               (no.11)
Interferensi fonologis pergantian huruf atau fonem terletak pada data nomor (8) (9), dan (11) yaitu kata; [sayo] yang memiliki bentuk baku sayur dimana fonem vokal /u/ berubah menjadi fonem vokal /o/ , dan kata talalu yang memiliki bentuk baku terlalu yang dimana fonem vokal /e/ berubah menjadi fonem vokal /a/, dan dimana kata [nae] yang memiliki bentuk baku naik yang memiliki fonem vokal /i/ berubah menjadi fonem vokal /a/.
4.3  Proses Fonologis
Bahasa Sabu mengalami proses fonologis yaitu proses  pelesapan atau penghilangan bunyi. Pelesapan atau penghilangan itu terjadi pada bunyi-bunyi konsonan, yaitu pada posisi tengah maupun posisi akhir. Proses dimaksud  pada umumnya terjadi pada kata-kata serapan dari bahasa lain, terutama bahasa Indonesia. Masing-masing proses dimaksud dapat dijelaskan sebagai berikut.
4.3.1        Penghilangan atau Pelesapan Bunyi
Pada posisi tengah penghilangan atau pelesapan pada umumnya terjadi pada bunyi-bunyi nasal /n/ dan /m/ serta bunyi hambatan /k/ yang berada di antara fonem vokal dan fonem konsonan hambatan tak bersuara /p/, /b/, /t/, dan /d/. Penghilangan atau pelepasan tersebut umumnya terjadi khusus pada unsur-unsur bahasa  serapan, terutama bahasa Indonesia dan bahasa asing.
Data (T 2)
Contohnya:     /lampu/            [lapu]               ‘lampu’            (no.1)
Pada kata /lampu/ terjadi penghilangan atau pelesapan bunyi nasal /m/ yang berada di antara fonem vokal /a/ dan fonem konsonan hambatan tak bersuara /p/. Penghilangan atau pelepasan tersebut umumnya terjadi khusus pada unsur-unsur bahasa  serapan, terutama bahasa Indonesia dan bahasa asing.
/gambar/        [gaba]              ‘gambar’          (no.2)
Pada kata /gambar/ terjadi penghilangan atau pelesapan bunyi nasal /m/ yang berada di antara fonem vokal /a/ dan fonem konsonan hambatan tak bersuara /b/. Penghilangan atau pelepasan tersebut umumnya terjadi khusus pada unsur-unsur bahasa  serapan, terutama bahasa Indonesia dan bahasa asing.
/dokter/         [dote]               ‘dokter'’          (no.3)
Pada kata /dokter/ terjadi penghilangan atau pelesapan bunyi /k/ yang berada di antara fonem vokal /o/ dan fonem konsonan hambatan tak bersuara /t/. Penghilangan atau pelepasan tersebut umumnya terjadi khusus pada unsur-unsur bahasa  serapan, terutama bahasa Indonesia dan bahasa asing.
/kandang/      [kada]              ‘kandang’        (no.4)
Pada kata /kandang/ terjadi penghilangan atau pelesapan bunyi nasal /n/ yang berada di antara fonem vokal /a/ dan fonem konsonan hambatan tak bersuara /d/. Penghilangan atau pelepasan tersebut umumnya terjadi khusus pada unsur-unsur bahasa  serapan, terutama bahasa Indonesia dan bahasa asing.
/gampang/     [gapa]              ‘gampang’       (no.5)
Pada kata /gampang/ terjadi penghilangan atau pelesapan bunyi nasal /m/ yang berada di antara fonem vokal /a/ dan fonem konsonan hambatan tak bersuara /p/. Penghilangan atau pelepasan tersebut umumnya terjadi khusus pada unsur-unsur bahasa  serapan, terutama bahasa Indonesia dan bahasa asing.
Pada posisi akhir, setiap konsonan yang berasal dari kata-kata serapan pada umumnya mengalami penghilangan atau pelesapan fonem.
Data (T 2)
Contohnya:     /piring/             [piri]                ‘piring’            (no.6)
/jahat/              [jaha]               ‘jahat’              (no.7)
/kamar/            [kama]             ‘kamar’            (no.8)
/dapur/             [dapu]              ‘dapur’             (no.9)
/kapal/              [kapa]              ‘kapal’             (no.10)


5. Simpulan dan Saran
5.1 Simpulan
Berdasarkan hasil analisis mengenai interferensi fonologis bahasa Indonesia oleh penutur asli bahasa Sabu di Kupang dapat disimpulkan sebagai berikut:
1.    Ditemukan 4 bentuk interferensi fonologis yaitu.
a.    interferensi pengurangan huruf pada posisi tengah kata.
b.    interferensi pengurangan huruf pada posisi tengah dan akhir pada kata.
c.    interferensi pengurangan huruf pada posisi akhir pada kata dan,
d.   interferensi pergantian huruf.
2.    Bahasa Sabu mengalami proses fonologis, yakni proses pelesapan dan penghilangan bunyi
3.    Terjadinya interferensi fonologis bahasa Indonesia oleh penutur asli bahasa Sabu di Kupang oleh karena bahasa Sabu merupakan bahasa  vokolik yang tidak memiliki distribusi konsonan pada akhir kata.

B. Saran
Dari simpulan di atas, penulis ingin memberi saran sebagai berikut: Penulis berharap agar penelitian ini dapat bermanfaat sebagai sumbangan pemikiran bagi pengembangan bahasa Indonesia

DAFTAR PUSTAKA

Alwasilah, A. Chaedar. 1985. Beberapa Madhab dan dikotomi Teori Linguistik. Bandung: Angkasa.

Azwar, Saifuddin. 2001. Metode Penelitian. Jakarta: Pustaka Pelajar.

Chaer, A. 2004. Sosiolinguistik. Jakarta: Rinekacipta.

Chaer, Abdul dan Leonie Agustina. 2004. Sosiolinguistik: Perkenalan Awal. Jakarta: Rineka Cipta

Moleong, Lexy. 2007. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosda Karya.

Ohoiwutun, Paul. 2002. Sosiolinguistik: Memahami Bahasa dalam Konteks Masyarakat dan Kebudayaan. Jakarta: Visipro.


Ratukoreh, dkk, (1991:11) Fonologi, Morfologi, dan Sintaksis Bahasa Sabu. Jakarta: Depertemen Pendidikan dan Kebudayaan.